Beranda blog Halaman 82

Mengenal Hadis Mudroj

0
Mengenal Hadis Mudroj
Mengenal Hadis Mudroj

Hadispedia.id – Disebut hadis mudroj karena secara bahasa berarti memasukan, menyelipkan, dan melipat. Dr Mahmud Thahan dalam Taysir Musthalah al-Hadis mendefiniskan hadis mudroj sebagai hadis yang dirubah bentuk sanadnya atau pada matannya terdapat selipan kata yang bukan termasuk matan hadis, tanpa ada keterangan pemisah (antara ucapan nabi atau bukan).

Dalam uraiannya pada kitab Tadrib ar-Rawi, Imam Suyuti menambahkan bahwa hadis mudroj mulanya merupakan tambahan perkataan atau komentar seorang rawi, namun orang-orang yang mendengarnya mengira hadis itu marfu’ (termasuk bagian dari hadis yang disabdakan oleh Nabi saw.)

Dari penjalasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hadis mudroj dapat menyasar kepada matan dan sanad hadis.

Contoh Mudroj Isnad:

 لا تَبَاغَضُوْا وَلَا تَحَاسَدُوْا  وَلَا تَدَابَرُوْا وَلَا تَنَافَسُوْا

“Janganlah kalian saling memusuhi, jangan saling mendengki, jangan saling memutuskan (silaturahmi), dan jangan saling bersaing (dalam masalah dunia)”

Sayid Alawi al-Maliki dalam kitabnya al-Manhal al-Latif fi Ushul al-Hadis as-Syarif memaparkan bahwa hadis ini terdapat pada kitab Muwatha’ dan Musnad Ahmad dengan jalur melalui Sa’id bin Abi Maryam dari Zuhri dari Malik bin Anas dari Rasulullah saw.

Kata  ولا تنافسوا sejatinya bukan termasuk dalam sanad hadis ini, karena kata tersebut ada dalam riwayat lain. Namun, Said bin Abi Maryam memasukkannya ke dalam hadis ini. Jadi hadis ini disebut mudroj karena tidak adanya keterangan tambahan, bahwa hadis ini mencampurkan dua matan dari riwayat yang berbeda dan menggabungkannya dalam rangkaian satu sanad.

Contoh Mudroj Matan:

أسبغوا الوضوء ؛ ويل للأعقاب من النار

“Sempurnakanlah wudhu!Celaka bagi tumit-tumit (yang tidak terkena air) dari neraka”

Perkataan أسبغوا الوضوء!” adalah hadis mudraj (sisipan) dari perkataan Abu Hurairah r.a. Dalam lanjutan penjelasannya Dr. Mahmud Thahan dalam kitab yang sama mengutip perkataan Al-Khatib bahwa Abu Qathan dan Syababah telah keliru (wahm) dalam riwayatnya. Karena keduanya menyangka kalimat tersebut termasuk perkataan Nabi saw. Padahal, dalam riwayat lain yang lebih tsiqah seperti yang dipaparkan pada riwayat imam Al-Bukhari, kata tersebut bukanlah sabda Nabi saw., melainkan penjelasan Abu Hurairah ketika menyampaikan hadis.

Cara Medeteksi Hadis Mudroj

Berikut adalah beberapa cara dalam meneliti apakah suatu hadis terdapat mudroj atau bukan:

Pertama: Adanya penjelasan dari riwayat lain yang lebih terpercaya, seperti contoh hadis asbighul wudu’ yang dapat dijelaskan letak idroj-nya setelah dibandingkan dengan riwayat imam Al-Bukhari

Kedua: Ada penjelasan dari imam ahli hadis

Ketiga: Dijelaskan oleh perawi itu sendiri

Keempat: Kemustahilan Rasulullah saw. mengatakan demikian. Dalam kitabnya al-Manhal al-Latif fi Ushul al-Hadis as-Syarif Sayid Alawi al-Maliki memberikan contoh sebagai berikut:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْلاَ الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالحَجُّ وَبِرُّ أُمِّي لَأَحْبَبْتُ أَنْ أَمُوتَ وَأَنَا مَمْلُوكٌ

Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalaulah bukan karena (keutamaan) jihad fii sabilillah, haji dan berbuat baik kepada ibuku tentu aku lebih menyukai mati sedangkan aku sebagai seorang budak

Hadis di atas mudroj, Sebab mustahil jika Nabi berkata demikian. Kata “berbuat baik pada ibuku” mustahil dilakukan beliau,  karenal Ibunya telah lama meninggal jauh sebelum beliau mengatakannya. Ditambah lagi tidak mungkin Nabi lebih menyukai meninggal dalam keadaan menjadi budak.

Sejatinya begitu banyak hadis mudroj dikarenakan beberapa hal seperti perowi ingin menjelaskan makna hadis yang garib (asing), menentukan hukum syariat dalam hadis, atau bisa juga karena kurangnya kedhobitan seorang rawi.

Hukum Hadis Mudroj

Imam Jalaludin as-Suyuti menegaskan dalam kitabnya Tadrib ar-Rawi, syarat kesahihan hadis adalahyang bersambung sanadnya, dengan kriteria rawi yang adil, dhabit dan hadis itu tidak syaz serta jauh dari kecacatan.

Sedangkan ulama ahli hadis dan ahli fiqih bersepakat bahwa hadis mudroj tertolak, karena tidak termasuk hadis, dan dapat merusak kualitas suatu riwayat. Kecuali sisipan itu dilakukan semata-mata untuk menjelaskan atau menafsirkan sesuatu yang asing dalam hadis. Wallahu a’lam bis shawab.

Hadis Terjaganya Jiwa Seorang Muslim

0
Hadis Terjaganya Jiwa Seorang Muslim
Hadis Terjaganya Jiwa Seorang Muslim

Hadispedia.id – Hadis keempat belas dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah membahas tentang terjaganya jiwa seorang Muslim.

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « لَا يَحِلٌّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ  يَشْهَدُ أنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنِّيْ رَسُوْلُ اللهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِيْ، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ» رواه البخاري ومسلم.

