Beranda blog Halaman 69

Mutasyabih dalam Ilmu Hadis

0
Mutasyabih
Mutasyabih

Hadispedia.id – Istilah mutasyabih agaknya lebih populer dalam Ulumul Qur’an, Ulumut Tafsir, dan Ushul Fiqh. Hal ini disebabkan karena terdapat ayat khusus di dalam Al-Qur’an yang menyebut istilah ayat-ayat mutasyabihat (jamak dari mutasyabih) yang merupakan lawan dari ayat-ayat muhkamat.

Istilah ini kemudian dipakai oleh ulama tafsir dan ushuli dan dikembangkan pembahasannya. Secara sederhana, mutasyabih berarti ayat-ayat yang membutuhkan takwil, karena maknanya samar. sedangkan muhkamat adalah ayat-ayat yang jelas maknanya, sehingga tidak membutuhkan takwil.

Dalam ilmu hadis, pengertian mutasyabih dengan pengertian di atas dikenal dengan istilah mukhtalaful hadis, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Nuzhah al-Nazhar. Namun, dalam Ilmu Hadis, juga terdapat istilah mutasyabih dengan pengertian yang berbeda. Mutasyabih dalam ilmu hadis terbagi dua macam:

Pertama, adanya kesamaan nama antara dua orang perawi hadis atau lebih. Kesamaan tersebut dari sisi penulisan dan pelafalan. Akan tetapi, nama bapak dari masing-masingnya berbeda secara pelafalan namun sama dari sisi penulisan.

Di antara perawi hadis yang termasuk dalam kategori ini adalah Muhammad ibn ‘Uqail dan Muhammad ibn ‘Aqil (محمد بن عقيل و محمد بن عقيل). Nama perawinya sama-sama Muhammad. Sama dari sisi penulisan dan pelafalan. Sedangkan nama ayahnya hanya sama dari sisi penulisannya, namun pelafalannya berbeda karena berbeda harokatnya.

Kedua, adanya kesamaaan nama ayah dari dua orang perawi atau lebih, dari sisi pelafalan dan penulisan, akan tetapi nama perawi itu sendiri berbeda dari sisi pelafalan sekalipun penulisannya sama.

Di antara perawi hadis yang termasuk dalam kategori ini adalah Syuraih ibn An-Nu’man dan Suraij ibn An-Numa’an. Jika ditulis dengan teks Arab lama, tanpa menggunakan titik dan harkat, maka tulisannya seperti ini سريج بن النعمان.  Nama ayah dari kedua rawi ini adalah sama dari sisi pelafalan dan penulisan, akan tetapi nama rawi itu sendiri berbeda dari sisi pelafalan, meskipun penulisannya sama.

Dari contoh di atas, dapat diketahui bahwa kesamaran antara dua orang rawi yang berbeda atau lebih terjadi karena pengaruh cara penulisan teks arab, dan cara pelafalannya. Oleh karena itu, ulama ilmu hadis, juga memasukkan kesamaan penulisan nun dan ra` ke dalam kategori mutasyabih. Misalnya nama “Hunain” dan “Jabir” jika ditulis dengan tulisan tangan yang kurang rapi, serta tidak diberi titik dan harkat, maka akan terlihat sama.

Pembahasan ini tentu penting untuk diketahui, agar tidak salah orang ketika ingin meneliti seorang perawi hadis. Apalagi antara dua orang yang terlihat sama itu berbeda tingkatan ke’adalahannya. Bisa saja seoarang rawi dianggap orang yang sama, ternyata berbeda. Begitu juga dalam membaca sanad, dengan mengetahui pembahasan ini, dapat dihindari kesalahan dalam membaca. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Hadis Anjuran Memberi Mahar Terbaik kepada Istri

0
mahar terbaik
mahar terbaik

Hadipedia.id – Islam memberikan penghargaan yang tinggi terhadap hubungan pernikahan, perempuan sebagai manusia yang didiskreditkan pada masa pra-Islam mendapatkan posisi terpenting dalam sebuah hubungan dasar dalam rumah tangga. Islam menjamin dan memberikan hak mahar kepada wanita sebagai bentuk penghormatan, cinta kasih seorang suami terhadap istri.

Rasulullah saw. adalah manusia terbaik yang sangat memuliakan istrinya. Dalam berbagai hadis disebutkan bahwa beliau memberikan mahar terbaik kepada para istrinya. Khadijah istri kecintaannya mendapat mahar 20 unta bakrah. Unta yang diberikan Rasulullah saw. merupakan unta yang sangat berkualitas tinggi. Harga unta dengan berkualitas tinggi mencapai 50 Juta.  jika dikurskan dengan rupiah mahar Rasulullah saw. kepada Khadijah mencapai 1 miliar rupiah. Mahar tertinggi yang sangat jarang kita jumpai.

