Apa Hadis Mu’allaq Itu?

Hadispedia.id – Hadis Nabawi adakalanya maqbūl, dapat diterima, dan adakalanya mardūd, tidak dapat diterima. Hadis-hadis yang mardūd tentulah memiliki sebab. Sebab yang mendha’ifkan hadis itu secara garis besar terbagi kepada dua bagian. Pertama, cacatnya sanad. Kedua, cacatnya rawi.

Untuk bagian yang pertama, penyebab kedhaifan hadis berupa cacat sanadnya terbagi kepada dua bagian, zahir dan samar. Cacat pada sanad secara zahir ada 4 macam: Mu’allaq, Mursal, Mu’dhal, dan Munqathi’. Sedang cacatnya sanad secara samar ada 2 macam: Mudallas dan Mursal Khafī.

Artikel kali ini fokus pada pembahasan hadis mu’allaq yang mana adalah bagian dari cacatnya sanad secara zahir. Secara bahasa, mu’allaq adalah isim maf’ul dari kata ‘alaqa yang artinya terikat dan tergantung. Dinamakan demikian karena hadis mu’allaq sanadnya hanya terikat dan tersambung pada bagiannya saja, sementara bagian bawahnya terputus, sehingga diumpamakan seperti sesuatu yang tergantung pada atap dan yang semacamnya. (Dr. Mahmud al-Thahhān, Taysīr Musthalah al-Hadīts, Surabaya: Penerbit Al-Hidayah, hal 69)

Secara istilah, hadis mu’allaq didefinisikan sebagai:

مَا حُذِفَ مِنْ مُبْتَدَأِ إِسْنَادِهِ رَاوٍ فَأَكْثَرَ وَلَوْ إِلَى آخِرِ اْلإِسْنَادِ

Hadis yang dari awal sanadnya dihilangkan seorang perawi atau lebih, seterusnya sampai akhir sanad. (Dr. Mahmud al-Thahhān, Taysīr Musthalah al-Hadīts, hal 69)

Dari definisi di atas, dapat kita pahami bahwa awal sanad (penyusun kitab) dibuang dan yang disebutkan hanya akhir sanad saja. Adakalanya yang disebut hanya sahabat saja atau sahabat sekaligus tabi’in-nya. Kendati demikian, setidaknya hadis mu’allaq memiliki dua bentuk :

  1. Dibuang semua sanadnya dan yang disebutkan hanya “Qāla Rasulullah ….”
  2. Dibuang semua sanadnya kecuali sahabat, atau sahabat dan tabi’in

Hadis mu’allaq dapat kita temukan di kitab-kitab hadis yang sekunder (mashdar far’ī), ataupun kitab-kitab non-hadis yang di dalamnya terdapat kutipan hadis, yang fungsinya untuk meringkas supaya teks yang dinukil tidak panjang hanya karena sanadnya. Misalnya hadis-hadis dalam kitab Bulūghul Marām karya Imam Ibnu Hajar al-‘Asqallānī. 

Contoh:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي اَلْبَحْرِ هُوَ اَلطُّهُورُ مَاؤُهُ اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah sw. bersabda tentang (air) laut. “Laut itu airnya suci dan mensucikan, bangkainya pun halal.” (Imam Ibnu Hajar al-Asqallānī, Bulūghul Marām, Mesir : al-Mathba’ah al-Salafiyah, 1347 H, hal 23).

Baca juga: Unsur-unsur Dasar Sebuah Hadis

Di atas adalah contoh bahwa Imam Ibnu Hajar menukil hadis namun membuang sanadnya, dan hanya menampilkan perawi dari sahabat saja. Tujuan Imam Ibnu Hajar jelas, untuk meringkas kitab, karena Bulūghul Marām bukanlah kitab hadis secara khusus, namun ia merupakan dalil-dalil amaliyah fikih.

Hukum hadis mu’allaq adalah dhaif karena ia terputus sanadnya dan tidak memenuhi syarat hadis sahih yaitu tersambungnya sanad (ittishāl al-sanad). Akan tetapi, penting digarisbawahi bahwa hadis mu’allaq dapat menjadi shahih jika ditemukan sanad yang menyambung dari mukharrij hingga Rasulullah Saw.

Misalnya hadis yang dikutip oleh Imam Ibnu Hajar di atas sebenarnya muttashil atau tersambung sanadnya. Karena dalam teks lengkapnya Imam Ibnu Hajar menyebutkan:

أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَاَلتِّرْمِذِيُّ

Diriwayatkan oleh Imam Empat dan Ibnu Syaibah, dan lafaz hadis di atas adalah lafaz [yang diriwayatkan oleh] Ibnu Syaibah. Ibnu Khuzaimah dan Tirmidzi menyatakan hadis di atas shahih. Imam Ibnu Hajar al-Asqallānī, Bulūghul Marām, hal 23).

Baca juga: Apa itu Hadis Mutawatir?

Hukum Hadis-Hadis Mu’allaq Dalam Kitab Shahīh Bukhārī dan Muslim

Hadis mu’allaq tentulah dhaif kecuali dengan syarat tertentu sebagaimana disebutkan di atas, juga apabila hadis mu’allaq tersebut didapati dalam kitab yang sudah dipastikan keshahihannya seperti Shahīh Bukhāri dan Shahīh Muslim.

Pertama, apabila diriwayatkan dengan tegas dan jelas, yaitu dengan sighat jazm (kata kerja aktif), seperti : qāla (dia telah berkata), zakara (dia telah menyebutkan), dan hakā (dia telah bercerita) maka hadisnya dihukumi shahih.

Kedua, apabila diriwayatkan dengan shigat tamridl (kata kerja pasif) seperti qīla (dikatakan), zukira (diceritakan), atau hukiya; maka tidaklah sahih semuanya. Adakalanya sahih, hasan maupun dhaif. Akan tetapi perlu diketahui bahwa tidak ada satupun hadis yang lemah dalam kitab yang shahih seperti Shahīh Bukhārī dan Shahīh Muslim. Wallahu a’lam

Amien Nurhakim
Amien Nurhakim
Alumni Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Darus Sunnah International Institute for Hadith Sciences

Artikel Terkait

spot_img

Artikel Terbaru