Dari Ibnu Mas’ud r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan sungguh aku adalah utusan Allah kecuali karena salah satu dari tiga hal berikut: Orang yang sudah menikah/janda/duda yang berzina, membunuh orang, dan meninggalkan agamanya, yakni yang memisahkan diri dari jamaah.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Selain terdapat di dalam kitan Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, hadis tersebut juga terdapat di dalam kitab-kitab Sunan. Seperti di dalam kitab Sunan Abi Daud, Sunan At-Tirmidzi, dan Sunan An-Nasa’i.

Hadis tersebut menjelaskan bahwa seorang yang telah membaca dua kalimat syahadat, maka ia tidak boleh dibunuh. Tidak hanya jiwanya yang terjaga, melainkan juga harta bendanya. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada hadis ke delapan.

Darah seorang muslim halal alias boleh dibunuh menurut syariat Islam jika ia melakukan di antara tiga hal.

Pertama, zina bagi orang yang sudah menikah. Mereka akan dirajam dengan cara dilempari batu atau sejenisnya sampai meninggal dunia. Hukum rajam tidak serta merta dijatuhkan sebelum adanya empat orang saksi yang benar-benar menyaksikan praktek zina tersebut. Hukum rajam juga baru dapat dijatuhkan setelah adanya pengakuan dari diri si pelaku.

Pada zaman Nabi saw. sebagaimana dikisahkan dalam hadis-hadis shahih, ditemukan hanya ada empat kasus praktek rajam yang melibatkan enam orang. Mereka adalah dua orang Yahudi, Maiz bin Malik, wanita dari suku Ghamidiyah, dan wanita majikan buruh.

Baca juga: Hadis Cinta dalam Persaudaraan

Menariknya, semua kasus tersebut atas inisiatif mereka sendiri. Bahkan pada kasus Maiz bin Malik, Abu Bakar dan Umar bin Khattab tidak mau menjatuhkan hukum rajam padanya. Mereka justru menyuruh Maiz agar menutupi aibnya dan segera bertaubat.

Tidak puas dengan anjuran tersebut, Maiz pun meminta hukuman kepada Nabi saw. Ternyata hal yang sama dilakukan oleh Nabi saw. Beliau sampai memalingkan wajahnya tiga kali dan menyuruh Maiz pulang dan bertaubat. Maiz tetap ngotot ingin dijatuhi hukuman rajam. Bahkan ia mendatangkan empat orang saksi kepada beliau. Setelah itu, baru Nabi saw. mengutus sahabat lainnya untuk merajam Maiz.

Nabi saw. tidak pernah mencari-cari kesalahan para sahabat. Ketika mereka melakukan kesalahan, beliau memilih agar mereka menutupi aib tersebut dan segera bertaubat. Begitulah akhlak Nabi saw. yang selalu bijak dalam mengambil keputusan.

Kedua, pembunuhan yang disengaja tanpa adanya alasan yang dibenarkan syara’. Istilah hukuman bagi orang yang membunuh orang lain, baik sesama muslim atau kafir ghairu harbi (non muslim yang tidak memerangi umat muslim) adalah qishash. Pelaksanaan hukuman qishash tidak boleh ditawar kecuali para wali dari orang yang terbunuh memaafkan pembunuhnya.

Adapun pihak yang berhak memberikan hukuman qishash ini adalah pihak yang memiliki wewenang untuk melakukannya. Seperti imam atau wakilnya, bukan orang sembarangan yang bisa mengeksekusinya. Jika tidak demikian, maka pastilah hukum rimba yang terjadi. Sehingga tidak terkontrol sama sekali, saling bunuh tidak henti.

Hanya saja, karena kita berada di dalam negara yang memiliki hukum pidana sendiri, maka hukuman si pembunuh kita serahkan kepada aturan pemerintah yang ada. Tentunya dalam hal ini adalah pihak berwajib atau kepolisian. Hal ini merupakan bagian dari menaati ulil amri sebagaimana yang diperintahkan dalam Al-Qur’an.

Baca juga: Hadis tentang Terjaganya Darah dan Harta Umat Muslim

Ketiga, orang yang keluar dari agama Islam (murtad) dan memerangi orang muslim. Dr. Ahmad Ubaydi Hasbillah di dalam kitab al-Fawaid al-Musthafawiyah mengatakan bahwa tidak semua orang murtad itu boleh dibunuh. Hanya orang murtad yang memerangi orang Islamlah yang boleh dibunuh. Artinya murtad al-mufariq lil jamaah yang dimaksud dalam hadis tersebut menurutnya sama dengan kafir harbi. Maka, orang murtad yang tidak memerangi umat Muslim tidak boleh dibunuh.

Adapun argumen yang dibangun oleh Dr. Ahmad Ubaydi Hasbillah adalah pada zaman Nabi saw. terdapat sahabat yang murtad tetapi tidak dibunuh. Di antaranya adalah sebagai berikut.

Abdullah bin Abi as-Sarh.  Ibnu Abbas r.a. berkata, “Abdullah bin Sa’ad bin Abi as-Sarh pernah menulis surat perjanjian dengan Rasulullah saw., namun setan menggelincirkannya hingga ia bergabung dengan orang-orang kafir. Rasulullah saw. pun memerintahkan untuk membunuhnya saat pembukaan (penaklukan) kota Makkah. Namun, Utsman bin Affan memberikan jaminan perlindungan kepadanya, dan Rasulullah saw. menjamin keamanannya.” (H.R. Abu Dawud dan al-Hakim)

A’rabi (Seorang Arab Badui/nomaden). Jabir r.a. berkata, “Seorang Arab Badui mendatangi Nabi saw. dan berujar, “Baiatlah aku untuk Islam”, maka Nabi saw. membaiatnya untuk Islam. Keesokan harinya, si Arab Badui tadi datang dalam keadaan demam, dan berkata, “Batalkanlah baiatku”. Namun, Nabi enggan. Ketika si Arab Badui sudah berpaling, Nabi saw. bersabda, “Madinah ini bagaikan tungku api yang menghilangkan karat-karatnya dan menyaring yang baik saja.” (H.R. Al-Bukhari) Nabi saw. tidak membunuh orang Badui tersebut, meskipun ia telah murtad dan memisahkan diri dari kaum Muslimin dengan keluar dari kota Madinah serta bertemu kembali dengan orang kafir Badui.

