Beranda blog Halaman 59

Hadis No. 35 Sunan Abi Daud

0
Sunan Abi Daud
Sunan Abi Daud

Hadispedia.id – ِAl-Imam Abu Daud; Sulaiman bin Al-Asy’ats berkata di dalam Sunan-nya pada kitab bersuci bab benda yang dilarang digunakan untuk beristinja’,

حَدَّثَنَا حَيْوَةُ بْنُ شُرَيْحٍ الْحِمْصِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ عَيَّاشٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي عَمْرٍو السَّيْبَانِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الدَّيْلَمِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: قَدِمَ وَفْدُ الْجِنِّ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالُوا: يَا مُحَمَّدُ: انْهَ أُمَّتَكَ أَنْ يَسْتَنْجُوا بِعَظْمٍ أَوْ رَوْثَةٍ أَوْ حُمَمَةٍ، فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ لَنَا فِيهَا رِزْقًا، قَالَ: فَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ

Haiwah bin Syuraih Al-Himshi telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Ibnu ‘Ayyash telah menceritakan kepada kami, dari Yahya bin Abi Amr As-Saibani, dari Abdullah bin Ad-Dailami, dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Utusan dari bangsa jin datang kepada Rasulullah saw., mereka berkata, ‘Wahai Muhammad, laranglah umatmu beristinja’ dengan tulang, kotoran, atau arang, karena sesungguhnya Allah swt. telah menjadikan rezeki kami pada hal-hal itu.” Ibnu Mas’ud berkata, “Maka Rasulullah saw. melarang (umatnya) melakukan hal itu.”

Hadis No. 34 Sunan Abi Daud

0
Sunan Abi Daud
Sunan Abi Daud

Hadispedia.id – ِAl-Imam Abu Daud; Sulaiman bin Al-Asy’ats berkata di dalam Sunan-nya pada kitab bersuci bab benda yang dilarang digunakan untuk beristinja’,

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَنْبَلٍ، حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ، حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ إِسْحَاقَ، حَدَّثَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ، أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ، يَقُولُ: نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَتَمَسَّحَ بِعَظْمٍ أَوْ بَعْرٍ

Ahmad bin Muhammad bin Hanbal telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Rauh bin Ubadah telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Zakariya bin Ishaq telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Abu Az-Zubair telah menceritakan kepada kami, bahwa ia telah mendengar Jabir bin Abdillah berkata, “Rasulullah saw. melarang kami beristinja’ dengan tulang atau kotoran binatang.”

Hadis No. 33 Sunan Abi Daud

0
Sunan Abi Daud
Sunan Abi Daud

Hadispedia.id – ِAl-Imam Abu Daud; Sulaiman bin Al-Asy’ats berkata di dalam Sunan-nya pada kitab bersuci bab benda yang dilarang digunakan untuk beristinja’,

حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ خَالِدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَوْهَبٍ الْهَمْدَانِيُّ، حَدَّثَنَا الْمُفَضَّلُ يَعْنِي ابْنَ فَضَالَةَ الْمِصْرِيَّ، عَنْ عَيَّاشِ بْنِ عَبَّاسٍ الْقِتْبَانِيِّ، أَنَّ شِيَيْمَ بْنَ بَيْتَانَ، أَخْبَرَهُ عَنْ شَيْبَانَ الْقِتْبَانِيِّ، قَالَ: إِنَّ مَسْلَمَةَ بْنَ مُخَلَّدٍ اسْتَعْمَلَ رُوَيْفِعَ بْنَ ثَابِتٍ عَلَى أَسْفَلِ الْأَرْضِ، قَالَ شَيْبَانُ: فَسِرْنَا مَعَهُ مِنْ كَوْمِ شَرِيكٍ، إِلَى عَلْقَمَاءَ أَوْ مِنْ عَلْقَمَاءَ إِلَى كَوْمِ شَرِيكٍ يُرِيدُ عَلْقَامَ فَقَالَ رُوَيْفِعٌ: «إِنْ كَانَ أَحَدُنَا فِي زَمَنِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَأْخُذُ نِضْوَ أَخِيهِ عَلَى أَنَّ لَهُ النِّصْفَ مِمَّا يَغْنَمُ، وَلَنَا النِّصْفُ، وَإِنْ كَانَ أَحَدُنَا لَيَطِيرُ لَهُ النَّصْلُ وَالرِّيشُ، وَلِلْآخَرِ الْقِدْحُ» ثُمَّ قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَا رُوَيْفِعُ لَعَلَّ الْحَيَاةَ سَتَطُولُ بِكَ بَعْدِي، فَأَخْبِرِ النَّاسَ أَنَّهُ مَنْ عَقَدَ لِحْيَتَهُ، أَوْ تَقَلَّدَ وَتَرًا، أَوْ اسْتَنْجَى بِرَجِيعِ دَابَّةٍ، أَوْ عَظْمٍ فَإِنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُ بَرِيءٌ

حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا مُفَضَّلٌ، عَنْ عَيَّاشٍ، أَنَّ شِيَيْمَ بْنَ بَيْتَانَ، أَخْبَرَهُ بِهَذَا الْحَدِيثِ أَيْضًا، عَنْ أَبِي سَالِمٍ الْجَيْشَانِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، يَذْكُرُ ذَلِكَ وَهُوَ مَعَهُ مُرَابِطٌ بِحِصْنِ بَابِ أَلْيُونَ، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: «حِصْنُ أَلْيُونَ بِالْفِسْطَاطِ عَلَى جَبَلٍ»، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: «وَهُوَ شَيْبَانُ بْنُ أُمَيَّةَ يُكْنَى أَبَا حُذَيْفَةَ»

Yazid bin Khalid bin Abdullah bin Mauhab Al-Hamdani telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Al-Mufadhal yakni Ibnu Fadhalah Al-Misri telah menceritakan kepada kami, dari ‘Ayyash bin Abbas Al-Qitbani, bahwa Syiyaim bin Baintan telah mengabarkannya dari Syaiban Al-Qitbani, ia berkata, Sesungguhnya Maslamah bin Mukhallad pernah menugaskan Rufai’ bin Tsabit sebagai wali kota di Asfal Al-Ardh (daerah dataran rendah di Mesir). Syaiban berkata, “Kami berjalan bersamanya dari Kum Syarik dengan tujuan ke ‘Alqama’ atau dari ‘Alqama’ ke Kum Syarik yang dikehendaki tujuannya adalah Alqam. Rufai’ berkata, “Pada zaman Rasulullah saw., salah satu dari kami ada yang mempergunakan unta milik temannya sampai kurus dengan syarat separuh hasil perolehan ghanimah untuk pemilik unta dan separuhnya untuk kami. Dan salah seorang di antara kami mendapatkan mata panah dan bulunya, sedang yang lainnya mendapatkan wadah.” Rufai’ melanjutkan perkataannya, Rasulullah saw. berkata kepadaku, “Wahai Rufai’, bisa jadi kamu akan memiliki umur yang panjang sepeninggalku, maka kabarkanlah kepada orang banyak, bahwa siapa yang mengikat jenggotnya atau mengikat kalung pada kudanya, atau beristinja’ dengan kotoran binatang atau tulang, maka sesungguhnya Muhammad berlepas diri dari orang tersebut”

Yazid bin Khalid telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Mufadhal telah menceritakan kepada kami, dari ‘Ayyash bahwa Syiyaim bin Baintan telah mengabarkan kepadanya, dengan hadis ini juga, dari Abu Salim Al-Jaisyani, dari Abdullah bin Amr dan menyebutkan hal itu, dan dia saat itu terikat di benteng pintu Alyun.

Abu Daud berkata, “Benteng Alyun itu berada di Fisthath (kota) di atas gunung.

Abu Daud berkata, “Syaiban Al-Qitbani adalah Syaiban bin Umayyah yang diberi nama kunyah Abu Hudzaifah.

