Beranda blog Halaman 54

Hadis No. 2 Shahih Muslim

0
Shahih Muslim
Shahih Muslim

Hadispedia.id – Al-Imam ِAbu Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi r.a. berkata dalam kitab Al-Iman bab Penjelasan tentang Iman, Islam, dan Ihsan,

حَدَّثَنِى مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ الْغُبَرِىُّ وَأَبُو كَامِلٍ الْجَحْدَرِىُّ وَأَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ مَطَرٍ الْوَرَّاقِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ قَالَ لَمَّا تَكَلَّمَ مَعْبَدٌ بِمَا تَكَلَّمَ بِهِ فِى شَأْنِ الْقَدَرِ أَنْكَرْنَا ذَلِكَ. قَالَ فَحَجَجْتُ أَنَا وَحُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحِمْيَرِىُّ حِجَّةً. وَسَاقُوا الْحَدِيثَ بِمَعْنَى حَدِيثِ كَهْمَسٍ وَإِسْنَادِهِ. وَفِيهِ بَعْضُ زِيَادَةٍ وَنُقْصَانُ أَحْرُفٍ

Muhammad bin Ubaid Al-Ghubari, Abu Kamil Al-Jahdari, dan Ahmad bin ‘Abdah telah menceritakan kepadaku, mereka berkata, Hammad bin Zaid telah menceritakan kepada kami, dari Mathar Al-Warraq, dari Abdullah bin Buraidah, dari Yahya bin Ya’mar, ia berkata, “Ketika Ma’bad berkata dengan sesuatu yang dia bicarakan tentang masalah takdir, maka kami mengingkari hal tersebut.” Dia berkata lagi, “Lalu, aku melakukan haji bersama Humaid bin Abdurrahman Al-Himyari.” Lalu, mereka menyebutkan hadis yang semakna dengan hadisnya Kahmas beserta sanadnya. Di dalamnya terdapat sebagian tambahan dan kekurangan huruf.

Penjelasan:

Hadis kedua ini merupakan penguat dari hadis pertama (baca:Hadis No. 1 Shahih Muslim), dalam istilah ilmu hadis disebut mutabi’/tabi’. Hadis tersebut dikenal dengan hadis Jibril yang juga dikutip oleh Imam An-Nawawi di dalam kitab Arbainnya pada urutan kedua. Penjelasan hadis tersebut dapat dibaca dalam kolom Syarah Hadis berjudul Hadis tentang Islam, Iman, dan Ihsan.

Hadis No. 1 Shahih Muslim

0
Shahih Muslim
Shahih Muslim

Hadispedia.id – Al-Imam ِAbu Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi berkata dalam kitab Al-Iman bab Al-Iman, Al-Islam, Al-Ihsan, wa Wujub Al-Iman bi Itsbat Qadr Allah Subhanahu wa Ta’ala wa Bayan Ad-Dalil Ala At-Tabarri min Ma La Yu’minu bi Al-Qadr, wa Ighladh Al-Qaul fi Haqqihi, “Dengan lindungan Allah, Kami memulai dan hanya kepada-Nya Kami meminta kecukupan. Tidak ada taufiq kepada Kami, kecuali dengan (taufiq) Allah yang Maha Agung.”

حَدَّثَنِي أَبُو خَيْثَمَةَ زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ كَهْمَسٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ، ح وحَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ مُعَاذٍ الْعَنْبَرِيُّ – وَهَذَا حَدِيثُهُ – حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا كَهْمَسٌ، عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ، قَالَ: كَانَ أَوَّلَ مَنْ قَالَ فِي الْقَدَرِ بِالْبَصْرَةِ مَعْبَدٌ الْجُهَنِيُّ، فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَحُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحِمْيَرِيُّ حَاجَّيْنِ – أَوْ مُعْتَمِرَيْنِ – فَقُلْنَا: لَوْ لَقِينَا أَحَدًا مَنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلْنَاهُ عَمَّا يَقُولُ هَؤُلَاءِ فِي الْقَدَرِ، فَوُفِّقَ لَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ دَاخِلًا الْمَسْجِدَ، فَاكْتَنَفْتُهُ أَنَا وَصَاحِبِي أَحَدُنَا عَنْ يَمِينِهِ، وَالْآخَرُ عَنْ شِمَالِهِ، فَظَنَنْتُ أَنَّ صَاحِبِي سَيَكِلُ الْكَلَامَ إِلَيَّ، فَقُلْتُ [ص:37]: أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّهُ قَدْ ظَهَرَ قِبَلَنَا نَاسٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ، وَيَتَقَفَّرُونَ الْعِلْمَ، وَذَكَرَ مِنْ شَأْنِهِمْ، وَأَنَّهُمْ يَزْعُمُونَ أَنْ لَا قَدَرَ، وَأَنَّ الْأَمْرَ أُنُفٌ، قَالَ: «فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ، وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي»، وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ «لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ» ثُمَّ قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ، إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ، شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ، لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ، وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ، وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الْإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلًا»، قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ، وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الْإِيمَانِ، قَالَ: «أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ»، قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الْإِحْسَانِ، قَالَ: «أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ»، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: «مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ» قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَتِهَا، قَالَ: «أَنْ تَلِدَ الْأَمَةُ رَبَّتَهَا، وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِي الْبُنْيَانِ»، قَالَ: ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ لِي: «يَا عُمَرُ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلُ؟» قُلْتُ: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْ

