Hadispedia.id – Dalam kajian ilmu hadis, lebih khusus dalam kajian sanad, pengetahuan tentang tabi’in merupakan suatu cabang ilmu yang sangat penting, karena dengannya dapat dideteksi hadis mursal dan munqathi’. Karenanya, pengetahuan tentang tabi’in serta sosok tabi’in terbaik merupakan pengetahuan yang penting.
Tabi’in dalam Bahasa Arab (تابعين) merupakan bentuk jamak dari tabi’iy dan taabi’ (تابعي وتابع), secara bahasa berarti orang-orang yang mengikuti. Pengertian terminologinya diperdebatkan oleh para ahli hadis. Al-Khathīb Al-Baghdādī (w. 463 H) misalnya, tidak menganggap sebagai tabi’in, seorang muslim yang hanya sekedar pernah berjumpa dengan sahabat Nabi. Akan tetapi, baginya, seorang itu harus menjalani suhbah (proses berguru) dengan sahabat Nabi.
Sedangkan Al-Hakim, berpandangan bahwa seorang muslim sekedar bertemu saja dengan sahabat Nabi, sudah dianggap sebagai tabi’in. Pandangannya ini kemudian didukung oleh Ibnu Shalāh (w. 643 H) dan An-Nawawi (w. 676 H). Kemudian oleh As-Suyūthī (w. 911 H) dianggap sebagai pandangan mayoritas ahli hadis.
As-Suyūthī juga menguatkan pandangan ini dengan mengutip argumentasi Al-‘Irāqī bahwa hadis Nabi yang menyatakan, “Kebaikan bagi orang yang melihatku dan beriman denganku, dan kebaikan bagi orang yang melihat orang yang melihatku”, menunjukkan bahwa sekedar bertemu sudah cukup dianggap sebagai tabi’in.
Penyebutan tabi’in sudah ada pada masa Nabi, di mana Rasulullah saw. bersabda,
«إن خير التابعين رجل يقال له أويس وله والدة وكان به بياض فمروه فليستغفر لكم»
Artinya, “Sesungguhnya sebaik-baik tabi’in adalah seorang yang dipanggi Uwais, ia punya ibu (yang masih hidup), di badannya ada putih, maka mintalah ia untuk memintakan ampunan untuk kalian”. (H.R. Muslim).
Dengan adanya hadis ini, apakah Uwais Al-Qarni adalah tabi’in yang utama?
Jika ditelaah catatan para ahli hadis, sebagaimana dalam Muqaddimah Ibn As-Shalah, ternyata Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) menyatakan bahwa Sa’id bin Al-Musayyab merupakan tabi’in terbaik. Beliau juga menyebutkan setelah Ibnul Musayyab, ada Alqamah dan Al-Aswad sebagai sosok tabi’in terbaik.
Lantas, apakah pernyataan Imam Ahmad ini kontra dengan hadis Nabi?. Ternyata dalam Syarh Alfiyah Al-Iraqi dijelaskan bahwa menurut Al-Iraqi keunggulan Sa’id bin Al-Musayyab sebagai seorang tabi’in adalah dalam hal keilmuan, bukan dalam kebaikannya. Hal senanda juga diutarakan oleh Al-Bulqini, ia mengatakan sebaiknya dijelaskan bahwa tabi’in yang unggul dalam hal zuhud dan wara adalah Uwais, sedangkan dalam penguasaan hadis dan atsar adalah Sa’id bin Al-Musayyab.
Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa dalam konteks kajian hadis, Sa’id bin Al-Musayyab merupakan tokoh tabi’in yang terbaik, kerena penguasaannya terhadap hadis, dan memang beliau sangat populer dalam periwayatan hadis. Berbeda halnya dengan Uwais Al-Qarni, sangat tidak populer dalam sanad hadis, justru ia dikenal sebagai sosok yang dibicarakan dalam hadis-hadis tertentu. Karenanya, keunggulan Uwais bukanlah dalam hal keilmuan hadis, tetapi dalam hal kebaikan sosoknya yang diakui dalam matan hadis.
Di lain hal, ada pula ulama yang membagi kunggulan para tabi’in berdasarkan pengakuan penduduk suatu daerah. Sebagaimana pernyataan Abdullah ibn Khafif As-Syirazi yang dikutip oleh Imam An-Nawawi, bahwa Tabi’in yang paling unggul menurut orang-orang negeri Madinah adalah Sa’id bin Al-Musayyab, sedangkan menurut penduduk Kufah adalah Uwais dan menurut penduduk Bashrah adalah Hasan Al-Bashri. Pandangan terakhir ini kiranya juga dapat menengahi berbagai pandangan tentang siapa sosok tabi’in yang paling unggul. Wa Allahu a’lam bis shawab.