Delapan Metode Penerimaan dan Periwayatan Hadis

Hadispedia.id – Hadis memiliki peranan penting. Demi memelihara kualitas serta menghindari hadis dari kesalahan baik dalam matan ataupun sanad, diperlukan pengetahuan tentang bagaimana para perawi menerima dan meriwayatkan hadis agar dapat diketahui mana hadis yang diterima dan mana yang ditolak.

Kegiatan menerima dan menyampaikan hadis atau dikenal dengan at-tahammul wa ada’ al-hadis, pada zaman Rasulullah berbeda dengan zaman sahabat. Saat Rasulullah saw. masih hidup, hadis yang diterima oleh para sahabat dapat dengan mudah diperiksa keabsahannya. Sedangkan setelah wafatnya Rasulullah saw., pemalsuan hadis kerap terjadi dan sekiranya ada hadis yang diragukan kebenarannya, semakin jauh jarak munculnya hadis tersebut dengan masa hidup Rasulullah saw. maka akan semakin sulit diperiksa.

Adapun langkah-langkah untuk memastikan ketersambungan sanad sebuah hadis adalah dengan mencatat nama-nama perawi dalam sanad, meneliti sejarah dan kualitas perawi melalui kitab-kitab rijal al-hadis serta meneliti kata-kata yang menunjukkan metode penerimaan hadis antarperawi dalam sanad atau dalam ilmu hadis dikenal dengan at-tahammul wa ada al-hadis.

Dr. Nuruddin Itr dalam Manhaj An-Naqd fi Ulum Al-Hadis mendefinisikan At-Tahammul sebagai penerimaan hadis oleh murid dari gurunya dengan salah satu cara tertentu sedangkan Al-Ada’ adalah proses meriwayatkan hadis dari seorang guru kepada muridnya.

Baca juga: Mengenal Istilah I’tibar dalam Penelitian Hadis Nabi

Metode penerimaan dan periwayatan hadis ada delapan macam, yaitu:

1. As-Sima’ min Lafzhi Asy-Syaikh (السِّمَاعُ مِنْ لَفْظِ الشَّيْخ)

Maksud dari metode ini adalah seorang murid mendengar langsung dari gurunya baik dengan didiktekan (imla) atau pemberian informasi (tahdits) berdasarkan hafalan sang guru ataupun catatannya.

Metode ini menurut pendapat mayoritas ulama merupakan yang paling tinggi derajatnya dan lambang atau shighat yang digunakan pada penyampaian hadis berdasarkan metode ini adalah dengan lafal sami’tu (سَمِعْتُ)/saya telah mendengar, haddatsani (حَدَّثَنِي)/seseorang telah bertutur kepada saya, akhbarani (أَخْبَرَنِي)/seseorang telah mengabarkan kepada saya, qala li (قَالَ لِي)/seseorang telah berkata kepada saya atau dzakara li (ذَكَرَ لِي)/seseorang telah menyebutkan kepada saya.

Jika sang murid pada saat mendengar hadis tidak sendirian maka dhamir (pronoun/kata ganti) yang dipakai adalah dhamir jamak نا (kita) maka lafal yang telah disebutkan di atas menjadi  سَمِعْنَا، حَدَّثَنَا، أَخْبَرَنَا، قَالَ لَنَا، ذَكَرَ لَنَا.

2. Al-Qira’ah ‘ala Asy-Syaikh  (القِرَاءَةُ عَلَى الشَّيْخِ)

Metode kedua disebut juga dengan Al-‘Ardhu yakni seorang murid atau perawi membacakan hadis pada gurunya dari yang dia hafal ataupun dari catatan yang ada di hadapannya. Baik guru tersebut menyimak orang yang membaca dari hafalannya, menghadirkan catatannya kepada yang membaca ataupun dilakukan oleh orang tsiqah selainnya.

Hukum riwayat yang disampaikan dengan metode ini adalah shahih hanya saja terdapat silang pendapat tentang derajatnya. Ulama yang berpendapat bahwa Al-Qira’ah sederajat dengan As-Sima’ adalah Imam Malik, Imam Al-Bukhari, dan sebagian besar ulama Hijaz dan Kufah.

