Biografi Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sikapnya Terhadap Hadis Nabi

Hadispedia.id – Salah seorang sahabat yang sangat disegani dan menjadi Khulafa al-Rasyidin ke empat yakni Ali bin Abi Thalib. Ia sangat faham betul dengan hukum-hukum dalam ajaran Islam karena ia belajar langsung dengan Nabi Muhammad saw. Berbagai sumber hukum Islam ia kuasai tanpa terkecuali Hadis. Oleh karenanya akan sangat menarik untuk dicermati tentang perhatiannya terhadap hadis.

Perjalanan Hidup Ali bin Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib dilahirkan 30 tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad saw. atau sekitar 21 tahun sebelum hijriyah. Namun pendapat mengenai kelahiran Ali cukup beragam. Ada juga yang berpendapat bila Ali Lahir pada tahun ke 23 setelah kelahiran Nabi saw.

Mengenai namanya. Sang Ibu pernah memberinya nama dengan Haidhar/Haidharah yang bermakna singa, namun Abu Thalib lebih memilih nama Ali yang berarti tinggi, agung, dan luhur. Nama Ali sendiri lebih dikenal di kalangan masyarakat pada waktu itu. Sedangkan al-Mizzi dalam Tahdzib al-Kamal menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. sendiri memberi julukan kepada Ali sebagai Abu Turab (bapak Tanah)

Imam al-Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa’ menerangkan bahwa secara keturunan, ia merupakan anak terakhir dari Abu Thalib. Adapun beberapa saudaranya antara lain Ja’far, Uqail, dan Thalib. Abu Thalib sendiri adalah paman Nabi Muhammad saw. Sehingga secara silsilah garis keturunan, Ali merupakan sepupu Nabi Muhammad saw. dan pastinya berdarah Hasyimi (keturunan Bani Hasyim).

Baca juga: Menjelajah Keilmuan Hadis Sahabat Abu Bakar As-Shidiq

Saat terjadi kekeringan dan kesusahan di kalangan Quraisy, hal itu juga diterpa oleh keluarga Abu Thalib. Hingga Nabi Muhammad saw berinisiatif dengan meminta bantuan pamannya yakni Hamzah dan Abbas untuk membantu meringankan beban hidup saudaranya yakni Abu Thalib. Nabi Muhammad saw. beserta paman-pamannya akhirnya menanggung biaya hidup dan mengasuh anak-anaknya. Bantuan tersebut diterima oleh Abu Thalib hingga akhirnya Abbas mengasuh Thalib, Hamzah mengasuh Ja’far, dan Nabi Muhammad saw. mengambil Ali untuk diasuhnya, sehingga menyisakan Aqil untuk tetap menemani ayahnya.

Semenjak diasuh oleh Rasulullah saw., Ali tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya sehat secara jasmani, melainkan juga secara rohani. Ia sudah terdidik untuk menjunjung tinggi nilai-nilai luhur. Hingga pada umur 10 tahun, ia mulai melihat tanda-tanda keanehan pada Nabi Muhammad saw. Pada saat itu, ia menjadi pengantar kebutuhan Nabi selama ber-tahannus (semedi) di gua Hira’

Ali sendiri telah memeluk agama Islam sejak usia 10 tahun dan termasuk golongan assabiquna al-Awwalun (yang pertama masuk Islam) dari kalangan anak-anak, bahkan lebih dahulu ketimbang Abu Bakar. Dalam kitab al-Imam ‘Ali ibn Abi Thalib karya Muhammad Ridha disebutkan beragam pendapat perihal usia Ali saat masuk Islam. Ada yang mengatakan 10 tahun hingga antara 15-16 tahun.

Kemampuan Ali dalam Beristinbath

Berkat didikan serta kasih sayang yang diberikan Rasulullah saw. kepada Ali, membuatnya menjadi pribadi yang selalu berbuat baik. Masa remajanya juga dilalui dengan menemani Rasulullah saw. dalam menerima wahyu. Oleh karenanya, Ali cukup banyak mengetahui tentang turunnya ayat-ayat kepada Rasulullah saw.

Al-Suyuthi dalam al-Itqan menyebutkan riwayat dari Mu’ammar dari Wahab ibn Abdlilah ibn Abi al-Tufail berkata, “Aku melihat Ali berkhutbah dan berkata: “Tanyakanlah kepadaku, demi Allah tidaklah kalian bertanya kepadaku tentang suatu kecuali aku akan menjawabnya. Bertanyalah kepadaku tentang kitab Allah, niscaya tidak ada satu ayat pun kecuali aku tahu apakah ia turun pada siang hari atau malam hari, juga apakah ia turun di dataran rendah ataukah di atas gunung”.

