Hadispedia.id – Hadis keempat belas dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah membahas tentang terjaganya jiwa seorang Muslim.
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « لَا يَحِلٌّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنِّيْ رَسُوْلُ اللهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِيْ، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ» رواه البخاري ومسلم.
Dari Ibnu Mas’ud r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan sungguh aku adalah utusan Allah kecuali karena salah satu dari tiga hal berikut: Orang yang sudah menikah/janda/duda yang berzina, membunuh orang, dan meninggalkan agamanya, yakni yang memisahkan diri dari jamaah.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
Selain terdapat di dalam kitan Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, hadis tersebut juga terdapat di dalam kitab-kitab Sunan. Seperti di dalam kitab Sunan Abi Daud, Sunan At-Tirmidzi, dan Sunan An-Nasa’i.
Hadis tersebut menjelaskan bahwa seorang yang telah membaca dua kalimat syahadat, maka ia tidak boleh dibunuh. Tidak hanya jiwanya yang terjaga, melainkan juga harta bendanya. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada hadis ke delapan.
Darah seorang muslim halal alias boleh dibunuh menurut syariat Islam jika ia melakukan di antara tiga hal.
Pertama, zina bagi orang yang sudah menikah. Mereka akan dirajam dengan cara dilempari batu atau sejenisnya sampai meninggal dunia. Hukum rajam tidak serta merta dijatuhkan sebelum adanya empat orang saksi yang benar-benar menyaksikan praktek zina tersebut. Hukum rajam juga baru dapat dijatuhkan setelah adanya pengakuan dari diri si pelaku.
Pada zaman Nabi saw. sebagaimana dikisahkan dalam hadis-hadis shahih, ditemukan hanya ada empat kasus praktek rajam yang melibatkan enam orang. Mereka adalah dua orang Yahudi, Maiz bin Malik, wanita dari suku Ghamidiyah, dan wanita majikan buruh.
Baca juga: Hadis Cinta dalam Persaudaraan
Menariknya, semua kasus tersebut atas inisiatif mereka sendiri. Bahkan pada kasus Maiz bin Malik, Abu Bakar dan Umar bin Khattab tidak mau menjatuhkan hukum rajam padanya. Mereka justru menyuruh Maiz agar menutupi aibnya dan segera bertaubat.
Tidak puas dengan anjuran tersebut, Maiz pun meminta hukuman kepada Nabi saw. Ternyata hal yang sama dilakukan oleh Nabi saw. Beliau sampai memalingkan wajahnya tiga kali dan menyuruh Maiz pulang dan bertaubat. Maiz tetap ngotot ingin dijatuhi hukuman rajam. Bahkan ia mendatangkan empat orang saksi kepada beliau. Setelah itu, baru Nabi saw. mengutus sahabat lainnya untuk merajam Maiz.
Nabi saw. tidak pernah mencari-cari kesalahan para sahabat. Ketika mereka melakukan kesalahan, beliau memilih agar mereka menutupi aib tersebut dan segera bertaubat. Begitulah akhlak Nabi saw. yang selalu bijak dalam mengambil keputusan.
Kedua, pembunuhan yang disengaja tanpa adanya alasan yang dibenarkan syara’. Istilah hukuman bagi orang yang membunuh orang lain, baik sesama muslim atau kafir ghairu harbi (non muslim yang tidak memerangi umat muslim) adalah qishash. Pelaksanaan hukuman qishash tidak boleh ditawar kecuali para wali dari orang yang terbunuh memaafkan pembunuhnya.
Adapun pihak yang berhak memberikan hukuman qishash ini adalah pihak yang memiliki wewenang untuk melakukannya. Seperti imam atau wakilnya, bukan orang sembarangan yang bisa mengeksekusinya. Jika tidak demikian, maka pastilah hukum rimba yang terjadi. Sehingga tidak terkontrol sama sekali, saling bunuh tidak henti.
Hanya saja, karena kita berada di dalam negara yang memiliki hukum pidana sendiri, maka hukuman si pembunuh kita serahkan kepada aturan pemerintah yang ada. Tentunya dalam hal ini adalah pihak berwajib atau kepolisian. Hal ini merupakan bagian dari menaati ulil amri sebagaimana yang diperintahkan dalam Al-Qur’an.
Baca juga: Hadis tentang Terjaganya Darah dan Harta Umat Muslim
Ketiga, orang yang keluar dari agama Islam (murtad) dan memerangi orang muslim. Dr. Ahmad Ubaydi Hasbillah di dalam kitab al-Fawaid al-Musthafawiyah mengatakan bahwa tidak semua orang murtad itu boleh dibunuh. Hanya orang murtad yang memerangi orang Islamlah yang boleh dibunuh. Artinya murtad al-mufariq lil jamaah yang dimaksud dalam hadis tersebut menurutnya sama dengan kafir harbi. Maka, orang murtad yang tidak memerangi umat Muslim tidak boleh dibunuh.
Adapun argumen yang dibangun oleh Dr. Ahmad Ubaydi Hasbillah adalah pada zaman Nabi saw. terdapat sahabat yang murtad tetapi tidak dibunuh. Di antaranya adalah sebagai berikut.
Abdullah bin Abi as-Sarh. Ibnu Abbas r.a. berkata, “Abdullah bin Sa’ad bin Abi as-Sarh pernah menulis surat perjanjian dengan Rasulullah saw., namun setan menggelincirkannya hingga ia bergabung dengan orang-orang kafir. Rasulullah saw. pun memerintahkan untuk membunuhnya saat pembukaan (penaklukan) kota Makkah. Namun, Utsman bin Affan memberikan jaminan perlindungan kepadanya, dan Rasulullah saw. menjamin keamanannya.” (H.R. Abu Dawud dan al-Hakim)
A’rabi (Seorang Arab Badui/nomaden). Jabir r.a. berkata, “Seorang Arab Badui mendatangi Nabi saw. dan berujar, “Baiatlah aku untuk Islam”, maka Nabi saw. membaiatnya untuk Islam. Keesokan harinya, si Arab Badui tadi datang dalam keadaan demam, dan berkata, “Batalkanlah baiatku”. Namun, Nabi enggan. Ketika si Arab Badui sudah berpaling, Nabi saw. bersabda, “Madinah ini bagaikan tungku api yang menghilangkan karat-karatnya dan menyaring yang baik saja.” (H.R. Al-Bukhari) Nabi saw. tidak membunuh orang Badui tersebut, meskipun ia telah murtad dan memisahkan diri dari kaum Muslimin dengan keluar dari kota Madinah serta bertemu kembali dengan orang kafir Badui.
Ubaidillah bin Jahsy. Ia memeluk Islam di hadapan Nabi saw. dan Ia termasuk penulis wahyu atas perintah beliau. Namun, saat ia hijrah bersama istrinya; Ummu Habibah binti Abu Sufyan ke Negeri Habasyah, ia memutuskan menjadi seorang Nasrani. Nabi saw. mengetahui kabar tersebut dan beliau tidak memerintahkan untuk membunuhnya hingga ia meninggal tetap memeluk agama Nasrani. Setelah itu, Ummu Habibah r.a. dinikahi Nabi saw. beliau juga tidak membunuh mertuanya; Abu Sufyan yang belum memeluk agama Islam.
Hadis tersebut juga memberikan pelajaran bahwa zina, membunuh, dan kufur merupakan bagian dari dosa besar. Sehingga, bagi orang Muslim jangan sekali-kali terperosok ke dalamnya. Wa Allahu a’lam bis shawab.