Adapun yang berpendapat metode ini lebih rendah adalah mayoritas ulama dari Masyriq sedangkan yang berpendapat Al-Qira’ah lebih tinggi daripada As-Sima’ ialah Imam Abu Hanifah serta Imam Ibnu Adz-Dzi’bi dan riwayatnya dari Imam Malik.

Riwayat yang disampaikan melalui cara ini menggunakan lafal qara’tu ‘ala fulanin/قَرَاْتُ عَلَى فُلَانٍ (aku membacakan kepada fulan), quri’a ‘alaihi wa ana asma’u fa aqarra bihi/قُرِئَ عَلَيهِ وَأنَا أَشْمَعُ فَأقَرَّ بِهِ (Dibacakan kepadanya dan saya mendengarnya lalu ia setuju) atau dengan lafal haddatsana qiraatan ‘alaihi/حَدَّثَنَا قِرَاءَةً عَلَيْهِ (telah ia tuturkan bacaan kepada kami.

3. Al-Ijazah (الإِجَازَةُ)

Al-Ijazah adalah salah satu bentuk penerimaan hadis dengan cara pemberian izin untuk meriwayatkan hadis dari seorang guru kepada muridnya atau orang lain baik dari ucapan ataupun catatan.

Apabila seorang guru mengizinkan riwayat tertentu untuk dapat disampaikan oleh orang seperti ungkapan ajaztuka Shahih Al-Bukhari/أَجَزْتُكَ صَحِيحَ البُخَارِي (saya mengizinkanmu untuk meriwayatkan Shahih Al-Bukhari) , maka hal ini dibolehkan menurut pendapat mayoritas ulama karena dianggap sebagai model periwayatan yang paling kuat dalam metode ini.

Sedangkan jika izin atas riwayat yang tidak ditentukan kepada orang yang juga tidak tentu atau tidak dikenal bahkan untuk generasi berikutnya yang belum ada saat sang guru memberikan izin maka hal tersebut dianggap membawa kelemahan dan menggampangkan periwayatan.

Adapun lafal penyampaiannya seperti ajaza li fulanun/أَجَازَ لِي فُلَانٌ (telah mengizinkanku si fulan), haddatsana ijazatan/حَدَّثَنَا إِجَازَةً (telah mengatakan kepada kami dengan ijazah/perizinan), akhbarana ijazatan/أَخْبَرَنَا إِجَازَةً (telah mengabarkan kepada kami dengan ijazah/perizinan).

4. Al-Munawalah (المُنَاوَلَةَ)

Yaitu seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadis tertulis agar diriwayatkan dengan mengambil sanad darinya.

Al-munawalah dibagi menjadi dua jenis, yang pertama adalah al-munawalah dengan yang disertai dengan ijazah. Pada jenis ini, sang guru menyerahkan catatannya kepada muridnya dan mengatakan hadza riwayati ‘an fulanin fa arwihi ‘anni/هَذَا رِوَايَتِيي عَنْ فُلَانٍ فَأَرْوِهِ عَنِّيْ (ini adalah riwayatku dari fulan maka riwayatkanlah ini dariku). Periwayatan yang disampaikan dengan jenis ini dibolehkan karena termasuk ke dalam metode as-sima’ dan al-qiraah derajat paling rendah.

Sedangkan jenis yang kedua adalah al-munawalah yang tidak disertai indikasi ijazah. Bentuknya adalah jika seorang guru menyerahkan catatannya pada muridnya disertai dengan perkataan ini adalah hadis-hadis yang aku dengar. Adapun periwayatan dengan jenis ini tidak diperbolehkan.