Dalam riwayat lain, Sayyidah Aisyah r.a. menceritakan emas kawin yang diberikan Rasulullah saw. kepada para istrinya:

عَنْ أَبِى سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- كَمْ كَانَ صَدَاقُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ صَدَاقُهُ لأَزْوَاجِهِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ أُوقِيَّةً وَنَشًّا. قَالَتْ أَتَدْرِى مَا النَّشُّ قَالَ قُلْتُ لاَ. قَالَتْ نِصْفُ أُوقِيَّةٍ. فَتِلْكَ خَمْسُمِائَةِ دِرْهَمٍ فَهَذَا صَدَاقُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لأَزْوَاجِهِ. (رواه مسلم)

Dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman bahwa dia berkata, aku bertanya kepada ‘Aisyah istri Nabi saw., “Berapa emas kawin yang diberikan Rasulullah saw. kepada para istrinya? Ia menjawab, ”Rasulullah memberikan mahar kepada istrinya 12 uqiyah dan 1 nasy.” Ia bertanya, “Tahukah kamu apa itu nasy?” Aku pun berkata ‘tidak’. Ia berkata, “Separo uqiyah.” Maka, jumlah tersebut mencapai 500 dirham, inilah mahar Rasulullah kepada para istrinya. (H.R. Muslim)

Secara psikologis, hadis tersebut menggambarkan bahwa Sayyidah Aisyah r.a. sangat bangga dengan cara Rasulullah saw. menghormati para istrinya, dengan memberikan mahar yang berjumlah fantastis. Pada riwayat yang masyhur 1 dinar setara dengan 10 dirham, 1 dinar dapat ditukar dengan 1 ekor kambing berkisar 2,4 juta rupiah. Jika dikonversikan maka 500 dirham mendapatkan 50 ekor kambing. 50 dikalikan dengan 2,4 juta jumlahnya 120.0000 juta rupiah. Jumlah mahar yang sangat besar dibandingkan jumlah mahar yang diberikan kebanyakan saat ini.

Dalam sebuah riwayat lain  ‘Amr bin Ash menyatakan, “Janganlah kalian bakhil (pelit) memberikan mahar kepada para wanita, karena sesungguhnya, walaupun wanita telah dimuliakan derajatnya di dunia ataupun takwa dalam akhiratnya. Tetapi, Nabi saw. juga sangat memuliakan mereka. Apa Mahar Rasulullah?. Setiap istrinya mendapat mahar lebih dari 12 ‘uqiyah.” (Rawahul Khamsah, dan dishahihkan oleh At-Tirmidzi)

Riwayat-riwayat di atas membuktikan bahwa Rasulullah saw. memberikan teladan  terhadap kita, untuk memuliakan calon istri kita. Calon ibu dari putra-putri kita dengan memberikan mahar terbaik dari harta kita. Lalu bagaimana mahar dengan mengajarkan Al-Qur’an?

Mengajarkan Al-Qur’an dan menuntun istri adalah sebuah kewajiban. Suami sebagai pendamping hidup harus membimbing keluarga anak dan istrinya untuk mempelajari ilmu agama. Jika ia tidak mampu mengajarkannya secara pribadi, maka ia harus memberikan izin kepada keluarganya untuk belajar kepada guru-gurunya. Oleh karena itu, Nabi juga menjadikan opsi mahar mengajarkan Al-Qur’an dan hafalan Al-Qur’an sebagai opsi terakhir. Dalam sebuah riwayat diceritakan:

Sahal bin Sa’ad al-Sa’idi berkata, “Seorang perempuan datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, ‘Rasulullah aku datang kepadamu untuk menyerahkan diriku kepadamu, kemudian Rasulullah melihatnya dan beliau menundukkan kepalanya, ketika perempuan tersebut menyadari bahwa Rasulullah tidak mengabulkan permintaanya ia duduk. Kemudian salah satu Sahabat Rasulullah saw. berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, jika engkau tidak membutuhkannya, maka nikahkanlah dia denganku.” Rasulullah berkata, “Apakah engkau punya sesuatu?” Ia menjawab, “Tidak, Demi Allah ya Rasulullah”. Beliau bersabda, “Pergilah ke keluargamu, lihat apakah kamu akan menemukan sesuatu.” Kemudian dia pergi dan kembali seraya berkata, “Tidak, demi Allah aku tidak menemukakn sesuatu.” Kemudian Rasulullah memerintahnya, “Lihatlah lagi, walaupun cincin dari besi.”  Kemudian lelaki itu pergi dan datang lagi kepada Rasulullah. Ia berkata, ‘Tidak ada Ya Rasulullah, tidak ada cincin dari besi juga, akan tetapi saya memiliki kain sarung, (Sahal berkata bahwa kain sarungnya hanya satu yaitu yang dipakainya). Kemudian Rasulullah berkata, “Apa yang dapat diambil manfaat dari sarungmu, jika istrimu memakainya, kau tidak dapat memakainya jika kau memakainya istrimu tidak dapat memakainya. Kemudian lelaki tersebut duduk sampai majelis Rasulullah selesai. Setelah itu, ia menghadap Rasulullah dan mohon agar mendoakannya. Tatkala ia datang Rasulullah berkata, “Apa engkau memiliki hafalan Al-Qur’an?. Ia menjawab, “Aku menghafal surat ini dan ini,-beberapa surat dalam Al-Qur’an.” Rasulullah berkata, “Bacakanlah ia surat-surat yang kau hafal dengan hatimu.” Ia menjawab, “Iya.” Rasulullah berkata, “Pergilah, kamu telah menikahinya dengan sebab hafalan Al-Qur’an yang kau miliki.”  (H.R. Muslim)

Secara psikologis, hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa boleh memberikan mahar berupa hafalan Al-Qur’an setelah tidak dapat memberikan mahar apapun. Karena mahar hafalannya tidak dapat menjadi milik sang istri, sehingga menjadi solusi terakhir setelah tidak ditemukan sesuatu yang dapat dan layak dijadikan mahar. Pada kasus ini, Rasulullah saw. menunjukkan bahwa perempuan harus diberikan mahar terbaik, sampai lelaki tersebut tidak menemukan sesuatu yang terbaik yang ia miliki. Hafalan Al-Qur’an pun menjadi pilihan terkahir.

