Beranda blog Halaman 55

Hadis No. 49 Sunan An-Nasa’i

0
Sunan An-Nasa'i
Sunan An-Nasa'i

Hadispedia.id – Al-Imam An-Nasa’i berkata dalam Sunan-nya pada kitab bersuci bab larangan istinja’ dengan tangan kanan,

أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ وَشُعَيْبُ بْنُ يُوسُفَ وَاللَّفْظُ لَهُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَهْدِيٍّ عَنْ سُفَيَانَ عَنْ مَنْصُورٍ وَالْأَعْمَشُ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ سَلْمَانَ قَالَ قَالَ الْمُشْرِكُونَ إِنَّا لَنَرَى صَاحِبَكُمْ يُعَلِّمُكُمْ الْخِرَاءَةَ قَالَ أَجَلْ نَهَانَا أَنْ يَسْتَنْجِيَ أَحَدُنَا بِيَمِينِهِ وَيَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ وَقَالَ لَا يَسْتَنْجِي أَحَدُكُمْ بِدُونِ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ

Amr bin Ali dan Syu’aib bin Yusuf (dan lafadz ini milik Syu’aib) telah mengabarkan kepada kami, dari Abdurrahman bin Mahdi, dari Sufyan, dari Mansur dan Al-A’masy, dari Ibrahim, dari Abdurrahman bin Yazid, dari Salman, ia berkata, “Orang-orang musyrik berkata, ‘Kami tahu bahwa teman kalian (Rasulullah saw.) mengajari cara buang hajat.” Salman menjawab, “Iya, beliau melarang kami istinja’/bersuci dengan tangan kanan dan menghadap kiblat, dan beliau bersabda, “Salah seorang dari kalian jangan istinja’ dengan batu kurang dari tiga buah.”

Hadis No. 48 Sunan An-Nasa’i

0
Sunan An-Nasa'i
Sunan An-Nasa'i

Hadispedia.id – Al-Imam An-Nasa’i berkata dalam Sunan-nya pada kitab bersuci bab larangan istinja’ dengan tangan kanan,

أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ يِحْيَى بْنِ أَبِى كَثِيرٍ عَنْ ابْنِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَتَنَفَّسَ فِي الْإِنَاءِ وَأَنْ يَمَسَّ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَأَنْ يَسْتَطِيبَ بِيَمِينِهِ

Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, Abdul Wahhab telah menceritakan kepada kami, dari Ayyub, dari Yahya bin Abu Katsir, dari Ibnu Abi Qatadah, dari ayahnya, bahwa Nabi saw. melarang (seseorang) bernafas di dalam bejana, menyentuh kemaluannya dengan tangan kanannya, dan istinja’ dengan menggunakan tangan kanannya.

Penjelasan:

Imam As-Suyuthi menjelaskan bahwa larangan pada hadis tersebut adalah sebagai bentuk adab/tata krama. Mengingat Islam sangat memperhatikan kebersihan. Sementara, jika bernafas di dalam bejana, biasanya nafas itu akan keluar dengan ludah, ingus, atau uap  menjijikkan yang dapat menimbulkan bau tidak sedap yang mengotori minumannya.

Sedangkan Imam As-Sindi memberi penjelasan terkait larangan istinja’ dengan tangan kanan adalah karena tangan kanan itu mulia, maka jangan menggunakannya untuk urusan-urusan yang tidak baik.

Perhatian Nabi terhadap Pendidikan Para Sahabat Perempuan

0
Perhatian Nabi terhadap Pendidikan Para Sahabat Perempuan
Perhatian Nabi terhadap Pendidikan Para Sahabat Perempuan

Hadispedia.id – Ilmu merupakan bekal dalam mengarungi kehidupan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Sehingga, tidak ada diskriminasi dalam menuntut ilmu. Baik laki-laki maupun perempuan berhak mendapatkan hak yang sama dalam meraihnya. Hal ini pun yang dilakukan oleh Nabi saw. Beliau tidak hanya memberikan hak pendidikan kepada para sahabat laki-laki, melainkan juga kepada para sahabat perempuan.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ رضي الله عنه: قَالَتِ النِّسَاءُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: غَلَبَنَا عَلَيْكَ الرِّجَالُ فَاجْعَلْ لَنَا يَوْمًا مِنْ نَفْسِكَ. فَوَعَدَهُنَّ يَوْمًا لَقِيَهُنَّ فِيهِ، فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ. فَكَانَ فِيمَا قَالَ لَهُنَّ: «مَا مِنْكُنَّ امْرَأَةٌ تُقَدِّمُ ثَلاَثَةً مِنْ وَلَدِهَا إِلَّا كَانَ لَهَا حِجَابًا مِنَ النَّارِ» فَقَالَتِ امْرَأَةٌ: وَاثْنَتَيْنِ، فَقَالَ: «وَاثْنَتَيْنِ». رواه البخاري

