Status Perawi Hadis yang Buruk Hafalannya

Hadispedia.id – Kuatnya hafalan seorang perawi hadis merupakan salah satu faktor penting yang menentukan kualitas hadis yang diriwayatkannya di samping faktor kecakapan pribadi sebagai seorang muslim (‘adalah).

Perawi yang memiliki hafalan yang kuat, dikenal dengan perawi yang dhabit. Kemampuan hafalan yang cakap ini, sangatlah penting dimiliki oleh seorang perawi untuk menjaga orisinalitas hadis yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Perawi yang dhabit dan memiliki kualitas ‘adalah yang baik dianggap sebagai perawi yang kredibel (tsiqah).

Perawi yang tidak memiliki hafalan yang kuat, dalam ilmu musthalah hadis dikenal dengan perawi yang su’u al-hifzi (buruk hafalannya). Yaitu perawi yang ketepatan hafalannya tidaklah lebih besar dari pada kekeliruannya dalam meriwayatkan suatu hadis, maka ia sering keliru dalam meriwayatkan hadis yang ia telah dengar sehingga banyak dijumpai kesalahan dalam periwayatannya.

Jika dijumpai kesalahan dalam riwayat perawi, sedangkan sang perawi termasuk ke dalam perawi yang jarang melakukan kesalahan, maka ia tidaklah dikatakan sebagai perawi yang buruk hafalannya. Sehingga, hadisnya masih dapat diterima dengan ketentuan bahwa hadis tersebut bukanlah hadis yang ia riwayatkan secara salah, seperti menyelisihi perawi lain yang lebih kredibel.

Namun, bilamana perawi itu lebih dominan melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadis dari semua total hadis yang pernah ia riwayatkan maka barulah ia tergolong kategori perawi yang buruk hafalannya.

Hal tersebut didasarkan pada anggapan bahwa semua orang tidaklah terlepas dari kesalahan. Maka kesalahan yang sangat sedikit, tidak lantas menjatuhkan kualitas hafalan perawi hingga ia dihukumi sebagai orang yang kurang kredibel (tsiqah)

Baca juga: Inilah Adab-adab Bagi Para Penuntut Hadis

Setidaknya terdapat dua jenis perawi yang buruk hafalannya menurut para ahli ilmu hadis:

Pertama. Perawi yang buruk hafalannya semasa hidupnya, yang mana buruk hafalannya ini merupakan sifat dasar yang ada pada diri perawi tersebut, sehingga ia selalu lupa dalam banyak hal. Perawi yang demikian, maka periwayatannya tidak dapat diterima dan menurut sebagian ahli hadis dikenal dengan sebuatan “syadz

Kedua. Perawi yang buruk hafalannya disebabkan oleh beberapa faktor yang muncul pada hidupnya. Faktor tersebut adalah sebagai berikut: usia yang semakin tua seperti ‘Atha bin As-Saib, atau hilang penglihatannya seperti Abdul Ar-Razzaq bin Hammam As-Shan’ani, atau hilangnya kitab-kitab yang sering dijadikan rujukan dalam setiap periwayatan hadis seperti ‘Abdullah bin Lahi’ah, atau terbakar kitab-kitabnya seperti Ibnu Al-Mulaqqan dan penyebab-penyebab lain. Kondisi yang demikian ini dikenal juga dengan sebutan “al-ikhtilath”. Kata ikhtilath dapat dipahami juga sebagai rusak atau berubahnya ingatan seseorang, sedangkan perawinya disebut dengan “al-mukhtalath”.

Periwayatan hadis dari seorang perawi yang mengalami ikhtilath pada masa hidupnya memiliki tiga hukum.

Pertama. Hadis yang dapat dipastikan telah diriwayatkan sebelum masa ikhtilath, maka diterima. Sebagaimana riwayat Syu’bah dan Sufyan Ats-Tsauri dari ‘Atha bin As-Saib. Mereka berdua meriwayatkan hadis dari Atha sebelum masa ikhtilath.

Kedua. Hadis yang diriwayatkan setelah masa ikhtilath maka tidak dapat diterima. Sebagaimana riwayat Jarir bin Abdul Hamid dari ‘Atha bin as-Saib. Jarir meriwayatkan hadis dari Atha setelah masa ikhtilath, maka riwayat Jarir, tidak dapat diterima karena berstatus lemah.

Ketiga. Hadis yang tidak dapat dipastikan apakah diriwayatkan sebelum atau sesudah masa ikhtilath maka hukumnya mauquf (terhenti) hingga dapat dipastikan. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Muhammad Difa El Haq
Muhammad Difa El Haq
Alumni Darus Sunnah International Institute for Hadith Sciences

Artikel Terkait

spot_img

Artikel Terbaru