Abu Khaitsamah; Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Waki’ telah menceritakan kepada kami, dari Kahmas, dari Abdullah bin Buraidah, dari Yahya bin Ya’mar. Ha’ (At-Tahwil; percabangan sanad). Ubaidullah bin Mu’adz Al-‘Anbari telah menceritakan kepada kami (Al-Imam Muslim), dan ini hadisnya, ia berkata, Ayahku telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Kahmas telah menceritakan kepada kami, dari Ibnu Buraidah, dari Yahya bin Ya’mar, ia berkata, “Orang yang pertama kali membahas takdir di Bashrah adalah Ma’bad Al-Juhani, maka aku dan Humaid bin Abdurrahman Al-Himyari berangkat haji atau umrah, maka kami berkata, “Seandainya kami bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah saw., maka kami akan bertanya kepadanya tentang sesuatu yang mereka katakan berkaitan dengan takdir.” Maka Abdullah bin Umar diberikan taufik (oleh Allah) untuk kami, sedangkan ia masuk masjid. Lalu, aku dan temanku menghadangnya. Salah seorang dari kami di sebelah kanannya dan yang lain di sebelah kirinya. Lalu, aku mengira bahwa temanku akan mewakilkan pembicaraan kepadaku, maka aku berkata, “Wahai Abu Abdirrahman, sesungguhnya nampak di hadapan kami suatu kaum membaca Al-Qur’an dan mencari ilmu lalu mengklaim bahwa tidak ada takdir, dan perkaranya adalah baru (tidak didahului oleh takdir dan ilmu Allah).” Maka, Abdullah bin Umar menjawab, “Apabila kamu bertemu orang-orang tersebut, maka kabarkanlah kepada mereka bahwa saya berlepas dari diri mereka, dan bahwa mereka berlepas dari diriku. Demi Dzat yang mana hamba Allah bersumpah dengan-Nya, seandainya salah seorang dari kalian menafkahkan emas seperti gunung Uhud, niscaya sedekahnya tidak akan diterima hingga ia beriman kepada takdir baik dan buruk.” Dia berkata, “Kemudian ia mulai menceritakan hadis seraya berkata, “Umar bin Al-Khattab berkata, ‘Dahulu kami pernah di sisi Rasulullah saw., lalu datanglah seorang laki-laki yang bajunya sangat putih, rambutnya sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas menempuh perjalanan jauh. Tidak seorang pun dari kami mengenalnya, hingga ia mendatangi Nabi saw. lalu menyandarkan lututnya pada tutut Nabi saw., kemudian ia berkata, “Wahai Muhammad, kabarkanlah kepadaku tentang Islam.” Rasulullah saw. menjawab, “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, serta haji ke Baitullah, jika engkau mampu berpergian kepadanya.” Ia berkata, “Kamu benar.” Umar berkata, “Maka kami kaget terhadapnya karena ia menanyakannya dan membenarkannya.” Ia bertanya lagi, “Kabarkanlah kepadaku tentang iman.” Beliau menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir dan takdir baik dan buruk.” Ia berkata, “Kamu benar.” Ia bertanya lagi, “Kabarkanlah kepadaku tentang Ihsan.” Beliau menjawab, “Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” Ia bertanya lagi, “Kapankah hari akhir itu?” Beliau menjawab, “Tidaklah orang yang ditanya itu lebih mengetahui daripada orang yang bertanya.” Ia bertanya, “Lalu, kabarkanlah kepadaku tentang tanda-tandanya.” Beliau menjawab, “Apabila seorang budak melahirkan tuannya, dan kamu melihat orang yang tidak beralas kaki, telanjang, miskin, penggembala kambing, namun bermegah-megahan dalam membangun bangunan.” Kemudian ia pergi. Maka, aku tetap saja heran kemudian beliau berkata, “Wahai Umar, apakah kamu tahu siapa penanya tersebut?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau bersabda, “Itulah Jibril, ia mendatangi kalian untuk mengajarkan kepada kalian tentang pengetahuan agama kalian.”

Keutamaan Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

0
Keutamaan Puasa Enam Hari di Bulan Syawal
Keutamaan Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

Hadispedia.id – Setelah purna melaksanakan puasa Ramadhan, umat Muslim disunnahkan melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya sebagaimana berikut.

عَنْ أَبِي أَيّوبَ الأَنْصَارِيّ رَضِيَ اللّهُ عنه أَنّ رَسُولَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Dari Abu Ayyub Al-Anshari r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Siapa berpuasa Ramadhan kemudian ia mengikutinya dengan berpuasa enam hari dari bulan Syawal, maka ia seperti puasa setahun penuh.”

Imam An-Nawawi dalam kitab Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa satu kebaikan itu bernilai sepuluh kebaikan. Maka, Ramadhan (yang dilakukan selama 30 hari) seperti sepuluh bulan dan enam hari (yang dilakukan di bulan Syawal) seperi dua bulan. Sementara dalam setahun ada dua belas bulan.

