Hadispedia.id – Sebagai umat Islam, kita diwajibkan untuk selalu merujuk kepada dua sumber utama dalam keberagamaan kita: Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dua sumber ini sangat penting dirujuk karena di dalamnya terdapat ajaran-ajaran Islam yang harus diperhatikan oleh Umat Islam. Hanya saja, persoalan pertama kali yang mengemuka ialah bagaimana kita bisa memahami kedua sumber agama tersebut?
Sampai di sini, kita sedang dihadapkan pada persoalan hermeneutis, yakni bagaimana kita dapat memahami suatu kumpulan teks yang lahir dari masa silam untuk kita pahami dan kita praktikkan di masa kini? Mungkin kalau kita agak riskan menanyakan seperti ini, ada satu pertanyaan yang sederhana, bagaimana kita dapat memahami hadis-hadis Nabi? Meski pertanyaan ini cukup sederhana, jawabannya memerlukan permenungan secara lebih mendalam.
Namun demikian, kita tak perlu berpikir sekeras para ulama terdahulu kita, kita cukup saja membaca cara memahami hadis yang disarankan oleh Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, M.A dalam karyanya At-Turuq As-Sahihah fi Fahm As-Sunnah An-Nabawiyyah. Buku ringkas ini cukup memberikan strategi menarik dalam memahami hadis-hadis Nabi. Kalau boleh saya pinjam istilah linguistic, apa yang ditulis Kiai Ali ini, merupakan ancangan awal dalam analisis wacana hadis.
Ada beberapa strategi yang digunakan Kiai Ali dalam memahami hadis-hadis Nabi. Strategi ini memang secara konsisten digunakan beliau ketika mencoba memberikan fatwa atau ketika melihat fenomena keagamaan umat Islam dalam kacamata hadis.
Strategi pertama yang beliau gunakan ialah “pahami dulu sistem metafora bahasa yang ada pada kandungan hadis”. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak akan dapat lepas dari penggunaan metafora. Ketika musim pemilu tiba, biasanya bahasa-bahasa kampanye menggunakan metafor-metafor ini. Misalnya, ada istilah ‘cebong’ untuk merujuk kepada Pro-Jokowi. Lawan politik Jokowi atau pendukung Prabowo disebut kampret. Ada lagi sebutan kadrun alias kadal gurun. Semua itu merupakan kata-kata yang tidak menunjukkan arti yang sesungguhnya, yakni binatang, tapi lebih ke bagaimana istilah ini ditransfer dari ranah binatang ke ranah partisipan politik. Inilah metaphor. Menurut Lakoff dan Johnson dalam The Metaphor We Live By, metafor merupakan aspek penting dalam kehidupan kita.
Jika kehidupan sehari-hari kita saja tidak mungkin lepas dari penggunaan metafor, apalagi bahasa agama yang dalam banyak pesan-pesannya selalu menggunakan strategi perumpamaan. Strategi pertama ini dapat digunakan untuk memahami beberapa hadis tertentu. Misalnya, dalam Fath Al-Bari, Ibn Hajar mengemukakan sebuah hadis riwayat Al-Bukhari. Hadis ini diriwayatkan oleh Aisyah. Para istri bertanya kepada Nabi tentang siapakah yang paling cepat menyusul duluan sepeninggal Nabi. Rasul pun menjawab, “Yang paling panjang tangannya”. Akhirnya mereka mengukur tangannya masing-masing dan ternyata yang paling panjang tangannya ialah Saudah. Hanya saja ternyata Zainab yang meninggal duluan sementara tanganya paling pendek dari istri-istri Nabi lainnya. Zainab ini merupakan istri Nabi yang paling banyak sedekahnya.
Untuk memahami hadis tersebut kita tentu harus mengetahui metafora yang digunakan. Di sini ada kaitan antara “Yang paling panjang tangannya” dan “yang paling sering bersedekah”. Metafora ‘panjang tangan’ dalam kebudayaan Arab dikonotasikan sebagai perilaku yang sering memberi orang lain. Karena itu, bagi Kiai Ali, metafora perlu dipahami untuk memahami hadis-hadis yang mengandung banyak perumpamaan.