Dari Abu Sa’id Al-Khudri r.a., “Kaum perempuan berkata kepada Nabi saw. ‘Kaum laki-laki telah mengalahkan kami untuk bertemu dengan engkau, maka berilah kami satu hari untuk bermajelis dengan diri tuan.’ Maka, Nabi saw. berjanji kepada mereka untuk bertemu mereka dalam satu hari. Lalu, beliau memberi pelajaran dan memerintahkan mereka. Di antara yang disampaikannya adalah “Tidak seorangpun dari kalian yang didahului (meninggal dunia) oleh tiga orang dari anaknya kecuali akan menjadi tabir bagi dirinya dari neraka.” Seorang sahabat perempuan bertanya, “Bagaimana kalau dua orang?” Nabi saw. menjawab, “Juga dua”. (H.R. Al-Bukhari)

Di dalam riwayat Abu Hurairah r.a. disebutkan bahwa anak yang meninggal dunia yang dapat memberi syafaat orang tuanya tersebut dengan syarat belum balig. Imam Al-Bukhari menyebutkan hadis di atas dalam kitab pembahasan tentang ilmu bab “Apakah perlu dibuat untuk para perempuan pelajaran khusus pada hari tertentu?”.

Imam Al-Bukhari juga menyebutkan hadis di atas dalam kitab pembahasan tentang berpegang teguh terhadap kitab dan sunnah, bab “Nabi saw. mengajari umatnya berdasarkan wahyu”. Hadis penguat tersebut diriwayatkan Imam Al-Bukhari dengan jalur sanad lainnya yang juga bersumber dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri dengan tambahan redaksi dalam matannya.

Pada riwayat lainnya tersebut, para sahabat perempuan meminta kepada Nabi saw. agar dapat diajari tentang ilmu yang telah Allah ajarkan kepada beliau. Lalu, beliau bersabda,

اجْتَمِعْنَ فِي يَوْمِ كَذَا وَكَذَا فِي مَكَانِ كَذَا وَكَذَا

“Berkumpullah kalian pada hari ini dan ini, di tempat ini dan ini.”

Hadis di atas merupakan salah satu hadis yang menunjukkan betapa perhatiannya Nabi saw. terhadap pendidikan para sahabat perempuan. Sampai beliau mau meluangkan waktunya untuk mengajari langsung ajaran-ajaran Islam kepada mereka yang juga haus ilmu dari beliau.

Salah satu pelajaran yang diajarkan Nabi saw. tersebut adalah tentang kabar gembira untuk para perempuan yang anak-anaknya wafat saat masih kecil sebelum baligh, maka ia dapat memberikan syafaat kelak di akhirat untuk orang tuanya. Sehingga, mereka tidak perlu sedih dengan wafatnya anak-anak mereka. Namun, bukan berarti hadis ini dijadikan legitimasi untuk tidak memperhatikan kondisi kesehatan anak. Melainkan sebagai pengingat agar para orang tua hendaknya bersabar saat anaknya meninggal dunia.

Selain Abu Sa’id Al-Khudri r.a., Sahabat lain yang juga menyaksikan bentuk perhatian Nabi saw. terhadap pendidikan para sahabat perempuan adalah Ibnu Abbas r.a. Saat itu, Ibnu Abbas r.a. menyaksikan Nabi saw. keluar bersama Bilal, karena beliau merasa bahwa (khutbah yang beliau sampaikan) tidak dapat didengar (oleh para sahabat perempuan karena kejauhan), maka Nabi saw. memberi pelajaran kepada para sahabat perempuan itu dan memerintahkan mereka untuk bersedekah. Maka, seorang perempuan ada yang memberi anting dan cincin emasnya, dan Bilal memasukkannya ke ujung pakaiannya. Riwayat ini disampaikan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya pada pembahasan ilmu bab “Idhatil Imam An-Nisa’a wa Ta’limihinna”.