Gambaran mudahnya adalah 30 hari di bulan Ramadhan ditambah 6 hari di bulan Syawal berjumlah 36 hari. Sedangkan setiap satu kebaikan dikalikan 10, maka menjadi 360 hari yang sama dengan jumlah hari dalam setahun. Sehingga, orang yang puasa Ramadhan kemudian puasa 6 hari di bulan Syawal seperti puasa setahun. Jika ia mengistiqamahkan dirinya setiap tahun melakukan puasa Ramadhan dan Syawal, maka ia seakan-akan puasa selama hidupnya.

Imam An-Nawawi juga menjelaskan bahwa di kalangan Ulama Syafiiyah mengatakan puasa enam hari tersebut lebih afdhal dilakukan berturut-turut setelah Idul Fitri, yakni dari tanggal 2 hingga 7 Syawal. Namun, jika dilakukan dengan tidak berturut-turut (terpisah-pisah) atau dilakukan di akhir bulan, maka tetap mendapatkan fadhilah mutaba’ah, mengiringi, atau mengikuti puasa Ramadhan dengan puasa Syawal.

Artinya, puasa enam hari di bulan Syawal itu boleh dilakukan berturut-turut, terpisah-pisah, di awal, di tengah, atau di akhir bulan. Puasa Syawal juga boleh dilakukan bagi orang yang masih memiliki tanggungan puasa wajib/qadha’ puasa. Hanya saja, lebih baik mengqadha’ puasa dulu baru puasa Sunnah Syawal. Bahkan, dalam fiqh Syafi’i diperbolehkan menggabungkan niat puasa wajib/qadha’ Ramadhan dengan puasa Syawal. Sehingga, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.

Muhammad Al-Amin dalam kitab Al-Kaukab Al-Wahhaj Syarh Shahih Muslim menyebutkan bahwa hikmah disyariatkannya puasa Syawal adalah seperti shalat sunnah rawatib. Shalat sunnah yang mengiringi shalat wajib. Bagi orang yang senang melaksanakan ibadah, maka akan rindu untuk selalu melaksanakannya. Begitu pula dengan orang yang sudah merasakan nikmatnya puasa Ramadhan, maka ia akan rindu dengan puasa. Oleh sebab itu, setelah Ramadhan disunnahkan berpuasa di bulan Syawal. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Rasulullah I’tikaf di Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan

0
i'tikaf
i'tikaf

Hadispedia.id – Pada tulisan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa Rasulullah saw. mengajak umat Islam untuk memburu Lailatul Qadar di sepuluh malam terakhir Ramadhan. Salah satu cara yang dilakukan Rasulullah saw. untuk memburu Lailatul Qadar itu adalah dengan melaksanakan i’tikaf.

I’tikaf secara bahasa berarti tetap/tidak beranjak pada sesuatu baik di dalam hal yang baik atau di dalam hal yang buruk. Sedangkan menurut syara’ sebagaimana dijelaskan Syekh Abu Qasim dalam kitab Fathul Qarib, i’tikaf adalah berdiam diri di dalam masjid dengan cara yang sudah ditentukan.

Bagi orang yang i’tikaf, hendaklah memenuhi dua syarat. Niat i’tikaf dan berdiam diri di dalam masjid meskipun cuman sebentar. Sekiranya sebentar itu sudah layak disebut sebagai orang yang benar-benar berdiam diri dalam i’tikaf. Oleh sebab itu, sebaiknya i’tikaf diisi dengan shalat, zikir, atau amaliyah akhirat lainnya. Jika diisi dengan amaliyah dunia, seperti ngobrol, menjahit, atau tidur, maka i’tikaf tidak batal selama ia berada di dalam masjid.

Berikut adalah hadis-hadis yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw. melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ – رضى الله عنهما – قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ (متفق عليه)

Dari Abdullah bin Umar r.a., ia berkata, “Rasulullah saw. i’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Tidak hanya itu, Sayyidah Aisyah r.a. menyaksikan bahwa Rasulullah saw. melakukan i’tikaf itu hingga beliau wafat kemudian diteruskan oleh istri-istri beliau.

عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – زَوْجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ . (متفق عليه)

Dari Aisyah r.a., istri Nabi saw., bahwasannya Nabi saw. i’tikaf di sepuluh hari terakhir dari Ramadhan hingga wafatnya, kemudian ustri-istri beliau i’tikaf setelah kepergiannya. (Muttafaqun ‘alaih)

Imam Al-Qasthalani sebagaimana dikutip oleh Imam Abadi dalam kitab Aunul Ma’bud berkata bahwa hadis ini menjadi dalil bahwa i’tikaf adalah salah satu hal yang sangat disunnahkan di sepuluh hari terakhir Ramadhan untuk mencari Lailatul Qadar. Selain itu, hadis riwayat Sayyidah Aisyah r.a. tersebut menurut Imam Abadi menunjukkan bahwa i’tikaf itu boleh dilakukan perempuan sama halnya dengan laki-laki.

