Hadis Budaya Malu Adalah Warisan Para Nabi

Hadispedia.id – Budaya malu adalah salah satu hal yang diwariskan para nabi terdahulu. Hal ini sebagaimana terdapat pada hadis kedua puluh dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyyah berikut ini.

عَنْ أبيْ مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو الْأَنْصَارِيْ البَدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الْأوَلَى: إذَا لم تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

Abu Mas’ud Uqban bin Amru Al-Anshari Al-Badri r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya sebagian yang masih diingat orang dari ajaran para nabi terdahulu adalah ‘Jika kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu.” (H.R. Al-Bukhari)

Dr. Mustafa Dieb dalam kitab Al-Wafi menerangkan bahwa ada terdapat tiga versi penjabaran dalam mengartikan hadis di atas.

Pertama, perintah dalam hadis ini menunjukkan ancaman. Seakan Rasulullah saw. bersabda, “Jika kalian tidak memiliki rasa malu, maka lalukanlah sekehendakmu, dan Allah swt. akan memberimu siksa yang pedih.” Perintah seperti ini juga terdapat dalam Q.S. Fushshilat ayat 40, “Berbuatlah sesuka hati kalian.”

Kedua, perintah dalam hadis ini menunjukkan pemberitahuan. Seolah hadis di atas memberitahukan bahwa jika seseorang tidak lagi memiliki rasa malu, ia akan melakukan apa saja. Karena yang bisa mencegah dari perbuatan keji adalah rasa malu. Tidak heran, jika rasa malu telah tiada, ia akan asyik dengan segala bentuk perbuatan keji dan mungkar.

Ketiga, perintah dalam hadis ini menunjukkan kebolehan. Artinya, jika kalian tidak malu untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak dilarang oleh syara’, maka lakukanlah. Karena pada prinsipnya, sesuatu yang tidak dilarang oleh syara’ maka boleh dilakukan.

Baca juga: Biografi Prof. Dr. Syuhudi Ismail, Perintis Kajian Ilmu Matan Hadis di Indonesia

Dr. Mustafa juga menyampaikan bahwa pengertian yang paling shahih dari tiga versi di atas adalah pengertian pertama. Namun, imam Nawawi lebih memilih pengertian ketiga dan imam Ibnu Qutaibah memilih pengertian kedua.

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani di dalam kitab Fathul Bari mengutip pendapat imam Nawawi bahwa hadis di atas merupakan salah satu poros agama Islam. Maksudnya, perintah yang bermakna wajib dan sunnah, orang akan malu meninggalkannya. Larangan yang bermakna haram dan makruh, orang akan malu melakukannya. Sedangkan terhadap perkara yang dibolehkan (mubah), maka rasa malu karena melakukannya atau meninggalkannya itu boleh/tidak masalah. Dengan demikian, maka hadis ini mencakup lima hukum yang ada.

Syekh Abdul Muhsin di dalam kitab Fathul Qawwil Matin menjelaskan bahwa rasa malu itu ada dua macam. Adakalanya pembawaan dan ada pula yang diusahakan. Rasa malu pembawaan adalah rasa malu yang sudah diberikan Allah sejak lahir dan menjadi karakternya. Rasa malu ini akan mendorong seseorang untuk meninggalkan keburukan dan melakukan akhlak yang mulia. Sedangkan rasa malu yang diusahakan adalah rasa malu yang didapat dari proses mengenal Allah, mengetahui keagungan-Nya, dan kedekatan-Nya dengan hamba-Nya. Kedua rasa malu tersebut harus terus ditumbuhkan agar senantiasa menjadi hamba yang selalu malu berbuat keburukan.

Rasa malu juga terbagi menjadi dua, yakni rasa malu yang berhubungan dengan hak Allah swt. dan rasa malu yang berhubungan dengan hak makhluk. Keduanya merupakan akhlak terpuji yang harus dilakukan setiap saat dan dalam urusan apapun.

Namun, ada rasa malu yang tercela. Jika seseorang malu untuk berbuat sesuatu yang sepatutnya tidak perlu malu, maka ini adalah akhlak yang tercela, karena ia merasa malu bukan pada tempatnya.

Baca juga: Begini Khasiat Mengucapkan Hamdalah Menurut Hadis

Dr. Ahmad Ubaidi Hasbillah di dalam kitab Al-Fawaid Al-Mustafawiyah menjelaskan bahwa di dalam istilah Bahasa Arab ada dua penggunaan kata untuk arti malu, yakni al-haya’ dan al-khajal. Jika al-haya’ adalah menjaga diri/malunya karena Allah, sedangkan al-khajal adalah penyakit diri. Seperti orang yang malu meminta haknya, malu menjadi pembimbing masyarakat, dan malu duduk bersama dengan para ulama dan orang shalih, maka ia bukan haya’ (malu), tetapi khajal (pemalu) dan ini termasuk penyakit diri yang harus diwaspadai.

Budaya malu yang merupakan warisan dari para nabi tersebut harus terus kita lestarikan dan ajarkan. Terutama bagi para orang tua dan pendidik berkewajiban menanamkan rasa malu secara sungguh-sungguh kepada anak-anak dan murid-murid. Semoga kita senantiasa dapat menjalankan budaya malu dalam kehidupan sehari-hari. Malu untuk berbuat maksiat., malu untuk berbuat buruk kepada makhluk Allah, dan lain sebagainya. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Annisa Nurul Hasanah
Annisa Nurul Hasanah
Penulis adalah peneliti el-Bukhari Institute

Artikel Terkait

spot_img

Artikel Terbaru