Beranda blog Halaman 4

Hadis No. 45 Sunan Ibnu Majah – Menjauhi Bid’ah dan Perbedabatan

0
Sunan Ibnu Majah
hadis larangan berbuat bid'ah

Hadispedia.id – Al-Imam Ibnu Majah dalam Sunan-nya pada kitab muqaddimah bab menjauhi bid’ah dan perdebatan,

حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ وَأَحْمَدُ بْنُ ثَابِتٍ الْجَحْدَرِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ صَبَّحَكُمْ مَسَّاكُمْ وَيَقُولُ بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ وَيَقْرِنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى

وَيَقُولُ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْأُمُورِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكَانَ يَقُولُ مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِأَهْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَعَلَيَّ وَإِلَيَّ

Telah menceritakan kepada kami Suwaid bin Sa’id dan Ahmad bin Tsabit Al Jahdari keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab Ats Tsaqafiy dari Ja’far bin Muhammad dari Bapaknya dari Jabir bin Abdullah ia berkata,

“Rasulullah Saw apabila berkhotbah matanya menjadi merah, suaranya tinggi dan emosinya menggebu-gebu, seakan-akan ia adalah seorang pemberi peringatan pada pasukan, beliau berseru, “Waspadalah, musuh akan datang di pagi hari, musuh akan datang di sore hari!” Dan beliau berseru, “Aku diutus dengan datangnya hari kiamat seperti (kedua jari) ini, ” beliau menggandengkan antara dua jarinya; jari telunjuk dan jari tengah.

Beliau lalu bersabda, “‘Amma ba’du; sesungguhnya sebaik-baik perkara adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah adalah sesat.” Dan beliau selalu bersabda, “Barang siapa meninggalkan harta, maka bagi ahli warisnya. Dan siapa saja meninggalkan utang atau amanah maka akulah yang menanggungnya.”

Kemuliaan Perempuan dalam al-Qur’an dan Hadis

0
Jawaban Sayyidah Aisyah tentang Wajibnya Mandi Bagi Orang yang Bersetubuh
Jawaban Sayyidah Aisyah tentang Wajibnya Mandi Bagi Orang yang Bersetubuh

Hadispedia.id – Beberapa hadis Nabi Muhammad Saw digunakan oleh sebagian orang untuk menundukkan perempuan di bawah kuasa laki-laki. Terkadang ada juga pemahaman yang mengaku meninggikan derajat perempuan, padahal pemahamannya itu justru menjatuhkan perempuan. Untuk itu tulisan Fitha Ayun Lutvia Nitha ini perlu kita baca. Tulisan ini menggambarkan penjelasan al-Qur’an dan Hadis tentang keutamaan perempuan.

Islam mengajarkan bahwa perempuan, mempunyai kedudukan yang sangat istimewa. Oleh karenanya perempuan muslimah haruslah menjaga harkat dan martabat mereka sebagai “Muslimah salihah”. Namun harus kita garis bawahi, bukan hanya dititikberatkan pada perempuan saja yang diharuskan menjaga diri mereka.

Namun kaum laki-laki pun dituntut untuk turut serta menjaga marwah para perempuan. Bahkan dalam hadist dan juga sejumlah ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang keutamaan seorang perempuan. Diantaranya sebagai berikut :

1. Perempuan solehah adalah perhiasan dunia

Islam menempatkan perempuan sebagai makhluk paling mulia yang harus dijaga. Allah SWT menciptakan perempuan beserta keindahannya dari ujung kepala hingga kaki. Keindahan itu bukan hanya menilai dari fisik saja, melainkan juga hati dan pikiran. Layaknya perhiasan, haruslah dijaga dan dirawat.

Sebuah hadist menyebutkan, “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah isteri yang shalihah.” (HR Muslim dari Abdullah bin Amr).

Selain itu Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 34:

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُۗ وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًاۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا ۝٣٤

Artinya : Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka).

Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.

2. Perempuan adalah karunia, bukan musibah

Islam memandang perempuan adalah karunia Allah SWT. Bersamanya kaum laki-laki akan mendapatkan ketenangan lahir dan batin, dan mampu memberikan energi positif yang sangat bermanfaat, seperti rasa cinta, kasih sayang, dan motivasi hidup jika.

Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nahl ayat 72 :

وَاللّٰهُ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَّجَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَزْوَاجِكُمْ بَنِيْنَ وَحَفَدَةً وَّرَزَقَكُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِۗ اَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُوْنَ وَبِنِعْمَتِ اللّٰهِ هُمْ يَكْفُرُوْنَۙ ۝٧٢

Artinya : Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri, menjadikan bagimu dari pasanganmu anak-anak dan cucu-cucu, serta menganugerahi kamu rezeki yang baik-baik. Mengapa terhadap yang batil mereka beriman, sedangkan terhadap nikmat Allah mereka ingkar?

3. Perempuan solehah lebih baik dari pada bidadari di surga

Para bidadari surga akan kalah dari keistimewaan yang dimiliki oleh perempuan salihah yang ada di dunia. Segala bentuk amal yang dikerjakan oleh perempuan di dunia, inilah yang membuat perempuan lebih mulia dari para bidadari surga.

وفي الحديث أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إن الآدميات من نساء أهل الدنيا أفضل من الحور العين سبعين ألف ضعف

Artinya, “Dalam hadits disebutkan, Rasulullah SAW bersabda, ‘Perempuan berjenis manusia asal dunia lebih utama daripada para bidadari surga 70.000 kali lipat,’”

4. Perempuan diberi pengecualian dalam beribadah

Sebagai perempuan, tentu akan mengalami haid dan nifas, hal inilah yang menjadi pengecualian dari Allah SWT untuk tidak melaksanakan shalat atau puasa.

Rasulullah SAW telah bersabda: “Siapa saja wanita yg mengalami haid maka sakitnya haid yang mereka alami akan menjadi Kafaroh (tebusan) bagi dosa-dosanya yang terdahulu.