Hadis No. 32 Sunan Abi Daud

0
Sunan Abu Daud
Sunan Abu Daud

Hadispedia.id – ِAl-Imam Abu Daud; Sulaiman bin Al-Asy’ats berkata di dalam Sunan-nya pada kitab bersuci bab memasang satir saat berada di WC,

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى الرَّازِيُّ، أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، عَنْ ثَوْرٍ، عَنِ الْحُصَيْنِ الْحُبْرَانِيِّ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنِ اكْتَحَلَ فَلْيُوتِرْ، مَنْ فَعَلَ فَقْدَ أَحْسَنَ، وَمَنْ لَا فَلَا حَرَجَ، وَمَنْ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ، مَنْ فَعَلَ فَقَدْ أَحْسَنَ، وَمَنْ لَا فَلَا حَرَجَ، وَمَنْ أَكَلَ فَمَا تَخَلَّلَ فَلْيَلْفِظْ، وَمَا لَاكَ بِلِسَانِهِ فَلْيَبْتَلِعْ، مَنْ فَعَلَ فَقَدْ أَحْسَنَ وَمَنْ لَا فَلَا حَرَجَ، وَمَنْ أَتَى الْغَائِطَ فَلْيَسْتَتِرْ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ إِلَّا أَنْ يَجْمَعَ كَثِيبًا مِنْ رَمْلٍ فَلْيَسْتَدْبِرْهُ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَلْعَبُ بِمَقَاعِدِ بَنِي آدَمَ، مَنْ فَعَلَ فَقَدْ أَحْسَنَ وَمَنْ لَا فَلَا حَرَجَ

قَالَ أَبُو دَاوُدَ: رَوَاهُ أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ ثَوْرٍ، قَالَ حُصَيْنٌ الْحِمْيَرِيُّ، وَرَوَاهُ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ الصَّبَّاحِ، عَنْ ثَوْرٍ، فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْخَيْرُ، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: أَبُو سَعِيدٍ الْخَيْرُ هُوَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Ibrahim bin Musa Ar-Razi telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Isa bin Yunus telah mengabarkan kepada kami, dari Tsaur, dari Al-Hushain Al-Hubrani, dari Abu Sa’id, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., beliau bersabda,

“Siapa yang bercelak, hendaklah ia melakukannya dengan ganjil. Siapa yang melakukannya, maka sungguh ia telah berbuat baik. Siapa yang tidak melakukannya, maka tidak ada dosa bagianya. Siapa yang beristinja’ dengan batu, hendaklah ia melakukannya dengan (batu) ganjil. Siapa yang melakukannya, maka sunggu ia telah berbuat baik. Siapa yang tidak melakukannya, maka tidak ada dosa baginya. Siapa yang makan, maka apa yang menyangkut (di gigi) hendaklah ia buang, dan apa yang dapat dilepas dengan lidah, hendaknya ia menelannya. Siapa yang melakukannya, maka sungguh ia telah melakukan kebaikan. Siapa yang tidak melakukannya, maka tidak ada dosa baginya. Siapa yang mendatangi tempat buang air, maka hendaklah ia mengambil satir (penutup), dan jika ia tidak menemukan kecuali dengan mengumpulkan setumpuk pasir, maka hendaklah ia membelakanginya, karena sesungguhnya setan bermain-main dengan tempat duduk manusia. Siapa yang melakukannya, maka sungguh ia telah berbuat baik. Siapa yang tidak melakukannya, maka tidak ada dosa bagianya.”

Abu Daud berkata, “Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Ashim dari Tsaur.” Hushain Al-Himyari berkata, “Abdul Malik bin As-Shabbah juga meriwayatkan dari Tsaur.” Abdul Malik berkata, “Abu Sa’id Al-Khair.” Abu Daud berkata, “Abu Sa’id Al-Khair adalah salah satu dari Sahabat Nabi saw.”