5. Al-Kitabah (الكِتَابَةُ)

Maksud dari al-kitabah di sini adalah seorang guru catatannya kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkannya

Jalan periwayatan ini juga terdapat dua jenis sebagaimana pada al-munawalah yakni disertai dengan ijazah seperti ajaztuka ma katabtu laka aw ilaika/أَجَزْتُكَ مَا كَتَبْتُ لَكَ أَو إِلَيْكَ (aku mengizinkanmu untuk meriwayatkan apa yang aku tulis untukmu atau kepadamu) dan sebagainya. Hukum untuk meriwayatkan yang disertai dengan ijazah seperti ini adalah shahih.

Sedangkan jenis kedua adalah yang tidak disertai ijazah. Maksudnya, seorang guru menuliskan hadis-hadisnya dan memberikan catatannya kepada muridnya namun sang murid tidak boleh meriwayatkannya.

Adapun lafal penyampaiannya seperti kataba ilayya fulanun/كَتَبَ إلَيَّ فُلَانٌ (fulan telah menuliskan sesuatu kepada saya) atau dengan lafal as-sima’ dan al-qiraah seperti haddatsani fulanun/حَدَّثَنِي فُلَانٌ (fulan telah mengatakan kepada saya) atau akhbarani kitabatan/أَخْبَرَنِي كِتَابَةً (Ia telah mengabarkan kepadaku secara tertulis).

6. Al-I’lam (الإِعْلَامُ)

Penyampaian hadis secara al-i’lam maksudnya adalah sang guru memberitahu muridnya bahwa hadis yang ia sampaikan atau catatan yang ia bacakan didapatkan langsung dari yang ia dengar.

Mayoritas ulama hadis dan ushul fiqh memperbolehkan periwayatan dengan metode ini asalkan didapat dari guru yang kredibel namun sejumlah muhaddits tidak memperbolehkannya karena tidak disertai dengan ijazah atau izin. Adapun lafal yang digunakan pada metode ini seperti a’lamani syaikhi bikadza/أَعْلَمَنِي شَيْخِي بِكَذَا (guruku telah memberitahukanku seperti ini).

7. Al-Washiyyah (الوَصِيَّةُ)

Bentuk dari metode ini adalah pemberian wasiat dari seorang guru sebelum ia wafat atau berpergian kepada seseorang berupa catatan atau kitab tertentu yang ia riwayatkan.

Sejumlah ulama memperbolehkan periwayatan hadis dengan cara ini namun pendapat ini keliru. Adapun pendapat yang benar adalah tidak diperbolehkan karena al-washiyyah termasuk cara penyampaian hadis yang lemah. Contoh lafal al-washiyyah seperti ungkapan ausha ilayya fulanun/أَوْصَى إِلَيَّ فُلَانٌ (fulan telah mewasiatkan kepadaku) atau haddatsani fulanun washiyyatan/حَدّثَنِي فُلَانٌ وَصِيَّةً (fulan mengatakan kepadaku secara wasiat).

Baca juga: Biografi Anas bin Malik, Sahabat yang Melayani Rasulullah saw.

8. Al-Wijadah (الوِجَادَةُ)

Jalan penerimaan hadis dengan bentuk al-wijadah maksudnya adalah ketika seorang murid menemukan hadis-hadis tulisan gurunya dan ia mengenali tulisan itu sedangkan ia tidak pernah mendapatkan hadis-hadis tersebut dengan cara as-sima’ ataupun al-ijazah.

Riwayat hadis yang didapatkan dengan cara al-wijadah adalah munqathi’ (مُنْقَطِعٌ) atau terputus meski di dalam catatan yang ditemukan terdapat hadis yang muttashil (مُتَّصِلٌ) atau tersambung.

Adapun lafal penyampaiannya seperti wajadtu bi khaththi fulanin/وَجَدْتُ بِخَطِّ فُلَانٍ (aku mendapati tulisan fulan) atau qara’tu bikhaththi fulanin kadza/قَرَاْتُ بِخَطِّ فُلَانٍ كَذَا (aku membaca tulisan si fulan seperti ini).

Isyfi Anni
Isyfi Anni
Alumni Darus Sunnah International Institute for Hadith Sciences

Artikel Terkait

spot_img

Artikel Terbaru