Hadispedia.id – Rawi tsiqah merupakan salah satu syarat diterimanya suatu hadis. Yakni rawi/periwayat hadis yang memiliki sifat adil (kredibel) dan dhabith (kapabel/bagus ingatannya). Namun, seiring berjalanannya waktu, ada rawi-rawi yang mengalami penurunan pada kualitas ketsiqahannya lantaran suatu alasan, misalnya pikun, hilangnya daya indra, atau karena alasan lainnya.
Pada diskursus kajian ilmu hadis, pembahasan ini disebut dengan ikhtilath (الاختلاط). Sedangkan rawi yang mengalami ikhtilath disebut mukhtalith. Secara bahasa, ikhtilath berarti rusaknya akal. Misalnya dikatakan ikhtalatha fulan (اختلط فلان) artinya Dia akalnya rusak. Secara istilah, Dr. Mahmud Thahhan dalam kitab Taisir Musthalah Al-Hadis mendefinisikan sebagaimana berikut.
فساد العقل أوعدم انتظام الأقوال بسبب خرف أوعمى أو احتراق كتب أو غير ذلك
“Rusaknya akal, tidak teratur perkataannya sebab tua, buta, terbakar kitab-kitabnya, atau sebab lain.”
Macam-Macam Mukhtalith
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mukhtalith atau rawi yang mengalami penurunan kualitas ketsiqahannya itu bermacam-macam sebabnya,
Pertama, sebab tua, seperti: Atha’ bin As-Sa’ib Ats-Tsaqafi Al-Kufi. Periwayatan Atha’ ini baru bisa dijadikan hujjah jika didukung oleh rawi-rawi senior, seperti Sufyan Ats-Tsauri dan Syu’bah. Itupun masih dikecualikan dua hadis yang diriwayatkan Syu’bah melalui jalur lain.
Selain Atha’, Abu Ishaq As-Sabi’i, Sa’id Al-Jurairi, Ibnu Abi ‘Arubah, Abdurrahman bin Abdullah bin Utbah Al-Mas’udi, Rabi’ah Ar-Ra’yi (guru Imam Malik), dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi juga mengalami penurunan kualitas ketsiqahannya di akhir hidupnya. Demikian pula Sufyan bin ‘Uyainah yang terjadi pada dua tahun sebelum wafatnya.
Kedua, sebab buta/hilang penglihatan, seperti: Abdur Razzaq bin Hammam Ash-Shan’any. Disebabkan karena kebutaannya itu, maka ia hanya bisa membaca dengan bantuan orang lain.
Ketiga, sebab terbakar kitabnya, seperti: Abdullah bin Lahi’ah Al-Mishri. Sehingga, ia tidak dapat lagi membuka-buka kembali catatan-catatannya yang menjadi sumber kekuatan ingatannya.
Selain itu, rawi-rawi lain yang juga mengalami penurunan kualitas ketsiqahannya/ikhtilath adalah ‘Arim, Abu Qilabah Ar-Ruqasyi, Abu Ahmad Al-Ghithfiri, Abu Thahir; cucu Imam Ibu Khuzaimah, dan Abu Bakr Al-Qathi’i; rawi dalam kitab Musnad Ahmad.
Hukum Riwayat Mukhtalith
Bagaimana status kualitas periwayatan hadis yang diriwayatkan oleh para rawi mukhtalith tersebut? Apakah masih diterima meskipun ia mengalami penurunan kualitas ketsiqahannya? Dr. Mahmud Thahhan dalam kitab Taisir Musthalah Al-Hadis merinci jawabannya.
- Dapat diterima riwayatnya sebelum ia mengalami ikhtilath.
- Tidak dapat diterima riwayatnya, sesudah ikhtilath, begitu pula yang meragukan sebelum atau sesudah ikhtilath.
Urgensi dan Faidah Ilmu Ikhtilath
Pengetahuan tentang ikhtilath ini sangat penting sekali diketahui bagi pengkaji hadis. Hal ini dalam rangka agar dapat membedakan hadis-hadisnya rawi tsiqah yang diriwayatkan sesudah terjadinya ikthtilath untuk ditolak atau diterima.
Lalu, apakah Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim pernah meriwayatkan hadis-hadis yang bersumber dari rawi-rawi tsiqah yang mengalami ikhtilath? Jawabannya adalah iya. Mereka melakukan hal tersebut. Hanya saja, hadis-hadis tersebut diriwayatkan sebelum rawi-rawi tsiqah itu mengalami ikhtilath/penurunan kualitas ketsiqahannya. Sehingga, jika menemukan rawi-rawi mukhtalith dalam kitab Shahih Al-Bukhari atau Shahih Muslim, maka dapat dipastikan hadis itu dapat dijadikan hujjah.
Kitab-Kitab tentang Rawi Mukhtalith
Banyak ulama yang menyusun kitab dalam bidang ini, seperti Al-Ala’i dan Hazimy. Di antaranya adalah kitab Al-Ightibath bi Man Ruwiya bil Ikhtilath, karya Ibrahim bin Muhammad Sibthi Ibnu Ajami yang wafat pada tahun 841 H.
Pembahasan tersebut membuktikan bahwa betapa ulama sangat berhati-hati dalam memilah dan memilih hadis. Sehingga, periwayatan yang berasal dari orang yang telah mengalami penurunan kualitas ketsiqahannya baik disebabkan karena tua (pikun), buta, terbakar kitab, atau sebab lainnya. Wa Allahu a’lam bis shawab.