Hadispedia.id – Apa hadis mursal itu?. Hadis mursal merupakan bagian dari penyebab cacatnya sanad hadis secara zahir. Secara bahasa, mursal adalah isim maf’ul dari kata arsala (أرسل) yang maknanya sama dengan أطلق yaitu melepaskan. Dari asal kata tersebut, seakan seorang perawi melepas sanad, dan tidak mengikatnya dengan perawi yang dikenal.
Secara istilah, hadis mursal sebagaimana tertera dalam kitab Taysīr Musthalah al-Hadīts karya Dr. Mahmud al-Thahhān:
الحديث الذي سقط من إسناده الراوي الذي بعد التابعي
Hadis yang terputus pada akhir sanad setelah tabi’in.
Gambaran hadis mursal adalah, misalnya seorang tabi’in (seorang muslim yang bertemu sahabat dan wafat dalam keadaan muslim), baik ia masih tabi’in junior maupun senior, mengatakan “Qāla Rasūlullah …. begini…begini…” atau “Rasulullah pernah melakukan hal ini… hal itu…” tanpa menyebutkan sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut dari Rasulullah langsung maka ia telah melakukan irsāl (memursalkan hadis).
Contohnya adalah hadis yang diriwayatkan dalam kitab Shahīh Muslim, dalam pembahasan jual beli:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ، ثَنَا حُجَيْن، ثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْل، عَنِ ابْنِ شِهَاب، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّب أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْمُزَابَنَةِ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rāfi’, telah menceritakan kepada kami Hujain bin al-Mutsanna, telah menceritakan kepada kami al-Laits dari ‘Uqail dari Ibnu Syihāb dari Sa’īd bin al-Musayyib bahwasannya Rasulullah saw. melarang transaksi dengan sistem muzābanah.
Baca juga: Kitab-kitab Populer dalam Ilmu Hadis
Pada hadis di atas, dapat kita lihat bahwa Sa’īd bin al-Musayyib; seorang tabi’in senior, meriwayatkan hadis dari Nabi saw. tanpa menyebutkan perawi di antara Rasul dan dirinya, yaitu sahabat. Dalam hal ini, paling minimalnya hadis dianggap sebagai mursal adalah membuang sahabat, tapi dapat menjadi kemungkinan pula yang dibuang adalah sahabat dan tabi’in setelahnya.
Adapun hadis mursal menurut para ahli fiqih dan ahli ushul sedikit berbeda dengan gambaran mursal menurut ahli hadis. Adapun mursal menurut ahli fiqih dan ushul lebih umum. Menurut mereka, setiap hadis yang terputus (munqathi’) adalah mursal, entah dari sisi mana terputusnya hadis itu. Al-Khatib al-Baghdadi berpendapat demikian juga dalam perihal hadis mursal.
Hukum hadis mursal pada asalnya adalah dha’if mardūd (lemah dan tertolak) karena hilangnya salah satu syarat diterimanya hadis yaitu ittishāl al-sanad (tersambungnya sanad), juga karena tidak diketahuinya kondisi rawi yang dihilangkan, apakah benar yang dihilangkannya adalah seorang sahabat atau bukan. dalam kondisi tadi, maka hadis tersebut menjadi dh’aif.
Kendati demikian, para ahli hadis dan yang lainnya berbeda pendapat perihal hukum hadis mursal dan kebolehan menjadikannya hujjah. Perbedaan tersebut muncul karena jenis terputusnya hadis ini berbeda dari terputusnya rawi-rawi di dalam sanad. Terputusnya sanad dalam hadis mursal umumnya rawi yang dibuang adalah dari kalangan sahabat, sedangkan seluruh sahabat itu bersifat ‘udūl. Tidak menjadi problem apabila sahabat yang dihilangkan dalam hadis tersebut tidak diketahui kondisinya.
Baca juga: Pembelajar Hadis Wajib Kuasai Tiga Ilmu Ini
Pendapat para ulama mengenai hadis mursal ini secara umum ada tiga, yaitu:
- Dha’if dan tidak dapat diterima. Pendapat ini menurut para ahli hadis dan ahli fiqih. Alasannya adalah karena rawi yang dihilangkan tidak diketahui kondisinya, juga kemungkinan apakah yang dihilangkannya adalah kalangan sahabat atau bukan
- Sahih dan dapat dijadikan hujjah. Pendapat ini menurut tiga imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad menurut riwayat yang masyhur) serta sekelompok ulama, dengan syarat orang yang me-mursal-kan hadis itu adalah orang yang kredibel (tsiqah), dan dari orang yang kredibel pula. Landasan pendapat ini adalah, orang-orang dari kalangan tabi’in yang kredibel (tsiqah), mustahil mereka mengatakan “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda” kecuali ketika mereka telah mendengarnya dari orang yang kredibel juga
- Dapat diterima dengan syarat, atau dapat disebut sahih bersyarat. Ini adalah pendapatnya imam Syafi’i dan sebagian ahli ilmu. Syaratnya ada empat, tiga berkenaan dengan perawi mursal dan satu berkenaan dengan hadis mursal. Syarat-syarat tadi adalah sebagai berikut:
- Rawi yang melakukan me-mursal-kan hadis berasal dari tabi’in senior
- Ketika menyebutkan siapa yang di-mursal-kan, dia menyebutkan perawi tsiqah
- Ketika riwayatnya bersekutu dengan para huffāz yang dipercaya, ia tidak menyelisihinya
- Dalam ketiga syarat di atas, masuk salah satu dari beberapa kondisi berikut ini :
- Hadis tersebut diriwayatkan dari jalur lain yang sampai kepada Nabi saw.
- Diriwayatkan dari jalur lain secara mursal yang di-mursal-kan oleh orang yang mengambil ilmu dari selain perawi mursal yang pertama
- Sesuai dengan perkataan sahabat
- Difatwakan oleh kebanyakan ahli ilmu.
Ketika syarat-syarat di atas tercapai, maka jelaslah hadisnya sahih. Adapun mursal shahabī adalah hadis yang disampaikan oleh Sahabat berupa sabda Rasulullah Saw ataupun perbuatan beliau, namun ia tidak pernah mendengarnya ataupun menyaksikannya langsung. Entah karena masih kecil usianya, masuk Islam belakangan, atau karena ia tidak hadir saat itu. Pada asalnya mereka mendengar hadis tersebut dari Sahabat yang lain.
Mursal shahabī disebabkan karena masih kecilnya usia sahabat misalnya hadis-hadis yang disampaikan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair. Hukum hadis mursal shahabī adalah sahih dan dapat dijadikan hujjah, sebagaimana dipastikan oleh jumhur ulama. Demikianlah penjelasan singkat tengtang apa hadis mursal itu?. Wa Allahu a’lam bis shawab.