Hadispedia.id – Tiga hal yang Rasulullah saw. lakukan di 10 malam terakhir Ramadhan tergambar dalam hadis yang dicantumkan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Bulughul Maram sebagaimana berikut.
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ اَلْعَشْرُ -أَيْ: اَلْعَشْرُ اَلْأَخِيرُ مِنْ رَمَضَانَ- شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dan dari Aisyah r.a., ia berkata, “Rasulullah saw. jika memasuki sepuluh -yakni sepuluh akhir dari Ramadhan-, beliau mengencangkan sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Maksud Muttafaqun ‘alaih adalah hadis tersebut telah disepakati keshahihannya oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim. Hasan Sulaiman An-Nuri dan Alawi Abbas Al-Maliki dalam kitab Ibanatul Ahkam Syarah Bulughil Maram telah memberikan penjelasan seputar hadis tersebut yang kami jadikan sumber rujukan dalam tulisan ini.
Analisis Lafadz Hadis:
- Lafadz -أَيْ: اَلْعَشْرُ اَلْأَخِيرُ مِنْ رَمَضَانَ- (-yakni sepuluh akhir dari Ramadhan-) merupakan mudraj atau sisipan dari Imam Ibnu Hajar berupa penjelasan atas tafsir pada kata al-‘asyru. Jadi, lafadz tersebut bukan bagian dari sabda Nabi saw., karena teks aslinya dalam kitab Shahih Al-Bukhari hanya al-‘asyru saja. Pada dasarnya, tambahan sisipan redaksi atau dalam istilah ilmu hadis disebut mudraj dapat mempengaruhi kualitas hadis menjadi dhaif dan haram dilakukan. Namun, di dalam kitab Taisir Musthalah Al-Hadis karya Syekh Mahmud Thahhan disebutkan bahwa jika mudraj itu dilakukan untuk menafsiri lafadz hadis yang gharib, maka hal ini diperbolehkan. Sebagaimana pernah dilakukan oleh Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri dan Imam Ibnu Hajar dalam hadis tersebut.
- Syadda mi’zarahu/mengencangkan sarung beliau. Redaksi tersebut merupakan sebuah kinayah atau simbol bahwa Nabi saw. bersungguh-sungguh dalam beribadah melebihi biasanya. Ada pula yang mengartikan redaksi tersebut menunjukkan bahwa Nabi saw. tidak mengumpuli istri-istrinya di 10 malam terakhir Ramadhan.
- Ahya lailahu/menghidupkan malamnya. Artinya Nabi saw. tidak tidur, melainkan menghidupkan malamnya dengan beribadah di dalamnya.
- Wa aiqadza ahlahu, yakni beliau membangunkan keluarganya yang mampu melaksanakan qiyam Ramadhan.
Fiqhul Hadis:
Hasan Sulaiman An-Nuri dan Alawi Abbas Al-Maliki dalam kitab Ibanatul Ahkam Syarah Bulughil Maram menjelaskan bahwa di antara pelajaran yang dapat kita ambil dari hadis tersebut adalah
- Kesunnahan qiyamul lail, bangun di malam hari untuk menjalankan ibadah-ibadah.
- Anjuran yang kuat untuk menghidupkan 10 malam terakhir dari bulan Ramadhan.
- Kesunnahan mengajak/mengikut sertakan keluarga dalam menjalankan ibadah-ibadah sunnah.
- Penjelasan bahwa akhir Ramadhan itu paling utama, karena ia adalah pungkasan dari amal, sedangkan amal itu tergantung pungkasannya/akhirnya. Oleh sebab itu, sepuluh akhir Ramadhan itu diperlakukan khusus. Di antaranya dengan i’tikaf, melaksanakan qiyamul lail di sepanjang malam, membangunkan keluarga, tidak menggauli istri, mandi di antara maghrib dan isya’, memakai wewangian, mengenakan baju yang paling baik sebagai bentuk persiapan untuk bermunajat kepada Allah swt., dan memperbanyak doa bil ma’tsur/yang diajarkan Nabi saw. “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anna/Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf yang suka memaafkan, maka maafkanlah kami.”
Demikianlah tiga hal yang Rasulullah saw. lakukan di 10 malam terakhir Ramadhan, yakni beliau mengencangkan sarungnya sebagai tanda lebih giat dan siap dalam beribadah, menghidupkan malam dengan beribadah, dan membangunkan keluarganya. Wa Allahu a’lam bis shawab.