Hadispedia.id – Rasulullah saw. pernah mengenakan pakaian merah. Kejadian ini direkam oleh banyak riwayat dan semua muallif sumber primer hadis meriwayatkan dari sahabat Al-Bara’ bin ‘Azib.
Hadis Rasulullah saw. mengenakan pakaian merah memberikan banyak interpretasi dari para ulama, bahkan pendapat paling ektrem berbanding terbalik dari aktifitas Rasulullah saw. bahwa pakaian merah adalah hiasan dan kesukaan setan.
Teks Hadis Pakaian Merah Rasulullah saw. dalam kitab Asy-Syamail Al-Muhammadiyah karya imam At-Tirmidzi.
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلاَنَ، قَالَ: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ البَرَاءِ، قَالَ: مَا رَأَيْتُ مِنْ ذِي لِمَّةٍ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ أَحْسَنَ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لَهُ شَعْرٌ يَضْرِبُ مَنْكِبَيْهِ، بَعِيدُ مَا بَيْنَ الْمَنْكِبَيْنِ، لَمْ يَكُنْ بِالقَصِيرِ وَلاَ بِالطَّوِيلِ
Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Waki’, ia berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abu Ishaq dari Al-Bara’, ia berkata,
“Aku tidak pernah melihat orang yang berambut panjang terurus rapi, dengan mengenakan pakaian merah, yang lebih tampan dari Rasulullah saw. Rambutnya mencapai kedua bahunya. Kedua bahunya bidang. Beliau bukanlah seseorang yang berperawakan pendek dan tidak terlampau panjang.”
Hadis tersebut diriwayatkan oleh imam At-Tirmidzi dalam kitab Sunannya dan juga oleh semua ulama pemilik sumber primer hadis dengan riwayat al-Bara’, walaupun dengan beberapa perbedaan redaksi.
Mengenai pakaian merah Rasulullah saw. dalam hadis, terjadi perbedaan pada sanad (silsilah periwayat hadis) dan matan (redaksi hadis). Sanad yang berbeda pada kalangan sahabat, yaitu Al-Bara’ bin ‘Azib dan Jabir bin Samurah. Menurut imam Al-Bukhari riwayat Abu Ishaq dari Al-Bara’ maupun Jabir adalah shahih, begitu juga pendapat Al-Hakim. Sedangkan matan dalam riwayat Abu Daud dengan redaksi burd hamra’ dengan arti yang sama.
Perbedaan Ulama Mengenai Pakaian Merah
Ada tujuh pendapat ulama salaf (terhdahulu) terkait memakai pakaian merah sebagaimana dalam hadis. Imam Ibn Hajar telah meringkas semua pendapat tersebut dalam Fath al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari (Dar al-Ma’rifah, 10/305).
Pertama, boleh secara mutlak. Pendapat ini dari ‘Ali, Abdullah bin Ja’far, Al-Bara’, Thalhah, ada satu orang lagi bukan dari kalangan sahabat, Sa’id bin Musayyab, An-Nakha’i, As-Sya’biy, Abi Qulabah, Abi Wail, dan sekelompok tabi’in.
Kedua, dilarang secara mutlak. Pendapat ini berdasarkan hadis Ibn ‘Umar yang diriwayatkan Al-Bayhaqi dan Ibn Majah:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمُفْدَمِ» قَالَ يَزِيدُ: قُلْتُ لِلْحَسَنِ: مَا الْمُفْدَمُ قَالَ: الْمُشْبَعُ بِالْعُصْفُرِ
Ibn ‘Umar berkata, “Rasulullah saw. melarang al-mufdam.” Yazid berkata, “Aku bertanya kepada Hasan, Apakah al-Mufdam itu?. Dia menjawab, “(pakaian) yang dicelup dengan pohon ‘usfur (sejenis tumbuhan pewarna).
Dan hadis ‘Umar:
عن عُمَرَ أنه كان إذا رَأَى عَلَى رَجُلٍ ثَوْبًا مُعَصْفَرًا، جذبه. فَقَالَ: دَعُوا هَذا لِلنّسَاء
Dari umar bahwa ketika ia melihat seorang laki-laki memakai pakaian yang dicelup dengan pohon ‘usfur, maka Umar menariknya. Umar berkata, Tinggalkanlah ini pada seorang perempuan. (H.R. At-Thabari).