Baca juga: Dalil Hadis Anjuran Melatih Anak-Anak Berpuasa Ramadhan
Strategi kedua, “temukan illat dibalik pensyariatan sebuah hukum dalam hadis”. Illat di sini bukan dalam pengertian hadis. Karena jika dalam sebuah hadis ada illat-nya, illat-nya tersebut dapat menyebabkan hadis menjadi lemah atau dhaif. Illat yang dimaksud dalam strategi ini termasuk dalam kajian usul fikih. Illat dalam kajian usul fikih terbagi menjadi dua, illat yang ada dalam nas agama dan illat yang dihasilkan dari ijtihad. Ini bisa digunakan untuk membaca makna beberapa hadis.
Misalnya, hadis tentang perintah agar umat Islam harus berbeda secara penampilan dari kaum Musyrik. Nabi saw. bersabda, “Bedakanlah diri kalian dari kaum Musyrik. Panjangkan jenggot dan cukurlah kumis kalian.” Perintah panjangkan jenggot dan cukur kumis di sini dilandasi alasan/illat untuk berbeda secara penampilan dari kaum musyrik. Kaum musyrik di zaman Nabi tentu berbeda dari kaum musyrik di masa sekarang. Karena itu, memahami hadis ini dapat dilakukan dengan melihat illat perintah memanjangkan jenggot dan mencukur kumis itu.
Jika di masa Nabi, kaum musyrik memanjangkan kumis dan mencukur jenggot namun di masa sekarang tentu jauh berbeda sesuai dengan kondisi lingkungannya. Misalnya taruhlah kaum musyrik saat ini memanjangkan jenggot dan mencukur kumis, tentu berdasarkan illat untuk berbeda itu, kaum muslim harus memanjangkan kumis dan mencukur jenggot.
Strategi ketiga, “perhatikan kondisi geografis ketika sebuah hadis dituturkan”. Strategi ini penting mengingat ada beberapa hadis yang berkenaan dengan arah ritual agama misalnya kiblat, buang hajat dan lain-lain. Meski letak geografis itu tidak bisa dijadikan sumber peletakan hukum, namun letak geografis juga dapat membantu kita memahami hadis.
Misalnya, Al-Bukhari dalam Shahih-nya meriwayatkan hadis dari Abu Ayyub Al-Anshari bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika seseorang di antara kalian ada yang mau buang hajat, janganlah menghadap atau membelakangi kiblat, tapi menghadaplah ke arah timur atau barat.” Dalam hadis ini tidak disebutkan posisi Rasul ketika menyabdakan hukum arah buang hajat ini. Namun dalam riwayat lain, Ibnu Umar menceritakan pengalamannya. Beliau mengatakan, “Ketika aku menaiki rumah Hafsah untuk beberapa keperluan, aku pernah melihat Rasulullah saw. sedang buang hajat sambil membelakangi kiblat dan menghadap ke arah Syam.”
Hafsah merupakan istri Nabi yang dinikahi setelah hijrah ke Madinah. Jelaslah di sini bahwa posisi Nabi saat itu berada di Madinah. Letak Madinah secara geografis berada di arah utara Mekkah. Karena itu, hadis ini tidak boleh diamalkan secara tekstual di Indonesia karena letak geografis Indonesia berada di arah timur. Artinya ketika kita mengamalkan perintah Nabi yang mengatakan “menghadaplah ke arah timur atau barat ketika buang hajat” itu artinya kita “menghadap atau membelakangi kiblat”.
Tentu ini tidak seperti yang disabdakan Nabi sebelumnya agar kita tidak menghadap kiblat. Artinya jika hadis tersebut diamalkan di Indonesia, maka “menghadaplah ke arah utara atau selatan ketika buang hajat”. Untuk memahami hadis ini, ada dua pendekatan; pertama, pendekatan secara lafal yang berlaku untuk kalimat pertama dari hadis tersebut, “Jangan menghadap kiblat atau membelakanginya”. Kedua, pendekatan secara makna yang berlaku untuk kalimat kedua dari hadis tersebut, “menghadaplah ke arah timur atau barat”. Dua pendekatan ini, kata Kiai Ali, hanya bisa dilakukan bagi orang yang mengetahui letak geografis
Baca juga: Hadis No. 11 Sunan At-Tirmidzi
Strategi keempat, “perhatikan kedisinian dan kekinian sebuah hadis”. Karena hadis-hadis dituturkan dalam konteks masyarakat Arab, maka tentu kandungannya tidak melulu berkaitan dengan agama yang lepas dari bingkai budaya. Sejatinya, Al-Qur’an dan hadis diwahyukan kepada Nabi tidak terlepas dari konteks yang mengitarinya, tidak turun dalam ruang dan waktu yang kosong dari budaya setempat. Meski kadang prinsip al-hadits arabiyyun lughatan wa alamiyyun ma’nan ‘hadis itu meski secara lafal berbahasa Arab namun secara makna bersifat universal’ bisa dipakai, namun hadis tetaplah hadis, ujaran Nabi yang berbahasa Arab, bahasa yang sepenuhnya mencerminkan kebudayaan Arab. Karena itu menurut Kiai Ali, pahami hadis dalam bingkai ruang dan waktunya. Strategi ini digunakan beliau untuk memahami hadis-hadis yang berkenaan dengan kebudayaan Arab seperti pakaian misalnya. Hadis-hadis mengenai pakaian banyak sekali jumlahnya.