Jadi, sebaiknya jika berkeinginan memberikan mahar istri dengan hafalan Al-Qur’an ditambahkan mahar utama. Sehingga tidak bertentangan dengan hadis Rasulullah saw. yang seharusnya memberikan mahar terbaik dari yang ia miliki. Hadis tersebut sangat jelas bahwa mahar hafalan Al-Qur’an diberikan setelah ia tidak memiliki apapun yang diberikan kepada calon istrinya selain hafalan Al-Qur’an. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Perawi Hadis dengan Sebutan Wuhdan

0
Wuhdan
Wuhdan

Hadispedia.id – Di antara pembahasan yang termasuk pembahasan unik dalam ilmu hadis adalah pembahasan yang dikenal dengan istilah al-wuhdan. Tujuan dari mengetahui bahasan ini adalah untuk dapat mendeteksi kemajhulan perawi hadis. Jika kemajhulan tersebut terdapat bukan pada sahabat nabi, maka otomatis hadisnya ditolak. Nah, berarti bahasan ini merupakan salah satu penentu suatu hadis dianggap dhaif dan ditolak. Lantas apakah al-wuhdan itu?

Secara bahasa, wuhdan adalah bentuk plural dari kata wahid, artinya satu. Sedangkan dalam istilah ilmu hadis, wuhdan adalah perawi-perawi hadis yang masing-masingnya hanya memiliki seorang murid saja yang meriwayatkan hadis darinya.

Para ulama ahli hadis sudah menginventarisir siapa saja orang-orang dari kalangan perawi hadis yang termasuk ke dalam kategori wuhdan ini, sehingga mereka mencatat sekian nama-nama perawi dalam kategori wuhdan. Di antara yang menulis buku khusus dalam hal ini adalah Imam Muslim, sebagaimana dijelaskan oleh Imam An-Nawawi dalam kitab At-Taqrib.

Secara umum, perawi hadis yang termasuk ke dalam kategori wuhdan dapat dibagi dua kategori. Pertama perawi di kalangan Sahabat. Kedua, perawi dari kalangan selain Sahabat Nabi.

Perawi dari kalangan sahabat yang hanya memiliki satu murid ini tidak memiliki pengaruh kepada kesahihan dan kedhaifan suatu hadis, sebab para ulama sepakat bahwa semua sahabat memiliki sifat ‘adalah (memiliki kepribadian yang baik). Sehingga sekalipun hanya satu orang yang meriwayatkan hadis darinya, yang kemudian dia dianggap sebagai majhul, tetap saja hadisnya diterima.

Berbeda halnya dengan kategori kedua, perawi dari kalangan selain sahabat, yaitu tabi’in dan seterusnya. Jika dia hanya memiliki seorang murid yang meriwayatkan hadis darinya, maka sosoknya sebagai guru dianggap majhul (tidak dikenal). Ketidak-dikenalnya itu, memberikan ruang besar akan ketidak-kredibelnya dalam meriwayatkan hadis.

Oleh karena itu, hadis yang diriwayatkannya tidak dapat diterima. Kecuali jika ada faktor lain yang dapat menguatkannya, misalnya ketika hadis yang sama diriwayatkan oleh orang lain dengan jalur berbeda, maka hadis tersebut dapat menjadi penguat, sehingga hadis yang tadi dhaif dapat naik menjadi hasan li-ghairih.

Imam An-Nawawi mencatat, terdapat beberapa periwayat hadis dari kalangan tabi’in yang hanya memiliki satu murid saja yang meriwayatkan hadis darinya. Di antaranya, Abu Al-‘Usyara’ Ad-Darimi, hanya Hammad Ibn Salamah saja yang meriwayatkan hadis darinya. Begitu juga, terdapat dua puluhan guru dari Muhammad Ibn Syihab Az-Zuhri yang tidak punya murid selain dari Az-Zuhri saja. Begitu pula sosok ‘Amru ibn Dinar, memiliki sekian guru yang muridnya hanya ia seorang saja. Dan masih banyak lagi sosok seperti itu.

Di sisi lain, adanya murid-murid yang memiliki banyak guru yang termasuk ke dalam kategori wuhdan, menunjukkan adanya keseriusan dari si murid untuk menggali ilmu dari siapapun, termasuk dari sosok orang yang tidak populer sekalipun, sehingga ia dapat mengumpulkan banyak hadis Nabi saw. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Tiga Perempuan Terbaik di Kalangan Tabi’in

0
Perempuan Terbaik di Kalangan Tabi'in
Perempuan Terbaik di Kalangan Tabi'in

Hadispedia.id – Di antara bentuk pemuliaan Islam kepada perempuan dapat dilihat pada peran perempuan pada masa dahulu. Seperti di masa Nabi, di masa sahabat dan tabi’in, tercatat ada banyak perempuan hebat yang berperan penting di dunia Islam. Di antaranya sebagai guru yang mengajarkan hadis-hadis Nabi yang menjadi keilmuan yang sangat penting di masa itu. Pada tulisan ini, kita akan membahas siapa perempuan terbaik di kalangan tabi’in?