5. Perempuan yang hamil dan melahirkan setara dengan jihad

Pengorbanan luar biasa hidup dan mati seorang perempuan ketika hamil dan melahirkan disejajarkan dengan jihad. Sebuah hadist menyebutkan:

 “Mati syahid ada 7 selain yang terbunuh di jalan Allah, Orang yang mati karena thaun, syahid. Orang yang mati tenggelam, syahid. Orang yang mati karena ada luka parah di dalam perutnya, syahid. Orang yang mati sakit perut, syahid. Orang yang mati terbakar, syahid. Orang yang mati karena tertimpa benda keras, syahid. Dan wanita yang mati, sementara ada janin dalam kandungannya.” (HR. Abu Daud 3111).

6. Dapat masuk surga dari pintu manapun

Suatu bukti kasih sayang yang tidak terhingga dari Allah SWT kepada kaum perempuan yang dapat masuk surga dari pintu mana pun. Tetapi, Rasulullah SAW juga telah menjelaskan bahwa perempuan tersebut harus melaksanakan empat hal, yakni menunaikan salat 5 waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, jauhi zina, dan berbakti kepada suami.

Rasulullah SAW bersabda;

“إِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا؛ قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ”.

“Jika seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya; niscaya akan dikatakan padanya: “Masuklah ke dalam surga dari pintu manapun yang kau mau”. (HR. Ahmad).

“Jika seorang perempuan menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya; niscaya akan dikatakan padanya: “Masuklah ke dalam surga dari pintu manapun yang kau mau.” (HR. Ahmad)

7. Surga di bawah telapak kaki ibu

Semua tentu sudah mengetahuinya, bahwa dalam Islam diterangkan kalau surga berada di bawah telapak kaki ibu. Hal ini juga menjelaskan bahwa pentingnya berbakti dan menghormati seorang ibu. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad yang riwayat imam Ibnu Majah dari Mu’awiyah bin Jahimah r.a:

عن معاوية ابن جاهمة قال: أتيتُ النبي صلى الله عليه وآله وسلم فقلت: يا رسول الله، إني كنت أردت الجهاد معك أبتغي بذلك وجه الله والدار الآخرة، قال: «وَيْحَكَ، أَحَيَّةٌ أُمُّكَ؟» قلت: نعم يا رسول الله، قال: «فارْجِعْ فَبَرَّهَا»، ثم أتيته من الجانب الآخر فقلت: يا رسول الله إني كنت أردت الجهاد معك أبتغي بذلك وجه الله والدار الآخرة، قال: «وَيْحَكَ، أَحَيَّةٌ أُمُّكَ؟» قلت: نعم يا رسول الله، قال‏:‏ «فارْجِعْ فَبَرَّهَا»، ثم أتيته من أمامه فقلت‏:‏ يا رسول الله إني كنت أردت الجهاد معك أبتغي بذلك وجه الله والدار الآخرة قال‏:‏ «وَيْحَكَ، الْزَمْ رِجْلَهَا، فَثَمَّ الْجَنَّة

Dari Mu’awiyah ibn Jahimah, ia berkata, “Aku datang kepada Nabi saw., lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh aku ingin berjihad bersamamu, aku mengharap dengannya ridha Allah dan rumah akhirat (surga).” Beliau pun bersabda, “Celakalah engkau, apakah ibumu masih hidup?” “Iya, wahai Rasulullah.” Jawabku.

“Pulanglah, berbuat baiklah dengannya”. Kemudian aku menemuinya di arah sampinya seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh aku ingin jihad bersamamu, aku ingin dengannya meraih ridah Allah dan surga.” “Celakalah, apakah ibumu masih hidup?” ‘Iya wahai Rasulullah” “Pulanglah, berbuat baiklah dengannya.

” Lalu aku mendatanginya dari arah depan, aku berkata, “Wahai Rasulullah sungguh aku ingin berjihad bersamamu, aku ingin dengannya meraih ridha Allah dan surga.” Beliau bersabda, “Celakalah, menetaplah di kakinya, maka surga ada di sana.”

Dari Musa bin Muhammad bin ‘Atha’, Abu Al-Malih, Maimunah, dari Ibnu ‘Abbas r.a., ia berkata Rasulullah SAW bersabda: “Surga itu di bawah telapak kaki-kaki para ibu, siapa yang mereka kehendaki, maka mereka akan memasukkannya, dan siapa yang mereka kehendaki, maka mereka akan mengeluarkannya.”

Lewat Hari Perempuan Internasional ini, mari kita bersama-sama membangun masa depan yang lebih cerah dan adil bagi perempuan dan laki-laki di seluruh dunia!. Seyogianya, momentum Hari Perempuan Internasional ini menjadi ajang penting untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan buat perempuan.

Penulis: Fitha Ayun Lutvia Nitha

Sumber klik

Hadis No. 134 Sunan An-Nasa’i – Memercikkan Air ke Kemaluan

0
Sunan An-Nasa'i
Sunan An-Nasa'i

Hadispedia.id – Al-Imam An-Nasa’i berkata dalam Sunan-nya pada kitab bersuci bab memercikkan air,

أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مَسْعُودٍ قَالَ: حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ الْحَكَمِ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا «تَوَضَّأَ أَخَذَ حَفْنَةً مِنْ مَاءٍ فَقَالَ بِهَا – هَكَذَا وَوَصَفَ شُعْبَةُ – نَضَحَ بِهِ فَرْجَهُ» فذكرْتهُ لِإبْراهيمَ فأعْجبهُ. قَالَ الشَّيْخُ ابْنُ السُّنِّيِّ: قَالَ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ: الْحَكَمِ هُوَ ابْنُ سُفْيَانَ الثَّقَفِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

Ismail bin Mas’ud telah mengabarkan kepada kami, dia berkata, Khalid bin Al-Harits telah menceritakan kepada kami, dari Syu’bah, dari Manshur, dari Mujahid, dari Al-Hakam, dari ayahnya, bahwa apabila Rasulullah saw. berwudhu, maka beliau mengambil air sepenuh kedua telapak tangan – Lalu Syu’bah berkata seperti inilah, Syu’bah mensifati yang dilakukan Nabi saw. – Beliau memercikkan air ke kemaluannya. Kemudian hal itu disampaikan kepada Ibrahim dan dia mengaguminya. Syaikh Ibnu Sunni berkata, Abu Abdirrahman berkata, Al-Hakam adalah Ibnu Sufyan Ats-Tsaqafi r.a.