Berdasarkan riwayat-riwayat tersebut, maka hendaknya kita mencontoh semangat para sahabat-sahabat perempuan untuk menimba ilmu. Bahkan dalam riwayat di atas, mereka seakan-akan tidak mau kalah dengan para sahabat laki-laki yang memiliki kesempatan lebih banyak dibanding mereka dalam menimba ilmu dari Nabi saw.

Begitu pula pelajaran penting dapat kita ambil dari sosok Baginda Nabi saw. yang juga semangat mengajarkan ilmu-ilmunya kepada para sahabat perempuan. Semoga semangat belajar dan mengajarkan ilmu kepada para perempuan itu dapat senantiasa kita tumbuhkan. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Biografi Imam Ahmad bin Hanbal

0
Biografi Imam Ahmad bin Hanbal
Biografi Imam Ahmad bin Hanbal

Hadispedia.id – Mendengar nama Imam Ahmad, tentu yang terlintas di pikiran kita adalah tokoh salah satu madzhab fikih yang digunakan hingga saat ini. Imam Ahmad selain ulama fikih pada masa Khalifah Ar-Rasyid dan Al-Ma’mun, beliau juga merupakan ulama hadis yang tersohor. Pada masa gentingnya di khalifah Al-Ma’mun, Imam Ahmad merupakan ulama yang berani dengan teguh menyampaikan akidahnya yang lurus. Karena hal tersebut, Imam Ahmad dijuluki sebagai penyelamat kedua umat Nabi Muhammad saw. setelah Abu Bakar As-Siddiq dari keyakinan sesat yang disebarkan oleh kaum Mu’tazilah pada saat itu.

Biografi

Beliau memiliki nama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzahl bin Tsa’labah bin Ukabah bin Sha’ab bin Ali bin Bakar bin Wail Adz-Dzahili Asy-Syaibani Al-Marwazi Al-Baghdadi. Beliau memiliki nama kunyah Abu Abdillah. Lahir pada tanggal 20 Rabiul Awal 164 H di Marw, kota Baghdad, Irak tetapi saat ini bernama Mary, Turkmenistan.

Imam Ahmad merupakan anak tunggal. Sejak kecil, beliau telah menjadi yatim. Tak ada kemewahan dalam hidup Imam Ahmad. Ayahnya meninggal dunia dalam peperangan dan mewariskan harta yang pas-pasan. Ibunya yang bernama Shafiyyah binti Maimunah tak ada keinginan menikah lagi meskipun dikisahkan dalam berbagai sumber bahwa banyak lelaki yang melamarnya. Namun, ibunya lebih memilih fokus terhadap Imam Ahmad untuk mendidiknya dan mengantarkan ke berbagai tempat menuntut ilmu.

Keterbatasannya dalam ekonomi, tak menghalangi Imam Ahmad dalam belajar. Justru, itu menjadi motivasi untuknya semakin giat memperdalami ilmu. Beliau berusaha keras untuk bisa mengurangi beban ibunya.

Setelah kesibukannya dalam menuntut ilmu, beliau menikah di usia 40 tahun dengan perempuan bernama Abassah binti Al-Fadl dan dikaruniai beberapa anak. Di antaranya bernama Salih dan Abdullah yang kemudian tersohor pula sebagai ulama hadis dan seorang anak perempuan bernama Zainab.

Semasa hidupnya, beliau sempat mendapati penyiksaan yang dilakukan oleh pemerintahan khalifah Al-Makmun karena menentang paham yang digencarkan oleh pemimpin pada masa itu yakni paham Mu’tazilah. Saat itu, digencarkan bahwa Al-Qur’an bukanlah kalamullah melainkan makhluk. Ada banyak para ulama yang akhirnya memutuskan untuk menyembunyikan akidah lurus mereka untuk menghindari penyiksaan yang dilakukan oleh pimpinan, tetapi Imam Ahmad menyatakan dengan lantang dan tegas bahwa beliau menolak paham tersebut.

Hingga akhirnya, beliau dipenjara dan menerima penyiksaan yang cukup lama. Sejak pemerintahan Al-Makmun hingga berganti dengan pemerintahan Al-Mutawakkil terjadi pergantian pemimpin 4 kali. Selama itu penyiksaan terhadap ulama yang menentang belum berakhir. Setelah dua tahun kepemimpinan Al-Mutawakkil, kemudian dibuat kebijakan baru. Ajaran islam dikembalikan mengikuti sunah Nabi dan para ulama dibebaskan.

