Hadispedia.id – Hadis kedua dalam kitab Bulughul Maram bab puasa, imam Ibnu Hajar Al-Asqalani masih membahas seputar hadis larangan berpuasa menjelang bulan Ramadhan. Tepatnya di hari Syak, atau hari yang diragukan. Bagaimana bunyi hadisnya? Dan kapan hari Syak itu? Berikut penjelasannya.
عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: “مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا القَاسِمِ” ذَكَرَهُ اَلْبُخَارِيُّ تَعْلِيقًا وَوَصَلَهُ الْخَمْسَةُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ
Dari Ammar bin Yasir r.a., ia berkata, “Siapa yang berpuasa di hari yang masih diragukan, berarti dia telah berbuat durhaka kepada Abul Qasim (Nabi saw.)” (Imam Al-Bukhari menyebut hadis ini sebagai mu’allaq, sedangkan imam Al-Khamsah telah menilainya sebagai hadis yang maushul/muttashil, dan Imam Ibnu Khuzaimah serta Imam Ibnu Hibban menilainya shahih).
Analisis Lafadz
الْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ, hari yang masih diragukan, yaitu hari pada tanggal 30 bulan Sya’ban. Dalam ungkapan ini, digunakan isim maushul (الذي) untuk mengisyaratkan bahwa melakukan puasa pada hari yang di dalamnya masih ada sedikit keraguan adalah dilarang, apalagi melakukan puasa pada hari yang yang jelas-jelas masih diragukan.
فَقَدْ عَصَى أَبَا القَاسِمِ, berarti dia telah menentang Nabi Muhammad saw. karena melanggar larangannya. Abul Qasim merupakan kunyah untuk Nabi Muhammad saw. Kunyah adalah nama yang diawali dengan abu atau ummu. Adapun arti dari pada Abul Qasim adalah bapaknya Qasim, karena Nabi Muhammad saw. memiliki anak yang bernama Qasim. Namun, menurut penjelasan dalam kitab Ibanatul Ahkam, Nabi saw. disebut dengan nama khusus yakni Abul Qasim (Bapak sang Pembagi) karena beliau yang dapat membagi (قسم) hukum-hukum Allah kepada seluruh hamba-Nya mengikuti kekuatan dan kemampuan mereka.
ذَكَرَهُ الْبُخَارِيُّ تَعْلِيقًا, Imam Al-Bukhari menyebut hadis ini secara mu’allaq di dalam bab “Jika kamu melihat anak bulan, maka berpuasalah”. Hadis ini lafadznya mauquf, tetapi hukumnya marfu’, karena tidak mungkin dikatakan ia menentang Nabi Muhammad saw. kecuali pasti berlandaskan tauqif (keterangan dari pada Nabi saw.)
وَوَصَلَهُ اَلْخَمْسَةُ, Imam Al-Khamsah merupakan istilah khusus yang digunakan imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Bulughul Maram. Adapun yang dimaksud Imam Al-Khamsah adalah Lima Imam, yaitu Imam Abu Daud, Imam At-Tirmidzi, Imam An-Nasa’i, Imam Ibnu Majah, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka memaushulkan hadis ini melalui jalur Amr bin Qais dari Abu Ishaq sebagaimana berikut.
“Kami sedang bertamu di rumah Ammar, lalu Ammar menghidangkan daging kambing yang telah dipanggang dan berkata, “Silahkan makan” Tetapi sebagian kaum ada yang menolak seraya berkata, ‘Saya berpuasa’. Ammar berkata, “Siapa yang berpuasa pada hari yang masih diragukan, berarti dia telah berbuat durhaka kepada Abul Qasim.”
Makna Hadis
Yaumus syak/ hari yang masih diragukan adalah hari pada tanggal 30 bulan Sya’ban. Hari itu masih diragukan karena apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau masih akhir bulan Sya’ban. Hari di mana para ahli ilmu falak/astronomi masih ramai meneliti, apakah hilal/anak bulan sudah mucul atau tidak. Jika cuaca gelap atau mendung, maka bulan biasanya tidak terlihat. Sehingga umat muslim belum bisa melaksanakan puasa Ramadhan, alias hari itu masih menjadi akhir bulan Sya’ban.
Syariat Islam melarang puasa pada hari itu. Ulama berbeda pendapat mengenai pengertian larangan ini. Sebagian mereka ada yang menganggapnya bermakna haram dan sebagian yang lain ada yang mengatakan makruh.
Imam Syafi’i berkata, “Haram berpuasa pada hari yang diragukan itu meskipun menganggapnya sebagai bagian dari pada Ramadhan atau puasa sunat bagi orang yang tidak biasa berpuasa pada hari itu. Akan tetapi, dibolehkan berpuasa pada hari itu untuk berpuasa wajib lainnya (puasa qadha’ dan nadzar) atau puasa sunat yang telah menjadi kebiasaannya.” Imam Syafi’i berpegang dengan perkataan عصى (durhaka), karena perbuatan durhaka itu tidak akan ada kecuali sebagai akibat dari mengerjakan perbuatan yang diharamkan.
Sedangkan jumhur ulama mengatakan bahwa hukum berpuasa pada hari yang diragukan itu sebagai puasa Ramadhan adalah makruh tahrim. Namun, mereka membolehkan puasa sunat pada hari itu atau puasa wajib yang lainnya (puasa qadha’ atau nadzar). Mereka berpendapat demikian karena mengacu pada hadis-hadis yang melarang berpuasa pada hari itu sebagai larangan untuk puasa Ramadhan. Mereka menjawab tentang perkataan عصى (durhaka), bahwa apa yang dimaksudkan dengannya adalah خالف, yakni menyelesihi, yang berarti hukumnya makruh.
Demikian penjelasan tentang hadis larangan berpuasa di hari syak atau hari yang masih diragukan. Yakni hari pada tanggal 30 Sya’ban. Menurut Imam Syafi’i haram puasa pada hari itu, sedangkan menurut jumhur ulama berhukum makruh tahrim. Namun, mereka sepakat diperbolehkan puasa pada hari itu bagi yang sudah terbiasa puasa sunnat atau yang masih memiliki tanggungan puasa wajib, seperti qadha’ atau nazar. Wa Allahu a’lam bis shawab.
NB: Disarikan dari kitab Ibanatul Ahkam; Syarah Kitab Bulughul Maram karya Hasan Sulaiman An-Nuri dan Alawi Abbas Al-Maliki juz 2 halaman 284-285.