Dalil Hadis Bolehnya Niat Puasa Sunah di Siang Hari

Hadispedia.id – Pada pembahasan sebelumnya, dijelaskan tentang keharusan niat puasa wajib di malam hari sebelum terbitnya fajar. Sementara niat puasa sunah, menurut sebagian ulama diperbolehkan dilakukan di siang hari, tidak harus di malam hari. Berikut adalah dalil hadis yang menjadi dasar pendapat mereka.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: “دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ: هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟ قُلْنَا: لَا. قَالَ: فَإِنِّي إِذًا صَائِمٌ، ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ، فَقُلْنَا: أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ، فَقَالَ: أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا، فَأَكَلَ”. رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Aisyah r.a., beliau berkata, “Pada suatu hari Nabi saw. masuk ke dalam rumah kami, lalu beliau bertanya, “Apakah kamu memiliki sesuatu?” Kami menjawab, “Tidak.” Nabi saw. bersabda, “Kalau demikian, aku berpuasa.” Kemudian beliau mendatangi kami lagi padah hari yang lain, lalu kami berkata, “Ada yang mengirim kami hais.” Nabi saw. bersabda, “Hidangkanlah kepadaku, karena sejak pagi aku puasa”. Lalu beliau memakannya. (HR. Muslim)

Makna Hadis

Hadis ini merupakan dalil bagi ulama yang membedakan antara puasa fardlu dan sunah dalam hal wajib niat puasa sejak waktu malam hari. Sementara itu, ulama yang tidak membedakan antara puasa fardlu dan sunah menafsirkan hadis ini bahwa apa yang dimaksud oleh Nabi saw. فَإِنِّي إِذًا صَائِمٌ (kalau demikian aku berpuasa) adalah berita yang menceritakan keadaan Rasulullah saw. sedang berpuasa, dan bukan bermaksud mengucapkan niat puasa pada saat itu. Hal ini dikuatkan oleh riwayat yang menyebutkan فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا (karena sejak pagi aku puasa). Mereka mengatakan bahwa pada dasarnya memang tidak ada perbedaan antara puasa sunah dengan puasa wajib.

Baca juga : Dalil Hadis Pentingnya Pemimpin Mengumumkan Penetapan Awal Ramadhan

Analisis Lafadz

قَالَ: فَإِنِّي إِذًا صَائِمٌ kalimat ini mengindikasikan bahwa boleh niat puasa pada waktu siang hari.

أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ, hais adalah makanan yang dibuat dari buah kurma dicampur menjadi satu dengan samin (mentega/minyak samin) dan aqith (air susu yang telah diambil sarinya). Terkadang tepung terigu digunakan sebagai pengganti aqith.

فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا Rasulullah saw. memakan sebagian hais tersebut dan berbuka, padahal sebelumnya beliau berpuasa.

Fiqhul Hadis

  1. Boleh niat puasa sunah pada waktu siang hari menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. Namun, dengan syarat niat tersebut dilakukan sebelum matahari tergelincir (sebelum waktu dhuhur) dan seseorang itu belum makan dan minum sesuatu apapun.

Imam Ahmad berkata, “Boleh puasa sunah dengan berniat pada waktu siang hari baik sebelum matahari tergelincir atau sesudahnya, karena dia telah melakukan niat pada salah satu waktu di siang hari, sehingga keadannya disamakan dengan apa yang telah diniatkan pada permulaan siang hari. Oleh karena keseluruhan malam hari merupakan waktu untuk berniat puasa fardlu, demikian pula dengan waktu siang hari, keseluruhannya merupakan waktu niat puasa sunah.”

Imam Malik berkata, “Dalam puasa sunah, seseorang harus niat di malam hari. Jika dia meneruskan puasanya (di hari berikutnya), maka dia tidak perlu lagi niat berpuasa pada waktu malam harinya.”

  1. Boleh berbuka (membatalkan puasa) dari puasa sunah.

Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berkata, “Boleh berbuka/membatalkan puasanya bagi orang yang berpuasa sunah dan tidak ada kewajiban qadha’ baginya.” Beliau berdua mengambil dalil berdasarkan hadis ini dan hadis-hadis lain yang lafaz –lafadz riwayatnya mempunyai makna yang hampir sama dan sanadnya jayyid.

Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berkata, “Maksud zahir riwayat tersebut bahwa seseorang diwajibkan menyempurnakan amal (puasa sunah) yang telah disyariatkan dan tidak boleh berbuka dengan tanpa adanya alasan. Hal ini berlandaskan kepada firman Allah swt. “….. Dan janganlah kamu membatalkan amal-amal kamu.” (Q.S. Muhammad: 33)

Jika seseorang itu berbuka tanpa adanya alasan/uzur, maka dia tetap diperbolehkan berbuka, tetapi harus mengqadha’nya. Jika berbukanya karena uzur, misalnya salah seorang dari kedua orang tuanya atau gurunya menyuruhnya berbuka karena kasihan kepadanya atau karena wanita yang tidak haid tiba-tiba datang haid lalu dia berbuka, maka dia tidak berdosa dan tidak wajib mengqadha’nya menurut Malikiyyah.

Sedangkan menurut Hanafiyyah wajib mengqadha’nya. Hal ini berdasarkan hadis Sayyidah Aisyah r.a. yang pernah bercerita, “Ketika aku dan Hafsah sedang berpuasa (sunah), tiba-tiba ada yang mengirim makanan kepada kami, lalu kami makan sebagiannya. Kemudian Nabi saw. masuk dan Hafsah bertanya, “Wahai Rasulullah saw., sesungguhnya kami sedang berpuasa sunah, lalu ada yang menghadiahkan makanan kepada kami, lalu kami berbuka dengan makanan itu.” Beliau menjawab, “Kamu berdua harus mengqadha’nya pada hari yang lain sebagai gantinya.” (H.R. Imam At-Tirmidzi dan Imam Ahmad)

Berbeda halnya dengan ulama dari kalangan Hanafiyyah yang bernama Al-Kamal bin Al-Hammam justru dia mengatakan bahwa berbuka/membatalakan puasa sunah itu boleh meskipun tanpa adanya uzur. Inilah pendapat yang tepat, karena dalil-dalilnya cukup banyak, sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid. “Sesungguhnya berbuka dari puasa sunah sama kedudukannya dengan seorang lelaki yang hendak mengeluarkan sedekah dari hartanya. Dia boleh meneruskan untuk mensedekahkan hartanya atau jusru sebaliknya.” (HR. Malik, Imam Ahmad, dan Imam Al-Sittah, kecuali Imam Al-Bukhari)

NB: Disarikan dari kitab Ibanatul Ahkam; Syarah Kitab Bulughul Maram karya Hasan Sulaiman An-Nuri dan Alawi Abbas Al-Maliki juz 2 halaman 291-292.

 

Annisa Nurul Hasanah
Annisa Nurul Hasanah
Penulis adalah peneliti el-Bukhari Institute

Artikel Terkait

spot_img

Artikel Terbaru