Hadispedia.id – Imam Nawawi dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah hadis kesembilan menjelaskan hadis tentang menjauhi hal-hal yang dilarang dan menjalankan hal-hal yang diperintahkan.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: « مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ. وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أنْبِيَائِهِمْ» رواه البخاري ومسلم.
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Apa yang kularang, jauhilah, dan apa yang kuperintahkan, laksanakanlah semampu kalian. Sesungguhnya yang membinasakan umat-umat sebelum kalian adalah banyak bertanya dan berselisih dengan nabi mereka.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)ا
Latar Belakang/Asbab Wurud Hadis
Imam Muslim di dalam kitab shahih-nya meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. berpidato di hadapan kami seraya berkata, “Wahai sekalian manusia, telah diwajibkan kepada kalian ibadah haji, maka berhajilah.” Seorang laki-laki bertanya, “Ya Rasulullah, apakah dilakukan setiap tahun?” Rasulullah saw. diam. Hingga orang itu mengulangnya sampai tiga kali. Maka, Rasulullah saw. pun menjawab, “Andai saya jawab ya, tentu haji akan diwajibkan (setiap tahun). Dan kalian tidak akan mampu.” Setelah itu, Rasulullah saw. bersabda, “Biarkanlah apa yang saya diamkan. Sesungguhnya kehancuran umat sebelummu adalah karena mereka banyak bertanya dan berselisih dengan nabi-nabi mereka. Jika saya perintahkan kepada kalian untuk mengerjakan sesuatu maka tunaikanlah semampu kalian. Dan jika aku melarang sesuatu maka tinggalkanlah.”
Riwayat imam Ibnu Majah dari sahabat Ibnu Abbas r.a. menyebutkan bahwa laki-laki yang bertanya kepada Nabi saw. tersebut bernama Aqra’ bin Habis. Imam Abu Dawud dalam kitab sunannya dan imam Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadraknya juga menyebutkan riwayat senada.
Fiqhul Hadis/Kandungan Hadis
- Menjauhi hal-hal yang dilarang agama.
Pada hadis tersebut, Rasulullah saw. memerintahkan kepada kita untuk menjauhi hal-hal yang dilarang. Beliau tidak mengatakan “mastatha’tum” atau semampu kalian. Hal ini menunjukkan bahwa menjauhi hal-hal yang dilarang itu perkara yang mudah.
Lebih mudah dari pada melaksanakan perintah. Karena menjauhi larangan itu tidak membutuhkan pada kemampuan yang besar. Bahkan tanpa perlu kekuatan badan. Tetapi yang diperlukan hanya kemauan dan keinginan yang kuat saja. Selain itu, menjauhi larangan itu tidak memerlukan amal perbuatan, karena kita hanya cukup diam saja, maka kita sudah otomatis meninggalkan larangan itu. Seperti larangan minum khamr. Kita cukup diam saja, tidak mengambil minuman itu, maka otomatis kita telah meninggalkannya.
2. Larangan dalam Al-Qur’an maupun hadis itu ada dua kategori, haram dan makruh.
Larangan yang bersifat haram adalah larangan yang dalilnya jelas dengan tegas memerintahkan untuk meninggalkannya. Bahkan ada hukuman bagi yang melakukannya dan pahala bagi yang meninggalkannya. Contohnya: zina, mencuri, membunuh, dan mengkonsumsi hal yang memabukkan.
Larangan yang bersifat makruh adalah larangan yang dalilnya tidak tegas pelarangannya. Bagi yang melakukannya tidak mendapat dosa, tetapi bagi yang meninggalkannya mendapat pahala. Contohnya makan makanan yang memiliki bau menyengat sehingga dapat mengganggu orang lain ketika shalat berjamaah.
3. Komitmen pada perintah agama
Rasulullah saw. pada hadis tersebut bersabda, “Tunaikanlah perintahku semampu kalian.” Hal ini menunjukkan bahwa kita pasti mampu melaksanakannya. Oleh karena melakukan itu membutuhkan tenaga atau usaha, maka beliau memberi sifat “semampu kalian”. Beliau tidak membebani kita jika tidak mampu melaksanakannya dengan sempurna. Seperti shalat. Kita tetap diwajibkan melaksanakannya dalam kondisi apapun. Jika tidak bisa berdiri, maka dengan duduk. Jika tidak mampu duduk, maka dengan berbaring dan seterusnya.
Baca juga: Hadis tetang Menolak Kemungkaran dan Bid’ah
4. Perintah agama itu terdiri dari dua kategori: wajib dan sunnah.
Perintah yang bersifat wajib adalah perintah yang memiliki dalil yang tegas untuk dilaksanakan. Konsekuensi bagi yang meninggalkannya adalah mendapat hukuman/siksa dan bagi yang melakukannya akan mendapat pahala. Seperti shalat lima waktu, zakat, dan puasa Ramadhan.
Perintah yang bersifat sunah adalah perintah yang memiliki dalil sunnah untuk dikerjakan. Bagi yang melakukannya mendapat pahala, dan bagi yang meninggalkannya tidak mendapat hukuman. Seperti shalat sunah rawatib, shalat sunah Dhuha, shadaqah, dan makan dengan tangan kanan.
5. Penyebab kehancuran umat terdahulu
Rasulullah saw. telah menjelaskan kepada kita bahwa penyebab kehancuran umat-umat terdahulu adalah akibat dua perkara. Dua hal itu adalah banyaknya pertanyaan yang tidak berguna dan tidak komitmen dengan syariat Allah.
Imam Nawawi di dalam kitab Syarah Shahih Muslim mengutip pendapat imam Al-Khattabi yang mengatakan bahwa orang yang memiliki pertanyaan yang diperlukan untuk ditanyakan maka diperbolehkan. Hal ini sebagaimana firman Allah swt. “Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (Q.S. An-Nahl: 43).
Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi menjelaskan bahwa pertanyaan itu memiliki beberapa hukum. 1. Fardu ain, seperti bertanya seputar agama yang wajib ia ketahui. 2. Fardhu kifayah, seperti pertanyaan untuk mendalami suatu permasalahan. Misalnya mendalami masalah fiqh dan hadis. 3. Mandub/sunnah, seperti menanyakan amalan sunnah. 4. Haram, seperti pertanyaan yang bertujuan untuk mengejek atau bersifat menentang mukjizat Rasul. 5. Makruh, seperti pertanyaan yang sebenarnya tidak dibutuhkan, bahkan dapat membuka aib si penanya. 6. Mubah/boleh, seperti pendapat imam Nawawi yang mengutip imam Al-Khattabi di atas.
Baca juga: Hadis tentang Rukun Islam yang Ada Lima
6. Memahami dan mengamalkan lebih utama dari pada bertanya
Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi menjelaskan bahwa seorang muslim hendaklah lebih mementingkan untuk mengkaji dan berusaha memahami semua yang datang dari Allah dan Rasul-Nya.
Jika yang didapati adalah perkara yang bersifat normatif, maka hendaknya ia meyakini kebenarannya. Namun, jika yang didapati adalah perkara yang aplikatif maka bersegeralah untuk mengaplikasikannya.
Sementara itu, Dr. Ahmad Ubaidi Hasbillah di dalam kitab Al-Fawaid Al-Mustafawiyah mengatakan bahwa semua perintah dan larangan agama itu memiliki kemaslahatan. Selain itu, ia juga memiliki faedah dan hikmah yang besar. Bahkan meskipun kita tidak mempertanyakannya, niscaya kita akan mendapatinya ketika mengamalkannya. Wa Allahu A’lam bis shawab.