Ubaidillah bin Jahsy. Ia memeluk Islam di hadapan Nabi saw. dan Ia termasuk penulis wahyu atas perintah beliau. Namun, saat ia hijrah bersama istrinya; Ummu Habibah binti Abu Sufyan ke Negeri Habasyah, ia memutuskan menjadi seorang Nasrani. Nabi saw. mengetahui kabar tersebut dan beliau tidak memerintahkan untuk membunuhnya hingga ia meninggal tetap memeluk agama Nasrani. Setelah itu, Ummu Habibah r.a. dinikahi Nabi saw. beliau juga tidak membunuh mertuanya; Abu Sufyan yang belum memeluk agama Islam.

Hadis tersebut juga memberikan pelajaran bahwa zina, membunuh, dan kufur merupakan bagian dari dosa besar. Sehingga, bagi orang Muslim jangan sekali-kali terperosok ke dalamnya. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Hadis No. 4 Shahih Al-Bukhari

0
Shahih Al-Bukhari
Shahih Al-Bukhari

قَالَ الاِمَامُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيْحِهِ

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ قَالَ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ أَبِي عَائِشَةَ قَالَ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى{لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ}قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَالِجُ مِنَ التَّنْزِيلِ شِدَّةً وَكَانَ مِمَّا يُحَرِّكُ شَفَتَيْهِ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَأَنَا أُحَرِّكُهُمَا لَكُمْ كَمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَرِّكُهُمَا وَقَالَ سَعِيدٌ أَنَا أُحَرِّكُهُمَا كَمَا رَأَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يُحَرِّكُهُمَا فَحَرَّكَ شَفَتَيْهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى{لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ}قَالَ جَمْعُهُ لَه فِي صَدْرِكَ وَتَقْرَأَهُ{فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ}قَالَ فَاسْتَمِعْ لَهُ وَأَنْصِتْ{ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ}ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا أَنْ تَقْرَأَهُ فَكَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ ذَلِكَ إِذَا أَتَاهُ جِبْرِيْلُ اسْتَمَعَ فَإِذَا انْطَلَقَ جِبْرِيلُ قَرَأَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا قَرَأَهُ

Al-Imam Al-Bukhari di dalam kitab Shahih-nya berkata,

Muhammad bin Ismail telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Abu ‘Awanah telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Musa bin Abu Aisyah telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Sa’id bin Jubair telah menceritakan kepada kami, dari Ibnu Abbas tentang firman Allah Ta’ala “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat ingin (menguasainya).

Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah saw. sangat kuat keinginannya untuk menghafal apa yang diturunkan (Al-Qur’an) dan menggerak-gerakkan kedua bibir beliau.”

Ibnu Abbas berkata, “Aku akan menggerakkan kedua bibirku (untuk membacakannya) kepada kalian sebagaimana Rasulullah saw. lakukan kepadaku.”

Sa’id berkata, “Aku akan menggerakkan kedua bibirku (untuk membacakannya) kepada kalian sebagaimana aku melihat Ibnu ‘Abbas melakukannya.”

Maka Nabi saw. menggerakkan kedua bibirnya. Kemudian turun firman Allah swt. ‘Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.”

Maksudnya Allah mengumpulkannya di dalam dadamu (untuk dihafalkan) dan kemudian kamu membacanya, “Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.” Maksudnya “Dengarkanlah dan diamlah”.

Kemudian Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” Maksudnya, “Dan kewajiban Kamilah untuk membacakannya.”

Maka, Rasulullah saw. sejak saat itu ketika Jibril a.s. datang kepadanya, beliau mendengarkannya. Jika Jibril a.s. sudah pergi, maka Nabi saw. membacakannya (kepada para sahabat) sebagaimana Jibril a.s. membacakannya kepada beliau.

Apa Hadis Maqlub Itu?

0
Apa Hadis Maqlub Itu?
Apa Hadis Maqlub Itu?

Hadispedia.id – Hadis maqlub merupakan pergeseran antara satu lafadz dengan lafadz yang lain pada suatu sanad hadis atau matannya. Dalam gambaran sederhana adanya ketidaksesuaian urutan mata rantai sanad atau matan hadis.

Istilah maqlub sendiri secara bahasa berasal dari bentuk isim maf’ul dari kata al-Qolb yang artinya membalikkan sesuatu dari susunan asalnya.

Kondisi terbolak-baliknya urutan sanad dan tertukarnya redaksi matan dalam hadis menjadi masalah tersendiri dalam kajian hadis. Dr Mahmud Thahan dalam kitabnya Taysir Musthalah Hadis membagi objek kajian hadis maqlub ini dalam dua bagian yaitu; Hadis maqlub pada matan dan sanad.

Maqlub Matan

Ketika tertukarnya redaksi pada matan, sehingga mengaburkan subtansi pada hadis, seperti hadis berikut ini:

وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ يَمِينُهُ مَا تُنْفِقُ شِمَالُهُ

“Seseorang yang bershadaqah dengan sesuatu secara sembunyi-sembunyi, sampai-sampai tangan kanannya tidak tahu apa yang diinfakkan oleh tangan kirinya”

Jika kita telaah ada kerancuan pada hadis ini, sedekah adalah perbuatan yang mulia, dimana dalam riwayat hadis lain segala sesuatu kebaikan hendaknya dilakukan dengan tangan kanan (tayamun). Dan yang tepat dalam hal ini adalah hadis berikut dari riwayat Bukhari dan Nasai:

رَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ

“Dan seseorang yang bershadaqah dengan sesuatu secara sembunyi-sembunyi, sampai-sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya”

Dari kedua riwayat di atas kita temukan posisi matan yang tertukar antara yamin (kanan) dan syimal (kiri). Seperti umumnya dalam melakukan kebaikan diutamakan untuk mendahulukan bagian kanan (tayamun), dalam kasus ini berarti utamanya bersedekah yang benar dengan tangan kanan sesuai dengan subtansi hadis yang kedua. Tentu untuk mengetahui kondisi matan seperti ini perlu mengumpulkan riwayat lain dengan kualitas hadis yang shahih demi menemukan kondisi hadis yang maqlub (tertukar).