Hadis No. 31 Sunan Abi Daud

0
Sunan Abu Daud
Sunan Abu Daud

Hadispedia.id – ِAl-Imam Abu Daud; Sulaiman bin Al-Asy’ats berkata di dalam Sunan-nya pada kitab bersuci bab makruh menyentuh kemaluan dengan tangan kanan saat istinja’,

حَدَّثَنَا أَبُو تَوْبَةَ الرَّبِيعُ بْنُ نَافِعٍ، حَدَّثَنِي عِيسَى بْنُ يُونُسَ، عَنِ ابْنِ أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ أَبِي مَعْشَرٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: كَانَتْ يَدُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْيُمْنَى لِطُهُورِهِ وَطَعَامِهِ، وَكَانَتْ يَدُهُ الْيُسْرَى لِخَلَائِهِ، وَمَا كَانَ مِنْ أَذًى

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمِ بْنِ بُزَيْعٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنِ عَطَاءٍ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي مَعْشَرٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ الْأَسْوَدِ، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَعْنَاهُ

Abu Taubah Ar-Rabi’ bin Nafi’ telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Isa bin Yunus telah menceritakan kepadaku, dari Ibnu Abi ‘Arubah, dari Abu Ma’syar, dari Ibrahim dari Aisyah, ia berkata, “Tangan kanan Rasulullah saw. digunakan untuk bersuci dan makannya, sedangkan tangan kirinya digunakan untuk beristinja’ dan membersihkan kotoran.”

Muhammad bin Hatim bin Buzai’ telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Abdul Wahhab bin ‘Atha’ telah menceritakan kepada kami, dari Sa’id, dari Abu Ma’syar, dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Aisyah dari Nabi saw. dengan lafadz yang semakna (dengan hadis di atas).

Hadis No. 30 Sunan Abi Daud

0
Sunan Abu Daud
Sunan Abu Daud

Hadispedia.id – ِAl-Imam Abu Daud; Sulaiman bin Al-Asy’ats berkata di dalam Sunan-nya pada kitab bersuci bab makruh menyentuh kemaluan dengan tangan kanan saat istinja’,

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ آدَمَ بْنِ سُلَيْمَانَ الْمِصِّيصِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو أَيُّوبَ يَعْنِي الْإِفْرِيقِيَّ، عَنْ عَاصِمٍ، عَنِ الْمُسَيَّبِ بْنِ رَافِعٍ، وَمَعْبَدٍ، عَنْ حَارِثَةَ بْنِ وَهْبٍ الْخُزَاعِيِّ، قَالَ: حَدَّثَتْنِي حَفْصَةُ زَوْجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَجْعَلُ يَمِينَهُ لِطَعَامِهِ وَشَرَابِهِ وَثِيَابِهِ، وَيَجْعَلُ شِمَالَهُ لِمَا سِوَى ذَلِكَ

Muhammad bin Adam bin Sulaiman Al-Mishishi telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Ibnu Abi Zaidah telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Abu Ayyub yakni Al-Ifriqi telah menceritakan kepadaku, dari Ashim dari Al-Musayyab bin Rafi’ dan Ma’bad, dari Haritsah bin Wahb Al-Khuza’i, ia berkata Hafshah; istri Nabi saw. telah menceritakan kepadaku, bahwa Nabi saw. menjadikan tangan kanannya untuk makan, minum, dan (memakai) pakaiannya, dan beliau menjadikan tangan kirinya untuk selain hal tersebut.

Penjelasan:

Imam Nawawi berkata (sebagaimana dikutip oleh Imam Abu Thayyib Abadi dalam kitab Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Daud), “Ini menjadi kaidah yang berlanjut di dalam agama. Yakni masuk dalam bab memuliakan, seperti memakai pakaian, celana, dan sepatu, masuk masjid, bersiwak, menggunakan celak mata, memotong kuku, memotong kumis, menyisir rambut, mencabut bulu ketiak, memangkas rambut kepala, salam ketika shalat, membasuh anggota saat bersuci, keluar dari WC, makan, minum, berjabat tangan, isyarat salam kepada hajar aswad, dan lain sebagainya. Artinya semuanya itu disunnahkan mendahulukan anggota bagian kanan.

Sementara (aktifitas) kebalikannya, maka disunnahkan mendahulukan anggota kiri (atau menggunakan anggota kiri), seperti masuk WC, keluar dari masjid, membuang ingus, istinja’, istinja’, melepas baju, celana, dan sepatu, dan lain sebagainya. Hal ini adalah sebagai bentuk kemuliaan anggota kanan dan memuliakannya.”

