Beranda blog Halaman 73

Hadis No. 4 Sunan Abi Daud

0
Sunan Abu Daud
Sunan Abu Daud

قَالَ الْاِمَامُ أَبُو دَاوُدَ سُلَيْمَانُ بْنُ الأَشْعَثِ فِيْ سُنَنِهِ فِيْ بَابِ مَا يَقُولُ الرَّجُلُ إِذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ

حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، وَعَبْدُ الْوَارِثِ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ قَالَ: عَنْ حَمَّادٍ قَالَ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ» وَقَالَ: عَنْ عَبْدِ الْوَارِثِ قَالَ: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ

قَالَ أَبُو دَاوُدَ: رَوَاهُ شُعْبَةُ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ: ” اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ “، وَقَالَ مَرَّةً: ” أَعُوذُ بِاللَّهِ “، وَقَالَ وُهَيْبٌ: ” فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّه

ِAl-Imam Abu Daud; Sulaiman bin Al-Asy’ats berkata di dalam kitab Sunan-nya pada bab doa yang diucapkan seseorang saat masuk WC,

Musaddad bin Musarhad telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Hammad bin Zaid dan Abdul Warits telah menceritakan kepada kami, dari Abdul Aziz bin Shuhaib, dari Anas bin Malik, ia berkata,

Rasulullah saw. ketika masuk WC -dia (Musaddad) berkata dari Hammad- beliau mengucapkan, “Allahumma Inni ‘Audzu bika (Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu)“, dia (Musaddad) berkata dari Abdul Warits, beliau mengucapkan, “A’udzu billahi minal khubutsi wal khabaits (aku berlindung kepada Allah dari setan laki-laki dan setan perempuan).

Imam Abu Daud berkata, Syu’bah meriwayatkannya dari Abdul Aziz (dengan redaksi) “Allahumma inni a’udzu bika (Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu),” dalam  kesempatan lain dia meriwayatkan (dengan redaksi) “A’udzu billahi (Aku berlindung kepada Allah)“, dan Wuhaib berkata, “Hendaklah dia berlindung kepada Allah.”

Tanda Kenabian Rasulullah Berupa Kelenjar Merah. Kajian Kitab As-Syamail Al-Muhammadiyah Ke-16

0
Tanda Kenabian
Tanda Kenabian

Hadispedia.id- Ada sebuah riwayat yang menggambarkan tanda kenabian Rasulullah saw., berupa kelenjar merah. Tanda kenabian ini familiar di kalangan sahabat, sehingga banyak sahabat yang menggambarkan tanda kenabian beliau dengan berbeda-beda. Para sahabat menggambarkan sesuai dengan yang mereka lihat pada punggung Rasulullah saw. Apa penyebab perbedaan ini? Apakah bergantung siapa yang melihat tanda tersebut atau memang tanda kenabian itu berubah-ubah?

Jabir bin Samurah salah satu sahabat yang melihat tanda kenabian Rasulullah saw. berupa kelenjar merah. Bagaimana penjelasan ulama pada riwayat Jabir bin Samurah ini?. Berikut hadis dan penjelasannya:

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ يَعْقُوبَ الطَّالْقَانِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ جَابِرٍ، عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ: «رَأَيْتُ الْخَاتَمَ بَيْنَ كَتِفَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غُدَّةً حَمْرَاءَ مِثْلَ بَيْضَةِ الْحَمَامَةِ

Jabir bin Samurah berkata, “Aku pernah melihat tanda (khatam), ia terletak terletak di antara kedua bahu Rasulullah Saw, berupa kelenjar merah sebesar telur burung merpati.”

Tiga perawi dari hadis tersebut ada seorang atau beberapa ulama yang menilai lemah (dha’if) di antara mereka. Pertama, Sa’id bin Ya’qub dinilai terpercaya (tsiqah), namun Ibn Hibban menilainya lemah. Kedua, Ayyub bin Jabir dinilai lemah oleh Abu Zur’ah dan ulama lainnya. Ketiga, Simak bin Harb dinilai terpercaya, tapi Ibn al-Mubarak menilainya lemah.

Status hadis ini menurut Imam At-Tirmidzi dalam Sunan At-Tirmidzi adalah hasan shahih. Sedangkan istilah hasan shahih dengan hadis yang memiliki dua jalur sanad, satu jalur sanadnya berstatus hasan dan shahih pada jalur sanad lainnya.

Warna, Dzat, dan Bentuk Tanda Kenabian Rasulullah saw.

Dalam buku Terjemah Hadits Mengenal Pribadi Dan Budi Pekerti Rasulullah saw. terbitan Diponegoro Bandung, kata ghuddah diartikan sepotong daging. Ibrahim bin Muhammad Al-Bajury mengartikannya sebagai daging yang bergerak serta menghubungkan antara daging dan kulit. Itulah yang dimaksud kamus Arab-Indonesia Al-Ma’any kata ghuddah mempunyai arti kelenjar.

Hadis riwayat Jabir bin Samurah menggambarkan tanda kenabian Rasulullah saw. berupa kelenjar merah, sebagaimana redaksi (matan) hadis tersebut. Ada banyak riwayat tentang warna tanda kenabian beliau. Ada riwayat lain yang menyatakan warna hitam, warna biru, dan ada yang menyatakan sama seperti warna kulit beliau.

Perbedaan riwayat tersebut tidak saling menolak satu sama lain, sebab keadaan itu berbeda dengan perbedaan waktu. Pada suatu waktu tanda kenabian Rasulullah saw. seperti kulit beliau, berwarna hijau pada waktu yang lain, dan begitu seterusnya.

