Hadispedia.id – Iri merupakan salah satu sifat tercela yang dilarang dalam Islam. Seseorang yang memiliki penyakit hati ini memiliki kecemburuan dan kurang senang hati melihat kelebihan atau keberuntungan orang lain. Bahkan ia menginginkan nikmat kebaikan tersebut hilang dari pemiliknya.
Dalam Al-Qur’an dan hadis, Allah swt. dan Rasulullah saw. secara tegas memerintahkan umat manusia untuk menghilangkan sifat tercela yang bahayanya dapat menghilangkan seluruh amal kebaikan yang telah dilakukan;
وَلَا تَتَمَنَّوۡاْ مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعۡضَكُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبُواْۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبۡنَۚ
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. (Qs. al-Nisa: 34)
Namun dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. juga menyebutkan diperbolehkannya seorang mukmin memiliki sifat iri dalam hatinya atas dua hal, salah satunya iri terhadap ahlul qur’an. Disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سُلَيْمَانَ سَمِعْتُ ذَكْوَانَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ فَقَالَ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِي الْحَقِّ فَقَالَ رَجُلٌ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Sulaiman, aku mendengar Dzakwan dari Abu Hurairah r.a. bahwasannya Rasulullah saw. bersabda,
“Tidak diperbolehkan hasad (iri) kecuali pada dua perkara, yaitu; seseorang yang telah diajari Al-Qur’an oleh Allah, sehingga ia membacanya di pertengahan malam dan siang, sampai tetangga yang mendengarnya berkata, ‘Duh, sekiranya aku diberikan sebagaimana apa yang diberikan kepada si Fulan, niscaya aku akan melakukan apa yang dilakukannya.’ Kemudian seseorang diberi karunia harta oleh Allah, sehingga ia dapat membelanjakannya pada kebenaran. Lalu orang pun berkata, ‘Seandainya aku diberi karunia sebagaimana si Fulan, maka niscaya aku akan melakukan sebagaimana yang dilakukannya.”
Dari segi sanad, hadis ini mempunyai sanad yang shahih karena diriwayatkan oleh Syaikhani. Imam Al-Bukhari (w. 256 H) meriwayatkan dalam Shahih-nya, pada pembahasan ‘Keutamaan Al-Qur’an (كتاب فضل القرآن)’, bab ‘Iri dengan Ahlu ِِAl-Qur’an (باب اغتباط أهل القرآن)’, nomor hadis 5026, jilid 3, halaman 346.
Adapun Imam Muslim (w. 261 H) meriwayatkan dalam Shahih Muslim, pada pembahasan ‘Shalatnya musafir dan penjelasan tentang qashar (كتاب صلاة المسافرين وقصرها)’, bab ‘Keutamaan orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya serta keutamaan orang yang mempelajari hikmah dari ahli ilmu lalu mengamalkan dan mengajarkannya (باب فَضْلِ مَنْ يَقُومُ بِالْقُرْآنِ وَيُعَلِّمُهُ وَفَضْلِ مَنْ تَعَلَّمَ حِكْمَةً مِنْ فِقْهٍ أَوْ غَيْرِهِ فَعَمِلَ بِهَا وَعَلَّمَهَا)’, nomor hadis 815, jilid 1, halaman 365, dengan jalur sanad dan matan hadis:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ كُلُّهُمْ عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ – قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ – حَدَّثَنَا الزُّهْرِىُّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَقُومُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ
Hadis yang sama dengan jalur sanad periwayatan yang berbeda juga disebutkan dalam kitab hadis lainnya seperti Sunan Ibnu Majah pada bab ‘Hasad (باب الحسد)’, Sunan An-Nasa’i pada bab ‘(باب اغتباط صاحب القرآن), dan Shahih Ibnu Hibban.
Dalam kitab ‘Umdat Al-Qari Syarh Shahih Al-Bukhari karya Badr Al-Din Al-‘Aini, makna hasad pada hadis ini adalah ghibtah. Ghibtah adalah keinginan kuat dan menggebu agar dirinya menjadi seperti orang lain. Adapun membaca Al-Qur’an selain menggunakan lafadz ‘yatlu hu’ juga dijelaskan dalam redaksi lain dengan lafadz ‘qoma bihi’, yang berarti mengamalkannya.
Hal ini sejalan dengan penjelasan Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya Al-Anshari dalam Minhat Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari atau yang dikenal dengan Tuhfat Al-Bari. Ia menyebutkan bahwa maknanya tidak hanya membaca Al-Qur’an sepanjang siang dan malam, namun juga mengamalkan kandungan-kandungan di dalamnya.
Dari segi matan hadis, hadis ini tidak bertentangan dengan akal karena perbuatan iri maupun dengki yang dimaksud pada hadis adalah iri dalam rangka berlomba-lomba melakukan kebaikan seperti kebaikan yang dilakukan oleh orang lain. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam Q.S Al-Maidah ayat 2:
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Baca juga: Inilah Postur Tubuh Rasulullah
Maka dalam hal ini, iri yang diperbolehkan adalah rasa iri atau ghibtah terhadap ahlul qur’an yang senantiasa membaca Al-Qur’an di waktu pagi dan petang sembari mengamalkan kandungannya dalam kehidupan sehari-hari. Iri juga diperbolehkan terhadap mereka yang mempunyai banyak kelebihan harta namun tidak gelap mata untuk selalu berbagi dan menginfakkannya kepada yang membutuhkan.
Dengan demikian, hadis ini merupakan pengingat bagi kita untuk senantiasa bersemangat membaca dan tadarrus Al-Qur’an setiap harinya serta tidak pelit dalam menginfakkan harta benda kepada sesama yang membutuhkan. Lebih jauh, hadis ini juga sebagai alarm bagi umat muslim untuk terus mengamalkan nilai dan kandungan-kandungan Al-Qur’an dalam kehidupannya sehari-hari, di samping hanya sekedar membaca maupun menghafalkan kalam-kalam-Nya. Ahlul qur’an seperti inilah yang kita diperbolehkan iri kepada mereka agar kita juga dapat meniru dan melakukan hal serupa dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu a’lam.