Anjuran Menu Buka Puasa dari Rasulullah

0
Inilah Salah Satu Menu Buka Puasa Rasulullah
Gambar oleh Pictavio dari Pixabay

Hadispedia.id – Buka puasa merupakan momen yang paling ditunggu oleh setiap muslim yang berpuasa. Oleh sebab itu, tidak sedikit dari kalangan umat muslim yang sangat antusias mempersiapkan menu makanan buka puasa. Lalu, apa sih menu buka puasa yang dianjurkan Rasulullah saw.? Berikut penjelasannya.

عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ الضَّبِّيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى مَاءٍ فَإِنَّهُ طَهُورٌ”. رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ

Dari Salman bin Amir Ad-Dhabbi, dari Nabi saw., beliau bersabda, “Jika seseorang di antara kamu berbuka, hendaklah dia berbuka dengan makan buah kurma. Jika tidak memilikinya, hendaklah dia berbuka dengan air, karena sesungguhnya air itu mensucikan.” (HR. Al-Khamsah, dan dinilai shahih oleh Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Ibnu Hibban, dan Imam Al-Hakim).

فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ “Hendaklah dia berbuka dengan makan buah kurma”. Perintah pada kalimat tersebut menunjukkan hukum sunah. Kata “تَمْرٍ” merupakan isim jinis yang menunjukkan satu makna. Oleh sebab itu, maka perintah ini dapat diwujudkan dengan hanya memakan satu biji buah kurma. Artinya, Rasulullah saw. sangat menganjurkan umatnya agar menyegerakan berbuka meskipun hanya dengan satu biji kurma dan meskipun dengan makanan yang sederhana.

Namun, lebih afdhal adalah memakannya dalam bilangan witir/ganjil. Sebagaimana dalam riwayat Imam At-Tirmidzi dan An-Nasa’i, Anas r.a. berkata, “Rasulullah saw. selalu berbuka dengan kurma-kurma basah (رطبات) sebelum beliau shalat. Jika tidak ada, maka beliau berbuka dengan kurma-kurma kering (تمرات). Jika tidak ada, maka beliau meminum beberapa tegukan air.” Imam As-Shan’ani dalam kitab Subulus Salam mengatakan bahwa dalam riwayat lain disebutkan bahwa bilangan kurma tersebut adalah tiga.

Dalam kitab Ibanatul Ahkam dijelaskan bahwa hikmah berbuka puasa dengan buah kurma adalah karena kurma itu rasanya manis. Sedangkan makanan yang manis itu dapat menguatkan pandangan mata yang lemah akibat puasa. Bahkan manfaat kurma untuk menu berbuka puasa juga telah dibuktikan secara ilmiah. Sebagaimana dilansir dalam halodoc.com melalui artikel yang berjudul Kurma Baik untuk Menu Berbuka Puasa, Ini Bukti Ilmiahnya.

Artikel yang ditulis dr. Fadhli tersebut menuturkan bahwa pada setiap biji buah kurma mengandung sekitar 60-70 persen gula dan mengandung serat yang tinggi, sehingga ideal sebagai makanan penambah energi.

Baca juga: Dalil Hadis Anjuran untuk Takjil/Menyegerakan Berbuka Puasa

Imam Al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan At-Tirmidzi menjelaskan bahwa illat atau alasan dari anjuran berbuka dengan kurma adalah rasa manisnya. Sehingga hal ini dapat dianalogikan dengan makanan lainnya yang juga manis. Oleh sebab itu, tidak heran jika di Indonesia lebih mengenal dengan istilah “Berbuka dengan yang manis”. Namun, perlu diingat bahwa berbuka dengan makanan yang manis juga tidak boleh terlalu banyak. Harus sesuai porsinya sehingga kesehatan pun tetap terjaga.

Meskipun menurut Imam Al-Mubarakfuri dapat diganti dengan makanan manis lainnya, kalau memang ada buah kurma atau dapat diusahakan dengan niat mengikuti Rasulullah saw., maka alangkah lebih baik berbuka dengan buah kurma. Bahkan dalam kitab Ibanatul Ahkam dikutip sebuah syair yang indah,

فطور التمر سنة   رسول الله سنة

ينال الأجر شخص   يحلي منه سنة

Berbuka dengan buah kurma adalah sunnah     yang diajarkan oleh Rasulullah

Pelakunya peroleh pahala               selain mulutnya terasa manis karenanya

فَإِنَّهُ طَهُورٌ   Air itu menyucikan dan mempunyai daya pembersih yang kuat. Jika buah kurma tidak didapatkan, maka berbuka puasa boleh dilakukan dengan minum air putih. Kenapa air putih? Dalam kitab Ibanatul Ahkam dijelaskan bahwa air putih merupakan simbol harapan semoga zahir dan batin seseorang itu menjadi bersih, di samping berfungsi menghilangkan rasa haus dan dahaga.

Baca juga: Dalil Hadis Anjuran Makan Sahur

Demikianlah menu yang dianjurkan oleh Rasulullah saw. saat berbuka puasa. Yaitu makanan yang manis dan menyegarkan. Pada redaksi hadis tersebut, Rasulullah saw. menyebutkan buah kurma. Di mana salah satu khasiatnya adalah makanan yang manis itu mudah dicerna oleh perut yang kosong dan dapat membangkitkan kekuatan.