Selanjutnya dalam riwayat Jabir bin Samurah menyampaikan bentuk dari tanda kenabian Rasulullah saw. mirip  dengan telur burung merpati. Dalam prihal ini banyak juga riwayat yang berbeda-beda dengan menyampaikan bentuk yang berbeda pula. Misal riwayat yang menyatakan bentuk kenabian beliau seperti telur burung unta, buah apel, kemiri, tahi lalat dan menurut riwayat Shahih Al-Hakim tanda kenabian Rasulullah saw. berupa kumpulan bulu. (Ibrahim bin Muhammad Al-Bajuri, Al-Mawahib Al-Laduniyah ala As-Syamail Al-Muhammadiyah, 84)

Menurut Ibrahim bin Muhammad Al-Bajury tidak ada pertentangan antara riwayah ini (riwayat Jabir bin Samurah) dengan riwayat sebelumnya dan bahkan dengan riwayat lainnya. Demikian juga pendapat Al-Qurthubi bahwa keadaan tanda kenabian Rasulullah saw. kadang membesar dan kadang mengecil, maka setiap sesuatu (dalam banyak riwayat) yang disamakan dengan keadaan tanda tersebut, layak baginya. Ulama yang berpendapat tanda itu adalah bulu, maka tanda kenabian Rasulullah saw. kondisinya waktu itu terdapat bulu, begitu juga dengan riwayat lainnya.

Ternyata dasar dari perbedaan riwayat para sahabat dengan menyebutkan bentuk yang berbeda disebabkan oleh perbedaan kondisinya pada saat para sahabat melihatnya.

Meskipun Ibrahim Al-Bajuri menyampaikan perbedaan-perbedaan riwayat tergantung pada waktu dan kondisi tanda kenabian Rasulullah saw. Menurutnya secara umum riwayat-riwayat yang pasti dan jelas mengenai tanda ini adalah jika mengecil seperti kemiri, jika membesar seperti kepalan tangan.

Adapun hadis yang mengatakan seperti bekas botol bekaman, lutut kambing, tahi lalat hijau dan ataupun hitam serta tertulis Muhammad saw atau sir fainnaka al-mansur, maka riwayat-riwayat ini tidak pasti. Al-Bajuri mengutip dari pendapat Al-‘Asqalani dan ada juga pembenaran Ibn Hibban bahwa riwayat tersebut meragukan. Datang juga dari pendapat banyak hafidz bahwa orang yang meriwayatkan pada tanda kenabian terdapat tulisan Muhammad saw, maka hal itu diserupakan dengan khatam (cincin) yang ada pada tangan Rasulullah saw., padahal tidak demikian adanya.

Benar adanya pada hadis Jabir bin Samurah bahwa tanda kenabian Rasulullah saw, berupa kelenjar merah sesuai kondisi Jabir bin Samurah melihatnya pada waktu itu. Perbedaan penyebutan warna karena perbedaan waktu. Sedangkan perbedaan penyebutan bentuk dan dzatnya karena perbedaan kondisi pada saat para sahabat melihatnya. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Hadis Penciptaan Perempuan dari Tulang Rusuk Laki-laki

0
Hadis Penciptaan Perempuan dari Tulang Rusuk Laki-laki
Hadis Penciptaan Perempuan dari Tulang Rusuk Laki-laki

Hadispedia.id – Penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki mengisyaratkan bahwa perempuan adalah ciptaan kedua setelah laki-laki. Secara substansi laki-laki lebih utama dari pada perempuan. Dan hal ini pun sangat menyudutkan perempuan yang kedudukannya terkesan di bawah laki-laki.

Hawa merupakan perempuan pertama yang diciptakan oleh Allah swt. Para pakar tafsir pun memperbincangkan tentang bagaimana proses penciptaan Hawa. Mayoritas mufasir klasik (At-Thabari, Al-Razi, Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, dan Zamakhsyari) mengatakan bahwa Hawa (perempuan) itu diciptakan dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam. Argumentasi ini berdasarkan surat An-Nisa’ ayat 1,

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً

Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.

Dhamir yang terdapat dalam redaksi ayat (minha) adalah min tab’idiyah, yang berarti Hawa diciptakan dari bagian tubuh Adam. Hal ini juga diperkuat dengan riwayat hadis.

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِي جَارَهُ وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا

Dari Abu Hurairah dari Nabi saw., beliau bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan juga kepada hari akhir, maka janganlah ia menyakiti tetangganya. Pergaulilah kaum wanita dengan baik, sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk. Dan sesuatu yang paling bengkok yang terdapat tulang rusuk adalah bagian paling atas. Jika kamu meluruskannya dengan seketika, niscaya kamu akan mematahkannya. Namun jika kamu membiarkannya maka ia pun akan selalu dalam keadaan bengkok. Karena itu pergaulilah wanita dengan penuh kebijakan.” (H.R. Bukhari)

Hadis di atas secara tekstual memang menyatakan bahwa penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki. Metode tekstual ini sepertinya digunakan beberapa pakar tafsir generasi awal. Hadis ini menjadi dilematis, apakah menjelaskan bagaimana proses penciptaan perempuan atau bukan.

Abdullah Karim menyatakan bahwa makna dan tujuan dari hadis ini sebagai nasihat, pesan, bimbingan, petunjuk dan arahan kepada perempuan secara arif dan bijaksana. Karena wanita itu bagaikan tulang rusuk yang bengkok, sangat sulit untuk meluruskannya. Jika tulang rusuk tersebut diluruskan, berarti sama halnya mematahkannya. Patahnya tulang rusuk tersebut sebagai gambaran (konotasi) terjadinya talak terhadap istri.