Maqlub Sanad

Maqlub sanad yaitu terjadi urutan sanad yang berbeda, setidaknya ada dua kasus dalam hal ini:

Pertama: tertukarnya nama pada sanad. Contoh kasusnya adalah antara nama ayah dan anak yang lumrah menjadi budaya Arab seperti nama Ka’ab bin Murroh tertukar menjadi Murroh bin Ka’ab, atau nama yang seharusnya Muslim bin Walid tertukar menjadi Walid bin Muslim

Kedua: adanya kesengajan menukar sanad dengan tujuan ighrab (menjadikannya asing), seperti hadis berikut:

اذا لقيتم المشركين في طريق فلا تبدءوهم بالسلام

“Kalau kalian bertemu dengan orang-orang musyrik di jalan, maka janganlah kamu mendahului memberi salam”

Dalam kasus hadis di atas diriwayatkan oleh Hammad An-Nashibi dari A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah secara marfu’.

Namun dalam riwayat lain yang lebih ma’ruf ditemukan sanad yang tepat dari hadis di atas adalah riwayat dari Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah bukan dari A’masy.

Ada beberapa motif yang menjadikan adanya hadis maqlubو yaitu: sengaja dilakukan demi meningkatkan kualitas hadis, bisa jadi karena keteledoran perawi yang tidak disengaja, bahkan motif yang lain adalah untuk menguji hafalan hadis. Setidaknya tiga poin ini yang dijabarkan oleh Dr. Mahmud Thahan dalam kitabnya Taysir Musthalah Hadits.

Motif yang terakhir masyhur terjadi di kalangan ulama terdahulu untuk menguji kredibilitas sesorang. Cerita yang masyhur yang tertulis dalam kitab-kitab ilmu hadis adalah kisah dari Imam Bukhari ketika datang di Baghdad. Beliau diuji oleh guru-gurunya dengan 100 hadis dengan matan dan sanad yang acak untuk membuktikan kredibilitasnya dalam hadis. Tentu saja Imam Bukhari lolos dalam ujian ini dengan menempatkan hadis dan matan pada tempatnya.

Berdasarkan beberapa motif yang ada, para ulama menyimpulakan beberapa poin hukum hadis maqlub. Seperti kasus Imam Bukhari misalnya, tentu hukumnya boleh demi menguji kredibilitas seseorang, namun dengan catatan dari riwayat yang diacak harus dibenarkan terlebih dahulu selama majelis berlangsung.

Sekiranya hadis maqlub yang terjadi karena disengaja dengan motif yang tidak maslahat atau karena kesalahan rawi yang tidak dhabit , dipastikan dalam hal ini tidak dapat diperbolehkan karena dapat merusak kualitas hadis. Wallahu a’lam bis shawab

.

Hadis Cinta dalam Persaudaraan

0
Hadis Cinta dalam Persaudaraan
Hadis Cinta dalam Persaudaraan

Hadispedia.id – Pada hadis sebelumnya, kita telah disindir Nabi saw. bahwa keislaman kita belum sempurna selama belum mampu meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat. Pada hadis ketiga belas ini, imam Nawawi menghadirkan kembali hadis tentang kesempurnaan iman yang dapat diukur dengan rasa cinta dalam persaudaraan.

عَنْ أَبِيْ حَمْزَةَ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ خَادِمِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:« لَا يُؤْمِنُ أحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.

Dari Abu Hamzah; Anas bin Malik r.a. yang menjadi pelayan Rasulullah saw. Nabi saw. bersabda, “Tidak sempurna iman di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Selain diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari dan imam Muslim, hadis ini juga diriwayatkan oleh imam-imam hadis lainnya. Di antaranya adalah imam An-Nasa’i, imam At-Tirmidzi, dan imam Ibnu Majah di dalam kitab Sunan mereka.

Kasus bullying di kalangan pelajar, hate speech atau ujaran kebencian di media sosial, serta kekerasan pada anak dan perempuan yang dianggap makhluk lemah masih sering terjadi. Berita-berita itu seliweran seakan tidak kunjung reda.

Padahal Rasulullah saw. di dalam hadis tersebut telah mengingatkan kepada kita semua untuk dapat mencintai orang lain sebagaimana kita mencintai diri sendiri. Bahkan bangunan keimanan kita dianggap belum sempurna dan mengakar di dalam hati sebelum kita menjadi orang baik kepada orang lain.

Kasus-kasus kekerasan baik verbal maupun fisik sebagaimana disinggung di atas tidak akan pernah terjadi jika setiap individu sadar bahwa semua itu tidak ingin terjadi pada dirinya. Seseorang tidak akan membully orang lain karena ia pun tidak ingin di-bully, ia juga tidak akan memukul, menindas, mengintimidasi, dan seterusnya karena ia pun tidak ingin diperlakukan seperti itu.

Baca juga: Hadis tentang Pentingnya Meninggalkan Hal-hal yang Tidak Bermanfaat

Hadis ini merupakan salah satu bukti bahwa Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. benar-benar agama yang indah dengan ajaran yang baik. Sayangnya, ajaran luhur tersebut seringkali tertutup dengan sikap orang Islam itu sendiri. Al-Islam mahjubun bil muslimin, Islam itu terhalangi dengan sikap orang-orang Islam. Demikianlah sindirian dari Syeikh Muhammad Abduh.

Oleh sebab itu, marilah kita berlomba-lomba untuk mengamalkan hadis tentang cinta dalam persaudaraan ini. Dengan begitu, maka insya Allah tujuan agama Islam untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan penuh kasih sayang akan tercapai.