Hadis No. 29 Sunan Abi Daud

0
Sunan Abu Daud
Sunan Abu Daud

Hadispedia.id – ِAl-Imam Abu Daud; Sulaiman bin Al-Asy’ats berkata di dalam Sunan-nya pada kitab bersuci bab makruh menyentuh kemaluan dengan tangan kanan saat istinja’,

حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، قَالَا: حَدَّثَنَا أَبَانُ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا بَالَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَمَسَّ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ، وَإِذَا أَتَى الْخَلَاءَ فَلَا يَتَمَسَّحْ بِيَمِينِهِ، وَإِذَا شَرِبَ فَلَا يَشْرَبْ نَفَسًا وَاحِدًا

Muslim bin Ibrahim dan Musa bin Ismail telah menceritakan kepada kami, mereka berkata, Aban telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Yahya telah menceritakan kepada kami, dari Abdullah bin Abi Qatadah, dari ayahnya, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda,

Jika salah seorang dari kalian buang air kecil, maka janganlah ia menyentuh kemaluannya dengan tangan kanannya. Jika ia mendatangi WC (untuk buang air kecil atau besar) maka janganlah ia istinja’ dengan tangan kanannya. Dan jika ia minum, maka janganlah ia minum dengan satu kali nafas.

Penjelasan:

Imam Abu Thayyib Abadi dalam kitab Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Daud menjelaskan bahwa larangan menyentuh kemaluan saat buang air kecil adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap tangan kanan (yang biasa digunakan untuk hal-hal baik, makan, dan sebagainya).

Hukum makruh di sini menurut Madzhab Syafiiyyah adalah masih dalam taraf makruh tanzih (makruh yang mendekati boleh). Namun, menurut Madzhab Hanabilah dan Dzahiriyah hukum makruhnya sudah memasuki taraf makruh tahrim (makruh yang mendekati haram).

Sementara terkait dengan makruh minum dengan satu nafas adalah sebagai bentuk adab atau etika sekaligus agar tidak ada yang jatuh dari mulut dan hidung ke dalam minuman itu. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Hadis No. 28 Sunan Abi Daud

0
Sunan Abu Daud
Sunan Abu Daud

Hadispedia.id – ِAl-Imam Abu Daud; Sulaiman bin Al-Asy’ats berkata di dalam Sunan-nya pada kitab bersuci bab doa yang dibaca ketika keluar dari WC,

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مُحَمَّدٍ النَّاقِدُ، حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ، عَنْ يُوسُفَ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، حَدَّثَتْنِي عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الغَائِطِ قَالَ: غُفْرَانَكَ

Amr bin Muhammad An-Naqid telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Hasyim bin Al-Qasim telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Israil telah menceritakan kepada kami, dari Yusuf bin Abu Burdah, dari ayahnya, ia berkata, Aisyah r.a. telah menceritakan kepadaku, bahwa Nabi saw. ketika keluar dari WC, beliau berdoa, “Ghufranaka (Aku mohon ampunan-Mu)”.

Penjelasan:

Ketika membaca hadis tersebut, maka timbul pertanyaan “Mengapa Nabi saw. meminta ampunan saat keluar dari WC?” Bukankah seharusnya mengucapkan Alhamdulillah sebagai rasa syukur telah menunaikan hajat buang air besar atau kecil? Meskipun memang ada riwayat lain dari Sahabat Abu Dzar yang menyaksikan bahwa Nabi saw. ketika keluar WC berdoa “Alhamdulillahilladzi adzhaba annil adza wa ‘afani”?

Imam Abu Thayyib Abadi dalam kitab Aunul Ma’bud menjelaskan bahwa ada dua kemungkinan penyebab Nabi saw. memohon ampunan ketika keluar dari WC.

  1. Nabi saw. memohon ampunan karena beliau meninggalkan berdzikir atau mengingat Allah di waktu dan dalam keadaan tersebut.
  2. Nabi saw. memohon ampunan karena ketidak mampuan beliau untuk mensyukuri nikmat berupa kemudahan menikmati makanan, dapat memanfaatkannya (untuk beribadah dan beraktifitas), serta mudahnya mengeluarkan sisa-sisa makanan itu. Oleh sebab itu, maka beliau mengganti ketidak mampuan bersyukur itu dengan memohon ampunan.