Baca juga: Rasulullah Ajarkan Sayyidah Aisyah Doa Saat Lailatul Qadar

Sementara itu, menurut informasi dari Sahabat Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. itu setiap tahunnya i’tikaf sepuluh hari saja. Namun, di tahun wafatnya, beliau justru i’tikaf selama dua puluh hari, yakni sepuluh hari pertengahan dan akhir.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ يَعْرِضُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقُرْآنَ كُلَّ عَامٍ مَرَّةً فَعَرَضَ عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ فِي الْعَامِ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ وَكَانَ يَعْتَكِفُ كُلَّ عَامٍ عَشْرًا فَاعْتَكَفَ عِشْرِينَ فِي الْعَام الَّذِي قُبِضَ فِيهِ  (رواه البخاري)

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, “Jibril biasa mengecek bacaan Al-Qur’an Nabi saw. setiap tahun satu kali. Namun, pada tahun wafatnya Rasulullah saw., Jibril melakukannya dua kali. Dan Rasulullah saw. selalu i’tikaf sepuluh hari setiap tahunnya. Sedangkan pada tahun wafatnya, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (H.R. Al-Bukhari)

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari menjelaskan bahwa alasan Rasulullah saw. i’tikaf dua bulan di akhir hidupnya adalah ada beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama karena disesuaikan dengan apa yang dilakukan Jibril, yakni ia di tahun itu mengecek bacaan Al-Qur’an Rasulullah saw. dua kali.

Kemungkinan kedua karena Rasulullah saw. pada tahun sebelumnya dalam masa berpergian, sehingga tahun itu beliau tidak i’tikaf sama sekali. Tahun itu adalah tahun kesembilan hijriyah bertepatan pada perang Tabuk. Oleh sebab itu, beliau melakukannya dua bulan di Ramadhan terakhir beliau.

Analisis Imam Ibnu Hajar pada kemungkinan kedua tersebut sesuai dengan riwayat Ubay bin Ka’ab r.a.

عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ فَسَافَرَ عَامًا فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْعَامِ الْمُقْبِلِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا رواه ابي داود وابن ماجه

Dari Ubay bin Ka’ab r.a. bahwa Nabi saw. i’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Lalu, beliau berpergian selama setahun. Maka, di tahun berikutnya, beliau i’tikaf selama dua puluh hari. (H.R. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Kemungkinan ketiga, hadis tersebut satu tema dengan riwayat Abu Sa’id Al-Khudri r.a. yang terdapat dalam kitab Shahih Muslim dan Shahih Al-Bukhari yang mana ia pernah melakukan i’tikaf bersama Rasulullah saw. pada sepuluh pertengahan Ramadhan.

Baca juga: Carilah Lailatul Qadar Pada 10 Malam Terakhir Ramadhan

Selain i’tikaf, Rasulullah saw. juga digambarkan oleh Sayyidah Aisyah r.a. lebih giat beribadah.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: «كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ، مَا لَا يَجْتَهِدُ فِي غَيْرِهِ» رواه مسلم

Dari Aisyah r.a., “Rasulullah saw. pada sepuluh terakhir di bulan Ramadhan lebih giat beribadah melebihi hari-hari selainnya.” (H.R. Muslim)

Demikianlah hadis tentang Rasulullah i’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Beliau memberi contoh kepada para Sahabat khususnya dan umat Islam pada umumnya untuk lebih giat beribadah di akhir Ramadhan. Hal ini disebabkan karena untuk menjemput Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari pada seribu bulan. Namun, i’tikaf adalah berhukum sunnah. Sehingga, jika keadaan belum aman dari virus COVID 19, lebih baik ibadah di rumah saja, karena menjaga jiwa hukumnya wajib. Wa Allahu A’lam bis shawab.

 

 

Rasulullah Ajarkan Sayyidah Aisyah Doa Saat Lailatul Qadar

0
Doa Lailatul Qadar
Doa Lailatul Qadar

Hadispedia.id – Rasulullah saw. menganjurkan umatnya di dalam sabda-sabdanya agar menjemput Lailatul Qadar pada 10 malam terakhir di bulan Ramadhan. Dalam riwayat lainnya, beliau lebih menganjurkan menjemputnya di malam-malam ganjil. Lalu, doa apa yang harus kita baca saat menemui Lailatul Qadar?

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ القَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا؟ قَالَ: قُولِي: اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Dari Aisyah r.a., ia berkata, “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika aku mengetahui malam itu adalah Lailatul Qadar, apa yang aku ucapkan di dalamnya?” Beliau bersabda, “Ucapkanlah Allahumma Innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun yang senang memberi ampunan, maka ampunilah aku).” Ini Hadis Hasan Shahih.

Hadis tersebut diriwayat oleh Imam At-Tirmidzi dalam kitab Jami’ atau Sunan-nya. Beliau memberi keterangan bahwa derajat hadis tersebut adalah Hasan Shahih. Sekilas, istilah ini agak rancu. Bukankah Hadis Hasan itu derajatnya di bawah Hadis Shahih?. Mengapa Imam At-Tirmidzi justru menggabungkan keduanya dalam satu sanadnya?. Lalu, Hadis tersebut aslinya berderajat apa? Hasan atau Shahih?