Bagi para pengkaji hadis dengan sanad-sanadnya, akan sering menjumpai perempuan dalam rangkaian sanad hadis, termasuk di kalangan tabi’in. Seperti sosok Fathimah binti al-Mundzir yang menjadi guru dari suaminya sendiri yang bernama Hisyam ibn ‘Urwah. Selain itu, sosok ‘Urwah (ayahnya Hisyam) juga punya guru perempuan yang bernama ‘Amrah, sehingga sering ditemukan kata-kata seperti ‘Urwah ‘an ‘Amrah (‘Urwah meriwayatkan dari ‘Amrah).

Jika kita membandingkannya dengan masa sekarang, barangkali tidak begitu menarik, karena sudah banyak perempuan yang menjadi guru dan memiliki berbagai peran penting dalam kehidupan. Namun, bila ditengok pada masa dulu itu, maka akan berbeda, mereka punya peran di saat perempuan dinomorduakan di berbagai peradaban.

Ada tiga perempuan terbaik di kalangan tabi’in, sebagaimana dicatat oleh Imam An-Nawawi (w. 676 M), yaitu: Hafshah binti Sirin, ‘Amrah binti Abdirrahman, dan Ummu Ad-Darda`As-Shughra.

Pertama, Hafshah binti Sirin

Ia lahir pada tahun 31 H, di masa kekhalifahah Utsman ibn ‘Affan. Ayahnya dulunya adalah seorang budak Anas bin Malik, lalu dimerdekakan. Begitu juga ibunya merupakan seorang budak, yang dimerdekakan oleh Abu Bakar. Meskipun kedua orang tuanya adalah bekas budak, namun ia dan saudara kandungnya, Muhammad ibn Sirin, menjadi tokoh penting dalam keilmuan Islam.

Bahkan, sosok Hafshah menjadi rujukan bagi sudaranya, Muhammad ibn Sirin. Ketika ia mengajar Al-Qur’an dan menemukan kesulitan, maka ia menyuruh murid-muridnya untuk menanyakannya kepada Hafshah. Hafshah juga merupakan sosok periwayat hadis yang amat dipercaya, sehingga dimasukkan ke dalam daftar rawi-rawi tsiqah oleh Yahya ibn Ma’in.

Kedua, ‘Amrah binti Abdirrahman

Ia lahir pada tahun 29 H. Ia merupakan murid unggulan dari istri-istri Rasulullah saw. dan para sahabiyat, terutama Sayyidah ‘Aisyah dan Sayyidah Ummu Salamah. Ia sukses dikader oleh Sayyidah ‘Aisyah, dan ia pun sukses mengkader putranya Muhammad ibn Abdirrahman dan juga cucunya, Haritsah dan malik. Ia juga merupakan guru penting Muhammab ibn Syihab Az-Zuhry. ‘Amrah memiliki banyak riwayat yang banyak tercantum di dalam banyak kitab-kitab hadis, terutama kutubussittah.

Ketiga, Ummu Ad-Darda’ As-Shughra

Ia adalah istri dari Abu Ad-Darda’; seorang sahabat Nabi yang cukup populer. Suaminya sekaligus gurunya. Di samping kepada suaminya, ia juga belajar kepada Salman Al-Farisi, ‘Aisyah dan Abu Hurairah. Ibnu Al-Jauzi menjelaskan bahwa Ummu Ad-Darda` ada dua orang. Pertama; Ummu Ad-Darda’ Al-Kubra, yaitu istri pertama Abu Ad-Darda` yang lebih dahulu meninggal, seorang sahabat Nabi dari kalangan perempuan. Kedua, yaitu Ummu Ad-Darda` As-Sughra. Dinamakan As-Shugra karena ia yang kecil.

Di saat Abu Ad-Darda` akan wafat, Ummu Darda` berkata, “Kau meminangku melalui orang tuaku di dunia, lalu mereka menikahkanmu (denganku). Dan aku meminangku kepada dirimu sendiri di Akhirat.” Lalu Abu al-Darda` berpesan, “(Jika begitu), maka jangan menikah setelah kepergianku”. Setelah Abu Ad-Darda’ wafat, ia dipinang oleh Mu’awiyah, maka Ummu Ad-Darda` pun menolaknya dengan menyampaikan kisah tersebut.

Tabi’in Terbaik, Uwais Al-Qarni atau Sa’id bin Al-Musayyab?

0
Tabi’in terbaik
Tabi’in terbaik

Hadispedia.id – Dalam kajian ilmu hadis, lebih khusus dalam kajian sanad, pengetahuan tentang tabi’in merupakan suatu cabang ilmu yang sangat penting, karena dengannya dapat dideteksi hadis mursal dan munqathi’. Karenanya, pengetahuan tentang tabi’in serta sosok tabi’in terbaik merupakan pengetahuan yang penting.