Rasulullah saw. juga menganjurkan minum air putih, karena hati mengalami kekeringan saat puasa. Jika dibasahi dengan air maka menjadi segar kembali. Hadis tersebut juga menunjukkan betapa Rasulullah saw. sangat sayang dan perhatian kepada umatnya. Beliau mau memberikan nasihat dan bimbingan kesehatan kepada mereka demi kemaslahatan dunia dan akhirat. Jazahullahu anna afdhalul jaza’. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Dalil Hadis Anjuran Makan Sahur

0
Hadis Anjuran Makan Sahur
Gambar oleh congerdesign dari Pixabay

Hadispedia.id – Selain disunahkan menyegerakan berbuka, bagi orang yang berpuasa juga disunahkan untuk makan sahur. Hal ini telah disabdakan oleh Nabi saw. dalam hadis beliau yang dikutip oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Bulughul Maram Bab Puasa sebagaimana berikut.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السُّحُورِ بَرَكَةً.”  متفق عليه

Dari Anas bin Malik r.a., dia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Sahurlah kalian, karena di dalam sahur itu ada keberkahan.” Muttafaqun ‘alaih.

Analisis Lafadz

تَسَحَّرُوا, makan dan minumlah pada waktu sahur. As-Sahar adalah nama waktu yang jatuh sebelum fajar. Perintah pada lafadz ini menunjukkan hukum sunah, bukan wajib. Hal ini didasarkan pada ijma’ ulama bahwa sahur bukanlah sesuatu yang wajib. Selain itu, terdapat riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw. dan para sahabat pernah melakukan wishal, yaitu mereka berpuasa tanpa makan sahur.

السُّحُورِ (as-suhur, dengan didlummah sinnya) berarti makan pada waktu sahur. Sedangkan jika dibaca fathah sinnaya/ as-sahur, maka berarti makanan yang dimakan saat sahur. Hanya saja di Indonesia sahur sudah menjadi istilah untuk aktifitas makan, bukan makanannya.

بَرَكَةً keberkahan. Maksudnya dengan makan sahur dapat memberikan kekuatan untuk berpuasa dan mendapat pahala yang besar. Hal ini disebabkan karena waktu sahur itu bersamaaan dengan waktu zikir, shalat, istighfar, ibadah lain yang menambah ganjaran pahala amal, dan waktu yang diyakini orang yang berdoa pada saat itu dikabulkan doanya. Seandainya seseorang tidak bangun sahur, niscaya dia masih tenggelam di dalam tidurnya dan meninggalkan amal ibadah tersebut.

Baca juga: Dalil Hadis Anjuran untuk Takjil/Menyegerakan Berbuka Puasa

Dalam riwayat Imam Ahmad yang bersumber dari Abu Sa’id Al-Khudri r.a. disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,

   السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلَا تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ

Makan sahur itu berkah, maka janganlah kalian meningalkannya meskipun salah satu dari kalian hanya meneguk satu tegukan air, karena sungguh Allah swt. dan para malaikat-Nya bershalawat untuk orang-orang yang makan sahur.”

Imam Al-Munawi dalam kitab Faidul Qadir menjelaskan bahwa maksud dari Allah bershalawat adalah Allah swt. merahmati mereka. Sedangkan malaikat bershalawat adalah malaikat beristighfar atau memintakan ampunan kepada Allah untuk mereka.

Selain itu, sahur merupakan pembeda antara umat Islam dengan ahli kitab. Hal ini sebagaimana riwayat Imam Muslim secara marfu’;

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحُورُ

Perbedaan antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.

NB: Disarikan dari kitab Ibanatul Ahkam; Syarah Kitab Bulughul Maram karya Hasan Sulaiman An-Nuri dan Alawi Abbas Al-Maliki juz 2 halaman 293-294 dan kitab Subulus Salam karya Imam As-Shan’ani juz 2 halaman 154-155.

Dalil Hadis Anjuran untuk Takjil/Menyegerakan Berbuka Puasa

0
Dalil Hadis Anjuran untuk Takjil/Menyegerakan Berbuka Puasa
Gambar oleh Amjad Hussain dari Pixabay

Hadispedia.id – Takjil. satu kata yang sering kita dengar saat bulan puasa. Takjil diambil dari Bahasa Arab (تَعْجِيْل)  yang artinya menyegerakan. Namun, Di Indonesia kata takjil sudah identik dengan “makanan buka puasa“.

Bahkan tidak jarang setiap sore, banyak penjual takjil di sepanjang jalan, seperti kolak, es buah, gorengan, dan makanan-makanan ringan untuk berbuka puasa. Takjil/menyegerakan berbuka puasa memang salah satu anjuran agama Islam. Berikut adalah salah satu dalilnya dalam hadis Nabi saw.

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ”. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

وَلِلتِّرْمِذِيِّ مِنْ حَدِيثِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ أَحَبُّ عِبَادِيْ إِلَيَّ أَعْجَلُهُمْ فِطْرًا

Dari Sahl bin Sa’d r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang-orang senantiasa dalam kebajikan selagi mereka menyegerakan berbuka puasa.” (Muttafaqun ‘alaih)

Menurut riwayat Imam At-Tirmidzi yang bersumber dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw., beliau bersabda, Allah swt. berfirman (dalam hadis qudsi), “Hamba Allah yang paling Aku sukai adalah yang paling bersegera berbuka.”

Salah satu bukti kesempurnaan iman seseorang dan tanda bahwa dia senantiasa dalam kebaikan adalah berpegang teguh kepada Sunah Nabi saw. Salah satu Sunah Nabi saw. adalah takjil/menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan sahur sebagaimana dinyatakan dalam riwayat Imam Ahmad bin Hanbal.

Kesunnahan takjil merupakan bentuk belas kasihan Allah swt. dan Rasul-Nya kepada orang yang berpuasa. Di samping itu, hal ini dapat memberikan kekuatan kepada mereka agar dapat melaksanakan amal ibadah-ibadah selanjutnya.

Baca juga: Dalil Hadis Bolehnya Niat Puasa Sunah di Siang Hari

Bahkan dalam hadis kedua di atas disebutkan bahwa Allah swt. sangat mencintai hamba-hambaNya yang mau menyegerakan berbuka. Kenapa demikian? Rasulullah saw. dalam riwayat Imam Abu Daud menjelaskan penyebabnya, “Karena orang Yahudi dan Nasrani senantiasa mengakhirkan waktu berbuka hingga munculnya bintang-bintang.” Artinya, Rasulullah saw. ingin agar umatnya tidak melakukan hal yang sama dengan mereka.