Pada masa khulafa al-Rasyidin, Syariat Islam cukup mendapati berbagai perkara yang sebelumnya tidak pernah terjadi di masa Rasulullah saw. Beragam persoalan tersebut akhirnya menuntut akan kepastian hukumnya. Oleh karenanya para sahabat dituntut memainkan perannya sebagai penerus ajaran Islam untuk menemukan solusi atas berbagai persoalan.

Salah satu sahabat yang cukup berperan dalam hal itu ialah Ali bin Abi Thalib. Kepakarannya dalam berijtihad sudah diakui oleh Nabi dan para sahabat lainnya. Ia cukup banyak memberi corak tersendiri dalam khazanah perkembangan fiqih. Berdasarkan kapasitasnya itu lah, ia juga dijuluki sebagai hakimnya umat Islam.

Sikapnya terhadap Hadis

Dalam ber-istinbath, Ali bin Abi Thalib selalu merujuk pada sumber hukum dalam ajaran Islam yakni Al-Qur’an dan Sunnah. Selain kemampuannya dalam memahami isi Al-Qur’an, ia juga memiliki perhatian lebih terhadap hadis.

Adanya perbedaan kesempatan bagi para sahabat untuk mengikuti majelis Rasulullah saw. berakibat pula terhadap penyebaran hadis yang terjadi pada masa itu. Oleh karenanya, ada beberapa sahabat yang pengetahuan hadisnya sedang-sedang saja hingga ada pula yang sangat luas keilmuannya.

Sahabat Ali termasuk orang yang sangat beruntung karena sering bersama Rasulullah saw. sehingga banyak menerima hadis darinya. Pengetahuannya dalam bidang hadis membuatnya menjadi senantiasa berpegang teguh pada sunnah Nabi saw.

Namun demikian, seperti beberapa sahabat yang lain, ia termasuk orang yang sangat hati-hati dalam menerima riwayat dari sahabat lain. Tidak semua riwayat dari para sahabat bisa diterima begitu saja olehnya. Bahkan ia memiliki metode tersendiri dalam menyaring riwayat-riwayat. Ajjaj al-Khatib dalam Ushul al-Hadis menerangkan bahwa Ali dalam menilai suatu hadis yang benar-benar dari Rasulullah saw. haruslah “mengangkat sumpah” kepada mereka yang meriwayatkannya.

“Mengangkat sumpah” bukanlah cara yang senantiasa dilakukan dan tidak menjadi syarat mutlak bagi Ali. Cara ini tidak berlaku bagi mereka yang tidak diragukan lagi kejujuran dan hafalannya seperti yang dilakukannya pada Abu Bakar. Cara ini tidak bermaksud mencurigai para sahabat, melainkan untuk menunjukkan kehati-hatiannya dalam memastikan kesahihan suatu hadis dari Rasulullah saw.

Baca juga: Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash, Sahabat yang Gemar Menulis Hadis

Ali bin Abi Thalib juga termasuk salah satu sahabat yang menganjurkan para murid-muridnya untuk menulis hadis. Mustafa al-A’zami menerangkan dalam ­Dirasah al-Hadis al-Nabawi wa Tarikh Tadwinihi bahwa Ali bin Abi Thalib juga mengimla’kan hadis-hadisnya. Riwayat ‘Alya bin Ahmar menjelaskan bahwa saat Ali berkhutbah, Ali bertanya pada para pendengar “Siapa yang mau membeli hadis dengan uang satu dirham?”. Lalu Harits al-A’war membeli kertas seharga satu dirham kemudian menghadap Ali dan menulis hadis yang banyak sekali.

Dari semua penjelasan yang sudah disebutkan, banyak sekali yang bisa diteladani dari Ali bin Abi Thalib. Kehati-hatiannya dalam menerima hadis menjadi bukti ia menghormati Nabi Muhammad saw. dan itu perlu dicontoh oleh umat Islam. Wallahu a’lam.

Mohammad Anas Fahruddin
Mohammad Anas Fahruddin
Alumni Ilmu Hadis UIN Sunan Ampel Surabaya

Artikel Terkait

spot_img

Artikel Terbaru