Inilah Sebab-sebab Perawi itu Majhul, Tidak Diketahui Identitasnya

Hadispedia.id – Mengetahui keadaan perawi hadis adalah salah satu hal penting untuk menentukan kualitas sebuah hadis apakah diterima, atau ditolak. Hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah (terpercaya) maka hadisnya maqbul (dapat diterima). Sedangkan, hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang dhaif (lemah kualitas ‘adalah ataupun dhabithnya) maka hadisnya mardud (tertolak).

Akan tetapi seringkali ditemukan dalam daftar perawi sebuah hadis, adanya perawi yang tidak diketahui jati dirinya, atau diketahui jati dirinya, namun tidak diketahui keadaan ‘adalah dan dhabithnya sehingga sulit untuk ditentukan kualitasnya. Dalam disiplin ilmu mustholahul hadis, perawi seperti ini disebut dengan perawi yang majhul.

Kata majhul, merupakan derivasi dari kata “jahila” (tidak mengetahui) lawan dari kata “alima”  (mengetahui), maka secara etimologi kata majhul bermakna yang tidak diketahui. Sedangkan menurut istilah, perawi yang majhul adalah perawi yang tidak diketahui jati dirinya atau keadaan tentang dirinya baik dari segi kredibilitasnya (‘adalahnya) maupun kualitas hafalannya (dhabitnya).

Keadaan tidak mengetahui perawi hadis ini dalam ilmu musthalah disebut dengan al-jahalah bi al-rawi. Mahmud At-Tahhan dalam kitab Taisir Musthalah Al-Hadis menjelaskan tiga sebab al-jahalah bi al-rawi.

  1. Banyaknya identitas/penyebutan diri perawi. Yakni bilamana seorang perawi hadis disebut dengan sebutan yang beragam, seperti dengan namanya, kunyahnya, julukannya, sifatnya, profesinya, atau nasab keturunannya. Maka apabila sang perawi populer dengan salah satu sebutan tadi, namun pada saat tertentu ia disebutkan dengan sebutan yang kurang populer sebab maksud tertentu sehingga dikira bahwa ia adalah seorang yang berbeda, maka hal itu dapat membuat seorang perawi tadi menjadi majhul. Sebagai contoh: Muhammad bin al-Saib bin Bisyr al-Kalbi. Sebagian menasabkannya kepada kakeknya, hingga disebut dengan “Muhammad bin Bisyr”. Sebagian lain menyebutnya dengan nama “Hammad bin al-Saib”. Sebagian lain menyebut dengan kunyah “Abu al-Nadr” adapula yang menyebut “Abu Sa’id” dan “Abu Hisyam”. Penyebutan yang beragam itu memberi kesan bahwa mereka adalah orang yang berbeda, padahal kenyataannya sama.
  2. Sedikit meriwayatkan hadis. Oleh karena itu, sedikit orang yang mengambil riwayat hadis darinya, atau bahkan tidak ada yang mengambil riwayat hadis darinya kecuali hanya seorang. Sebagai contoh: Abu al-Usyara’ ad-Darimi seorang tabi’in. Hadisnya hanya diriwayatkan oleh Hammad bin Salamah.
  3. Penyebutan nama perawi yang tidak jelas atau gamblang dengan maksud untuk meringkas, atau yang semacamnya. Nama perawinya hanya disebut dengan kata rajul, fulan, syaikh, . Sebab macam ini, lebih populer dikenal dengan sebutan “mubham”.

Sebagai contoh, jika seorang perawi meriwayatkan hadis dengan berkata, “Telah menceritakan kepada saya fulan, dari rajul, dari seorang syaikh. Kata fulan, rajul, dan syaikh tidak menjelaskan secara gamblang nama perawi hadis, untuk itulah disebut dengan “mubham” (yang samar/yang rancu/belum jelas)

Sebuah hadis yang di dalamnya terdapat perawi yang majhul kualitasnya adalah dhaif (lemah), karena perawi tidak dapat diidentifikasi kualitas ‘adalah dan dhabithnya secara baik. Padahal yang menjadi pertimbangan shahihnya sebuah hadis adalah kualitas kredibilitas seorang perawi dan kualitas hafalannya disamping jalur periwayatan yang tidak terputus dari satu perawi ke perawi lain hingga sampai ke Rasulullah saw.

Baca juga: Apakah Diterima Periwatayan Pelaku Bid’ah?

Majhul ada tiga macam. Pertama, Majhul ‘ain. Kedua, Majhu hal. Ketiga, Mubham. Macam yang ketiga diperdebatkan oleh para ulama, apakah masuk kepada macam-macam majhul ataukah dia merupakan suatu bahasan yang berdiri sendiri. Menurut Mahmud At-Tahhan, mubham termasuk ke dalam bagian majhul, karena hakikat keduanya dinilai serupa.

  1. Mahjul ‘Ain. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Nuzhatun Nadzar fi Taudhihi Nukhbatul Fikri menjelaskan majhul ‘ain adalah seorang perawi yang telah disebutkan namanya, namun ia tidak meriwayatkan hadis kecuali hanya kepada seorang perawi. Hukum hadis dari perawi yang majhul ‘ain ialah adam al-qabul (tidak diterima) kecuali bila ada pernyataan yang mentsiqahkannya (memberi label tsiqah pada perawi). Pernyataan ini didapat melalui dua model. Model pertama, yaitu pernyataan mentsiqahkan yang didapat dari orang yang tidak mengambil riwayat dari perawi yang majhul ain. Model kedua, yaitu pernyataan mentsiqahkan yang didapat dari orang yang meriwatkan hadis perawi majhul ain dengan syarat ia merupakan ahli dalam jarh dan ta’dil.
  2. Majhul Hal ialah seorang perawi yang meriwayatkan hadis kepada dua orang atau lebih namun tidak ditsiqahkan oleh para pakar jarh dan ta’dil.  Majhul hal juga dikenal dengan sebutan al-mastur (yang tertutup/terhalang). Mayoritas ulama berpendapat bahwa riwayat hadis dari seorang yang majhul hal adalah tidak diterima karena keadaan perawi yang belum teridentifikasi secara jelas.
  3. Mubham yaitu seseorang yang disamarkan penyebutan namanya di dalam periwayatan sebuah hadis. Mubham dapat terdapat di dalam sanad (jalur periwayatan) atau matan (isi hadis). Bila ia terdapat dalam sanad, maka hadis tersebut tidak dapat diterima periwayatannya sampai diketahui keterangan yang menjelaskan sosok yang disamarkan tadi dari jalur periwayatan lainya. Sebab tidak diterimanya periwayatan hadis yang terdapat perawi mubham ialah karena sang perawi tidak diketahui jati dirinya atau kepribadiannya, sebagaimana tidak diketahui keadaan ‘adalah dan dhabitnya.
Muhammad Difa El Haq
Muhammad Difa El Haq
Alumni Darus Sunnah International Institute for Hadith Sciences

Artikel Terkait

spot_img

Artikel Terbaru