Hadispedia.id – Dalam ilmu nahwu, biasa dikenal istilah “isim mubham”. Yang termasuk isim mubham adalah isim mausul dan isim isyarah. Nah, di dalam ilmu hadis juga terdapat istilah mubham. Istilah yang sama dengan pengertian yang berbeda ini memiliki satu titik kesamaaan, yaitu dari sisi lughawi yang berarti tidak diketahui atau tidak jelas.
Dalam membaca suatu hadis nabi, lalu ditemukan nama orang yang disamarkan, baik di sanad hadisnya, ataupun di matannya, seperti penyebutan “seorang laki-laki” atau “seorang perempuan”, atau “anak si fulan”, “suami fulan”, “keponakan si fulan” dan kata-kata lain yang menunjukkan ketidak-jelasan sosok yang dibicarakan, atau adanya banyak kemungkinan orang, maka orang tersebut dalam ilmu hadis disebut dengan mubham.
Mubham secara umum dibagi dua, yaitu mubham dalam sanad hadis, dan mubham di dalam matan hadis.
Mubham di dalam matan hadis tidak memiliki pengaruh kepada keshahihan dan kedhaifan suatu hadis, akan tetapi mengetahui siapa yang disamarkan di dalam suatu matan hadis juga diperlukan untuk mengetahui sosok yang dibicarakan dalam matan hadis. Jika pembicaraan dalam matan hadis itu mengenai sosok yang baik, maka dapat diketahui adanya keutamaan sosok tersebut. Jika yang dibicarakan terkait keburukan, maka mengetahui sosok yang disamarkan dapat untuk menghilangkan praduga terhadap sosok-sosok yang lain.
Berbeda halnya dengan mubham dalam sanad hadis. Jika terdapat nama yang disamarkan di dalam sanad hadis, itu artinya sosok perawi yang disamarkan itu tidak dikenali, sehingga tidak dapat diketahui apakah sosok tersebut memiliki sifat ‘adalah atau tidak, yang menjadi penentu riwayatnya diterima atau ditolak.
Oleh karena semua Sahabat Nabi memiliki sifat ‘adalah, maka jika yang disamarkan tersebut adalah seorang Sahabat Nabi, kesamarannya tidak mempengaruhi pada ketidak-shahihan suatu hadis. Jadi, mubham di sanad yang mempengaruhi kedhaifan suatu hadis hanya berlaku di selain Sahabat.
Kesamaran dalam matan dan sanad suatu hadis dapat diketahui siapa sebenarnya, dengan dua cara, yaitu:
Pertama, dengan membandingkan satu riwayat dengan riwayat yang lain. Bisa jadi, di suatu riwayat, nama sosok perawi atau sosok di matan hadis disamarkan, namun di riwayat dengan jalur yang lain, disebutkan siapa sosok yang disamarkan itu. Dan hal ini sering terjadi. Oleh karenanya, dalam meneliti suatu hadis, ketika ditemukan sosok yang mubham dalam sanad hadis, tidak dapat serta merta hadisnya tersebut dihukumi dhaif. Seorang peneliti harus terlebih dahulu membandingkan tema hadis yang sama dengan riwayat lain, sehingga ada kemungkinan sosok yang mubham itu disebutkan namanya di riwayat lain.
Kedua, dengan melihat kepada catatan para sejarawan. Para sejarawan biasanya memiliki pengetahuan terhadap sosok-sosok dalam sebuat peristiwa sejarah. Karenanya, catatan sejarawan itu dapat digunakan untuk mencari sosok yang disamarkan di dalam suatu hadis.