Pemahaman secara tekstual terhadap hadis-hadis pakaian ini akan mengimplikasikan bahwa pakaian Nabi wajib digunakan oleh umat Islam. Bagi Kiai Ali, bukan itu yang dimaksud sunnah Nabi. Mengikuti sunnah berarti ya kita harus memakai pakaian sesuai adat dan istiadat kita karena Nabi sendiri memakai pakaian sesuai tradisi Arab, bukan Persia atau lain-lain. Bahkan Kiai Ali berpandangan lebih ekstrim lagi. Bagi beliau, memakai pakaian yang tidak sesuai adat kebiasaan setempat atau pakaian itu berbeda dari budayanya disebutnya sebagai ‘pakaian syuhrah’. Si pemakainya akan dijerumuskan ke dalam Neraka. Begitu Kiai Ali berpendapat sambil mengutip hadis riwayat Ibnu Majah.
Strategi kelima, “perhatikan skala prioritas dalam ibadah”. Strategi ini biasanya digunakan Kiai Ali untuk memahami hadis dalam kaitannya dengan ibadah haji atau umrah berulang. Jika ada dua ibadah dimana yang satu dari segi pahala bersifat utama sementara yang lain lebih utama, maka ibadah yang lebih utama ini yang lebih diprioritaskan untuk diamalkan. Jika ada dua ibadah dimana yang satu dampak positifnya untuk pribadi sementara ibadah yang lain dampak positifnya bukan hanya untuk pribadi namun juga untuk lingkungan sosial, maka ibadah yang berdampak social secara positif inilah yang diutamakan. Bahkan pandangan mengenai prioritas ibadah ini begitu mewarnai tulisan-tulisan Kiai Ali. Tulisan-tulisan yang berkaitan dengan hal ini biasanya bernada provokatif seperti Haji Pengabdi Setan dan Kiyai Pemburu Dolar.
Strategi keenam, “dahulukan intensionalitas syariah di atas tekstualitas hadis”. Strategi ini memang tidak terlalu banyak dikupas dalam berbagai karya-karyanya. Kendati demikian, Kiai Ali memandang bahwa tekstualitas hadis tetap penting meski semangat yang melandasi hadis itu yang lebih penting. Contoh hadis yang berkenaan dengan strategi ini ialah perintah Nabi saw. kepada Zaid bin Tsabit untuk mempelajari bahasa Ibrani. Tekstualitas hadis ini mengatakan bahwa mempelajari bahasa Ibrani itu sunnah. Namun berdasar pada pemahaman atas intensionalitas hadis ini, Kiai Ali memandang bahwa belajar bahasa asing itu termasuk sunnah jika semangatnya untuk berdakwah dan kebaikan.
Baca juga: Biografi Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sikapnya Terhadap Hadis Nabi
Berdasarkan kepada strategi pemahaman hadis di atas dapat disimpulkan bahwa Kiai Ali Mustafa Yaqub menggunakan dua pendekatan sekaligus: pendekatan tekstual dan pendekatan kontekstual. Masing-masing pendekatan ini dimungkinkan tergantung pada hadis yang akan dipahami. Artinya penggunaan pendekatan ini akan didorong oleh bagaimana sebuah hadis berbicara. Hadis yang berbicara tentang apa dan bagaimana akan menentukan dengan sendirinya model pendekatan yang dipakai. Dalam pepatah dunia penelitian dikatakan “objek menentukan metode yang akan digunakan”. Kiai Ali dalam hal ini telah berhasil membangun metode yang unik dalam memahami hadis dalam konteks keindonesiaan. Wa Allahu a’lam.