Dr. Mahmud At-Thahhan dalam kitab Taisir Musthalah Al-Hadis menjelaskan bahwa ulama’ telah menjawab maksud dari Hadis Hasan Shahih yang dimaksud oleh Imam At-Tirmidzi dengan jawaban yang beragam. Namun, menurut Dr. Mahmud At-Thahhan jawaban yang paling bagus adalah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dan diamini oleh Imam As-Suyuthi. Ringkasnya adalah sebagai berikut.

  1. Jika hadis yang diriwayatkan Imam At-Tirmidzi itu memiliki dua jalur sanad atau lebih, maka maknanya adalah hadis tersebut berderajat Hasan pada sanad (yang ini), sedangkan berderajat Shahih pada sanad lainnya.
  2. Jika hadis yang diriwayatkan itu hanya memiliki satu jalur sanad, maka maknanya adalah hadis tersebut berderajat Hasan menurut suatu kaum, dan berderajat Shahih menurut kaum lainnya.

Di dalam studi kajian Hadis memang tidak menuntut kemungkinan terjadi perbedaan derajat kualitas hadis pada matan/redaksi hadis yang sama. Tentu, hal ini dipengaruhi dari kualitas masing-masing perawi/periwayat hadis yang membawa hadis tersebut. Bisa jadi, pada jalur sanad yang diriwayatkan oleh Imam A kualitas perawinya bagus, sedangkan pada jalur sanad yang diriwayatkan oleh Imam B kualitas perawinya ada yang bermasalah. Padahal, konten matan hadisnya sama persis.

Kembali pada teks hadis di atas, selain diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i dalam kitab As-Sunan Al-Kubra-nya, Imam Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak-nya, Imam Ibnu Majah dalam kitab Sunan-nya dan Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad-nya.

Hanya saja, ada sedikit perbedaan redaksi. Di antaranya, pada riwayat Imam Ibnu Majah tersebut redaksi matan yang digunakan adalah “Araita inwafaqtu lailatal qadar ma ad’u?“. Sedangkan pada riwayat Imam Ahmad, redaksi yang digunakan adalah “Ya Nabiyallah, araita in wafaqtu lailatal qadri ma aqulu?”.

Demikianlah doa yang Rasulullah saw. ajarkan kepada Sayyidah Aisyah r.a. saat Lailatul Qadar. Yakni permintaan ampunan kepada Sang Maha Pengampun, karena salah satu nikmat yang kita dapatkan baik di dunia maupun di akhirat adalah ampunan Allah swt. Disebabkan karena Lailatul Qadar itu masih rahasia, maka para ulama menganjurkan memperbanyak doa tersebut selama bulan Ramadhan. Oleh sebab itu, di Indonesia doa tersebut biasanya dibaca setiap malam setelah shalat Tarawih. Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni. Wa Allahu a’lam bis shawab.

 

 

Carilah Lailatul Qadar Pada 10 Malam Terakhir Ramadhan

0
Lailatul Qadar
Lailatul Qadar

Hadispedia.id – Salah satu keistimewaan bulan Ramadhan adalah adanya satu malam di dalamnya yang lebih baik dari pada 1000 bulan. Malam itu disebut Lailatul Qadar. Malam diturunkannya Al-Qur’an. Hanya saja, tidak ada yang tahu kapan pastinya malam itu akan datang. Meski demikian, Rasulullah saw. memberikan clue di dalam hadis-hadisnya agar umat Islam mencari Lailatul Qadar pada 10 malam terakhir di bulan Ramadhan.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجَاوِرُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ وَيَقُولُ تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ روا ه البخاري

Dari Aisyah r.a., Rasulullah saw. i’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, dan beliau bersabda, “Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh malam yang akhir dari Ramadhan.” (H.R. Al-Bukhari)

Lebih spesifik lagi, Sahabat Ibnu Abbas r.a. diberitahu clue terjadinya Lailatul Qadar oleh Rasulullah saw. pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir Ramadhan.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي تَاسِعَةٍ تَبْقَى فِي سَابِعَةٍ تَبْقَى فِي خَامِسَةٍ تَبْقَى رواه البخاري

Dari Ibnu Abbas r.a., bahwa Nabi saw. bersabda, “Carilah Lailatul Qadar di sepuluh malam terakhir dari Ramadhan, pada sisa malam kesembilan, pada yang ketujuh, dan yang kelima.” (H.R. Al-Bukhari)

Clue pencarian Lailatul Qadar di malam-malam ganjil secara umum juga diinformasikan oleh Sayyidah Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah Lailatul Qadar pada malam yang ganjil di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (H.R. Al-Bukhari)

Selain itu, Sahabat Abu Sa’id Al-Kudri r.a. juga menginformasikan bahwa Rasulullah saw. menyuruh para sahabat agar mencari Lailatul Qadar di malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir. Abu Sa’id r.a. bercerita bahwa ia pernah i’tikaf bersama Rasulullah saw. pada malam pertengahan dari bulan Ramadhan.