Tabi’in dalam Bahasa Arab (تابعين) merupakan bentuk jamak dari tabi’iy dan taabi’ (تابعي وتابع), secara bahasa berarti orang-orang yang mengikuti. Pengertian terminologinya diperdebatkan oleh para ahli hadis. Al-Khathīb Al-Baghdādī (w. 463 H) misalnya, tidak menganggap sebagai tabi’in, seorang muslim yang hanya sekedar pernah berjumpa dengan sahabat Nabi. Akan tetapi, baginya, seorang itu harus menjalani suhbah (proses berguru) dengan sahabat Nabi.

Sedangkan Al-Hakim, berpandangan bahwa seorang muslim sekedar bertemu saja dengan sahabat Nabi, sudah dianggap sebagai tabi’in. Pandangannya ini kemudian didukung oleh Ibnu Shalāh (w. 643 H) dan An-Nawawi (w. 676 H). Kemudian oleh As-Suyūthī (w. 911 H) dianggap sebagai pandangan mayoritas ahli hadis.

As-Suyūthī juga menguatkan pandangan ini dengan mengutip argumentasi Al-‘Irāqī bahwa hadis Nabi yang menyatakan, “Kebaikan bagi orang yang melihatku dan beriman denganku, dan kebaikan bagi orang yang melihat orang yang melihatku”, menunjukkan bahwa sekedar bertemu sudah cukup dianggap sebagai tabi’in.

Penyebutan tabi’in sudah ada pada masa Nabi, di mana Rasulullah saw. bersabda,

«إن خير التابعين رجل يقال له أويس وله والدة وكان به بياض فمروه فليستغفر لكم»

Artinya, “Sesungguhnya sebaik-baik tabi’in adalah seorang yang dipanggi Uwais, ia punya ibu (yang masih hidup), di badannya ada putih, maka mintalah ia untuk memintakan ampunan untuk kalian”. (H.R. Muslim).

Dengan adanya hadis ini, apakah Uwais Al-Qarni adalah tabi’in yang utama?

Jika ditelaah catatan para ahli hadis, sebagaimana dalam Muqaddimah Ibn As-Shalah, ternyata Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) menyatakan bahwa Sa’id bin Al-Musayyab merupakan tabi’in terbaik. Beliau juga menyebutkan setelah Ibnul Musayyab, ada Alqamah dan Al-Aswad sebagai sosok tabi’in terbaik.

Lantas, apakah pernyataan Imam Ahmad ini kontra dengan hadis Nabi?. Ternyata dalam Syarh Alfiyah Al-Iraqi dijelaskan bahwa menurut Al-Iraqi keunggulan Sa’id bin Al-Musayyab sebagai seorang tabi’in adalah dalam hal keilmuan, bukan dalam kebaikannya. Hal senanda juga diutarakan oleh Al-Bulqini, ia mengatakan sebaiknya dijelaskan bahwa tabi’in yang unggul dalam hal zuhud dan wara adalah Uwais, sedangkan dalam penguasaan hadis dan atsar adalah Sa’id bin Al-Musayyab.

Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa dalam konteks kajian hadis, Sa’id bin Al-Musayyab merupakan tokoh tabi’in yang terbaik, kerena penguasaannya terhadap hadis, dan memang beliau sangat populer dalam periwayatan hadis. Berbeda halnya dengan Uwais Al-Qarni, sangat tidak populer dalam sanad hadis, justru ia dikenal sebagai sosok yang dibicarakan dalam hadis-hadis tertentu. Karenanya, keunggulan Uwais bukanlah dalam hal keilmuan hadis, tetapi dalam hal kebaikan sosoknya yang diakui dalam matan hadis.

Di lain hal, ada pula ulama yang membagi kunggulan para tabi’in berdasarkan pengakuan penduduk suatu daerah. Sebagaimana pernyataan Abdullah ibn Khafif As-Syirazi yang dikutip oleh Imam An-Nawawi, bahwa Tabi’in yang paling unggul menurut orang-orang negeri Madinah adalah Sa’id bin Al-Musayyab, sedangkan menurut penduduk Kufah adalah Uwais dan menurut penduduk Bashrah adalah Hasan Al-Bashri. Pandangan terakhir ini kiranya juga dapat menengahi berbagai pandangan tentang siapa sosok tabi’in yang paling unggul. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Tanda Kenabian Rasulullah Berupa Daging Yang Menonjol. Kajian Kitab As-Syamail Al-Muhammadiyah Ke-21

0
Tanda Kenabian Rasulullah
Tanda Kenabian Rasulullah

Hadispedia.id – Tanda kenabian Rasulullah saw. banyak digambarkan oleh para sahabat, bahkan penggambarannya berbeda, namun masalah perbedaan ini sudah dibahas pada artikel sebelumnya. Pada kajian kitab As-Syamail Al-Muhammadiyah ke-21 ini, hadisnya akan membahas mengenai tanda kenabian Rasulullah berupa daging yang menonjol.