Pendapat yang mengatakan makna hadis tersebut majazi (konotasi) didukung dari hadis

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي سَفَرٍ وَكَانَ غُلَامٌ يَحْدُو بِهِنَّ يُقَالُ لَهُ أَنْجَشَةُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رُوَيْدَكَ يَا أَنْجَشَةُ سَوْقَكَ بِالْقَوَارِيرِ قَالَ أَبُو قِلَابَةَ يَعْنِي النِّسَاءَ

Dari Anas r.a. bahwasannya Nabi saw. pernah dalam suatu perjalanan, sementara seorang hamba sahayanya bernama Anjasyah mengawal para wanita. Maka Nabi saw. bersabda, “Pelan-pelanlah wahai Anjasyah, karena kamu tengah mengawal sesuatu yang mudah pecah.” Abu Qilabah mengatakan; maksudnya adalah (mengawal) para wanita.” (H.R. Bukhari)

Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa perempuan diciptakan dari jenis yang sama seperti Adam diciptakan. Muhammad Abduh salah satu pakar tafsir yang menolak pendapat bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk. Dalam tafsir Al-Manarnya kata مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ  menunjukkan bahwa Adam dan Hawa diciptakan dari unsur dan jenis yang sama. Hal ini pun menjadi perbincangan di kalangan pakar tafsir. Masing-masing mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda.

Menanggapi pernyataan tersebut, Amina Wadud secara tegas menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara penciptaan laki-laki dan perempuan dalam Al-Qur’an. Menurut Wadud, Q.S. An-Nisa’ menegaskan asal dari seluruh manusia adalah nafs yang satu (مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ). Dalam ayat tersebut, penggunaan kata “laki-laki dan perempuan” diartikan manifestasi lahiriah dan realitas berpasangan yang dapat dilipat gandakan dan berkembang biak di bumi ini.

Seperti juga yang disebutkan oleh Atiyyah Saqar bahwa tidak ada dalil yang qat’i tentang proses penciptaan perempuan. Atiyyah Saqar lebih netral dalam diskursus asal penciptaan perempuan. Sebab tidak mudah mencari titik temu yang masing-masing mempunyai titik tolak dan sudut pandang yang berbeda.

Penciptaan perempuan memang sejak lama menjadi perdebatan. Dalam Islam tidak ada satupun dalil qat’i yang disepakati tentang penciptaan perempuan. Namun Al-Qur’an menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan substansi antara laki-laki dan perempuan. Perbedaannya hanya terletak pada fungsi biologis manusia. Maka demikian, tidak sepatutnya perempuan disudutkan dan dipandang lebih rendah dari pada laki-laki. Wallohu’alam

Hadis tentang Perumpamaan Orang yang Tidak Pernah Membaca Al-Qur’an

0
Al-Qur'an
Al-Qur'an

Hadispedia.id – Sungguh sangat disayangkan jika kita sebagai umat muslim, mengenal Al-Qur’an akan tetapi tidak pernah membacanya. Padahal Allah swt. memerintahkan kaum muslimin untuk mentadaburi Al-Qur’an dengan membacanya secara tartil dan menghayati kandungannya.

Tidak ada yang dirugikan ketika kita meluangkan waktu untuk selalu membaca Al-Qur’an, baik itu menjadikan hati yang tenang, menjernihkan pikiran serta menambah amal baik kita. Lantas, bagaimana dengan orang muslim yang tidak membaca Al-Qur’an?. Rasulullah saw.  memberikan perumpamaan untuk umatnya yang tidak pernah membaca Al-Qur’an sebagaimana dalam riwayat Imam Tirmidzi dalam kitab Sunannya berikut ini.

 عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الَّذِي لَيْسَ فِي جَوْفِهِ شَيْءٌ مِنْ الْقُرْآنِ كَالْبَيْتِ الْخَرِبِ قَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Dari Ibnu Abbas ia berkata; Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya orang yang di dalam dirinya tidak ada sedikit pun Al-Qur’an ibarat rumah yang runtuh.” Imam At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih”.

Bagaikan Rumah yang Runtuh

Pada hadis di atas, Rasulullah saw. memberikan perumpamaan umatnya yang tidak membaca Al-Qur’an seperti rumah yang runtuh. Perumpamaan rumah runtuh itu mengandung maksud yang halus, sebagaimana ungkapan peribahasa, “Otak manusia yang tidak bekerja adalah tempat setan bekerja.”

Demikian juga hati yang kosong dari kalamullah akan banyak dipengaruhi oleh setan. Hadis di atas menyatakan betapa penting membaca Al-Qur’an, sehingga hati yang tidak menyimpan kalamullah telah diumpamakan seperti rumah runtuh. Selain itu juga diliputi rasa kesempitan dan ketidak berkahan.

Sesungguuhnya orang yang membaca Al-Qur’an akan mendapatkan keberkahan dari Allah, sesuai dengan yang dikatakan oleh Syaikh Abdurrahman As-Sa’di menjelaskan dalam kitabnya yaitu Tafsir As-Sa’di:

أي: هذه الحكمة من إنزاله، ليتدبر الناس آياته، فيستخرجوا علمها ويتأملوا أسرارها وحكمها، فإنه بالتدبر فيه والتأمل لمعانيه، وإعادة الفكر فيها مرة بعد مرة، تدرك بركته وخيره، وهذا يدل على الحث على تدبر القرآن، وأنه من أفضل الأعمال.

Yaitu: inilah hikmah dari diturunkanya Al-Qur’an, agar manusia mentadaburi ayat-ayat-Nya, menggali ilmu yang ada padanya, menghayati rahasia-rahasianya, dan hukum-hukumnya. Sesungguhnya dengan mentadaburinya, menghayati makna-maknanya, memfokuskan pikiran padanya berulangkali, maka akan didapati keberkahan dan kebaikannya. Ini menunjukkan anjuran untuk mentadaburi Al-Qur’an, dan itu termasuk sebaik-baik amalan.