Imam Ahmad menghembuskan nafas terakhir pada usianya 77 tahun tepatnya pada tanggal 12 Rabiul Awwal 241 H di kota Baghdad setelah jatuh sakit yang cukup parah. Beliau dimakamkan di pemakaman Al-Harb bahkan dihadiri oleh 800 ribu pelayat laki-laki dan dan 600 ribu pelayat perempuan.

Lawatan Pendidikan

Baghdad tak hanya menjadi tempat lahirnya Imam Ahmad saja, tetapi menjadi tempat beliau dalam menimba ilmu. Memulainya dengan menghafal Al-Qur’an dan Ilmu Qira’at. Hingga usianya menginjak 15 tahun, Imam Ahmad mulai melakukan lawatan ke berbagai negara dalam rangka mempelajari ilmu agama. Mulai dari ilmu hadis, ilmu fikih beserta kaidah-kaidahnya. Beberapa negara yang menjadi tempat beliau menimba ilmu adalah Kufah, Bashrah, Makkah, Madinah, Yaman, Syam, dan Al-Jazirah.

Kemahiran beliau dalam memahami kaidah-kaidah hukum fikih serta dalamnya ilmu hadis yang dimiliki oleh Imam Ahmad didapatkan dengan banyak berguru ke berbagai ratusan ulama. Di antaranya Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin Ja’far, Abbad bin Abbad Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, Imam Syafi’I, Waki’ bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah, Abdurrazaq, Ibrahim bin Sa’ad, dan lain sebagainya.

Setelah pengembarannya mencari ilmu yang cukup lama, nama beliau semakin terkenal dan tempatnya mengajar dihadiri oleh beribu orang. Dikisahkan dalam buku “Antara Madzhab Hanbali dengan Salafi Kontemporer” bahwa ada sekitar 500 murid beliau yang aktif dalam menulis. Sedangkan sisanya adalah murid yang pasif (duduk, diam mendengarkan) dalam belajar.

Di antara murid-murid Imam Ahmad yakni imam hadis yang juga terkenal yaitu Imam Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Zu’rah Ar-Razi, Abu Hatim ar-Razi, Musa bin Harun, Hanbal bin Ishaq, Muhammad bin Ishaq Ash-Shaghani, Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Abi Ad-Dunya, dan masih banyak lagi murid lainnya.

Sebagai seorang guru, Imam Ahmad kerap kali mengingatkan kepada para muridnya untuk tidak menuliskan segala yang disampaikan juga fatawa-fatwanya, kecuali yang sudah pasti berdasarkan dalil  Al-Qur’an dan sunnah. Ini karena kehati-hatian beliau dalam masalah agama.

Karya-Karya

Di antara karya-karya Imam Ahmad yaitu:

  1. Kitab Al-Musnad. Karya ini merupakan kitab yang paling populer dan memuat lebih 27 ribu hadis. Kitab ini disusun pada abad ke-3 H dan merupakan salah satu kitab yang dapat memenuhi kebutuhan muslim dalam hal agama dan dunia pada saat itu. Hal tersebut karena dalam kitab ini menghimpun kitab-kitab hadis yang ada sebelumnya.
  2. Kitab At-Tafsir
  3. Kitab An-Nasikh wa Al-Mansukh
  4. Al-Muqaddam wa Al-Mu’akkhar fi Al-Qur’an
  5. Al-Manasik Al-Kabir
  6. Al-Manasik As-Shaghir.

 

Hadis-Hadis Dalil Kewajiban Puasa Ramadhan

0
Ramadhan
Ramadhan

Hadispedia.id – Surah Al-Baqarah ayat 183 adalah salah satu ayat yang menjadi dasar kewajiban puasa Ramadhan bagi umat Muslim. Dasar kewajiban puasa Ramadhan juga terdapat dalam hadis-hadis Nabi saw. Di antaranya adalah tiga riwayat Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya pada bab wujubi shaumi Ramadhan sebagai berikut.