Riwayat ini berasal dari pertanyaan Abu Nadhrah Al-‘Auqi kepada Abu Sa’id Al-Khudri mengenai tanda kenabian Rasulullah saw. Berikut redaksi hadisnya:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْوَضَّاحِ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عَقِيلٍ الدَّوْرَقِيُّ، عَنْ أَبِي نَضْرَةَ الْعَوَقِيِّ قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ عَنْ خَاتَمِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَعْنِي خَاتَمَ النُّبُوَّةِ – فَقَالَ: كَانَ فِي ظَهْرِهِ بَضْعَةٌ نَاشِزَةٌ

Dari Abu Nadhrah al-‘Auqi, ia berkata: Aku bertanya kepada Abu Sa’id Al-Khudri perihal tanda kenabian Rasulullah saw. Ia menjawab, “Tanda itu berada di bagian belakang badan Rasulullah saw. berupa daging yang menonjol.” (H.R. Ahmad)

Hadis ini selain berada dalam Musnad Ahmad, bisa ditemukan juga dalam kitab Dalail An-Nubuwah li Al-Baihaqi dan kitab Al-Kuna wal Asma’ li Ad-Dulabi. Adapun dalam sumber primer tidak ditemukan dengan bantuan takhrij Maktabah As-Syamilah. Namun Imam Al-Bukhari meriwayatkannya dalam kitab At-Tarikh Al-Kabir.

Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Hajjaj secara jelas menyebutkan bahwa dalam riwayat Imam Al-Bukhari, tanda kenabian Rasulullah saw. sama dengan istilah dalam hadis di atas, persis menggunakan istilah bidh’ah An-Nasyizah, yakni daging yang menonjol dari badan Rasulullah saw.

Ibrahim bin Muhammad Al-Bajuri menjelaskan dalam kitab Al-Mawahib Al-Ladunniyah ‘ala As-Syamail Al-Muhammadiyah. Posisi dari dari tanda kenabian Rasulullah saw. berada di bagian paling atas dari bagian belakang beliau. Menurut Ibrahim tanda kenabian berupa daging yang menonjol, sama dengan pendapat Imam An-Nawawi ketika menjelaskan riwayat dalam Shahih Bukhari. Penjelasan yang sama juga diuraikan oleh Badruddin Al-‘Aini dalam kitab ‘Umdah Al-Qari’ Syarh Shahih Al-Bukhari.

Penjelasan para ulama ini yang dapat memberikan pemahaman bahwa benar adanya tanda kenabian berupa daging yang menonjol dari tubuh beliau. Sedangkan posisi tanda kenabian Rasulullah saw. berdasarkan hadis ini yang jelaskan oleh Ibrahim bin Muhammad berada di bagian paling atas dari bagian belakang tubuh beliau. Wallahu a’lam bis Shawab.

Salman Al-Farisi Masuk Islam Sebab Hal Ini! Kajian Kitab As-Syamail Al-Muhammadiyah Ke-20

0
Salman Al-Farisi
Salman Al-Farisi

Hadispedia.id – Tanda kenabian Rasulullah saw. tidak hanya dikenal oleh kalangan para sahabatnya. Bahkan seseorang  yang awalnya non muslim bisa melihat tanda kenabian beliau, bukan cuma melihat begitu saja bahkan Salman Al-Farisi masuk Islam sebab melihat tanda kenabian Rasulullah saw ini.

Kisah Salman Al-Farisi sebelum masuk Islam mengalami lika-liku, hingga akhirnya bertemu Rasulullah saw. dan beriman. Mari ikuti kisah Salman Al-Farisi masuk Islam sebab melihat tanda kenabian Rasulullah saw. dalam hadis riwayat Abu Buraidah berikut ini.

حَدَّثَنَا أَبُو عَمَّارٍ الْحُسَيْنُ بْنُ حُرَيْثٍ الْخُزَاعِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُسَيْنِ بْنِ وَاقِدٍ، قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدَةَ قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي بُرَيْدَةَ، يَقُولُ: جَاءَ سَلْمَانُ الْفَارِسِيُّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ بِمَائِدَةٍ عَلَيْهَا رُطَبٌ فَوَضَعَهَا بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «يَا سَلْمَانُ مَا هَذَا؟» فَقَالَ: صَدَقَةٌ عَلَيْكَ وَعَلَى أَصْحَابِكَ، فَقَالَ: «ارْفَعْهَا، فَإِنَّا لَا نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ» قَالَ: فَرَفَعَهَا، فَجَاءَ الْغَدَ بِمِثْلِهِ، فَوَضَعَهُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «مَا هَذَا يَا سَلْمَانُ؟» فَقَالَ: هَدِيَّةٌ لَكَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ: «ابْسُطُوا». ثُمَ نَظَرَ إِلَى الْخَاتَمِ عَلَى ظَهْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ فَآمَنَ بِهِ. وَكَانَ لِلْيَهُوَدِ، فَاشْتَرَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ بِكَذَا وَكَذَا دِرْهَمًا، عَلَى أَنْ يَغْرِسَ لَهُمْ نَخْلًا، فَيَعْمَلَ سَلْمَانُ فِيه، حَتَّى تُطْعِمَ. فَغَرَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ النَّخْلَ إِلَّا نَخْلَةً وَاحِدَةً فَغَرَسَهَا عُمَرُ، فَحَمَلَتِ النَّخْلُ مِنْ عَامِهَا، وَلَمْ تَحْمِلِ النَّخْلَةُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ: «مَا شَأْنُ هَذِهِ النَّخْلَة ؟» فَقَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنَا غَرَسْتُهَا. قَالَ: فَنَزَعَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ، ثُمَّ غَرَسَهَا، فَحَمَلَتْ مِنْ عَامِهَا.