Kemudian, ketika telah melewati malam kedua puluh menjelang malam kedua puluh satu, beliau datang kembali ke tempat khusus i’tikaf. Begitu pula dengan para sahabat lainnya yang sebelumnya beri’tikaf. Lalu, beliau memberikan khutbah di hadapan para sahabat,

“Aku sudah melaksanakan i’tikaf pada sepuluh malam sebelumnya dari bulan ini, kemudian dinampakkan kepadaku agar beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir, maka siapa yang telah beri’tikaf bersamaku, tetaplah pada tempatnya beri’tikaf. Sungguh telah diperlihatkan kepadaku tentang Lailatul Qadar, namun aku dilupakan waktunya yang pasti, maka carilah pada sepuluh malam-malam akhir, dan carilah pada malam yang ganjil. Sungguh, aku melihat diriku (dalam mimpi) sujud di atas air dan tanah.”

Kemudian, langit tampak mendung pada malam itu, lalu turunlah hujan hingga masjid bocor mengenai posisi tempat shalat Nabi saw. pada malam kedua puluh satu. Kemudian, Abu Sa’id Al-Khudri r.a. memandang Rasulullah saw., ia melihat beliau setelah Shubuh dengan wajah beliau yang penuh dengan tanah dan air.” (H.R. Al-Bukhari)

Menurut riwayat Sahabat Ibnu Umar r.a., sebagian dari sahabat-sahabat Nabi saw. justru pernah bermimpi Lailatul Qadar terjadi pada malam tujuh akhir dari bulan Ramadhan. Menanggapi mimpi tersebut, Rasulullah saw. bersabda,

أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيَهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ

Aku memandang bahwa mimpi kalian tentang Lailatul Qadar tepat terjadi pada tujuh malam terakhir, maka siapa yang mau mencarinya, maka carilah pada tujuh malam terakhir.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan riwayat-riwayat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Lailatul Qadar itu memang masih menjadi misteri. Tidak ada yang tahu persis kapan terjadinya. Bahkan, pada riwayat Sahabat Abu Sa’id Al-Khudri r.a. di atas, Rasulullah saw. memang disetting dibuat lupa oleh Allah swt. setelah diperlihatkan waktu datangnya Lailatul Qadar.

Sementara itu, pada riwayat lain, misteri terjadinya Lailatul Qadar itu awalnya mau dibocorkan oleh Rasulullah saw. Hanya saja, hal itu diurungkan oleh beliau karena adanya percekcokan di kalangan sahabat. Bahkan Imam Al-Bukhari memberi judul riwayat ini dalam kitab Shahihnya pada bab raf’i ma’rifati lailatil Qadar litalahin nas (Bab diangkatnya informasi tentang Lailatul Qadar karena percekcokan orang-orang).

Riwayat tersebut dikisahkan oleh Sahabat Nabi saw. yang bernama Ubadah bin Ash-Shamit r.a. “Nabi saw. keluar untuk memberitahukan kami tentang Lailatul Qadar. Tiba-tiba ada dua orang dari kaum muslimin yang membantah beliau. Akhirnya beliau bersabda, ‘Aku datang untuk memberitahu kalian tentang waktu terjadinya Lailatul Qadar, namun fulan dan fulan menyanggah aku sehingga kepastian waktunya diangkat (menjadi tidak diketahui). Namun, semoga kebaikan buat kalian. Maka, carilah pada malam yang kesembilan, ketujuh, dan kelima (pada sepuluh malam akhir dari Ramadhan).”

Tentu saja, misteri terjadinya Lailatul Qadar memiliki banyak hikmah. Di antaranya agar umat Islam mau berbondong-bondong menjemputnya dengan meningkatkan ibadahnya di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan. Semoga kita diberikan kemuliaan Allah untuk meraihnya. Aaamin. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Tiga Hal yang Rasulullah Lakukan di 10 Malam Terakhir Ramadhan

0
Tiga Hal yang Rasulullah Lakukan di 10 Malam Terakhir Ramadhan
Tiga Hal yang Rasulullah Lakukan di 10 Malam Terakhir Ramadhan

Hadispedia.id – Tiga hal yang Rasulullah saw. lakukan di 10 malam terakhir Ramadhan tergambar dalam hadis yang dicantumkan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Bulughul Maram sebagaimana berikut.

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ اَلْعَشْرُ -أَيْ: اَلْعَشْرُ اَلْأَخِيرُ مِنْ رَمَضَانَ- شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dan dari Aisyah r.a., ia berkata, “Rasulullah saw. jika memasuki sepuluh -yakni sepuluh akhir dari Ramadhan-, beliau mengencangkan sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Maksud Muttafaqun ‘alaih adalah hadis tersebut telah disepakati keshahihannya oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim. Hasan Sulaiman An-Nuri dan Alawi Abbas Al-Maliki dalam kitab Ibanatul Ahkam Syarah Bulughil Maram telah memberikan penjelasan seputar hadis tersebut yang kami jadikan sumber rujukan dalam tulisan ini.

