Hadispedia.id – Imam Nawawi dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah menjelaskan hadis tentang menolak kemungkaran dan bid’ah pada pembahasan yang kelima sebagaimana berikut.
عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: «مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمُ. وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: «مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ».
Dari Ummul Mukminin, Ummu Abdillah, Aisyah r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa mendatangkan hal baru dalam urusan agama yang tidak termasuk bagian darinya (tidak ada dasar hukumnya) maka tertolak.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
Disebutkan di dalam riwayat imam Muslim, “Barang siapa melakukan amalan tanpa didasari perintah kami, maka tertolak.”
Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh imam Abu Daud di dalam kitab Sunan Abi Daud, dan imam Ibnu Majah di dalam kitab Sunan Ibn Majah.
Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi Syarah kitab Al-Arbain An-Nawawiyah menjelaskan bahwa hadis ini merupakan salah satu dasar Islam yang sangat penting. Bila hadis “Segala sesuatu tergantung niatnya” menjadi barometer dari setiap perbuatan ditinjau dari segi batin/niatnya.
Yakni setiap amal yang tidak diniati untuk mencari ridha Allah, maka amal tersebut tidak berpahala. Maka, hadis ini menjadi barometer setiap perbuatan dari sisi zahirnya. Bahwa semua perbuatan yang tidak didasari perintah Allah dan Rasul-Nya, maka perbuatan tersebut tertolak.
Demikian pula orang yang membuat satu tambahan dalam agama yang tidak memiliki dasar, baik di dalam Al-Qur’an maupun hadis, maka tambahan tersebut sama sekali bukan bagian dari agama dan dengan sendirinya akan tertolak.
Begitu pentingnya hadis ini, Imam Nawawi pun berkata bahwa hadis ini perlu dihafal dan dijadikan dalil untuk menolak segala kemungkaran. Begitu pula dengan imam Ibn Hajar Al-Asqalani berkata, “Hadis ini merupakan salah satu dasar Islam. Secara tekstual, memiliki manfaat yang sangat luas, karena ia merupakan dasar global semua dalil.”
Adapun di antara kandungan hadis yang dapat kita ambil istifadahnya adalah sebagai berikut.
Pertama: Beramallah dengan ilmu. Ketika kita diperintahkan untuk melakukan sesuatu, maka berilah kapasitas diri kita dengan ilmu atas amal itu. Sehingga amal yang kita lakukan tersebut benar, dapat diterima, dan tidak sia-sia. Terutama dalam masalah amalan-amalan keagamaan. Kita harus mempelajari terlebih dahulu hukum dan tata caranya agar amal kita sesuai dengan syariat dan selamat.
Oleh sebab itu, jangan sampai kita tertipu dalam beramal karena kebodohan dan ketidak tahuan. Hal itu pun berujung pada penyesalan bahwa amal yang telah kita lakukan tidak ada manfaatnya dan tidak ada artinya.
Kedua: Bidah atau sesuatu yang baru itu ada dua. Bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Bid’ah hasanah adalah perkara yang sifatnya baru dan tidak bertentangan dengan syara’. Bahkan sesuati atau didukung syariat. Contoh: Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar As-Shiddiq, penyeragaman bacaan Al-Qur’an pada masa Usman bin Affan, penulisan ilmu Nahwu dan berbagai ilmu lainnya.
Bid’ah sayyi’ah adalah perkara yang sifatnya baru dan bertentangan dengan syara’. Contohnya bergabung dengan aliran sesat yang mengingkari syariat Allah dan mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad saw.
Kedua kategori tersebut sebagaimana disebutkan oleh Imam Syafii, “Apa-apa yang disengaja dibuat dan tidak sesuai dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ atau atsar, maka perkara tersebut adalah bid’ah yang sesat/dhalalah. Apa-apa yang sengaja diciptakan dan bersifat baik juga tidak bertentangan dengan dalil tersebut maka hal itu disebut dengan bid’ah yang baik/mahmudah.”
Ketiga: KH. Ali Mustafa Ya’qub di dalam salah satu karyanya menyebutkan bid’ah terbagi menjadi tiga bagian. Bid’ah dalam urusan akidah, ibadah, dan muamalah. Bid’ah dalam urusan akidah adalah keyakinan-keyakinan yang tidak bersumber dari Al-Qur’an dan hadis. Seperti Muktazilah yang mengatakan bahwa mukmin yang berdosa besar tidak akan masuk surga dan neraka tetapi berada di antara keduanya atau manzilah baina manzilatain.
Bid’ah dalam urusan ibadah adalah ibadah-ibadah yang tidak ada dalilnya baik dari Al-Qur’an, hadis, ijma’, qiyas, atau dalil-dalil agama lainnya. Seperti melaksanakan shalat Shubuh empat rakaat. Sementara bid’ah dalam urusan muamalah pada dasarnya semuanya diperbolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya. Seperti penciptaan teknologi-teknologi dan sebagainya, bahkan dalam urusan ini perlu diciptakan.
Keempat: Jangan sembarangan menuduh bid’ah kepada orang lain. Jika kita mengetahui ada seseorang yang melakukan atau menciptakan hal yang baru atau bid’ah, maka janganlah terburu-buru menghakiminya, mencela, dan sebagainya. Sebagaimana kita ketahui bahwa ada bid’ah yang baik dan ada pula yang buruk.
Terburu-buru menuduh bid’ah adalah perbuatan main hakim sendiri dan adab yang buruk. Di mana keduanya juga dapat menimbulkan fitnah. Maka, terlebih dahulu kita harus mengetahui dalil dan argumen atas perbuatan seseorang tersebut.
Kelima: Bukan hanya menciptakan tetapi juga mengamalkan bid’ah yang tidak sesuai dengan dalil syara’ itu tidak boleh. Oleh sebab itu, maka imam Nawawi di dalam hadis tersebut memberikan tambahan riwayat lain dengan redaksi “Barang siapa melakukan amalan tanpa didasari perintah kami, maka tertolak.” Sehingga riwayat tersebut dapat membungkam orang yang berdalih hanya mengamalkan saja tidak ikut menciptakan hal baru yang tidak sesuai dengan syara’.
Wa Allahu a’lam bis shawab.