Abu Buraidah berkata: Salman Al-Farisi datang membawa baki berisi kurma kepada Rasulullah saw. (pada waktu dia baru tiba di Madinah). Baki itu diletakkan di hadapan Rasulullah saw. Beliau bertanya, “Wahai Salman apa ini?”. Salman menjawab, “Ini sedekah buat Anda dan sahabat anda”. Rasulullah saw. bersabda, “Angkatlah ini dari sini, kami tidak makan sedekah”. Baki itu pun diangkat oleh Salman.

Keesokan harinya, Salman datang lagi dengan membawa makanan yang serupa dan diletakkan di hadapan Rasulullah saw. Beliau bertanya, “Apakah ini wahai Salman?”. Salman menjawab, “Ini adalah hadiah buat Tuan”. Rasulullah saw. bersabda, “Hidangkanlah!”. Kemudian Salman memperhatikan khatam yang terletak di punggung Rasulullah saw., maka dia pun menyatakan keimanannya kepada beliau.

Salman adalah budak seorang Yahudi, Maka Rasulullah saw. membelinya dengan beberapa dirham, yalni dengan cara mengupah menanam pohon kurma. Salman bekerja di kebun itu sampai pohon-pohon kurma itu berbuah, Rasulullah saw. membantunya menanam pohon-pohon itu. Di antaranya ada pohon yang ditanam Umar r.a. Pohon-pohon itu tumbuh subuh, kecuali sebatang pohon yang yang mati. Rasulullah saw. bertanya, “Kenapa pohon yang satu ini?”. Umar menjawab, “Wahai Rasulullah sayalah yang menanamnya”. Rasulullah saw. pun mencabutnya, kemudian menanakannya lagi, dan tumbuhlah dengan baik.

Salman Al-Farisi Masuk Islam Sebab Melihat Tanda Kenabian Rasulullah Saw.

Ketika Salman Al-Farisi memberikan hadiah kepada Rasulullah saw. dia melihat tanda kenabian Rasulullah saw. Menurut para sejarawan, Salman Al-Farisi menunggu melihat tanda kenabian Rasulullah saw. untuk ketiga kalinya, sampai seorang Anshar (kalangan sahabat di Madinah) meninggal dunia. Rasulullah saw. mengantarkannya sampai ke pemakaman Baqi’ serta beliau duduk bersama para sahabat yang sedang menunggunya. Sebagaimana penjelasan Ibrahim bin Muhammad Al-Bajury dalam kitab al-Mawaahib al-Ladunniyah ‘alaa al-Syamaail al-Muhammadiyah.

Kemudian Salman Al-Farisi datang dan mengelilingi dari belakang beliau untuk melihat tanda kenabian beliau. Ternyata Rasulullah saw. mengetahui apa yang Salman Al-Farisi lakukan, maka Rasulullah saw. menjatuhkan pakaiannya agar dia bisa melihat tanda kenabian beliau. Maka dari sinilah Salman Al-Farisi masuk Islam sebab melihat tanda kenabian Rasulullah.

Rasulullah Saw Memerdekakan Salman Al-Farisi Dari Perbudakan

Setelah Salman Al-Farisi masuk Islam sebab melihat tanda kenabian Rasulullah saw. Maka Rasulullah saw. membeli Salman Al-Farisi dengan memberinya beberapa dirham. Karena awalnya Salman al-Farisi adalah seorang budak Yahudi dari Bani Quraidhah. Beliau yang menjadi sebab kemerdekaan Salman Al-Farisi, yakni dia menjadi merdeka dengan cara menebus dirinya kepada majikannya secara angsur dengan waktu yang telah ditentukan atau yang dikenal dengan istilah mukatab.

Hadis di atas tidak menyebutkan berapa jumlah dirham pemberian Rasulullah saw. namun ada riwayat lain yang menyebutkan 40 ons (uqiyah) perak, ada yang berpendapat emas dan seterusnya sampai Rasulullah saw. dikasih emas sebesar telor ayam. Kemudian beliau bertanya, apa yang dapat dilakukan kepada Al-Farisi yang menjadi mudak? Maka Salman Al-Farisi dipanggil, Ambillah! dan selesaikan apa yang terjadi pada dirimu!. Salman Al-Farisi berkata, maka darimana saya dapat membayar ini dari apa yang saya punya? Rasulullah saw. bersabda, Ambillah! maka Allah akan menggantinya dari kamu. Salman Al-Farisi berkata, saya menimbangnya 40 ons (uqiyah) untuk mereka, saya menepati hak mereka. Maka merdekalah Salman Al-Farisi.

Baca juga: Perawi Hadis yang Terkenal dengan Nama Kunyah

Bani Quraidhah menjadikan Salman Al-Farisi berstatus mukatab dengan dua cara pembayaran. Pertama, dengan beberapa ons tadi. Kedua, menanam pohon kurma serta bekerja sampai berbuah. Hadis tentang Salman Al-Farisi masuk Islam sebab melihat tanda kenabian Rasulullah saw. ini tidak menyebutkan berapa jumlah pohon yang ditanam oleh Salman Al-Farisi. Namun dalam sebagian riwayat ada 300 pohon kurma, ini semua sumbangan dari para sahabat atas saran Rasulullah saw.