Hadis pertama, riwayat Thalhah bin Ubaidullah

عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَائِرَ الرَّأْسِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِى مَاذَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَىَّ مِنَ الصَّلاَةِ فَقَالَ « الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا » . فَقَالَ أَخْبِرْنِى مَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَىَّ مِنَ الصِّيَامِ فَقَالَ « شَهْرَ رَمَضَانَ إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا » . فَقَالَ أَخْبِرْنِى بِمَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَىَّ مِنَ الزَّكَاةِ فَقَالَ فَأَخْبَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ . قَالَ وَالَّذِى أَكْرَمَكَ لاَ أَتَطَوَّعُ شَيْئًا وَلاَ أَنْقُصُ مِمَّا فَرَضَ اللَّهُ عَلَىَّ شَيْئًا . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ « أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ أَوْ دَخَلَ الْجَنَّةَ إِنْ صَدَقَ

Dari Thalhah bin Ubaidullah, ada seorang Arab Badui datang kepada Rasulullah saw. dalam keadaan kepalanya berdebu, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, kabarkan kepadaku shalat apa yang telah Allah wajibkan untukku?.” Maka, beliau menjawab, “Shalat lima waktu kecuali bila kamu menambah dengan yang tathawwu’ (sunnah).” Arab Badui itu bertanya lagi, “Kabarkan kepadaku puasa apa yang telah Allah wajibkan untukku?” Beliau menjawab, “Puasa di Bulan Ramadhan, kecuali bila kamu mau menambah dengan yang sunnah.” Arab Badui itu bertanya lagi, “Kabarkan kepadaku, zakat apa yang telah Allah wajibkan untukku.” Thalhah bin Ubaidullah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. pun mengabarkan kepada Arab Badui itu tentang seputar syariat-syariat Islam. Arab Badui itu lalu berkata, “Demi Dzat yang telah memuliakan Anda, aku tidak akan mengerjakan yang sunnah sekalipun, namun aku pun tidak mengurangi satu pun dari apa yang telah Allah wajibkan untukku.” Maka, Rasulullah saw. bersabda, “Dia akan beruntung jika jujur atau dia akan masuk surga jika jujur.”

Hadis kedua, riwayat Ibnu Umar

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ صَامَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ . فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تُرِكَ. وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ لاَ يَصُومُهُ إِلاَّ أَنْ يُوَافِقَ صَوْمَهُ

Ibnu Umar r.a. berkata, “Nabi saw. berpuasa Asyura’ (10 Muharram) dan beliau memerintahkan (para sahabatnya) untuk melaksanakannya juga. Ketika Ramadhan diwajibkan, maka puasa Asyura’ ditinggalkan.” Abdullah (Ibn Umar) tidak lah melaksanakan puasa Asyura’ lagi kecuali bila bertepatan dengan hari-hari puasa yang biasa ia kerjakan.

Hadis ketiga, riwayat Sayyidah Aisyah r.a.

عَنْ عَائِشَةَ رضى الله عنها أَنَّ قُرَيْشًا كَانَتْ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فِى الْجَاهِلِيَّةِ ثُمَّ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصِيَامِهِ حَتَّى فُرِضَ رَمَضَانُ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ

Dari Aisyah r.a. bahwa Orang Quraisy pada zaman Jahiliyah biasa melaksanakan puasa hari Asyura’. Kemudian, Rasulullah saw. memerintahkan untuk melaksanakannya juga hingga Ramadhan diwajibkan. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang mau melaksanakannya, berpuasalah, siapa yang mau tidak melaksanakannya, berbukalah.”

Sebelum Diwajibkan Puasa Ramadhan, Rasulullah saw. dan Sahabatnya Puasa Apa?

Jika menilik riwayat-riwayat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa riwayat Thalhah bin Ubaidillah menunjukkan tidak adanya puasa wajib kecuali puasa Ramadhan. Sedangkan riwayat Ibnu Umar r.a. dan Sayyidah Aisyah r.a. menunjukkan adanya perintah puasa Asyura’ sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan. Namun, apakah perintah puasa Asyura’ tersebut bersifat wajib? Sehingga, Rasulullah saw. dan para sahabatnya diwajibkan puasa Asyura’ sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan?

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari menjelaskan bahwa terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait hal ini. Menurut jumhur ulama yakni pendapat yang masyhur di kalangan ulama Syafiiyah, sebelum puasa Ramadhan itu tidak ada kewajiban puasa sama sekali. Hal ini didasarkan pada riwayat Sahabat Mu’awiyah, bahwa Nabi saw. bersabda, “Allah tidak mewajibkan atas kalian untuk melaksanakan puasa Asyura’….” Hadis ini diriwayatkan juga oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya di akhir bab puasa.