Bagaikan Buah Handzalah

Selain itu, Rasulullah saw. juga memberikan perumpamaan lain bagi umatnya yang tidak membaca Al-Qur’an. Sebagaimana sabdanya pada riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahihainnya

عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قَالَ :مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ، مَثَلُ الْأُتْرُجَّةِ: رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ. وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ، مَثَلُ التَّمْرَةِ: لَا رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ. وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُـرْآنَ، مَثَلُ الرَّيْحَانَـةِ: رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ. وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي لَا يَقْـرَأُ الْقُرْآنَ، كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ: لَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ

Dari Abu Musa Al-Asy’ari r.a., dari Nabi saw., beliau bersabda, “Perumpamaan orang mu’min yang membaca Al-Qur’an bagaikan buah Utrujah, rasa buahnya enak dan baunya wangi. Dan perumpamaan orang mu’min yang tidak membaca Al-Qur’an bagaikan buah Kurma, rasanya enak namun tidak berbau. Sedangkan perumpamaan orang munafik yang membaca Al-Qur’an, bagaikan buah Raihanah, baunya enak namun rasanya pahit. Dan perumpaman orang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an, bagaikan buah Hanzalah, rasanya pahit tetapi tidak berbau.”

Pada hadis di atas, Rasulullah memberikan perumpamaan orang yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah Hanzalah, buah ini memiliki refleksi rasa yang begitu pahit tetapi tidak berbau. Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutnya buah ini seperti buah kurma, yakni mirip dengan orang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an. Tidak adanya rasa manis, hal ini menyerupai tidak adanya iman dalam dirinya. Semoga diri kita terhindar dari sifat tersebut, dan selalu berada dalam balutan keberkahan Allah swr. Amin.

Motivasi dan Alasan Imam Nawawi Menyusun Kitab Arbain

0
Al-Arbain An-Nawawiyah
Al-Arbain An-Nawawiyah

Hadispedia.id – Kitab Al-Arbain yang disusun oleh Imam Nawawi sangatlah populer di kalangan para santri dan pengkaji hadis. Tidak hanya di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Sudah banyak ulama-ulama lain yang memberikan syarah/penjelasan terhadap kitab yang mungil namun berisi ini. Lalu, apa sih motivasi dan alasan beliau menyusun kitab Arbainnya? Mengapa hanya empat puluhan hadis saja yang beliau kumpulkan?

Keistimewaan Penghafal Empat Puluh Hadis

Imam Nawawi dalam mukaddimah kitab Al-Arbain sebenarnya telah menjelaskan tentang motivasi dan alasan beliau menyusun kitab ini. Beliau menyebutkan bahwa terdapat hadis-hadis tentang keistimewaan orang yang dapat menghafal empat puluh hadis.

Hadis tersebut bersumber dari sahabat Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Abu Darda’, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Abu Hurairah, dan Abu Sa’id Al-Khudri dengan jalur yang banyak dan riwayat yang beragam, bahwa Rasulullah saw. bersabda,

مَنْ حَفِظَ عَلَى أُمَّتِي أَرْبَعِينَ حَدِيثًا مِنْ أَمْرِ دِينِهَا بَعَثَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيْ زُمْرَةِ الْفُقَهَاءِ وَالْعُلَمَاءِ

Siapa dari umatku hafal empat puluh hadis tentang agamanya, maka pada hari Kiamat nanti ia akan dibangkitkan dalam kelompok para fuqaha’ dan para ulama.”

Dalam riwayat lain, disebutkan

بَعَثَهُ اللهُ فَقِيْهًا عَالِماً

 “Ia akan dibangkitkan sebagai seorang faqih yang alim.”

Dalam riwayat Abu Darda’,

وَكُنْتُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَافِعاً وَشَهِيْداً

Dan pada hari Kiamat nanti aku akan menjadi pembela dan saksi untuknya.”

Dalam riwayat Ibnu Mas’ud,

قِيْلَ لَهُ أدْخُلْ مِنْ أيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتَ

Dikatakan kepadanya, “Masuklah dari pintu mana saja yang kamu kehendaki.”

Dan dalam riwayat Ibnu Umar,

كُتِبَ فِيْ زُمْرَةِ الْعُلَمَاءِ وَحُشِرَ فِيْ زُمْرَةِ الشُّهَدَاءِ

Ia tercatat dalam golongan para ulama dan dikumpulkan dalam golongan syuhada.”

Mengikuti Jejak Para Ulama

Penyusunan empat puluh hadis dalam satu kitab tersendiri telah dilakukan oleh para ulama sebelum Imam Nawawi. Bahkan sampai-sampai menurut kesaksian beliau jumlahnya pun tak terhitung. Di antara ulama yang menjadi pionir pembukuan empat puluh hadis yang diketahui oleh Imam Nawawi adalah sebagaimana berikut.

Abdullah bin Mubarak, Muhammad bin Aslam At-Thusi Al-Alim Ar-Rabbani, Al-Hasan bin Sufyan An-Nasa’i, Abu Bakar Al-Ajuri, Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim Al-Ashfihani, Ad-Daruquthni, Al-Hakim, Abu Nu’aim, Abu Abdirrahman As-Sulami, Abu Sa’id Al-Malini, Abu Utsman Ash-Shabuni, Abdullah bin Muhammad Al-Anshari, Abu Bakar Al-Baihaqi, dan masih banyak lagi dari generasi mutaqaddimin (para ulama pada masa-masa awal) maupun mutaakhirin (para ulama pada masa-masa belakangan).