Orang-orang Yahudi dan Nasrani dulu menambahkan waktu ibadah mereka (memperpanjang waktu puasa dan mengulur waktu berbuka) hingga mengakibatkan mereka tidak mampu menunaikannya karena mempersulit diri mereka. Sementara umat Islam diperintahkan untuk berbeda dengan tradisi mereka. Yaitu menyegerakan berbuka puasa jika telah mendengar adzan maghrib.

Fiqhul Hadis

  1. Disunnahkan menyegerakan berbuka puasa apabila sudah terbukti bahwa matahari telah tenggelam/memasuki waktu maghrib.
  2. Makruh mengakhirkan berbuka bagi orang yang sengaja melakukannya dengan alasan berhati-hati atau untuk tujuan lebih meyakinkan lagi.
  3. Memberitahukan sesuatu yang dilakukan oleh sekumpulan ahli bid’ah (suka mengakhirkan berbuka puasa) adalah salah satu tanda kenabian.
  4. Hadis ini tidak berkaitan dengan orang yang ingin melakukan puasa wishal. Seseorang yang hendak berpuasa wishal diberikan rukhsah untuk mengakhirkan buka puasa. Adapun takjil/menyegerakan berbuka adalah lebih afdhal, karena hal ini mengandung belas kasihan terhadap orang yang berpuasa dan mampu memberikan kekuatan kepadanya untuk mengerjakan amal ibadah.

Demikianlah salah satu kesunahan yang mudah sekali untuk kita laksanakan, yaitu takjil/menyegerakan berbuka puasa. Artinya, ketika sudah mendengar adzan maghrib atau tanda sirene berbuka puasa, maka hendaknya langsung berbuka. Meskipun dengan makanan dan minuman yang sederhana seperti segelas air putih. Bukan malah mengulur-ulur waktu. Dengan demikian, semoga kita termasuk hamba Allah yang dicintai-Nya sebagaimana dalam hadis qudsi di atas. Wa Allahu a’lam bis shawab.

NB: Disarikan dari kitab Ibanatul Ahkam; Syarah Kitab Bulughul Maram karya Hasan Sulaiman An-Nuri dan Alawi Abbas Al-Maliki juz 2 halaman 292-293 dan kitab Subulus Salam karya Imam As-Shan’ani juz 2 halaman 154.

Dalil Hadis Bolehnya Niat Puasa Sunah di Siang Hari

0
Dalil Hadis Bolehnya Niat Puasa Sunah di Siang Hari
Gambar oleh Donate PayPal Me dari Pixabay

Hadispedia.id – Pada pembahasan sebelumnya, dijelaskan tentang keharusan niat puasa wajib di malam hari sebelum terbitnya fajar. Sementara niat puasa sunah, menurut sebagian ulama diperbolehkan dilakukan di siang hari, tidak harus di malam hari. Berikut adalah dalil hadis yang menjadi dasar pendapat mereka.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: “دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ: هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟ قُلْنَا: لَا. قَالَ: فَإِنِّي إِذًا صَائِمٌ، ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ، فَقُلْنَا: أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ، فَقَالَ: أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا، فَأَكَلَ”. رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Aisyah r.a., beliau berkata, “Pada suatu hari Nabi saw. masuk ke dalam rumah kami, lalu beliau bertanya, “Apakah kamu memiliki sesuatu?” Kami menjawab, “Tidak.” Nabi saw. bersabda, “Kalau demikian, aku berpuasa.” Kemudian beliau mendatangi kami lagi padah hari yang lain, lalu kami berkata, “Ada yang mengirim kami hais.” Nabi saw. bersabda, “Hidangkanlah kepadaku, karena sejak pagi aku puasa”. Lalu beliau memakannya. (HR. Muslim)

Makna Hadis

Hadis ini merupakan dalil bagi ulama yang membedakan antara puasa fardlu dan sunah dalam hal wajib niat puasa sejak waktu malam hari. Sementara itu, ulama yang tidak membedakan antara puasa fardlu dan sunah menafsirkan hadis ini bahwa apa yang dimaksud oleh Nabi saw. فَإِنِّي إِذًا صَائِمٌ (kalau demikian aku berpuasa) adalah berita yang menceritakan keadaan Rasulullah saw. sedang berpuasa, dan bukan bermaksud mengucapkan niat puasa pada saat itu. Hal ini dikuatkan oleh riwayat yang menyebutkan فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا (karena sejak pagi aku puasa). Mereka mengatakan bahwa pada dasarnya memang tidak ada perbedaan antara puasa sunah dengan puasa wajib.

Baca juga : Dalil Hadis Pentingnya Pemimpin Mengumumkan Penetapan Awal Ramadhan

Analisis Lafadz

قَالَ: فَإِنِّي إِذًا صَائِمٌ kalimat ini mengindikasikan bahwa boleh niat puasa pada waktu siang hari.

أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ, hais adalah makanan yang dibuat dari buah kurma dicampur menjadi satu dengan samin (mentega/minyak samin) dan aqith (air susu yang telah diambil sarinya). Terkadang tepung terigu digunakan sebagai pengganti aqith.

فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا Rasulullah saw. memakan sebagian hais tersebut dan berbuka, padahal sebelumnya beliau berpuasa.

Fiqhul Hadis

  1. Boleh niat puasa sunah pada waktu siang hari menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. Namun, dengan syarat niat tersebut dilakukan sebelum matahari tergelincir (sebelum waktu dhuhur) dan seseorang itu belum makan dan minum sesuatu apapun.

Imam Ahmad berkata, “Boleh puasa sunah dengan berniat pada waktu siang hari baik sebelum matahari tergelincir atau sesudahnya, karena dia telah melakukan niat pada salah satu waktu di siang hari, sehingga keadannya disamakan dengan apa yang telah diniatkan pada permulaan siang hari. Oleh karena keseluruhan malam hari merupakan waktu untuk berniat puasa fardlu, demikian pula dengan waktu siang hari, keseluruhannya merupakan waktu niat puasa sunah.”

