Pemahaman Hadis Larangan Melukis

Hadispedia.id – Wacana tentang keharaman melukis tentunya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Di tambah lagi dalil yang digunakan untuk meligitimasi pendapat tersebut adalah hadis Nabi saw. Sebagian orang semakin yakin atas keharaman melukis ini ketika mereka tahu bahwa hadis tersebut ada dalam kitab Shahih Al-Bukhari, kitab hadis paling populer di antara kitab hadis yang lainnya. Bunyi hadis tersebut yaitu:

حَدَّثَنَا الحُمَيْدِيُّ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ، عَنْ مُسْلِمٍ، قَالَ: كُنَّا مَعَ مَسْرُوقٍ، فِي دَارِ يَسَارِ بْنِ نُمَيْرٍ، فَرَأَى فِي صُفَّتِهِ تَمَاثِيلَ، فَقَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ القِيَامَةِ المُصَوِّرُونَ

Al-Humaidi telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Sufyan telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Al-A’masy telah menceritakan kepada kami, dari Muslim, ia berkata, Kami bersama Masruq berada di rumah Yasar bin Numair, lantas dia melihat patung (gambar) di dalam rumahnya, lantas Masruq berkata, “Saya pernah mendengar Abdullah berkata: saya mendengar Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling keras siksaannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah orang-orang yang suka menggambar.”

Hadis dengan lafaz yang hampir sama juga disebutkan dalam kitab induk hadis lainnya, yaitu:  Sahih Muslim no 2109, Sunan An-Nasa’i no 5364, dan Musnad Ahmad no 3558. Dari semua hadis tersebut, perawi dari kalangan sahabat hanyalah Abdullah bin Mas’ud  saja. Sedangkan perawi lain, dari kalangan selain sahabat (muttabi’) berbeda-beda antara satu kitab induk dengan kitab induk yang lainnya.

Berkaitan dengan lukisan ini, Nabi saw. tidak hanya melarang untuk melukis saja melainkan juga melarang untuk memajang sebuah lukisan di dalam rumah. Dalam hadis yang lain, Nabi saw. bersabda bahwa para malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat lukisan. Hadis tersebut yaitu:

إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يُعَذَّبُونَ، وَيُقَالُ لَهُمْ: أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ ” ثُمَّ قَالَ: إِنَّ الْبَيْتَ الَّذِي فِيهِ الصُّوَرُ لَا تَدْخُلُهُ الْمَلَائِكَةُ

Pelukis gambar-gambar ini akan disiksa kelak di hari kiamat seraya dikatakan kepada mereka, ‘Hidupkanlah gambar-gambar yang kamu lukis itu! ‘ Kemudian beliau bersabda, ‘Malaikat tidak mau masuk ke dalam sebuah rumah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar.’ (H.R. Muslim)

Berangkat dari hadis-hadis di atas, para ulama berbeda-beda dalam mencetuskan hukum melukis maupun memajang lukisan. Misalnya, sebagian ulama berpendapat bahwa melukis atau memajang lukisan adalah haram. Sebagian yang lain berpendapat boleh dengan catatan bukan lukisan tentang makhluk yang bernyawa. Pendapat yang kedua ini berdasarkan atas hadis Nabi berikut:

مَنْ صَوَّرَ صُورَةً، فَإِنَّ اللَّهَ مُعَذِّبُهُ حَتَّى يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ، وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيهَا أَبَدًا» فَرَبَا الرَّجُلُ رَبْوَةً شَدِيدَةً، وَاصْفَرَّ وَجْهُهُ، فَقَالَ: وَيْحَكَ، إِنْ أَبَيْتَ إِلَّا أَنْ تَصْنَعَ، فَعَلَيْكَ بِهَذَا الشَّجَرِ، كُلِّ شَيْءٍ لَيْسَ فِيهِ

“Siapa yang membuat gambar lukisan, Allah akan menyiksanya hingga dia meniupkan ruh (nyawa) kepada gambarnya itu dan sekali-kali dia tidak akan bisa mendatangkannya selamanya.” Maka orang tersebut sangat ketakutan dengan wajah yang pucat pasi lalu berkata, “Bagaimana pendapatmu kalau aku tidak bisa meninggalkannya kecuali tetap menggambar?” Dia (Ibnu ‘Abbas) berkata, “Gambarlah olehmu pepohonan dan setiap sesuatu yang tidak memiliki nyawa.” (H.R. Bukhari)

Menanggapi perbedaan pendapat ini, M. Syuhudi Ismail menjelaskan dalam bukunya, “Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual”, bahwa larangan melukis dan memajang lukisan yang dikemukakan oleh Nabi itu sesunggunguhnya mempunyai latar belakang hukum (‘Illat Hukum). Pada masa Nabi, masyarakat belum lama terlepas dari kepercayaan menyekutukan Allah, menyembah patung dan semacamnya.

Dalam kapasitasnya sebagai Rasul, Nabi saw. berusaha keras agar umat Islam terlepas dari kemusyrikan tersebut.  Salah satu cara yang beliau gunakan yaitu mengeluarkan larangan untuk memproduksi dan memajang lukisan. Maka yang diancam siksaan berat tidak hanya orang yang memproduksi saja melainkan orang yang memajangnya juga.

Lebih lanjut, M. Syuhudi menjelaskan bahwa apabila ‘illat hukumnya seperti itu, ketika umat Islam sudah tidak dikhawatirkan terjerumus ke dalam kemusyrikan, khususnya dalam bentuk penyembahan terhadap lukisan, maka memproduksi ataupun memajang lukisan itu diperbolehkan. Hal ini sesuai dengan kaidah usul fikih yang menyatakan:

الْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ الْعِلَّةِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا

“Hukum itu berkisar dengan ‘illat-nya (latar belakangnya), keberadaan dan ketiadaannya”.

Dengan kata lain, sebuah hukum ditentukan oleh ‘illat-nya. Jika ‘illat-nya ada, maka hukumnya ada; dan jika ‘illat-nya sudah tidak ada, maka hukumnya juga tidak ada.

“Ekses” dari pemahaman secara kontekstual ini dapat saja timbul. Misalnya, sebuah lukisan dilukis pada saat masyarakat berkeyakinan bahwa menyembah patung adalah musyrik. Kemudian lukisan itu disembah oleh orang. Kalau yang demikian terjadi, apakah pelukisnya terlepas dari tanggung jawab atas penyembahan terhadap lukisannya itu? Yang salah memang orang yang menyembah lukisan tersebut, tetapi bagaimana pun juga sang pelukis tidak dapat mengelak dari sebuah tanggung jawab. Laha Ma Kasabat wa Lakum Ma Kasabtum. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Syabrowi Ahmad
Syabrowi Ahmad
Mahasiswa Ilmu Hadis UIN Sunan Ampel Surabaya, Peneliti CRIS Foundation

Artikel Terkait

spot_img

Artikel Terbaru