Benarkah Setan Dibelenggu di Bulan Ramadhan?

0
Benarkah Setan Dibelenggu di Bulan Ramadhan?
Benarkah Setan Dibelenggu di Bulan Ramadhan?

Hadispedia.id – Setan dibelenggu saat Ramadhan. Informasi ini sering kita dengar ketika memasuki bulan Ramadhan. Namun, kenapa masih saja terdengar berita kejahatan di sana sini? Bukankah seharusnya kejahatan itu sudah tidak ada dengan dibelenggunya para setan? Sehingga, tidak ada lagi yang menggoda umat Islam?

Informasi tentang pembelengguan setan itu memang berdasarkan hadis riwayat Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda,

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ  وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ

Jika datang bulan Ramadhan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.”

Redaksi hadis tersebut merupakan riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahihnya dan Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnadnya. Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththa’nya serta Imam Ad-Darimi dan Imam An-Nasa’i dalam kitab Sunannya pun meriwayatkan hadis tersebut meskipun terdapat sedikit perbedaan redaksi. Begitu juga dengan Imam At-Tirmidzi dalam kitab Sunannya, namun redaksinya cukup banyak perbedaanya. Hanya saja semuanya menggunakan kata صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ (setan-setan dibelenggu).

Sedangkan Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya, riwayat lain dari Imam Muslim, dan satu riwayat dari Imam An-Nasa’i menggunakan kata سُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ setan-setan dirantai.

Imam An-Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim mengutip pendapat Al-Qadhi Iyadh yang mengatakan bahwa hadis ini dapat dipahami secara tekstual dan makna yang sebenarnya. Dibukanya pintu-pintu surga, ditututupnya pintu-pintu neraka, dan dibelenggunya setan-setan adalah tanda masuknya bulan Ramadhan dan bukti pengagungan terhadap kemuliaannya. Dibelenggunya setan-setan bertujuan untuk mencegah mereka dari upaya menyakiti dan menggoda orang-orang yang beriman.

Al-Qadhi Iyadh juga mengatakan bahwa hadis tersebut dapat dipahami secara majazi (makna kiasan atau konotatif), yakni ungkapan tersebut merupakan isyarat atas banyaknya pahala dan ampunan. Sedangkan upaya setan-setan untuk menggoda dan menyakiti terbatasi, sehingga mereka seperti terbelenggu.

Mereka terbelenggu untuk melakukan sesuatu, namun tidak terbelenggu untuk melakukan sesuatu yang lain. Mereka juga terbelenggu untuk menggoda manusia yang satu, namun mereka tidak terbelenggu bagi manusia yang lain. Pemahaman majazi ini dikuatkan oleh riwayat (Imam Muslim) yang kedua “Pintu-pintu rahmat dibuka” dan riwayat hadis lain “Setan-setan yang durhaka dibelenggu.”

Baca juga: Hadis Keutamaan Doa Sapu Jagat

Imam An-Nawawi masih mengutip pendapat Al-Qadhi Iyadh yang mengatakan, “Mungkin dibukanya pintu-pintu surga dipahami sebagai ungkapan tentang ibadah-ibadah yang dibukakan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya di bulan ini, namun tidak bulan lain, seperti puasa, qiyam lail (shalat tarawih), melakukan kebaikan-kebaikan, dan banyak menahan diri dari hal-hal yang menyalahi aturan-Nya. Semua ini dapat menyebabkan seseorang masuk surga sekaligus menuju pintu-pintunya. Begitu pula ditutupnya pintu-pintu neraka dan dibelenggunya setan-setan merupakan ungkapan tentang upaya mereka (hamba-hamba Allah) dalam menahan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan agama.

Pendapat Al-Qadhi Iyadh tersebut juga dikutip oleh Imam Al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi (Syarah Sunan At-Tirmidzi) dan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari.