Tidak ada lagi orang yang egois, hasud, dan menyakiti sesama saudaranya, baik sesama muslim maupun non muslim, baik kepada laki-laki maupun perempuan. Sebaliknya, yang ada adalah orang yang saling mencintai, menyayangi, menghormati, menghargai, dan memberi hak antara satu dengan lainnya. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Hadis No. 3 Shahih Al-Bukhari

0
Shahih Al-Bukhari
Shahih Al-Bukhari

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّهَا قَالَتْ

أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِي النَّوْمِ فَكَانَ لَا يَرَى رُؤْيَا إِلَّا جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلَاءُ وَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ وَهُوَ التَّعَبُّدُ اللَّيَالِيَ ذَوَاتِ الْعَدَدِ قَبْلَ أَنْ يَنْزِعَ إِلَى أَهْلِهِ وَيَتَزَوَّدُ لِذَلِكَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى خَدِيجَةَ فَيَتَزَوَّدُ لِمِثْلِهَا حَتَّى جَاءَهُ الْحَقُّ وَهُوَ فِي غَارِ حِرَاءٍ فَجَاءَهُ الْمَلَكُ فَقَالَ اقْرَأْ قَالَ مَا أَنَا بِقَارِئٍ قَالَ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ قُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّانِيَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ فَقُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّالِثَةَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ{اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ}

فَرَجَعَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْجُفُ فُؤَادُهُ فَدَخَلَ عَلَى خَدِيجَةَ بِنْتِ خُوَيْلِدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقَالَ زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي فَزَمَّلُوهُ حَتَّى ذَهَبَ عَنْهُ الرَّوْعُ فَقَالَ لِخَدِيجَةَ وَأَخْبَرَهَا الْخَبَرَ لَقَدْ خَشِيتُ عَلَى نَفْسِي فَقَالَتْ خَدِيجَةُ كَلَّا وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ فَانْطَلَقَتْ بِهِ خَدِيجَةُ حَتَّى أَتَتْ بِهِ وَرَقَةَ بْنَ نَوْفَلِ بْنِ أَسَدِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى ابْنَ عَمِّ خَدِيجَةَ وَكَانَ امْرَأً قَدْ تَنَصَّرَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ يَكْتُبُ الْكِتَابَ الْعِبْرَانِيَّ فَيَكْتُبُ مِنْ الْإِنْجِيلِ بِالْعِبْرَانِيَّةِ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكْتُبَ وَكَانَ شَيْخًا كَبِيرًا قَدْ عَمِيَ

فَقَالَتْ لَهُ خَدِيجَةُ يَا ابْنَ عَمِّ اسْمَعْ مِنْ ابْنِ أَخِيكَ فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ يَا ابْنَ أَخِي مَاذَا تَرَى فَأَخْبَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَبَرَ مَا رَأَى فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ هَذَا النَّامُوسُ الَّذِي نَزَّلَ اللَّهُ عَلَى مُوسَى يَا لَيْتَنِي فِيهَا جَذَعًا لَيْتَنِي أَكُونُ حَيًّا إِذْ يُخْرِجُكَ قَوْمُكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَمُخْرِجِيَّ هُمْ قَالَ نَعَمْ لَمْ يَأْتِ رَجُلٌ قَطُّ بِمِثْلِ مَا جِئْتَ بِهِ إِلَّا عُودِيَ وَإِنْ يُدْرِكْنِي يَوْمُكَ أَنْصُرْكَ نَصْرًا مُؤَزَّرًا ثُمَّ لَمْ يَنْشَبْ وَرَقَةُ أَنْ تُوُفِّيَ وَفَتَرَ الْوَحْيُ

قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَأَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيَّ قَالَ وَهُوَ يُحَدِّثُ عَنْ فَتْرَةِ الْوَحْيِ فَقَالَ فِي حَدِيثِهِ بَيْنَا أَنَا أَمْشِي إِذْ سَمِعْتُ صَوْتًا مِنْ السَّمَاءِ فَرَفَعْتُ بَصَرِي فَإِذَا الْمَلَكُ الَّذِي جَاءَنِي بِحِرَاءٍ جَالِسٌ عَلَى كُرْسِيٍّ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ فَرُعِبْتُ مِنْهُ فَرَجَعْتُ فَقُلْتُ زَمِّلُونِي فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى{يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُقُمْ فَأَنْذِرْ إِلَى قَوْلِهِ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ}فَحَمِيَ الْوَحْيُ وَتَتَابَعَ تَابَعَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ وَأَبُو صَالِحٍ وَتَابَعَهُ هِلَالُ بْنُ رَدَّادٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ وَقَالَ يُونُسُ وَمَعْمَرٌ بَوَادِرُهُ

Al-Imam Al-Bukhari berkata di dalam kitab Shahih-nya,

Telah menceritakan kepada Kami Yahya bin Bukair, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Allaits dari ‘Uqail dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Az-Zubair dari Aisyah Ummul Mukminin, bahwasannya ia berkata,

“Permulaan wahyu yang datang kepada Rasulullah saw. adalah dengan mimpi yang nyata dalam tidur. Dan tidaklah beliau bermimpi kecuali datang seperti cahaya Shubuh. Kemudian beliau senang untuk menyendiri, lalu beliau memilih gua Hiro’ dan bertahannuts, yaitu ibadah di malam hari dalam beberapa waktu lamanya sebelum kemudian kembali kepada keluarganya guna mempersiapkan bekal untuk bertahannuts kembali.

Beberapa waktu setelahnya beliau menemui Khadijah lagi mempersiapkan bekal seperti sebelumnya. Sampai akhirnya datanglah suatu yang haq kepadanya saat berada di gua Hiro’, Malaikat mendatanginya seraya berkata,

“Bacalah.” Beliau menjawab, “Aku tidak bisa membaca.”

Nabi saw. menjelaskan, maka Malaikat itu memegangku kembali dan memelukku untuk kedua kalinya dengan sangat kuat. Lalu, melepaskanku dan berkata lagi, “Bacalah.”

Beliau menjawab, “Aku tidak bisa membaca.”

Kemudian Malaikat itu memegangku kembali dan memelukku untuk ketiga kalinya dengan sangat kuat lalu melepaskanku dan berkata,

Bacalah dengan menyembut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah.”

Kemudian Nabi saw. pulang menemui Khadijah binti Khuwailid dengan membawa kalimat wahyu tadi dalam keadaan gelisah dan sangat ketakutan. Beliau bersabda, “Selimuti aku, selimuti aku.”