Imam Malik berkata, “Dalam puasa sunah, seseorang harus niat di malam hari. Jika dia meneruskan puasanya (di hari berikutnya), maka dia tidak perlu lagi niat berpuasa pada waktu malam harinya.”

  1. Boleh berbuka (membatalkan puasa) dari puasa sunah.

Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berkata, “Boleh berbuka/membatalkan puasanya bagi orang yang berpuasa sunah dan tidak ada kewajiban qadha’ baginya.” Beliau berdua mengambil dalil berdasarkan hadis ini dan hadis-hadis lain yang lafaz –lafadz riwayatnya mempunyai makna yang hampir sama dan sanadnya jayyid.

Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berkata, “Maksud zahir riwayat tersebut bahwa seseorang diwajibkan menyempurnakan amal (puasa sunah) yang telah disyariatkan dan tidak boleh berbuka dengan tanpa adanya alasan. Hal ini berlandaskan kepada firman Allah swt. “….. Dan janganlah kamu membatalkan amal-amal kamu.” (Q.S. Muhammad: 33)

Jika seseorang itu berbuka tanpa adanya alasan/uzur, maka dia tetap diperbolehkan berbuka, tetapi harus mengqadha’nya. Jika berbukanya karena uzur, misalnya salah seorang dari kedua orang tuanya atau gurunya menyuruhnya berbuka karena kasihan kepadanya atau karena wanita yang tidak haid tiba-tiba datang haid lalu dia berbuka, maka dia tidak berdosa dan tidak wajib mengqadha’nya menurut Malikiyyah.

Sedangkan menurut Hanafiyyah wajib mengqadha’nya. Hal ini berdasarkan hadis Sayyidah Aisyah r.a. yang pernah bercerita, “Ketika aku dan Hafsah sedang berpuasa (sunah), tiba-tiba ada yang mengirim makanan kepada kami, lalu kami makan sebagiannya. Kemudian Nabi saw. masuk dan Hafsah bertanya, “Wahai Rasulullah saw., sesungguhnya kami sedang berpuasa sunah, lalu ada yang menghadiahkan makanan kepada kami, lalu kami berbuka dengan makanan itu.” Beliau menjawab, “Kamu berdua harus mengqadha’nya pada hari yang lain sebagai gantinya.” (H.R. Imam At-Tirmidzi dan Imam Ahmad)

Berbeda halnya dengan ulama dari kalangan Hanafiyyah yang bernama Al-Kamal bin Al-Hammam justru dia mengatakan bahwa berbuka/membatalakan puasa sunah itu boleh meskipun tanpa adanya uzur. Inilah pendapat yang tepat, karena dalil-dalilnya cukup banyak, sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid. “Sesungguhnya berbuka dari puasa sunah sama kedudukannya dengan seorang lelaki yang hendak mengeluarkan sedekah dari hartanya. Dia boleh meneruskan untuk mensedekahkan hartanya atau jusru sebaliknya.” (HR. Malik, Imam Ahmad, dan Imam Al-Sittah, kecuali Imam Al-Bukhari)

NB: Disarikan dari kitab Ibanatul Ahkam; Syarah Kitab Bulughul Maram karya Hasan Sulaiman An-Nuri dan Alawi Abbas Al-Maliki juz 2 halaman 291-292.

 

Dalil Hadis Keharusan Niat Puasa di Malam Hari Sebelum Fajar Terbit

0
Dalil Hadis Keharusan Niat Puasa di Malam Hari Sebelum Fajar Terbit
Gambar oleh mohamed_hassan dari Pixabay

Hadispedia.id – Pada hadis berikut ini, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Bulughul Maram memaparkan hadis yang dijadikan dasar agar niat puasa di malam hari. Bagaimana bunyi hadisnya? Apakah meliputi puasa sunnah dan fardu harus niat di malam hari?

عَنْ حَفْصَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا  أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ رَوَاهُ الْخَمْسَةُ وَمَالَ التِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ إِلَى تَرْجِيحِ وَقْفِهِ وَصَحَّحَهُ مَرْفُوعًا اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ

وَلِلدَّارَقُطْنِيِّ لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يَفْرِضْهُ مِنَ اللَّيْلِ

Dari Hafshah Ummu al-Mukminin r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Siapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.” (H.R. Imam al-Khamsah. Imam At-Tirmidzi dan imam An-Nasa’i lebih cenderung menguatkan hadis ini mauquf. Sementara Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Ibnu Hibban memastikan hadis tersebut marfu’.)

Menurut riwayat Imam Ad-Daruquthni disebutkan sebagai berikut, “Tidak ada puasa bagi orang yang tidak meniatkannya sejak malam hari.”

Penjelasan Hadis

Secara umum, dalam hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa seseorang yang tidak niat puasa di malam hari, maka puasanya tidak sah. Baik puasa sunnah maupun fardlu, baik ketika bulan Ramadhan ataupun bulan yang selainnya, puasa sunnat maupun puasa nadzar. Namun, terkait hal ini, ulama berbeda pendapat.

Imam Syafi’i dan Imam Ahmad mengatakan bahwa tidak wajib berniat pada malam hari dalam puasa sunat. Namun, wajib berniat pada malam hari dalam puasa fardlu, karena hadis ini hanya membatasinya dalam puasa fardlu saja, bukan berkaitan dengan puasa sunnat. Mereka melandaskan pendapatnya dengan berdasarkan hadis Sayyidah Aisyah r.a. yang akan diterangkan pada pembahasan hadis selanjutnya.

Baca juga : Dalil Hadis Pentingnya Pemimpin Mengumumkan Penetapan Awal Ramadhan

Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya mengatakan bahwa sah melakukan puasa dengan berniat pada waktu malam hari dan siang hari selagi matahari belum tergelincir dari pertengahan langit (sebelum waktu dhuhur). Dengan catatan, puasa yang dimaksud ada kaitannya dengan waktu tertentu, misalnya puasa Ramadhan, puasa nazar tertentu, dan puasa sunat mutlak. Mereka melandaskan pendapatnya dengan berdasarkan firman Allah swt.

….وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ….