Istikharah dan Dalil Shahih Sebagai Pedoman Penyusunan Kitab

Sebelum Imam Nawawi menghimpun empat puluh hadis sebagai langkah mengikuti para ulama terdahulu, beliau melakukan istikharah kepada Allah swt. terlebih dahulu. Hal ini sangat patut kita contoh, yakni apapun hajat yang akan kita lakukan hendaknya kita sowankan dulu kepada Allah swt.

Imam Nawawi menjelaskan bahwa riwayat tentang keistimewaan penghafal empat puluh hadis tersebut di atas menurut kesepakatan ulama ahli hadis adalah dhaif. Meskipun para ulama sepakat diperbolehkannya menggunakan hadis dhaif berkaitan dengan fadhailul a’mal (keutamaan amal perbuatan), tetapi Imam Nawawi tidak menjadikannya sebagai dalil.

Imam Nawawi lebih memilih menggunakan hadis shahih sebagai pedoman penyusunan kitab Al-Arbain ini. Hadis yang dikutip beliau berikut ini merupakan potongan dari hadis panjang dalam Shahih Al-Bukhari,

لِيُبَلِّغ الشَّاهِدُ مِنْكُمْ الْغَائِبَ

 “Hendaklah yang hadir dari kalian, menyampaikan kepada yang tidak hadir.” Beliau juga menggunakan hadis Nabi saw.,

نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا فَأَدَّاهَا كَمَا سَمِعَهَا

Allah memperbagus wajah seseorang yang mendengar kata-kataku, memahaminya, lalu mengamalkannya seperti apa yang ia dengarkan.” (Hadis ini bisa kita temukan dalam kitab Sunan Ibn Majah, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abi Daud, dan Musnad Ahmad dengan redaksi yang beragam)

Fokus Tema dalam Kitab Al-Arbain

Dalam membukukan empat puluh hadis Nabi ini, di antara ulama ada yang memfokuskan pada hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah ushuluddin (aqidah dan masalah yang prinsip dalam agama), sebagian ada yang berkaitan dengan masalah furu’ (cabang agama), dan ada yang berkaitan dengan jihad, zuhud, adab, dan khutbah-khutbah. Semuanya didasari tujuan baik.

Sementara itu, empat puluh hadis yang dibukukan oleh Imam Nawawi merupakan hadis-hadis yang cakupannya lebih luas, mencakup semua yang telah disusun oleh para ulama di atas. Di antaranya ada yang memuat seluruh ajaran agama, separuh dari agama, ada yang sepertiga, dan seterusnya.

Baca juga: Hadis Tiga Etika Orang yang Beriman

Selanjutnya, Imam Nawawi menjelaskan bahwa hadis-hadis yang beliau bukukan ini adalah hadis shahih. Sebagian besar beliau ambil dari Shahih Al-Bukhari dan Muslim. Hanya saja beliau tidak menyebutkan sanad hadis dengan lengkap, yakni sampai pada tingkat sahabat saja. Beliau mengungkapkan bahwa hal ini dimaksudkan agar lebih mudah untuk dihafal.

Terakhir, Imam Nawawi berpesan kepada orang yang merindukan kebahagiaan negeri akhirat hendaklah mengkaji hadis-hadis ini. Sebab di sinilah terangkum masalah-masalah yang prinsip sebagai peringatan kepada manusia menuju ketaatan yang sempurna. Ini semua nampak nyata bagi mereka yang benar-benar merenungkannya.

Demikianlah motivasi dan alasan Imam Nawawi menyusun kitab Arbainnya yang sangat fenomenal ini. Semoga kitab ini dapat menjadi amal jariyah beliau dan kita dapat senantiasa mengambil istifadah darinya. Aamiin. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Tanda Kenabian Rasulullah. Kajian Kitab As-Syamail Al-Muhammadiyah Ke-15

0
Tanda Kenabian Rasulullah
Tanda Kenabian Rasulullah

Hadispedia.id- Tanda kenabian Rasulullah saw. terlihat oleh sahabat beliau, bahkan kalangan ahli kitab mengetahuinya. Para ulama banyak mendeskripsikan tanda kenabian yang dimilik oleh beliau. Dalam banyak penjelasan, ulama ada yang sepakat pada satu pendapat yang benar dan masyhur, namun ada pendapat lain yang tidak sesuai dengan pendapat mayoritas.

Tanda kenabian terdapat dalam banyak hadis, tetapi hadis kali ini menguraikan seorang sahabat yang datang kepada beliau dalam riwayat Saib bin Yazid dan kejadian ini bersangkutan dengan Saib bin Yazid sendiri dan bibinya. Berikut ini hadis yang terdapat dalam kitab As-Syamail Al-Muhammadiyah.

حَدَّثَنَا أَبُو رَجَاءٍ قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، عَنِ الْجَعْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ: سَمِعْتُ السَّائِبَ بْنَ يَزِيدَ يَقُولُ: ذَهَبَتْ بِي خَالَتِي إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ ابْنَ أُخْتِي وَجِعٌ. فَمَسَحَ رَأْسِي وَدَعَا لِي بِالْبَرَكَةِ، وَتَوَضَّأَ، فَشَرِبْتُ مِنْ وَضُوئِهِ، وَقُمْتُ خَلْفَ ظَهْرِهِ، فَنَظَرْتُ إِلَى الْخَاتَمِ بَيْنَ كَتِفَيْهِ، فَإِذَا هُوَ مِثْلُ زِرِّ الْحَجَلَةِ

Saib bin Yazid berkata, “Bibiku membawaku menghadap Rasulullah saw. Kemudian, bibiku berkata, “Wahai Rasulullah saw, keponaanku ini sakit. Lalu beliau mengusap kepalaku, mendoakan keberkahan untukku, dan berwudhu. Aku meminum air sisa wudhu beliau. Kemudian aku berdiri di belakangnya. Aku memandang pada khatam (tanda) yang terletak di antara kedua bahunya, ternyata itu sebesar telur burung dara.”