Imam Ibnu Hajar juga mengutip pendapat Al-Hulaimi yang berkata, “Kemungkinan maksud dari ungkapan setan-setan (pada hadis di atas) adalah setan-setan pencuri berita langit. Pembelengguan mereka terjadi pada malam bulan Ramadhan, tidak di siang harinya. Karenanya, mereka tidak dapat mencuri berita langit ketika waktu penurunan Al-Qur’an. Kemudian, merekapun dibelenggu dengan ketat untuk menjaga berita langit.”

Mungkin juga yang dimaksud adalah setan-setan itu tidak maksimal menggoda umat Muslim sebagaimana di luar Ramadhan karena mereka disibukkan berpuasa dengan mengekang syahwat, membaca Al-Qur’an, dan zikir.”

Sementara selain imam Al-Hulaimi ada yang mengatakan bahwa maksud dari setan-setan itu adalah sebagian dari mereka saja. Yaitu setan-setan yang durhaka. Hal ini sebagaimana terdapat dalam riwayat Imam At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Imam Al-Hakim dari jalur Al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah. Rasulullah saw. bersabda,

إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ وَمَرَدَةُ الجِنِّ

Jika datang malam pertama dari bulan Ramadhan, setan-setan dan jin yang durhaka dibelenggu.

Sedangkan riwayat An-Nasa’i dari jalur Abu Qilabah dari Abu Hurairah r.a. menggunakan redaksi

وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ

Setan-setan yang durhaka di belenggu di dalamnya (bulan Ramadhan)

Lebih lanjut, Imam Ibnu Hajar juga mengutip pendapat Az-Zain bin Al-Munir yang berpendapat bahwa pemahaman tekstual itu lebih tepat dan tidak perlu mengalihkannya dari makna aslinya. Selain itu, Imam Ibnu Hajar juga mengutip pendapat Imam Al-Qurthubi yang lebih mengunggulkan pemahaman tekstual terhadap hadis di atas.

Imam Al-Qurthubi berkata, “Jika ditanyakan ‘Bagaimana mungkin (di artikan secara tekstual yakni setan-setan benar-benar dibelenggu) sementara kami melihat banyak sekali keburukan dan kemaksiatan masih terjadi di bulan Ramadhan.? Seandainya setan-setan dibelenggu, tentu hal itu tidak akan terjadi!.

Jawabannya adalah kemaksiatan itu sedikit terjadi pada orang-orang yang berpuasa yang menjaga syarat serta adab puasa. Atau sebagian setan dibelenggu, yaitu mereka yang durhaka saja. tidak semuanya sebagaimana sebagian riwayat tersebut di atas. Atau maksudnya adalah sedikitnya angka kejahatan di dalam bulan Ramadhan dan hal ini dapat diindra. Maka frekuensi terjadinya kejahatan itu lebih sedikit di banding di luar bulan Ramadhan. Dibelenggunya seluruh setan-setan tidak berarti kejahatan dan kemaksiatan tidak akan terjadi. Sebab ada faktor-faktor selain setan, seperti jiwa-jiwa yang kotor, kebiasaan-kebiasaan buruk, dan setan-setan dari golongan manusia.”

Imam Ibnu Hajar juga mengutip pendapat ulama lain yang mengatakan bahwa dibelenggunya setan-setan di bulan Ramadhan itu merupakan sebuah isyarat untuk menghapus alasan yang dibuat mukallaf (muslim yang berakal sehat dan baligh). Sehingga, seakan-akan dikatakan kepadanya, “Setan-setan telah ditahan darimu, maka kamu tidak dapat membuat alasan mengatasnamakan mereka dalam meninggalkan ketaatan dan melakukan kemaksiatan.”

Baca juga: Salman Al-Farisi Masuk Islam Sebab Hal Ini

Berdasarkan penjelasan di atas, maka maksud dari setan-setan dibelenggu di bulan Ramadhan memiliki beragam makna. Ada kalanya bermakna denotatif atau sebenarnya. Bisa pula bermakna konotatif atau majaz.