Beliau pun diselimuti hingga hilang ketakutannya. Lalu beliau menceritakan peristiwa itu kepada Khadijah, “Aku mengkhawatirkan diriku.” Maka Khadijah berkata, “Demi Allah, Allah tidak akan mencelakakanmu selamanya, karena engkau adalah orang yang menyambung silaturahim, orang yang jujur dalam turur kata, menolong yang lemah, memberi kepada orang yang tak punya, engkau juga memuliakan tamu dan membela kebenaran.”

Khadijah pun mengajak beliau untuk bertemu dengan Waroqoh bin Naufal bin Asad bin Abdul ‘Uzza; putra paman Khadijah yang beragama Nasrani di masa Jahiliyah, dia juga menulis buku dalam bahasa Ibrani, juga menulis Kitab injil dalam bahasa Ibrani dengan izin Allah.

Saat itu, Waroqoh sudah tua dan matanya buta. Khadijah berkata, “Wahai putra pamanku, dengarkanlah apa yang akan disampaikan oleh putra saudaramu ini.” Waroqoh berkata, “Wahai putra saudaraku, apa yang tengah engkau alami?”. Maka Rasulullah saw. menyampaikan kejadian yang dialaminya. Waroqoh berkata, “Ini adalah Namus, seperti yang pernah Allah turunkan kepada Musa. Seandainya aku masih muda dan aku masih hidup saat kamu nanti diusir oleh kaummu.”

Rasulullah saw. bertanya, “Apakah aku akan diusir mereka?”

Waroqoh menjawab, “Iya, karena tidak ada satu orang pun yang datang dengan membawa seperti apa yang engkau bawa ini kecuali akan dimusuhi. Seandainya aku ada saat kejadian itu, pasti aku akan menolongmu dengan semampuku.”

Ternyata, Waroqoh tak lama setelah itu meninggal dunia saat wahyu dalam masa senggang (terputus).

Ibnu Syihab berkata, ‘Telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin Abdurrahman bawah Jabir bin Abdullah Al-Anshari bercerita mengenai masa terputusnya wahyu, sebagaimana yang Rasulullah saw. ceritakan,

“Ketika aku sedang berjalan, aku mendengar suara dari langit. Lalu aku memandang ke arahnya dan ternyata ada malaikat yang pernah datang kepadaku di gua Hiro, ia sedang duduk di atas kursi langit dan bumi. Aku pun ketakutan dan pulang, dan berkata,

“Selimuti aku. Selimuti aku.”

Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu, “Wahai orang yang berselimut, bergegaslah dan beri peringatan” sampai firman Allah “dan berhala-berhala tinggalkanlah”.

Sejak saat itu, wahyu terus turun terus menerus.

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abdullah bin Yusuf dan Abu Shalih juga oleh Hilal bin Raddad dari Az-Zuhri. Yunus berkata, “Ma’mar menyepakati bahwa dia mendapatkannya dari Az-Zuhri.”

Penjelasan Singkat tentang Hadis Mu’allal

0
Hadis Mu'allal
Hadis Mu'allal

Hadispedia.id – Hadis mu’allal masuk dalam sub bab hadis yang tertolak. Dalam banyak kasus, hadis ini tidak bisa dipakai untuk berhujjah. Dr. Mahmud Thahan dalam kitabnya Taysir Musthalah al-Hadis menjelaskan dengan ringkas pengertian hadis mu’allal, yaitu hadis yang di dalamnya terdapat kecacatan sehingga menyebabkan rusaknya kesahihan suatu hadis, padahal secara dzahir hadis tersebut terbebas dari cacat tersebut.

Dalam kitab al-Manhal al-Latif fi Ushul al-Hadis as-Syarif karya Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki juga menegaskan bahwa sebab kecacatan hadis ini dikarenakan sesuatu faktor yang begitu samar.

Tidak heran fan ilmu ini begitu jarang yang menggeluti, karena termasuk ilmu yang paling sulit dan perlu keahlian khusus untuk menguasainya. Oleh karena itu hanya sedikit ulama yang menguasai betul ilmu ini, seperti Imam Bukhari, Imam Ali al-Madini, Imam Ahmad, Abi Hatim, Abi Zur’ah, dan ad-Daruqutni.

Dan illat dalam hadis ini paling banyak menyasar di sanad hadis, dan sedikit saja yang menyasar pada matan. Cara mengetahui kecacatan dalam hadis adalah dengan mengumpulkan semua jalur sanad dan matannya, agar bisa diteliti secara mendalam. Kemudian mulai untuk mendeteksi adanya indikasi menyendirinya suatu rawi atau bahkan menyelisihi perawi yang lain.

Dari titik ini para ulama akan mendapatkan kesimpulan ada atau tidaknya wahm (prasangka) kepada rawi hadis. Dan Dari sini pula akan nampak berhasilnya kajian ini, misal kasusnya adalah dengan ditemukannya hadis yang ternyata mursal (terputus pada perawi sahabat) padahal dzahir sanadnya bersambung, atau hadis yang sebenarnya  mauquf (hadis yang dinisbatkan kepada seorang Sahabat Nabi) tapi dengan periwayatan yang marfu’ (disandarkan kepada Nabi).

Contoh:

عن يحيى بن أبي كثير عن أنس رضي الله عنه أن النبي كان إذا أفطر عند أهل البيت قال:… أفطر عندكم الصائمون

 Dari Yahya bin Abi Katsir dari Anas r.a Rasulullah saw. bersabda, ……orang-orang berpuasa telah berbuka di dekatmu”

Hadis di atas terdapat pada riwayat Imam Ahmad dan ad-Darimi. Sayyid Alawi al-Maliki dalam kitab yang sama mengutip pendapat Imam Hakim, menambahkan keterangan bahwa secara dzahir hadis tersebut shahih, karena Yahya bin Abi Katsir dan Anas bin Malik sezaman dan keduanya pernah bertemu. Namun jika diteliti lebih lanjut walaupun mereka pernah bertemu ternyata Yahya Ibn Katsir tidak pernah mendengar hadis ini secara langsung dari Anas bin malik, maka hadisnya terputus. Wallahu a’lam

Hadis tentang Pentingnya Meninggalkan Hal-hal yang Tidak Bermanfaat

0
Meninggalkan Hal-hal yang Tidak Bermanfaat
Meninggalkan Hal-hal yang Tidak Bermanfaat

Hadispedia.id Pada pembahasan sebelumnya, imam Nawawi telah menjelaskan sabda Nabi saw. tentang pentingnya meninggalkan perkara yang meragukan. Sementara itu, pada pembahasan hadis kedua belas ini, beliau memaparkan hadis tentang pentingnya meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat. 

