Hadispedia.id – Memasuki bulan Rajab, kita disunnahkan untuk membaca doa ” Allahumma Bariklana fi Rajab wa Sya’bana wa Ballighna Ramadhana”. Ada keraguan sebagian masyarakat muslim Indonesia apakah itu hadis atau bukan, kalau hadis bagaimana kualitasnya? Tulisan ini akan mengulas secara luas kritik hadis doa bulan Rajab.
Nah, salah satu doa yang sering dilakukan oleh masyarakat saat bulan Rajab adalah doa berikut ini;
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
Allâhumma bârik lanâ fî rajaba wasya‘bâna waballighnâ ramadlânâ
“Duhai Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan bulan Sya’ban dan pertemukanlah kami dengan bulan Ramadlan.”
Menurut Yunal Isra, Ketua Direktur Sekolah Hadis El-Bukhari Institute, setelah ditelusuri jalur periwayatannya ternyata doa itu diriwayatkan oleh beberapa ahli hadis. Di antaranya Abdullah ibn Ahmad dalam kitab Syakir, Imam al-Bazzar dalam Kasyful Astar, Ibn Abi al-Dunya dalam Fadhoil Ramadhon, Ibn al-Sunni dalam Kitab al-Yaum wa al-Lailah, Imam al-Thabarani dalam Mu’jam al-Ausath, Abu Nuaim dalam Hilyah al-Auliya, Imam al-Baihaqi dalam Fadhoil al-Auqath, dan Imam Nawawi dalam al-Adzkarnya juga mengutip riwayat itu.
Dari sisi kritik sanad, Yunal menjelaskan sanadnya memang bermasalah. Imam Nawawi menilainya dhoif(lemah) . Imam al-Thabarani menggolongkannya sebagai hadis Mungkar, salah seorang perawinya yang bernama Zaidah Ibn Abi al-Riqad dinilai sebagai perawi yang munkar al-hadis (perawi yang sering lupa, banyak salah atau fasiq). Ibnu Abi Hatim juga menyebutkan kalau Zaidah sering meriwayatkan hadis dari Ziyad al-Numairi dari Anas Ibn Malik berupa hadis-hadis Marfu yang Mungkar. Imam Abu Daud bilang tidak mengetahui sumbernya.
Kemudian Ziyad ibn Abdillah Al-Numairi juga dianggap dhoif oleh Ibnu Ma’in dan Abu Daud. Ibnu Hibban menilainya sebagai seorang munkar al-hadis juga. Abu Hatim menyebutkan hadisnya ditulis tapi tidak bisa dijadikan sebagai hujjah (sandaran hukum).
Nah berdasarkan takhrij tersebut bisa disimpulkan, secara sanad riwayat itu memang bermasalah. Lantas apa boleh diamalkan?
Hadis ini, jelas Yunal, hanya berisi konten terkait doa dan harapan kebaikan yang tidak ada hubungannya dengan akidah ataupun ibadah mahdhah. Tapi masuk dalam ranah Fadhail (keutamaan-keutamaan) saja dan Kedhoifannya juga, menurut versi Imam Nawawi, tampaknya tidak terlalu parah, buktinya beliau tetap memasukkannya ke dalam kitabnya al-Adzkar. Padahal al-Adzkar itu beliau niatkan sebagai rujukan bagi mereka yang ahli ibadah sebagaimana Imam Nawawi menjelaskannya di bagian muqaddimah beliau di bagian awal kitab itu.
Jadi doa tersebut boleh diamalkan. Sebab syarat boleh mengamalkan hadis dhaif adalah selama hadis tersebut tidak ada hubungan dengan akidah dan ibadah mahdhah, Ulama membolehkan menggunakan hadits dho’if untuk menjelaskan fadha’il a’mal (keutamaan amalan) dalam amalan yang telah disyari’atkan dengan dalil-dalil yang shohih seperti dzikir, puasa, dan sholat. Hal ini dimaksudkan agar jiwa manusia selalu mengharapkan pahala dari amalan-amalan tersebut atau menjadi takut untuk melaksanakan suatu kejelekan.
“Asumsi sementara saya, hadis itu dhoif, tapi tidak masalah membacanya/mengamalkannya, selama tidak diyakini bahwa perkataan itu benar-benar bersumber dari Nabi Saw. Allahu A’lam..” Pungkas Yunal.
Perlu diketahui, kelas sekolah hadis online merupakan versi “maya” dari pelatihan sekolah hadis yang diselenggarakan oleh El-Bukhari Institute. Dengan demikian diharapkan agar diskusi serta pembelajaran tidak terbatas di ruang tertutup saat kelas berlangsung, tapi bisa berlanjut di sela-sela kegiatan kita sehari-hari.