Ibn Hajar menyampaikan hadis pada pendapat kedua ini, tetapi hadis tersebut dha’if, seperti hadis berikut:
إِنَّ الْحُمْرَةَ مِنْ زِينَةِ الشَّيْطَانِ، وَإِنَّ الشَّيْطَانَ يُحِبُّ الْحُمْرَةَ
Sesungguhnya merah adalah hiasan setan dan ia menyukai warna merah.
Banyak yang meriwayatkan hadis ini akan tetapi menurut Ibn Hajar hadis ini dha’if. Menurut Al-Jawzaqani batil dan Ibn Al-Jauzi memasukkan dalam kitabnya Al-Maudhu’at.
Baca juga: Ternyata Rambut Rasulullah saw. Panjang
Sedangkan pendapat ketiga, makruh memakai pakaian yang penuh dengan warna merah, tetapi tidak makruh apabila celupannya ringan. Pendapat ini dari Imam ‘Atha’, Thawuz dan Mujahid dengan riwayat hadis pada Ibn ‘Umar, yaitu hadis pertama dalam pendapat kedua.
Berdasarkan hadis Ibn ‘Abbas pada pendapat keempat, makruh memakai pakaian warna merah secara mutlak dengan tujuan berhias dan reputasi. Namun berbeda ketika berada di rumah dan tuntutan karir, hal ini diperbolehkan.
Kelima, diperbolehkan memakai pakaian yang dicelup benangnya kemudian ditenun, dan sebaliknya dilarang, yakni pakaian yang dicelup setelah ditenun. Al-Khaththaby condong pada pendapat ini dengan berhujjah yang dimaksud dengan hullah hamra’ (pakaian merah) yang dikenakan Rasulullah saw. dalam hadis adalah jenis pakaian Yaman. Begitu juga dalam redaksi lain disebut dengan al-burd al-ahmar karena pakaian Yaman dicelup benangnya terlebih dahulu dan ditenun kemudian.
Keenam, pelarangan khusus pada pakaian yang dicelup dengan ‘usfur, karena memang ada larangan terhadapnya, berbeda jika dicelup dengan selain ‘usfur, maka itu tidak ada larangan.
Ketujuh, pelarangan khusus pada pakaian yang dicelup keseluruhan dengan warna merah, namun apabila terdapat warna lain maka tidak dilarang. Hadis-hadis yang mendukung pendapat ini adalah yang menjadi pembahasan utama dalam artikel ini, yaitu yang dimaksud dengan hullah hamra’.
Fakta menarik lain yang disampaikan Ibn Al-Jauzi, ada sebagian ulama yang mengenakan baju merah dan menyangka bahwa dirinya adalah pengikut sunnah. Hal itu keliru menurut Ibn Al-Jauzi, karena yang dimaksud dengan hullah hamra’ adalah pakaian Yaman yang tidak dicelup dengan merah murni.
Pendapat ketujuh dari At-Thabari. Setelah ia menyebutkan pendapat yang unggul dalam masalah ini, yaitu memperbolehkan memakai pakaian yang dicelup dengan warna apapun, tetapi dirinya tidak menyukai memakai pakaian full warna merah dan merah mutlak yang tampak jelas saat berada di atas pakaian yang lain. Hal ini disebabkan karena bukan pakaian ahli kewibawaan pada zamannya. Sedangkan menjaga kehormatan dari pakaian pada zaman itu adalah sebagian dari kewibawaan, tetapi bukan dosa. Dan perbedaan pakaian adalah sebagian dari reputasi.
Adapun yang benar adalah dilarang memakai pakaian berwarna merah apabila pakaian merah menjadi pakaian orang-orang kafir dan atau merupakan pakaian perempuan maka larangannya pencegahan pada tasyabbuh (keserupaan) dengan perempuan, pelarangan itu bukan pada zatnya. Apabila larangannya dari sisi reputasi atau rusaknya kewibawaan maka larangan itu sesuai sebagaimana terjadinya. Jika tidak, maka pendapat imam Malik menjadi kuat yang membedakan antara ketika berada dalam kerumunan orang banyak atau berada di rumah. Wa Allahu a’lam bis shawab.