Hadis ini dapat ditemukan dalam sumber primer hadis, seperti dalam kitab Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, dan Sunan At-Tirmidzi. Bisa juga dijumpai dalam Mu’jam Al-Kubra li An-Nasai, Mu’jam Al-Kubra li At-Thabarani, dan Dalail An-Nubuwah li Al-Baihaqi.

Siapa nama bibi Saib bin Yazid yang membawanya bertemu Rasulullah saw.?. Pendapat Imam Al-Qasthalani, nama bibinya tidak disebutkan di dalam hadis tersebut. Namun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa bibi Saib bin Yazid adalah Fatimah binti Syuraih.

Baca juga: Ini Dua Iri yang Diperbolehkan dalam Hadis Nabi

Syarah dari hadis ini memberikan beberapa pemahaman seperti dalam kitab Al-Kaukab Al-Wahhaj Syarah Shahih Muslim Muhammad Amin Al-Harary As-Syafi’i. Salah satu dari penjelasan hadis tersebut, Rasulullah saw, mengobati seseorang yang sakit. Yaitu Saib bin Yazid dengan perantara bibinya -dari jalur ibunya- yang mengantarkannya ke hadapan beliau. Beliau mengobati Saib dengan mengusap kepalanya serta mendoakannya. Kemudian beliau berwudhu dan Saib meminum air wudhu beliau.

Setelah peristiwa tersebut, Saib bin Yazid melihat tanda kenabian di antara dua bahu Rasulullah saw. Posisi dari tanda kenabian beliau menurut riwayat Ibn Sirjis lebih condong ke bahu sebelah kiri beliau dan tanda kenabian ini juga masyhur di kalangan ahli kitab.

Gambaran dari tanda kenabian Rasulullah saw terdapat dalam kitab Kasyf Al-Musykil min Hadits As-Shahihain yang disebut dengan al-hajalah dalam redaksi hadis. Kata al-hajalah dalam kitab tadi berarti sebuah rumah seperti kubah yang ditutupi dengan kain dan memiliki pintu mirip rumah kubah itu serta di dalamnya terdapat kancing dan tali yang mengikatnya ketika tertutup.

Pada kalangan ulama kata al-hajalah mempunyai dua pemahaman. Pertama, rumah seperti kubah yang mempunyai semacam kancing yang masuk ke lubang kain yang mengikatnya dengan kuat ketika dipasang. Pendapat yang sama dengan uruaian kitab Kasyf Al-Musykil ini, merupakan pendapat yang benar dan  masyhur dari mayoritas ulama. Begitulah penjelasan Imam Nawawi dalam kitab AlMinhaj Syarah Shahih Muslim bin Hajjaj ketika menjelaskan riwayat lain yang masih satu pembahasan tetang tanda kenabian Rasulullah saw.  

Imam Nawawi melanjutkan pada pendapat Imam Tirmidzi dan ini termasuk pendapat kedua. Menurutnya, maksud dari al-hajalah adalah burung yang familiar dan kata zir berarti telur dari burung tersebut. Namun para ulama mungingkari pendapat Imam At-Tirmidzi ini.

Kata zir al-hajalah menurut Al-Khattabi juga diriwayatkan dengan kata riz (mendahukan huruf ra’ sebelum zai) dengan arti sebuah telur, yakni tanda kenabian Rasulullah saw. mirip dengan telur burung tersebut. Berbeda dengan kata zir yang berarti kancing. Ada juga dalam riwayat Imam Bukhari tanda kenabian pada Rasulullah saw. adalah sebuah daging yang timbul dari tubuh beliau.

Baca juga: Cahaya Memancar Antara Gigi Seri Rasulullah

Jadi, Rasulullah saw. memiliki tanda kenabian yang terletak di antara kedua bahu beliau. Posisi tepatnya lebih condong pada bahu sebelah kiri. Bentuknya bundar sebagaimana isyarat para ulama yang mirip dengan rumah seperti kubah dan telur burung serta tanda itu merupakan daging yang timbul dari fisik beliau. Adapun yang menyaksikan tanda kenabian beliau bukan hanya satu sahabat saja. Tanda ini banyak diketahui oleh para sahabat hingga masyhur di kalangan ahli kitab. Terbukti dengan banyaknya riwayat yang menginformasikan mengenai tanda ini sesuai dengan pengalaman sahabat yang berbeda-beda. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Cahaya Memancar Antara Gigi Seri Rasulullah. Kajian Kitab As-Syamail Al-Muhammadiyah Ke-14

0
Cahaya Di antara Gigi Seri Rasulullah
Cahaya Di antara Gigi Seri Rasulullah

Hadispedia.id- Banyak kejadian luar biasa yang terjadi pada Rasulullah saw. Salah satunya cahaya yang memancar keluar dari antara gigi seri beliau. Allah memberikan bekal mu’jizat dan wahyu kepada beliau sebagaimana utusan lainnya.

Keterangan dari syarih al-hadis, mu’jizat dan wahyu memiliki keterkaitan dengan hadis yang menerangkan tentang cahaya yang memancar keluar dari antara gigi seri beliau. Berikut ini penjelasan hadis riwayat Ibn Abbas yang dikutip oleh imam At-Tirmidzi dalam kitab As-Syamail Al-Muhammadiyah.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ الْحِزَامِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي ثَابِتٍ الزُّهْرِيُّ قَالَ: حَدَّثَنِي إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ابْنُ أَخِي مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ، عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ، عَنْ كُرَيْبٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْلَجَ الثَّنِيَّتَيْنِ، إِذَا تَكَلَّمَ رُئِيَ كَالنُّورِ يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ ثَنَايَاهُ.

