Hadis tentang Rukun Islam yang Ada Lima

Hadispedia.id – Imam Nawawi di dalam kitab Al-Arbain menjelaskan hadis tentang rukun Islam yang ada lima pada pembahasan ketiga sebagaimana berikut.

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنْ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ:« بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.

Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Umar bin Al-Khattab r.a., ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda,

Islam dibangun di atas lima (pilar): (1) Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, (2) Melaksanakan shalat, (3) Menunaikan zakat, (4) Haji ke Baitullah, (5) Puasa Ramadhan.’ (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Hadis ini juga diriwayatkan oleh imam At-Tirmidzi dan imam An-Nasai di dalam kitab Sunannya dan imam Ahmad bin Hanbal di dalam kitab Musnadnya.

Imam Nawawi di dalam kitab Syarah Shahih Muslim menjelaskan tentang penyebab kata haji didahulukan dari pada puasa pada riwayat tersebut. Pada dasarnya, Ibnu Umar r.a. memiliki empat redaksi periwayatan tentang hadis ini. Riwayat pertama dan keempat mendahulukan puasa, sedangkan riwayat kedua dan ketiga mendahulukan haji. Ia meriwayatkan dua versi tersebut dalam dua waktu yang berbeda.

Namun, pada kesempatan lain, Ibnu Umar r.a. pernah menegur Yazid bin Bisyr yang meriwayatkan hadis tersebut dengan mendahulukan haji daripada puasa. Kemungkinan, Ibnu Umar r.a. lupa bahwa ia pun meriwayatkan versi seperti itu.

Sementara itu, Syekh Abu Amru bin Shalah berpendapat bahwa konsistensinya Ibnu Umar r.a. untuk mendahulukan puasa dari pada haji dan melarang untuk membaliknya menjadikan dasar bahwa kata wawu pada hadis tersebut itu menunjukkan urutan tertib. Inilah yang dijadikan patokan mayoritas ulama Syafiiyah dan ulama Nahwu. Ada pula yang menganggap wawu tersebut bukan menunjukkan urutan tertib.

Jumhur ulama mengatakan bahwa sebenarnya wawu itu menunjukkan tertib karena kewajiban puasa Ramadhan itu pada tahun 2 H. Sedangkan kewajiban haji pada tahun 6 H. dikatakan pula 9 H. Sehingga kata puasa harus didahulukan daripada haji.

Adapun periwayatan mendahulukan haji itu dianggap diriwayatkan secara makna/bil makna (periwayatan dengan lafadz yang berbeda dengan inti/makna yang sama). Atau ketika meriwayatkannya tidak mendengar larangan Ibnu Umar r.a. tentang hal itu. Syekh Abu Amru bin Shalah juga menegaskan agar tidak mendhaifkan antara satu dengan lainnya, karena keduanya itu riwayat yang shahih di dalam dua kitab shahih pula.

Sementara itu, imam Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul Bari menyebutkan bahwa penyebutan shalat, zakat, dan haji beriringan pada hadis tersebut memiliki rahasia. Yakni shalat itu amal yang bersifat badan, zakat amal yang bersifat harta, dan haji adalah amal yang menggunakan badan dan harta sekaligus.

Sedangkan puasa dijadikan rukun kelima pada hadis tersebut disebabkan karena puasa itu amal jiwa, bukan perbuatan badan. Oleh sebab itu puasa diakhirkan. Namun, jika ingin menyengaja mengurutkan sesuai tertib maka harus mendahulukan puasa daripada haji karena Ibnu Umar pun mengingkari orang yang meriwayatkan hadis dengan mendahulukan haji daripada puasa. Meskipun Ibnu Umar r.a. memiliki riwayat seperti itu pada riwayat lainnya.

Penjelasan Hadis

Sebuah bangunan tiada berarti jika tidak kuat dan kokoh. Oleh sebab itu, maka bangunan itu pasti butuh pondasi, tiang, tembok, atap, pintu, dan fentilasi udara agar nyaman dan layak untuk dijadikan hunian.

Sementara itu, bangunan yang kita tempati di dunia ini adalah Islam. Hal ini sebagaimana disampaikan di dalam hadis tersebut bahwa Rasulullah saw. mengibaratkan Islam sebagai bangunan yang terdiri dari lima pilar.

Dr. Ahmad Ubaidi Hasbillah di dalam kitab Al-Fawaid Al-Mustafawiyah menggambarkan bangunan Islam dengan sangat jelas. Dua kalimat syahadat itu ibarat pondasi bangunan Islam. Shalat lima waktu adalah tiangnya. Puasa adalah temboknya. Zakat menjadi atapnya. Haji dan umrah sebagai pintu dan jendelanya.

Apa jadinya jika kita tinggal di sebuah bangunan yang tidak memiliki pondasi? Pastinya bangunan itu akan mudah roboh karena terjangan angin dan mudah terbawa arus banjir. Oleh sebab itu, pondasi pertama banguan Islam adalah dua kalimat syahadat.

Apa jadinya jika kita tinggal di sebuah bangunan yang tidak memiliki tiang? Maka, bangunan itu tidak dapat berdiri dan tidak bisa dipasang atap. Oleh sebab itu, shalat menjadi tiangnya agama. Siapa yang mendirikan shalat, maka ia telah mendirikan agamanya. Namun, jika ia tidak mendirikan shalat, maka ia sama saja dengan tidak mendirikan agamanya.

Setelah bangunan itu memiliki pondasi dan tiang, maka bangunan itu juga membutuhkan tembok agar terhindar dari hal-hal yang membahayakan. Begitu pula dengan bangunan Islam, puasa menjadi temboknya. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi saw. bahwa puasa adalah perisai.

Bangunan itu pun membutuhkan atap agar terhindar dari hujan dan sengatan matahari. Maka, atap untuk bangunan Islam adalah zakat. Di mana zakat itu dapat menolak bencana dan menyucikan harta.

Bangunan juga membutuhkan pintu dan jendela. Maka, buatlah pintu dan jendela dengan melaksanakan haji dan umrah karena hal itu dapat menjernihkan hawa nafsu dan meleburkan kesalahan. Setelah bangunan itu kokoh, maka hendaknya diperbagus dan dihiasi dengan ibadah-ibadah sunah, shalat sunah, shadaqah, infaq, puasa sunah, dan amal-amal shalih lainnya.

Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi menjelaskan bahwa ibadah dalam Islam bukanlah sekedar bentuk kegiatan fisik. Lebih dari itu, ibadah mempunyai tujuan yang mulia. Shalat misalnya, tidak akan berguna jika orang yang melakukan shalat tidak meninggalkan perbuatan keji dan mungkar.

Puasa, tidak akan bermanfaat ketika orang yang melakukan puasa tidak meninggalkan perbuatan dusta. Haji atau zakat tidak akan diterima jika dilakukan hanya karena ingin dipuji orang lain.

Meskipun demikian, bukan berarti ketika tujuan dan buah tersebut belum tercapai, ibadah boleh ditinggalkan. Dalam kondisi seperti ini seseorang tetap berkewajiban untuk menunaikannya seikhlas mungkin dan senantiasa berusaha mewujudkan tujuan dari setiap ibadah yang dilakukan. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Annisa Nurul Hasanah
Annisa Nurul Hasanah
Penulis adalah peneliti el-Bukhari Institute

Artikel Terkait

spot_img

Artikel Terbaru