“….. Dan makan minumlah kamu hingga jelas bagi kamu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam ….. “ (Q.S. Al-Baqarah: 187)

Berdasarkan ayat tersebut, Allah swt. telah membolehkan makan dan minum hingga fajar terbit, kemudian menyuruh berpuasa sesudah lafadz “”ثُمَّ yang maknanya menunjukkan pengertian tarakhi (lambat), hingga dipastikan niat menjadi azimah/tekad sesudah fajar. Mereka menafsirkan hadis ini dan hadis-hadis yang selainnya dengan pemahaman yang meniadakan keutamaan, yakni tidak afdal puasa seseorang yang tidak meniatkannya pada waktu malam hari.

Atau, makna yang dimaksudkan adalah larangan mendahulukan niat sebelum malam hari. Maka, seandainya seseorang melakukan niat puasa sebelum matahari tenggelam dan dia hendak berpuasa pada keesokan harinya, maka puasanya tidak sah. Atau, maknanya adalah yang ditujukan kepada puasa yang tidak mempunyai waktu tertentu, misalnya puasa qadha’, puasa kafarat, dan puasa nazar mutlak (tidak tertentu waktunya).

Baca juga : Hadis Saksi Rukyatul Hilal Cukup Satu Orang

Imam Malik dan murid-muridnya mengatakan bahwa apabila seseorag berniat pada permulaan malam Ramadhan untuk bepuasa di seluruh bulan Ramadhan, maka itu sudah mencukupi, dan dia tidak perlu lagi berniat setiap malam. Tetapi, dia disunatkan memperbarui niat setiap malam karena diqiyaskan kepada ibadah haji dan rakaat-rakaat shalat, sebab masing-masing ibadah haji dan shalat cukup hanya dengan satu kali niat. Mereka mengatakan demikian dengan berdasarkan kepada hadis “Sesungguhnya bagi setiap orang itu hanyalah apa yang telah diniatkannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Mereka mengatakan bahwa apabila seseorang berniat hendak berpuasa selama satu bulan penuh, maka dia wajib melakukan itu dengan syarat hendaklah puasa yang dilakukannya tidak terputus-putus, sebaliknya berturut-turut. Jika puasa secara berturut-turut tidak dapat dilakukan karena sakit, haid, atau berpergian, maka niatnya wajib diperbarui di sisa hari-hari yang dia belum berpuasa. Wa Allahu a’lam bis shawab.

NB: Disarikan dari kitab Ibanatul Ahkam; Syarah Kitab Bulughul Maram karya Hasan Sulaiman An-Nuri dan Alawi Abbas Al-Maliki juz 2 halaman 289-291.

Dalil Hadis Pentingnya Pemimpin Mengumumkan Penetapan Awal Ramadhan

0
Hadis Pentingnya Pemerintah Mengumumkan Penetapan Awal Puasa
Gambar oleh john peter dari Pixabay

Hadispedia.id – Imam Ibnu Hajar dalam kitab Bulughul Maram selanjutnya menjelaskan pentingnya pemimpin mengumumkan penetapan awal Ramadhan. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi saw. dalam hadis berikut ini.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: “إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ”. فَقَالَ: “أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ” قَالَ: “نَعَمْ” قَالَ: “أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ؟” قَالَ: “نَعَمْ” قَالَ: “فَأَذِّنْ فِي النَّاسِ يَا بِلَالُ  أَنْ يَصُومُوا غَدًا” رَوَاهُ الْخَمْسَةُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ وَرَجَّحَ النَّسَائِيُّ إِرْسَالَهُ.

Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ada seorang Arab Badui datang kepada Nabi saw. seraya berkata, “Sesungguhnya aku telah melihat hilal”. Nabi saw. bersabda, “Apakah engkau telah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah?” Orang Arab Badui itu menjawab, “Ya”. Nabi saw. bersabda, “Apakah engkau telah bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Orang Arab Badui itu menjawab, “Ya”. Nabi saw. bersabda, “Serukanlah kepada orang-orang wahai Bilal, bahwa hendaklah besok mereka berpuasa.” (HR. Al-Khamsah, dan dinilai shahih oleh Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Ibnu Hibban, sedangkan Imam An-Nasa’i mentarjihnya sebagai hadis mursal.)

Analisis Lafadz

أَعْرَابِيًّا seorang Arab Badui, yaitu orang Arab yang mendiami daerah pedalaman/pedesaan.

أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ kalimat ini menunjukkan bahwa kesaksian orang kafir dalam melihat hilal/anak bulan dianggap tidak memadai. Rasulullah saw. tidak menjelaskan tentang keadilan lelaki tersebut karena semua sahabat adalah adil.

فَأَذِّنْ فِي النَّاسِ يَا بِلَالُ  أَنْ يَصُومُوا غَدًا berasal dari kata التّأذين  dan الإيذان yang berarti seruan atau pemberitahuan secara umum. Nabi saw. bersabda, “Beritahukanlah kepada mereka akan masuknya bulan Ramadhan, dan hendaklah mereka besok berpuasa.”

وَرَجَّحَ النَّسَائِيُّ إِرْسَالَهُ Imam An-Nasa’i cenderung menguatkan hadis ini mursal karena dia meriwayatkan secara mursal melalui tiga jalur, namun satu di antaranya secara maushul.

Baca juga : Apa Hadis Mursal Itu?

Makna Hadis

Hadis tersebut menggambarkan bahwa Nabi saw. mau menerima kesaksian seorang Arab Badui yang telah melihat hilal sebagai tanda masuknya bulan Ramadhan. Alasan beliau mau menerimanya adalah setelah yakin seorang Arab Badui itu beragama Islam. Yakni dibuktikan dengan kesaksiannya terhadap dua kalimat syahadat.

Oleh karena dia beriman dan bertemu Nabi saw., maka dia adalah seorang sahabat Nabi saw. dan semua sahabat dianggap adil. Setelah itu, Nabi saw. memerintahkan kepada Bilal untuk mengabarkan kepada orang-orang bahwa bulan Ramadhan telah masuk dan hendaklah mereka memulai puasa pada keesokan harinya.

Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin wajib mengumumkan ketetapan puasa, begitu juga ketika waktu berpuasa habis dan memasuki bulan Syawal. Di Indonesia sendiri, pemerintah biasanya melalui kementrian agama mengumumkan kepada seluruh umat muslim setelah diadakan sidang isbat/penetapan 1 Ramadhan atau 1 Syawal.

Sementara zaman dulu, cara mengumumkan penetapan awal Ramadhan ada yang via suara bedug yang ditabuh dan dentuman meriam yang dinyalakan seperti tradisi di daerah Semarang yang disebut dungderan (“dung” suara bedug yang ditabuh sedangkan “der” suara meriam yang dinyalakan). Sedangkan di Kota Kudus disebut dengan dandangan yang berasal dari suara bedug yang berbunyi dang… dang …. sebagai tanda awal bulan Ramadhan yang penuh berkah.

Baca juga: Hadis Rukyatul Hilal Sebagai Tanda Masuk dan Keluarnya Bulan Ramadhan

Fiqhul Hadis

1.   Berita dari seorang muslim yang adil tentang penetapan awal puasa boleh diterima.

2.   Pada dasarnya semua umat Islam itu adil.

3. Cukup mengetahui keimanan seseorang (yang menjadi saksi rukyatul hilal) dengan menyuruhnya untuk mengikrarkan dua kalimat syahadat.

4. Hendaknya seorang pemimpin mengumumkan berita masuknya bulan puasa kepada orang-orang agar mereka berpuasa.

NB: Disarikan dari kitab Ibanatul Ahkam; Syarah Kitab Bulughul Maram karya Hasan Sulaiman An-Nuri dan Alawi Abbas Al-Maliki juz 2 halaman 288-289

 

 

Hadis Saksi Rukyatul Hilal Cukup Satu Orang

0
Hilal
Gambar oleh Robert Karkowski dari Pixabay

Hadispedia.id –  Pada hadis sebelumnya, Imam Ibnu Hajar dalam kitab Bulughul Maram memaparkan hadis tentang rukyatul hilal sebagai tanda masuk dan keluarnya bulan Ramadhan. Hadis selanjutnya berikut ini adalah tentang keharusan adanya saksi yang benar-benar telah melihat hilal/anak bulan Ramadhan. Bagaimana bunyi hadisnya? Berapa jumlah saksi rukyatul hilal yang dibutuhkan untuk penetapan awal Ramadhan?

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: ” تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلَالَ فَأَخْبَرْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّيْ رَأَيْتُهُ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ” رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ وَابْنُ حِبَّانَ

Dari Ibnu Umar r.a., beliau berkata, “Orang-orang berkumpul untuk melihat hilal dan aku memberitakan kepada Nabi saw. bahwa aku telah melihatnya, lalu beliau berpuasa dan menyuruh orang-orang untuk berpuasa.” (H.R. Abu Daud, dan dinilai shahih oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban)

Makna Hadis

Berdasarkan hadis ini, maka dapat disimpulkan bahwa berita/kesaksian satu orang yang telah melihat hilal/anak bulan dapat dijadikan pedoman penetapan awal Ramadhan. Sebagaimana Rasulullah saw. menerima kesaksian Ibnu Umar r.a. dan memerintahkan para sahabat lainnya untuk berpuasa.

Namun, dalam kitab Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram dijelaskan dengan syarat hendaklah saksi tersebut adalah orang yang adil, karena kesaksian orang yang tidak adil tidak dapat dipedomani.

Imam Syafi’i dan Imam Ahmad mengatakan bahwa untuk membuktikan hilal bulan Ramadhan secara mutlak cukup melalui penglihatan seorang yang bersifat adil. Saksi itu harus seorang lelaki dan merdeka. Namun, untuk membuktikan hilal bulan lainnya tidaklah cukup hanya satu orang saja, melainkan kesaksian dua orang lelaki yang adil dan merdeka.

Sementara itu, Imam Malik berpendapat bahwa hilal bulan Ramadhan dan bulan Syawal baru dapat dibuktikan melalui kesaksian dua orang laki-laki yang adil atau sekelompok orang minimal lima orang. Ini berlaku bagi lembaga yang khusus menangani rukyatul hilal. Adapun bagi seseorang yang tidak menangani urusan ini, maka cukup dibuktikan hanya dengan satu orang saksi yang adil.

Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya berkata, “Apabila di atas langit terdapat halangan seperti mendung dan debu yang lebat, maka kesaksian satu orang yang adil bahwa ia melihat hilal bulan Ramadhan boleh diterima. Meskipun dia adalah seorang hamba sahaya atau seorang perempuan. Masalah ini merupakan masalah yang berkaitan dengan agama, dan kesaksian orang yang adil dapat diterima dalam masalah-masalah agama. Maka, tidak disyaratkan mengucapkan kata-kata kesaksian.

Namun, untuk membuktikan hilal bulan selain bulan Ramadhan, seperti bulan Syawal harus dengan kesaksian dua orang lelaki merdeka atau seorang lelaki merdeka dan seorang perempuan merdeka. Tetapi, dengan syarat mereka semua bersifat adil dan mengucapkan kata-kata kesaksian, karena ada kaitannya hak hamba-hamba Allah dengan perkara itu, lain halnya dengan puasa Ramadhan yang merupakan hak Allah swt. semata. Jika di atas langit tidak terdapat halangan, maka dalam membuktikan hilal bulan Ramadhan dan bulan lainnya diharuskan adanya kesaksian sejumlah orang yang telah diyakini bersifat jujur. Hal ini disebabkan karena berita mereka selain dalam keadaan seperti itu jelas keliru dan tidak boleh diterima.” Imam Abu Hanifah sendiri mengatakan cukup dengan kesaksian dua orang lelaki yang melihat hilal, sekalipun di atas langit tidak terdapat halangan.

NB: Disarikan dari kitab Ibanatul Ahkam; Syarah Kitab Bulughul Maram karya Hasan Sulaiman An-Nuri dan Alawi Abbas Al-Maliki juz 2 halaman 287-288.