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيْهِ» حَدِيْثٌ حَسَنٌ، رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَغَيْرُهُ.

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Di antara tanda sempurnanya Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh imam At-Tirmidzi dan lainnya)

Hadis ini juga diriwayatkan oleh imam Ibnu Majah di dalam kitab Sunannya, imam Ahmad di dalam kitab Musnadnya, imam Malik dalam kitab Muwatta’nya, dan imam Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya.

Salah satu keistimewaan sabda Nabi saw. adalah jawami’ul kalim (singkat, padat, jelas, dan sarat makna). Hal ini tercermin dalam hadis di atas. Menurut Dr. Mustafa Dieb dalam kitab Al-Wafi, sebagian ulama mengatakan bahwa hadis ini merupakan separuh dari agama. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya agama adalah melakukan sesuatu (al-fi’lu) dan menghindari sesuatu (at-tarku). Sedangkan hadis ini adalah dasar untuk menghindari satu perbuatan, dengan demikian separuh dari agama.

Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis ini menghimpun semua ajaran agama. Karena secara tekstual hadis ini menyebutkan tentang at-tarku, dan secara kontekstual mengisyaratkan al-fi’lu.

Sementara itu, Sulaiman bin Abdul Qawi dalam kitab At-Ta’yin fi Syarh Al-Arbain menjelaskan tentang sebab Rasulullah saw. tidak mengatakan kesempurnaan Islam seseorang tetapi di antara sempurnanya Islam seseorang. Menurutnya, hal ini disebabkan karena meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat itu belum menunjukkan sempurnanya Islam seseorang. Melainkan, sempurnanya Islam adalah dengan meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat sekaligus melakukan hal-hal yang bermanfaat. Oleh sebab itu, orang yang dapat melakukan hal-hal yang bermanfaat dan meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat, maka kualitas keislamannya telah sempurna.

Baca juga: Hadis Agama Adalah Ketulusan

Imam Al-Mubarakfuri di dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi menjelaskan bahwa hal-hal yang tidak bermanfaat meliputi hal-hal yang diharamkan, perkara syubhat, hal-hal yang dimakruhkan, maupun hal-hal yang dibolehkan tetapi tidak diperlukan. Selain itu, hal-hal tersebut meliputi ucapan maupun perbuatan yang tidak bermanfaat.

Hadis ini sangat penting sekali menjadi pedoman umat Muslim. Terutama di era saat ini yang serba digital. Umat Muslim tidak akan menyibukkan dirinya dengan hal-hal negatif dalam bersosial media. Mereka tidak akan membuat konten negatif, menyebarkan ujaran kebencian, dan berkomentar negatif karena hal itu tidak ada manfaatnya.

Jika semua orang mau memperhatikan dan mengamalkan hadis ini, niscaya akan terbentuk masyarakat yang mulia dan positif. Betapa tidak, mereka tidak akan ada waktu untuk mengganggu dan mencampuri urusan orang lain.

Imam Hasan Al-Basri berkata, “Tanda bahwa Allah swt. berpaling dari hamba-Nya adalah jika seorang hamba menyibukkan dirinya dengan perkara-perkara yang tidak mendatangkan manfaat.” Jika kita ingin tahu posisi kita di hadapan Allah, maka lihatlah bagaimana kita memposisikan Allah swt. di dalam diri. Jika kita masih disibukkan dengan hal-hal yang tidak disukai-Nya, maka itulah tanda Dia sedang menjauh dari kita.

Dengan demikian, maka mari sibukkan diri dengan hal-hal positif yang diridhai Allah swt., bukan sebaliknya. Namun, hal ini tidak berarti kita harus menarik diri dari dunia luar. Justru hadis ini menjadi pegangan kita saat bersosialisasi, sehingga kita tidak akan berbuat hal yang merugikan, baik untuk diri sendiri, orang lain, maupun makhluk lainnya. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Hadis tentang Meninggalkan Keragu-raguan

0
Meninggakan keragu-raguan
Meninggakan keragu-raguan

Hadispedia.id – Pernahkah ragu-ragu, bimbang, galau, atau perasaan was-was menghampiri diri Anda? Lalu, bagaimana cara Anda mengatasinya? Imam Nawawi di dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah telah mengajarkan kepada kita hadis tentang meninggalkan keragu-raguan sebagai berikut.

عَنْ اَبِيْ مُحَمَّدٍ الْحَسَنِ بْنِ عَلِىِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ سِبْطِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَيْحَانَتِهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ:حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيْبُكَ». رواه الترمذي والنسائي وقال الترمذي: حديث حسن صحيح.

Dari Abi Muhammad Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib cucu kesayangan Rasulullah saw. r.a. ia berkata, “Aku hafal sabda Rasulullah saw., ‘Tinggalkanlah apapun yang meragukanmu menuju perkara yang tidak meragukanmu.” (H.R. imam At-Tirmidzi dan An-Nasa’i. Imam At-Tirmidzi berkata, “Hadis hasan shahih”)

Hadis ini merupakan salah satu ciri sabda Nabi saw. yang jawami’ul kalim (singkat, padat, jelas, tetapi mengandung faidah yang banyak). Imam Ibnu Hajar Al-Haitami di dalam kitab Al-Fathul Mubin bi Syarh Al-Arbain mengatakan, “Hadis ini merupakan kaidah agama yang sangat penting dan dasar dari sikap wara’ yang merupakan poros keyakinan. Juga penyelamat dari keraguan dan ketidak jelasan yang menghalangi cahaya keyakinan.”