Jadi, bisa saja setan-setan itu memang dibelenggu, namun jiwa manusia itulah yang kotor sehingga tidak mampu menahan diri untuk berbuat maksiat. Bisa pula makna dari setan-setan dibelenggu adalah sebagai gambaran betapa sibuknya umat Muslim menjalankan puasa dan ibadah-ibadah di bulan Ramadhan dan banyaknya ampunan serta pahala yang disediakan di bulan ini, sehingga seakan-akan setan-setan itu terbelenggu tidak dapat mengganggu mereka. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Hadis No. 24 Sunan At-Tirmidzi

0
Sunan At-Tirmidzi
Sunan At-Tirmidzi

Hadispedia.id – Al-Imam At-Tirmidzi berkata di dalam Sunan-nya pada kitab bersuci bab jika salah seorang dari kalian bangun tidur, jangan celupkan tangannya di dalam bejana hingga ia membasuhnya

حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ أَحْمَدُ بْنُ بَكَّارٍ الدِّمَشْقِيُّ يُقَالُ هُوَ مِنْ وَلَدِ بُسْرِ بْنِ أَرْطَاةَ صَاحِبِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ وَأَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ اللَّيْلِ فَلَا يُدْخِلْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يُفْرِغَ عَلَيْهَا مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ

وَفِي الْبَاب عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَجَابِرٍ وَعَائِشَةَ َ

قَالَ أَبُوْ عِيْسَى: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَأُحِبُّ لِكُلِّ مَنْ اسْتَيْقَظَ مِنْ النَّوْمِ قَائِلَةً كَانَتْ أَوْ غَيْرَهَا أَنْ لَا يُدْخِلَ يَدَهُ فِي وَضُوئِهِ حَتَّى يَغْسِلَهَا فَإِنْ أَدْخَلَ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يَغْسِلَهَا كَرِهْتُ ذَلِكَ لَهُ وَلَمْ يُفْسِدْ ذَلِكَ الْمَاءَ إِذَا لَمْ يَكُنْ عَلَى يَدِهِ نَجَاسَةٌ

وقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: إِذَا اسْتَيْقَظَ مِنْ النَّوْمِ مِنْ اللَّيْلِ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِي وَضُوئِهِ قَبْلَ أَنْ يَغْسِلَهَا فَأَعْجَبُ إِلَيَّ أَنْ يُهْرِيقَ الْمَاءَ

وقَالَ إِسْحَقُ إِذَا اسْتَيْقَظَ مِنْ النَّوْمِ بِاللَّيْلِ أَوْ بِالنَّهَارِ فَلَا يُدْخِلْ يَدَهُ فِي وَضُوئِهِ حَتَّى يَغْسِلَهَا

Abu Al-Walid; Ahmad bin Bakkar Ad-Dimasyqi telah menceritakan kepada kami, dikatakan ia dari keturunan Busr bin Arthah, sahabat Nabi saw. Al-Walid bin Muslim telah menceritakan kepada kami, dari Al-Auza’i, dari Az-Zuhri, dari Sa’id bin Al-Musayyab dan Abu Salamah, dari Abu Hurairah dari Nabi saw., beliau bersabda, “Jika salah seorang dari kalian bangun tidur, maka janganlah ia masukkan tangannya di dalam bejana hingga ia menuangkan air ke tangannya dua atau tiga kali, karena ia tidak tahu di mana tangannya bermalam.”

Dalam bab ini juga terdapat riwayat dari Ibnu Umar, Jabir, dan Aisyah.

Abu Isa berkata, “Ini Hadis Hasan Shahih”.

Asy-Syafi’i berkata, “Aku menyukai orang yang bangun tidur , baik tidur siang atau selainnya, yang tidak memasukkan tangannya di dalam air wudhunya hingga ia mencucinya. Jika ia memasukkan tangannya sebelum ia mencucinya, aku tidak menyukai hal itu. Meskipun hal itu tidak merusak kesucian air tersebut selama dalam tangannya tidak terdapat najis.”

Ahmad bin Hanbal berkata, “Jika salah seorang dari kalian bangun tidur di waktu malam, lalu ia memasukkan tangannya di dalam air wudhunya sebelum ia membasuhnya, maka aku terheran jika ia membuang air tersebut.”

Ishaq juga berkata, “Jika seseorang bangun tidur di malam atau siang hari, maka janganlah ia memasukkan tangannya di dalam air wudhunya hingga ia membasuhnya.”