Pendapat kedua dari kalangan ulama Hanafiyyah yang mengatakan bahwa puasa yang pertama diwajibkan adalah puasa Asyura’. Ketika puasa Ramadhan datang, maka kewajiban puasa Asyura’ tersebut dihapus/naskh. Dasarnya adalah riwayat Ibnu Umar r.a. dan Sayyidah Aisyah r.a. sebagaimana tersebut di atas, riwayat Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, dan riwayat Maslamah yang disebutkan “Siapa yang sudah makan, maka berpuasalah di sisa harinya (Asyura’), dan siapa yang belum makan, maka berpuasalah…”

Terlepas dari perbedaan tersebut, yang jelas puasa Asyura’ tersebut sekarang hanya berstatus sunnah. Sedangkan puasa yang diwajibkan bagi umat Islam adalah puasa Ramadhan. Syekh Muhammad Khudhari Bek dalam kitab Nurul Yaqin fi Siratil Mursalin menjelaskan bahwa puasa Ramadhan diwajibkan pada bulan Sya’ban tahun kedua hijriyah. Beliau juga menjelaskan bahwa Rasulullah saw. sebelum itu selalu berpuasa tiga hari dalam setiap bulannya. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Hadis No. 47 Sunan An-Nasa’i

0
Sunan An-Nasa'i
Sunan An-Nasa'i

Hadispedia.id – Al-Imam An-Nasa’i berkata dalam Sunan-nya pada kitab bersuci bab larangan istinja’ dengan tangan kanan,

أَخْبَرَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ مَسْعُودٍ قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدٌ قَالَ أَنْبَأَنَا هِشَامٌ عَنْ يَحْيَى عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِي قَتَادَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا شَرِبَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَتَنَفَّسْ فِي إِنَائِهِ وَإِذَا أَتَى الْخَلَاءَ فَلَا يَمَسَّ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَلَا يَتَمَسَّحْ بِيَمِينِهِ

Isma’il bin Mas’ud telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, Khalid telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Hisyam telah memberitakan kepada kami, dari Yahya, dari Abdullah bin Abu Qatadah, dari Abu Qatadah, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian minum, maka jangan bernafas di dalam tempat tersebut dan apabila ia pergi ke WC, maka jangan menyentuh dan mengusap kemaluannya dengan tangan kanannya.”

Hadis No. 46 Sunan An-Nasa’i

0
Sunan An-Nasa'i
Sunan An-Nasa'i

Hadispedia.id – Al-Imam An-Nasa’i berkata dalam Sunan-nya pada kitab bersuci bab istinja’ dengan air,

أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ مُعَاذَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ مُرْنَ أَزْوَاجَكُنَّ أَنْ يَسْتَطِيبُوا بِالْمَاءِ فَإِنِّي أَسْتَحْيِيهِمْ مِنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَفْعَلُهُ

Qutaibah telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, Abu Awanah telah menceritakan kepada kami, dari Qatadah, dari Mu’adzah, dari Aisyah r.a., bahwa ia berkata, “Perintahkanlah kepada suami-suami kalian agar beristinja’ dengan air, karena aku malu untuk mengatakan kepada mereka bahwa Rasulullah saw. melakukan hal itu.”

Hadis No. 45 Sunan An-Nasa’i

0
Sunan An-Nasa'i
Sunan An-Nasa'i

Hadispedia.id – Al-Imam An-Nasa’i berkata dalam Sunan-nya pada kitab bersuci bab istinja’ dengan air,

أَخْبَرَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ أَنْبَأَنَا النَّضْرُ قَالَ أَنْبَأَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي مَيْمُونَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ أَحْمِلُ أَنَا وَغُلَامٌ مَعِي نَحْوِي إِدَاوَةً مِنْ مَاءٍ فَيَسْتَنْجِي بِالْمَاءِ

Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, An-Nadhr telah memberitakan kepada kami, ia berkata, Syu’bah telah memberitakan kepada kami, dari Atha’ bin Abu Maimunah, ia berkata, aku mendengar Anas bin Malik berkata, “Apabila Rasulullah saw. masuk WC, maka aku dan seorang anak sebayaku membawakan seember air, lalu beliau istinja’ dengan air itu.”