Keragu-raguan seringkali ditimpa oleh anak muda atau ABG. Perasaan galau ingin melakukan ini dan itu. Oleh sebab itu, maka Rasulullah saw. sangat paham sekali dengan kondisi cucu kesayangannya itu; Hasan bin Ali. Sehingga, beliau memberi nasihat kepada cucunya agar meninggalkan semua hal yang meragukannya dan melakukan hal yang tidak meragukannya.

Keraguan dan kebimbangan terjadi bisa jadi disebabkan karena tidak tahuan kita akan sesuatu hal. Oleh sebab itu, maka hadis ini secara tidak langsung mendorong kita untuk terus mempelajari sesuatu, khususnya ilmu agama. Jika kita telah mengetahui suatu hal, maka pasti kita akan yakin dalam melakukannya atau mengambil keputusan.

Sering berdiskusi dan bertanya dengan orang yang lebih tahu juga dapat menghindarkan kita dari keragu-raguan akan suatu hal. Selain mempertajam akal kita dengan belajar dan berdiskusi, hal yang dapat dilakukan adalah dengan mempertajam iman. Sebab, orang yang kuat imannya, maka ia pun akan terhindar dari keraguan itu. Memperkuat iman dapat dilakukan dengan melakukan ketaatan dan menghindari kemaksiatan.

Lalu, bagaimana kita dapat menentukan antara keraguan dan keyakinan? Terkait hal ini, Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali di dalam kitab Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam menyebutkan riwayat sahabat Abu Hurairah r.a. sebagaimana berikut.

Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. bersabda kepada seorang lelaki, “Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu menuju perkara yang tidak meragukanmu.”

Lelaki itu bertanya, “Bagaimana saya bisa mengetahui hal itu?”

Beliau menjawab, “Jika kamu menghendaki sesuatu, maka letakkanlah tanganmu di atas dadamu. Karena sesungguhnya hati itu akan bergejolak terhadap yang haram dan tenang terhadap yang halal. Sungguh, orang muslim yang wara’ (mampu menjaga diri dari barang yang haram dan syubhat), maka ia akan meninggalkan dosa yang kecil karena khawatir akan terjerumus pada dosa besar.” Menurut imam Ibnu Rajab, hadis tersebut dhaif. Hanya saja, tetap dapat kita ambil faidahnya.

Riwayat tersebut menunjukkan bahwa fitrah manusia adalah condong pada kebaikan dan hal yang halal. Sehingga, ketika ia dekat dengan perkara haram atau tidak baik, maka hatinya akan bergejolak dan menolaknya.

Syekh Shalih bin Abdul Aziz dalam kitab Syarah Al-Arbain An-Nawawiyah mengutip ungkapan dari sahabat Ibnu Mas’ud r.a. yang perlu kita perhatikan. Sahabat Ibnu Mas’ud r.a. berkata,

Tinggalkanlah satu perkara yang meragukanmu menuju 4000 perkara yang meragukanmu.” Artinya, perkara atau hal yang membuat kita ragu pada dasarnya sangatlah sedikit. Sedangkan perkara yang tidak meragukan itu sangat banyak sekali. Maka, segeralah berhenti pada satu hal yang meragukan itu. Tinggalkan dan jangan menoleh kepadanya lagi. Niscaya Allah akan memberikan taufiq pada kita kepada hal yang tidak meragukan.

Dr. Mustafa Dieb dalam kitab Al-Wafi memberikan penjelasan bahwa hadis ini merupakan dasar agar kita menerapkan berbagai hukum dan permasalahan hidup atas dasar keyakinan, bukan keragu-raguan. Beliau juga mengatakan bahwa sesuatu yang halal, kebenaran, dan kejujuran akan mendapatkan kedamaian dan keridhaan. Sedangkan sesuatu yang haram, kebatilan, dan dusta akan melahirkan rasa gundah dan kebencian.

Demikianlah penjelasan hadis tentang meninggalkan keragu-raguan dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah. Semoga Allah senantiasa memberikan kita petunjuk agar dapat terus berada dalam koridor yang diridhai-Nya dan terhindar dari hal-hal yang meragukan. Aamiin. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Hadis No. 2 Shahih Al-Bukhari

0
Shahih Al-Bukhari
Shahih Al-Bukhari

قَالَ الاِمَامُ الْبُخَارِيُّ فِيْ صَحِيْحِهِ

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ – رضى الله عنها – أَنَّ الْحَارِثَ بْنَ هِشَامٍ – رضى الله عنه – سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَأْتِيكَ الْوَحْىُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَحْيَانًا يَأْتِينِى مِثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ – وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَىَّ – فَيُفْصَمُ عَنِّى وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ ، وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِىَ الْمَلَكُ رَجُلاً فَيُكَلِّمُنِى فَأَعِى مَا يَقُولُ » . قَالَتْ عَائِشَةُ رضى الله عنها وَلَقَدْ رَأَيْتُهُ يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْىُ فِى الْيَوْمِ الشَّدِيدِ الْبَرْدِ ، فَيَفْصِمُ عَنْهُ وَإِنَّ جَبِينَهُ لَيَتَفَصَّدُ عَرَقًا

Imam Al-Bukhari berkata di dalam kitab Shahihnya,

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya dari ‘Aisyah; Ummul Mukminin radhiyallahu anha bahwa Al-Harits bin Hisyam radhiyallahu anhu bertanya kepada Rasulullah shalla Allahu ‘alaihi wasallama.

“Wahai Rasulullah, bagaimana cara wahyu turun kepada engkau?”

Maka Rasulullah shalla Allahu ‘alaihi wasallama menjawab,

“Terkadang datang kepadaku seperti suara gemerincing lonceng dan cara ini yang paling berat buatku, lalu terhenti sehingga aku dapat mengerti apa yang disampaikan. Terkadang, datang malaikat menyerupai laki-laki, lalu ia berbicara kepadaku maka aku ikuti apa yang diucapkannya.”

Aisyah radhiyallahu anha berkata,

“Sungguh aku pernah melihat wahyu turun kepada beliau pada suatu hari yang sangat dingin, dan saat wahyu terputus dari beliau, dahi beliau mengucurkan keringat.”