Riwayat hadis dari Abu Buraidah memberi pemahaman bahwa tanda kenabian Rasulullah saw. bukan cuma dapat dilihat oleh para sahabat, bahkan Salman Al-Farisi yang awalnya Majusi dapat melihatnya sampai tiga kali. Dengan izin Allah Salman Al-Farisi masuk Islam sebab melihat tanda kenabian Rasulullah saw. Wallahu a’lam bis shawab.

Hadis No. 8 Sunan Abi Daud

0
Sunan Abu Daud
Sunan Abu Daud

قَالَ الْاِمَامُ أَبُو دَاوُدَ سُلَيْمَانُ بْنُ الأَشْعَثِ فِيْ سُنَنِهِ فِيْ بَابِ كَرَاهِيَةِ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ عِنْدَ قَضَاءِ الْحَاجَةِ

حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ اللَّيْثِيِّ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ رِوَايَةً قَالَ: «إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ وَلَا بَوْلٍ وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا» فَقَدِمْنَا الشَّامَ فَوَجَدْنَا مَرَاحِيضَ قَدْ بُنِيَتْ قِبَلَ الْقِبْلَةِ فَكُنَّا نَنْحَرِفُ عَنْهَا وَنَسْتَغْفِرُ اللَّهَ

ِAl-Imam Abu Daud; Sulaiman bin Al-Asy’ats berkata di dalam kitab Sunan-nya pada bab makruhnya menghadap kiblat saat buang hajat,

Musaddad bin Musarhad telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Sufyan telah menceritakan kepada kami, dari Az-Zuhri dari Atha’ bin Yazid Al-Laitsi dari Abu Ayyub yang diriwayatkan dari Rasulullah saw., beliau bersabda, “Apabila kalian mendatangi tempat buang hajat, maka janganlah menghadap kiblat pada saat buang air besar dan buang air kecil, tetapi menghadaplah ke arat timur atau barat.” Lalu kami datang ke Syam, ternyata kami dapati tempat-tempat buang hajat telah dibangun menghadap kiblat, maka kami berpaling darinya dan memohon ampun kepada Allah.

Hadis No. 7 Sunan Abi Daud

0
Sunan Abu Daud
Sunan Abu Daud

قَالَ الْاِمَامُ أَبُو دَاوُدَ سُلَيْمَانُ بْنُ الأَشْعَثِ فِيْ سُنَنِهِ فِيْ بَابِ كَرَاهِيَةِ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ عِنْدَ قَضَاءِ الْحَاجَةِ

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ النُّفَيْلِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلَانَ عَنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ بِمَنْزِلَةِ الْوَالِدِ أُعَلِّمُكُمْ فَإِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الْغَائِطَ فَلَا يَسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرْهَا وَلَا يَسْتَطِبْ بِيَمِينِهِ وَكَانَ يَأْمُرُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ وَيَنْهَى عَنِ الرَّوْثِ وَالرِّمَّةِ

ِAl-Imam Abu Daud; Sulaiman bin Al-Asy’ats berkata di dalam kitab Sunan-nya pada bab makruhnya menghadap kiblat saat buang hajat,

Abdullah bin Muhammad An-Nufaili telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Ibnu Al-Mubarak telah menceritakan kepada kami, dari Muhammad bin ‘Ajlan dari Al-Qa’qa’ bin Hakim dari Abu Shalih dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya aku bagi kalian hanyalah seperti kedudukan orang tua, aku ajarkan kepada kalian; apabila salah seorang dari kalian hendak buang air besar, maka janganlah menghadap kiblat, jangan pula membelakanginya, dan jangan beristinja’ dengan tangan kanannya.” Beliau juga menyuruh untuk beristinja’ dengan tiga batu, serta melarang beristinja’ dengan kotoran binatang dan tulang basah.

Hadis No. 6 Sunan Abi Daud

0
Sunan Abu Daud
Sunan Abu Daud

قَالَ الْاِمَامُ أَبُو دَاوُدَ سُلَيْمَانُ بْنُ الأَشْعَثِ فِيْ سُنَنِهِ فِيْ بَابِ كَرَاهِيَةِ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ عِنْدَ قَضَاءِ الْحَاجَةِ

حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ سَلْمَانَ قَالَ: قِيلَ لَهُ لَقَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ قَالَ: أَجَلْ لَقَدْ نَهَانَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ وَأَنْ لَا نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ، وَأَنْ لَا يَسْتَنْجِيَ أَحَدُنَا بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ عَظْمٍ

ِAl-Imam Abu Daud; Sulaiman bin Al-Asy’ats berkata di dalam kitab Sunan-nya pada bab makruhnya menghadap kiblat saat buang hajat,

Musaddad telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Abu Muawiyah telah menceritakan kepada kami, dari Al-A’masy dari Ibrahim dari Abdurrahman bin Yazid dari Salman, ia berkata, dikatakan kepadanya, “Sungguh Nabi kalian telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu hingga urusan buang hajat.” Salman menjawab, “Benar, beliau telah melarang kami menghadap kiblat pada saat buang air besar atau buang air kecil, agar kami tidak beristinja’ dengan tangan kanan, agar salah seorang dari kami tidak beristinja’ dengan kurang dari tiga batu, atau (tidak) beristinja’ dengan kotoran binatang atau tulang.”