Dari Ibn ‘Abbas r.a. Ia berkata, “Rasulullah saw. memiliki gigi seri yang renggang. Apabila beliau berbicara terlihat saperti cahaya yang memancar keluar dari antara gigi seri beliau.”

Hadis ini juga ditemukan dalam Mu’jam al-Ausath karya imam Thabarani dan Dalail al-Nubuwah karya imam Al-Baihaqi. Dalam banyak kitab syarah al-hadis, kata aflaja berarti celah atau saling berjauhannya antara beberapa gigi. Dengan maksud antara gigi seri depan atas dan bawah yang jumlahnya empat serta gigi seri yang empat di bawah dan atas. Renggangnya gigi seri beliau ini menunjukkan keindahan.

Kemudian ada cahaya yang memancar keluar dari antara gigi seri beliau, yaitu gigi seri depan atas dan bawah. Tetapi apakah benar yang keluar itu cahaya? atau sesuatu yang menyerupai cahaya?

Menurut At-Thayyibi dalam Al-Kasyif ‘an Haqaiq As-Sunan, ada dua pemahaman mengenai cahaya yang memancar keluar dari antara gigi seri Rasulullah saw. dalam pembahasan hadis ini.

Pertama, tasybih atau penyerupaan perkataan Rasullullah saw. dengan cahaya. Adapun sisi penyerupaannya adalah jelas dan terang sebagaimana hujjah yang jelas diserupakan dengan cahaya. Kedua, hakikatnya yang keluar di antara gigi Rasulullah saw. adalah cahaya. Ini merupakan sebagian dari mu’jizat beliau.

Berbeda dengan At-Thayyibi, keterangan Al-Qari dalam kitab Mirqat Al-Mafatih Syarh Misykah Al-Mashabih lebih mudah dipahami. Menurutnya yang bercahaya adalah perkataan Rasulullah saw. atau sesuatu yang bisa dijangkau oleh perasaan.

Pada kedua pendapatnya Al-Qari mengemukakan sebuah hadis sebagai kompromi. Al-Qari berkata, “Tidak ada yang mencegah untuk mengompromikannya dengan suatu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abi Darda’:

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ أَنَّهُ: كَانَ لَا يُحَدِّثُ حَدِيثًا إِلَّا تَبَسَّمَ فِي حَدِيثِهِ

Dari Abi Darda’ sesungguhnya Rasulullah saw. tidak berkata pada suatu perkataan kecuali beliau tersenyum dalam perkataannya.

Kemiripan Rasulullah dengan Nabi Ibrahim. Kajian Kitab As-Syamail Al-Muhammadiyah ke-12

0
Rasulullah dan Nabi Ibrahim
Rasulullah dan Nabi Ibrahim

Hadispedia.id- Kemiripan Rasulullah saw. dengan Nabi Ibrahim a.s. tertuang dalam sebuah hadis bersamaan dengan uraian kemiripan Nabi lainnya. Ada beberapa Nabi yang mirip dengan sahabat-sahabat beliau dan ada pula yang mirip dengan seorang laki-laki dari suku Syanuah.

Menurut Imam At-Tirmidzi dalam kitab Sunannya, hadis kemiripan Rasulullah saw. dengan Nabi Ibrahim a.s. adalah hadis hasanun shahihun gharibun. Berikut teks hadisnya, riwayat Jabir bin Abdillah r.a.

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ: أَخْبَرَنِي اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: عُرِضَ عَلَيَّ الْأَنْبِيَاءُ، فَإِذَا مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ ضَرْبٌ مِنَ الرِّجَالِ، كَأَنَّهُ مِنْ رِجَالِ شَنُوءَةَ، وَرَأَيْتُ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَإِذَا أَقْرَبُ مَنْ رَأَيْتُ بِهِ شَبَهًا عُرْوَةُ بْنُ مَسْعُودٍ، وَرَأَيْتُ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَإِذَا أَقْرَبُ مَنْ رَأَيْتُ بِهِ شَبَهًا صَاحِبُكُمْ، يَعْنِي نَفْسَهُ، وَرَأَيْتُ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَإِذَا أَقْرَبُ مَنْ رَأَيْتُ بِهِ شَبَهًا دِحْيَةُ

Dari Jabir bin ‘Abdillah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Telah diperlihatkan kepadaku para Nabi. Adapun Nabi Musa a.s. bagaikan seorang laki-laki dari suku Syanuah. Aku melihat juga Nabi Isa bin Maryam a.s. ternyata orang yang pernah aku lihat dan mirip denganya adalah ‘Urwah bin Mas’ud. Aku melihat juga Nabi Ibrahim a.s. ternyata orang yang mirip dengannya adalah kawan kalian ini (Nabi saw. sendiri). Aku melihat juga Jibril a.s. ternyata orang yang pernah aku lihat dan mirip dengannya adalah Dihyah.”