Analisis Lafadz Hadis:

  1. Lafadz -أَيْ: اَلْعَشْرُ اَلْأَخِيرُ مِنْ رَمَضَانَ- (-yakni sepuluh akhir dari Ramadhan-) merupakan mudraj atau sisipan dari Imam Ibnu Hajar berupa penjelasan atas tafsir pada kata al-‘asyru. Jadi, lafadz tersebut bukan bagian dari sabda Nabi saw., karena teks aslinya dalam kitab Shahih Al-Bukhari hanya al-‘asyru saja. Pada dasarnya, tambahan sisipan redaksi atau dalam istilah ilmu hadis disebut mudraj dapat mempengaruhi kualitas hadis menjadi dhaif dan haram dilakukan. Namun, di dalam kitab Taisir Musthalah Al-Hadis karya Syekh Mahmud Thahhan disebutkan bahwa jika mudraj itu dilakukan untuk menafsiri lafadz hadis yang gharib, maka hal ini diperbolehkan. Sebagaimana pernah dilakukan oleh Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri dan Imam Ibnu Hajar dalam hadis tersebut.
  2. Syadda mi’zarahu/mengencangkan sarung beliau. Redaksi tersebut merupakan sebuah kinayah atau simbol bahwa Nabi saw. bersungguh-sungguh dalam beribadah melebihi biasanya. Ada pula yang mengartikan redaksi tersebut menunjukkan bahwa Nabi saw. tidak mengumpuli istri-istrinya di 10 malam terakhir Ramadhan.
  3. Ahya lailahu/menghidupkan malamnya. Artinya Nabi saw. tidak tidur, melainkan menghidupkan malamnya dengan beribadah di dalamnya.
  4. Wa aiqadza ahlahu, yakni beliau membangunkan keluarganya yang mampu melaksanakan qiyam Ramadhan.

Fiqhul Hadis:

Hasan Sulaiman An-Nuri dan Alawi Abbas Al-Maliki dalam kitab Ibanatul Ahkam Syarah Bulughil Maram menjelaskan bahwa di antara pelajaran yang dapat kita ambil dari hadis tersebut adalah

  1. Kesunnahan qiyamul lail, bangun di malam hari untuk menjalankan ibadah-ibadah.
  2. Anjuran yang kuat untuk menghidupkan 10 malam terakhir dari bulan Ramadhan.
  3. Kesunnahan mengajak/mengikut sertakan keluarga dalam menjalankan ibadah-ibadah sunnah.
  4. Penjelasan bahwa akhir Ramadhan itu paling utama, karena ia adalah pungkasan dari amal, sedangkan amal itu tergantung pungkasannya/akhirnya. Oleh sebab itu, sepuluh akhir Ramadhan itu diperlakukan khusus. Di antaranya dengan i’tikaf, melaksanakan qiyamul lail di sepanjang malam, membangunkan keluarga, tidak menggauli istri, mandi di antara maghrib dan isya’, memakai wewangian, mengenakan baju yang paling baik sebagai bentuk persiapan untuk bermunajat kepada Allah swt., dan memperbanyak doa bil ma’tsur/yang diajarkan Nabi saw. “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anna/Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf yang suka memaafkan, maka maafkanlah kami.”

Demikianlah tiga hal yang Rasulullah saw. lakukan di 10 malam terakhir Ramadhan, yakni beliau mengencangkan sarungnya sebagai tanda lebih giat dan siap dalam beribadah, menghidupkan malam dengan beribadah, dan membangunkan keluarganya. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Qiyam Ramadhan Dapat Meleburkan Dosa-Dosa Kecil Kita

0
Qiyam Ramadhan Dapat Meleburkan Dosa-Dosa Kecil Kita
Qiyam Ramadhan Dapat Meleburkan Dosa-Dosa Kecil Kita

Hadispedia.id – Bulan Ramadhan adalah bulan mulia. Betapa tidak, setiap waktu di dalamnya dipenuhi dengan keberkahan dan keutamaan. Saat pagi, siang, dan sore hari, waktu kita dihabiskan dengan berpuasa. Sementara malam harinya, kita pun dianjurkan untuk mengisinya dengan menjalankan qiyam Ramadhan yang memiliki keistimewaan tersendiri.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang menegakkan Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu diampuni.” (Muttafaqun ‘alaih)

Maksud Muttafaqun ‘alaih adalah hadis tersebut telah disepakati keshahihannya oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim. Hadis ini dikutip oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab Bulughul Maram min Adillatil Ahkam pada bab Al-I’tikaf wa Qiyami Layali Ramadhan yang telah disyarahi oleh beberapa ulama.

Di antaranya adalah Hasan Sulaiman An-Nuri dan Alawi Abbas Al-Maliki dengan kitab yang berjudul Ibanatul Ahkam Syarah Bulughil Maram yang di antara syarahnya akan kami kutip sebagaimana berikut.

Analisis Lafadz Hadis:

Qiyam Ramadhan (di ambil dari lafadz hadis man qama Ramadhan): artinya adalah menegakkan malam-malam Ramadhan dengan membaca Al-Qur’an atau melaksanakan shalat.

Imanan: artinya adalah karena percaya dengan janji Allah yang akan memberikan pahala kepadanya.

Ihtisaban: artinya adalah mengharapkan pahala atas amal-amal shalih yang dilaksanakan dengan segera.