Baca juga: Biografi Anas bin Malik, Sahabat yang Melayani Rasulullah saw.

Hadis No. 57 Sunan Abi Daud

0
Sunan Abi Daud
Sunan Abi Daud

Hadispedia.id – ِAl-Imam Abu Daud; Sulaiman bin Al-Asy’ats berkata di dalam Sunan-nya pada kitab bersuci bab seseorang yang memperbaharui wudhu meski tidak ada hadas,

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ فَارِسٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ الْمُقْرِئُ، ح وَحَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، قَالَا: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زِيَادٍ قَالَ أَبُو دَاوُدَ: وَأَنَا لِحَدِيثِ ابْنِ يَحْيَى أَتْقَنُ عَنْ غُطَيْفٍ، وَقَالَ مُحَمَّدٌ: عَنْ أَبِي غُطَيْفٍ الْهُذَلِيِّ، قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، فَلَمَّا نُودِيَ بِالظُّهْرِ تَوَضَّأَ فَصَلَّى، فَلَمَّا نُودِيَ بِالْعَصْرِ تَوَضَّأَ، فَقُلْتُ لَهُ، فَقَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ تَوَضَّأَ عَلَى طُهْرٍ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ»، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: وَهَذَا حَدِيثُ مُسَدَّدٍ وَهُوَ أَتَمُّ

Muhammad bin Yahya bin Faris telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Abdullah bin Yazid telah menceritakan kepada kami, ha’ (at-tahwil), dan Musaddad telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami, mereka berdua (Abdullah bin Yazid dan Isa bin Yunus) berkata, Abdurrahman bin Ziyad telah menceritakan kepada kami. Abu Daud berkata, “Saya lebih hafal hadis Ibnu Yahya dari pada Ghuthaif”, Muhammad berkata, dari Ghuthaif Al-Hudzali, ia berkata, “Saya pernah bersama Abdullah bin Umar, ketika azan Zuhur dikumandangkan, ia berwudhu lalu shalat. Ketika azan Ashar dikumandangkan, ia wudhu lagi. Maka, aku bertanya kepadanya, ia pun menjawab, Rasulullah saw. bersabda, ‘Siapa yang wudhu dalam keadaan bersuci (masih memiliki wudhu), maka Allah menulis untuknya sepuluh kebaikan.” Abu Daud berkata, “Ini adalah hadis riwayat Musaddad, dan ia lebih sempurna.

Penjelasan:

Menurut Imam Al-Mundziri sebagaimana dikutip oleh Imam Abadi dalam kitab Aunul Ma’bud, hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Sedangkan menurut Imam At-Tirmidzi, hadis ini sanadnya dhaif. Sementara itu, Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, kedhaifannya disebabkan rawi yang berbangsa Afrika, yakni Abdurrahman bin Ziyad bin An’am dan Abu Ghathif Al-Hudzali tergolong rawi yang majhul hal.

Hadis No. 56 Sunan Abi Daud

0
Sunan Abi Daud
Sunan Abi Daud

Hadispedia.id – ِAl-Imam Abu Daud; Sulaiman bin Al-Asy’ats berkata di dalam Sunan-nya pada kitab bersuci bab kewajiban wudhu,

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنِ ابْنِ عَقِيلٍ، عَنْ مُحَمَّدِ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

Usman bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Waki’ telah menceritakan kepada kami, dari Sufyan, dari Ibnu Aqil, dari Muhammad bin Al-Hanafiyah, dari Ali r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Kunci shalat adalah bersuci, yang mengharamkannya adalah takbir, dan yang menghalalkannya adalah salam.”

Penjelasan:

Bersuci adalah kunci shalat, maka sebelum melaksanakan shalat harus dipastikan dalam keadaan suci baik dari hadas besar yang dihilangkan dengan cara mandi besar maupun hadas kecil yang dihilangkan dengan cara berwudhu.

Ketika sudah masuk shalat yang ditandai dengan takbiratul ihram, maka segala hal yang boleh dilakukan di luar shalat menjadi haram di dalam shalat. Contoh, di luar shalat kita boleh makan, namun ketika shalat dilarang makan.

Shalat selesai ditandai dengan salam. Setelah salam, maka hal-hal yang diharamkan saat shalat menjadi halal kembali. Seperti makan saat shalat haram, namun setelah salam maka halal makan kembali.