Hadis Segala Perbuatan Ditentukan Niatnya

Hadispedia.id – Hadis pertama sebagai pembuka kitab Al-Arbain An-Nawawiyah adalah hadis segala perbuatan ditentukan niatnya.

عَنْ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ أَبِي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رضي الله عنه – قَالَ: سَمِعْت رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ: ” إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ”

رَوَاهُ إِمَامَا الْمُحَدِّثِينَ أَبُو عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بنُ إِسْمَاعِيل بن إِبْرَاهِيم بن الْمُغِيرَة بن بَرْدِزبَه الْبُخَارِيُّ الْجُعْفِيُّ، وَأَبُو الْحُسَيْنِ مُسْلِمٌ بنُ الْحَجَّاج بن مُسْلِم الْقُشَيْرِيُّ النَّيْسَابُورِيُّ فِي “صَحِيحَيْهِمَا” اللذِينِ هُمَا أَصَحُّ الْكُتُبِ الْمُصَنَّفَةِ.

Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Al-Khattab r.a. berkata,

Semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan. Siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju.”

(Diriwayatkan oleh dua ahli hadis; Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari Al-Ju’fi dan Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi di dalam kedua kitab shahihnya yang merupakan kitab hadis paling shahih)

Hadis ini juga diriwayatkan oleh imam Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah di dalam kitab sunannya. Selain itu, imam Ahmad pun meriwayatkan di dalam kitab Musnadnya. Begitu pula imam Ad-Daruqutni di dalam kitab sunannya, imam Ibnu Hibban di dalam kitab shahihnya, dan imam Al-Baihaqi di dalam kitab sunannya.

Hadis ini merupakan salah satu hadis yang menjadi porosnya agama Islam. Pentingnya hadis ini dapat dilihat dari beberapa pendapat ulama. Imam Abu Daud berkata bahwa hadis ini merupakan setengah dari ajaran Islam. Hal ini disebabkan karena agama itu bertumpu pada dua hal: sisi luarnya yakni amal perbuatan dan sisi dalamnya berupa niat.

Sedangkan imam Syafii, imam Ahmad, imam Al-Baihaqi, dan imam lainnya mengatakan bahwa hadis ini mencakup sepertiga ilmu. Alasannya adalah karena perbuatan manusia itu terkait dengan tiga hal; hati, lisan, dan anggota badan. Sementara niat di dalam hati adalah salah satu dari tiga hal tersebut. Ada pula ulama lain yang mengatakan hadis ini adalah seperempatnya ilmu. Bahkan imam Syafii mengatakan bahwa hadis tersebut masuk dalam 70 bab masalah fiqh.

Melihat pentingnya hadis ini, maka tidak heran jika banyak ulama mengawali kitabnya dengan menyebutkan hadis ini. Di antaranya adalah imam Al-Bukhari yang menempatkan hadis ini pada posisi pertama kitab shahihnya. Begitu pula imam An-Nawawi di dalam tiga kitabnya: Riyadhus Shalihih, Al-Adzkar, dan Al-Arbain An-Nawawiyah.

Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi mengatakan bahwa penyebutan hadis ini di awal kitab adalah agar pembaca menyadari pentingnya niat. Sehingga, ia akan meluruskan niatnya hanya karena Allah, baik ketika menuntut ilmu atau melakukan kebaikan lainnya.

Begitu pula dengan imam Abdurrahman bin Mahdi menghimbau setiap orang yang hendak menyusun kitab agar memulainya dengan hadis ini. Hal ini sebagai pengingat para penuntut ilmu untuk meluruskan niatnya.

Imam At-Thabrani di dalam kitab Al-Mu’jam Al-Kabir meriwayatkan sebab wurud hadis ini dari sahabat Abdullah bin Mas’ud r.a. yang berkata,

“Di antara kami ada seorang laki-laki yang melamar seorang wanita, bernama Ummu Qais. Namun, wanita itu menolak sehingga ia berhijrah ke Madinah. Maka, laki-laki tersebut ikut hijrah dan menikahinya. Oleh sebab itu, kami memberinya julukan Muhajir Ummi Qais (orang yang hijrahnya karena Ummu Qais).”

Kejadian itu pun diketahui oleh Rasulullah saw. Ketika beliau sampai di kota Madinah untuk melaksanakan hijrah, beliau berkhutbah yang di antara isinya adalah hadis tentang pentingnya niat tersebut.

Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi menjelaskan beberapa kandungan hadis ini. Di antaranya adalah tentang syarat niat. Ulama sepakat bahwa perbuatan seorang muslim tidak akan diterima dan mendapat pahala kecuali jika disertai dengan niat. Seperti dalam ibadah inti: shalat, haji, puasa, dan zakat, niat merupakan rukun. Oleh sebab itu, ibadah-ibadah tersebut tidak sah jika tidak diiringi niat.

Adapun waktu niat adalah di awal ibadah. Seperti takbiratul ihram untuk shalat, dan ihram untuk haji. Sedangkan puasa, maka diperbolehkan sebelumnya karena untuk mengetahui masuknya waktu Shubuh secara tepat sangat sulit.

Niat tempatnya adalah di dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Namun, boleh diucapkan untuk membantu konsentrasi. Juga disyaratkan menentukan secara tepat ibadah yang hendak dilakukan. Jadi, tidak cukup hanya dengan berniat untuk melakukan shalat secara umum. Namun, harus ditentukan shalat Zuhur, Asar, atau lainnya.

Hadis ini juga mendorong kita untuk ikhlas dalam segala perbuatan dan ibadah agar mendapat pahala di akhirat serta kemudahan dan kebahagiaan di dunia. Imam Al-Baidhawi berkata, “Amal ibadah tidak akan sah kecuali jika diiringi dengan niat. Karena, niat tanpa amal diberi pahala, sementara amal tanpa niat adalah sia-sia. Perumpamaan niat bagi amal, ibarat ruh bagi jasad. Jasad tidak akan berfungsi jika tanpa ruh, dan ruh tidak akan tampak jika terpisah dari jasad.”

Sementara itu, Dr. Ahmad Ubaidi Hasbillah di dalam Al-Fawaid Al-Musthafawiyah mengibaratkan niat sebagai pondasi sebuah bangunan. Sehingga, ketika seseorang ingin membangun rumah harus memiliki pondasinya. Begitu pula dengan orang yang hendak melakukan sesuatu harus memiliki niat yang ikhlas untuk menguatkan bangunan amalnya.

Kita pun diminta untuk berhati-hati dalam urusan niat. Kerena banyak sekali amal akhirat menjadi amal dunia disebabkan karena niatnya, begitu pula amal dunia bisa menjadi amal akhirat disebabkan karena niatnya.

Misalnya pada kasus Ummu Qais tersebut. Hijrah adalah amal akhirat jika niatnya karena melaksanakan perintah Allah dan RasulNya. Tetapi, hijrah tersebut malah menjadi amal dunia yang sia-sia jika dilakukan hanya karena untuk mengejar wanita yang dicintai. Oleh sebab itu, mari kita cek kembali niat kita. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Annisa Nurul Hasanah
Annisa Nurul Hasanah
Penulis adalah peneliti el-Bukhari Institute

Artikel Terkait

spot_img

Artikel Terbaru