Ghufira lahu ma taqaddama min dzanbihi: artinya adalah dosa-dosanya yang kecil akan diampuni. Sementara dosa-dosa besar hanya bisa dilebur dengan cara taubat dan meminta maaf kepada yang pernah dizalimi.

Fiqhul Hadis:

Di antara pelajaran yang dapat kita ambil dari hadis tersebut adalah:

  1. Keutamaan qiyam Ramadhan atau menegakkan malam-malam Ramadhan dengan cara memperbanyak membaca Al-Qur’an, shalat, atau amal-amal shalih lainnya. Salah satu bentuk qiyam Ramadhan yang khusus ada pada bulan Ramadhan adalah shalat Tarawih. Oleh sebab itu, maka Imam Al-Bukhari juga mencantumkan hadis qiyam Ramadhan tersebut dalam kitab Shahihnya pada kitab shalat Tarawih bab keutamaan orang yang menegakkan Ramadhan.
  2. Dorongan untuk ikhlas dalam berniat. Artinya, dalam menjalankan qiyam Ramadhan itu, niat kita harus lurus, yakni karena iman dan benar-benar mengharap pahala dari Allah swt., bukan untuk pencitraan dan ingin dipuji orang.
  3. Penjelasan bahwa qiyam Ramadhan itu menjadi salah satu sebab diampuninya dosa-dosa.

Demikianlah penjelasan singkat dari hadis qiyam Ramadhan yang dapat meleburkan dosa-dosa kecil kita. Semoga kita dapat istiqamah dan semangat dalam menjalankan qiyam Ramadhan, terutama di sepuluh malam terakhir untuk mencari lailatul qadar. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Hadis No. 51 Sunan An-Nasa’i

0
Sunan An-Nasa'i
Sunan An-Nasa'i

Hadispedia.id – Al-Imam An-Nasa’i berkata dalam Sunan-nya pada kitab bersuci bab menggosok tangan ke tanah setelah istinja’,

أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ الصَّبَّاحِ قَالَ حَدَّثَنَا شُعَيْبٌ يَعْنِي ابْنَ حَرْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبَانُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ جَرِيرٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَى الْخَلَاءَ فَقَضَى الْحَاجَةَ ثُمَّ قَالَ يَا جَرِيرُ هَاتِ طَهُورًا فَأَتَيْتُهُ بِالْمَاءِ فَاسْتَنْجَى بِالْمَاءِ وَقَالَ بِيَدِهِ فَدَلَكَ بِهَا الْأَرْضَ
قَالَ أَبُو عَبْد الرَّحْمَنِ هَذَا أَشْبَهُ بِالصَّوَابِ مِنْ حَدِيثِ شَرِيكٍ وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ

Ahmad bin As-Shabbah telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, Syu’aib yakni Ibnu Harb telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Aban bin Abdullah Al-Bajali telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Ibrahim bin Jarir telah menceritakan kepada kami, dari ayahnya, ia berkata, “Aku pernah bersama Nabi saw., lalu beliau pergi ke WC untuk buang hajat, kemudian beliau bersabda, “Wahai Jarir, bawa kemari sesuatu yang bisa dipakai untuk bersuci. Lalu, aku membawakannya air dan beliau istinja’/cebok dengan air itu.” Dan Jarir berkata, “Beliau istinja’ dengan tangannya, lalu beliau menggosok tangannya ke tanah.”

Abu Abdirrahman berkata, “Hadis ini lebih mirip kebenarannya dari pada hadis riwayat Syarik. Hanya Allah Subhanallahu wa Ta’ala yang lebih tahu.”

Baca penjelasannya di hadis sebelumnya: Hadis No. 50 Sunan An-Nasa’i.

Hadis No. 50 Sunan An-Nasa’i

0
Sunan An-Nasa'i
Sunan An-Nasa'i

Hadispedia.id – Al-Imam An-Nasa’i berkata dalam Sunan-nya pada kitab bersuci bab menggosok tangan ke tanah setelah istinja’,

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ الْمُخَرِّمِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ شَرِيكٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ جَرِيرٍ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَلَمَّا اسْتَنْجَى دَلَكَ يَدَهُ بِالْأَرْضِ

Muhammad bin Abdullah bin Al-Mubarak Al-Mukharrami telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, Waki’ telah menceritakan kepada kami, dari Syarik, dari Ibrahim bin Jarir, dari Abu Zura’ah, dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw. pernah berwudhu’, ketika beliau setelah istinja’, beliau menggosokkan tangannya ke tanah.

Penjelasan:

Imam As-Sindi dalam Syarah Sunan An-Nasa’i menjelaskan bahwa perbuatan Nabi saw. menggosok-gosok tangan setelah istinja’ adalah bertujuan agar benar-benar bersih tangannya. Selain itu, agar menghilangkan bau yang tidak sedap darinya.

Praktek Nabi saw. dalam hadis di atas dan penjelasan Imam As-Sindi tersebut dapat diqiyaskan pada era modern sekarang. Yakni cara untuk menghilangkan bau tidak sedap dari tangan yang telah digunakan untuk istinja’/cebok adalah dengan sabun atau pewangi lainnya. Sehingga, tangan yang digunakan untuk istinja’ itu tidak bau lagi. Wa Allahu a’lam bis shawab.