Baca juga: Rasulullah Lebih Indah dari Rembulan

Allah swt. menampakkan para Nabi sebelumnya kepada Rasulullah saw. bisa jadi di Masjid Al-Aqsa atau di langit. Abu Al-Hasan Al-Qary menyatakan pendapat ini dalam kitab Marqat Al-Mafatih Syarh Misykat Al-Mafatih. Pendapat ini juga mendapat dukungan sebuah hadis yang disepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَأَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي مُوسَى، رَجُلًا آدَمَ طُوَالًا، جَعْدًا كَأَنَّهُ مِنْ رِجَالِ شَنُوءَةَ، وَرَأَيْتُ عِيسَى رَجُلًا مَرْبُوعَ الْخَلْقِ، إِلَى الْحُمْرَةِ وَالْبَيَاضِ، سَبْطَ الرَّأْسِ، وَرَأَيْتُ مَالِكًا خَازِنَ النَّارِ، وَالدَّجَّالَ فِي آيَاتٍ أَرَاهُنَّ اللَّهُ إِيَّاهُ، فَلَا تَكُنْ فِي مِرْيَةٍ مِنْ لِقَائِهِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Ibnu ‘Abbas, dari Rasulullah saw., “Pada malam diisra’kan, aku melihat Musa a.s yang berkulit sawo mateng, berbadan tinggi dan berambut kriting bagaikan orang suku Syanuah. Dan aku melihat ‘Isa sebagai seseorang yang berdada bidang, posturnya tegap atau kekar, kulitnya merah agak keputih-putihan sedangkan rambutnya ikal. Aku juga melihat Malik, malaikat penunggu neraka dan Dajjal. Semuanya Allah perlihatkan kepadaku sebagai tanda-tanda kebesaranNya. “Maka jangan kamu berada dalam keraguan untuk menjumpainya (menerima Al-Qur’an) Q.S. As-Sajadah: 23.” (Muttafaqun ‘Alaih)

Lebih lanjut, Abu Al-Hasan Al-Qary menjelaskan bahwa Allah swt. menciptakan bentuk ruh-ruh para Nabi tersebut sesuai dengan bentuknya ketika di dunia. Namun Al-Qadhy berpendapat, mungkin Allah swt. mencontohkan bentuk-bentuk ini kepada Rasulullah saw. atau mungkin bentuk mereka memang seperti itu atau mungkin bentuk badan mereka diperlihatkan kepada Rasulullah saw. dalam keadaan tidur atau terjaga.

Kemiripan Rasulullah saw. dengan Nabi Ibrahim a.s.

Dr. Musa Syahin Lasyin dalam kitab Fath Al-Mun’im Syarh Shahih Muslim menyebutkan ada tiga redaksi riwayat yang menjelaskan kemiripan Rasulullah saw. dengan Nabi Ibrahim a.s. Pertama, Rasulullah saw. memang mirip dengan Nabi Ibrahim a.s. dengan redaksi “Syahb Shahinukum” artinya mirip dengan sahabat kalian. Jabir menegaskan kata “nafsihi” adalah diri Rasulullah saw. sendiri.

Kedua, Rasulullah saw. melihat bahwa seseorang yang lebih dekat kemiripannya dengan Nabi Ibrahim a.s. adalah beliau sendiri. Bagian kedua menggunakan kata Aqrab yang berarti lebih dekat atau paling dekat.

Ketiga, Rasulullah saw. adalah anak keturunan Nabi Ibrahim a.s. yang paling mirip dengan Nabi Ibarahim a.s. Imam Bukhari juga meriwayatkan riwayat yang ketiga ini.

Dalam beberapa kitab syarah hadis, penjelasan kemiripan Rasulullah saw. dengan Nabi Ibrahim a.s. sangat simple. Rata-rata pembahasannya sama-sejauh pengetahuan penulis-seperti riwayat yang pertama. Wa Allahu a’lam bis shawab

Kulit Rasulullah Putih Bercahaya. Kajian Kitab As-Syamail Al-Muhammadiyah Ke-11 dan 13

0
Kulit Rasulullah
Kulit Rasulullah

Hadispedia.id.- Hadis kali ini menjelaskan warna kulit Rasulullah saw. putih bercahaya. Meskipun sebelumnya sudah ada hadis yang membahas bahwa warna kulit beliau putih kemerah-merahan. Tetapi ada penegasan lagi pada hadis ini.

Penegasan terhadap kulit Rasulullah saw. putih bercahaya menekankan pada sifat dominan daripada warna kulit beliau itu sendiri. Berikut adalah teks hadisnya riwayat Abu Hurairah r.a.

حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ الْمَصَاحِفِيُّ سُلَيْمَانُ بْنُ سَلْمٍ قَالَ: حَدَّثَنَا النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ عَنْ صَالِحِ بْنِ أَبِي الْأَخْضَرِ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْيَضَ كَأَنَّمَا صِيغَ مِنْ فِضَّةٍ رَجِلَ الشَّعْرِ

Dari Abi Hurairah, Ia berkata, “Rasulullah saw. berkulit putih, seakan-akan terbentuk dari perak dan rambutnya ikal bergelombang.”

Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dari semua muallif sumber primer hadis, tetapi Imam Al-Baihaqi juga menyebutkannya dalam Dalail Al-Khairat.

Dalam kitab Mirqat Al-Mafatih Syarh Misykat Al-Mashabih dan beberapa kitab syarah lainnya lebih mendahulukan pembahasan hadis dari riwayat Said al-Jurairy. Yaitu hadis ketiga belas dalam kitab As-Syamail Al-Muhammadiyah berikut ini:

حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ وَكِيعٍ، وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، الْمَعْنَى وَاحِدٌ، قَالَا: أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، عَنْ سَعِيدٍ الْجُرَيْرِيِّ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا الطُّفَيْلِ يَقُولُ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا بَقِيَ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ أَحَدٌ رَآهُ غَيْرِي، قُلْتُ: صِفْهُ لِي، قَالَ: كَانَ أَبْيَضَ مَلِيحًا مُقَصَّدًا

Abu Thafail berkata, “Aku pernah melihat Nabi saw. dan sekarang tidak seorang pun-yang masih hidup-yang pernah melihatnya di muka bumi ini kecuali saya.” Sa’id Al-Jurairi bertanya, “Coba jelaskan sifatnya kepadaku!.” Ia menjawab, “(Warna kulitnya) putih, tampan, dan berperawakan sedang.”

Hadis ini lebih menekankan pada warna kulit Rasulullah saw. putih, tetapi tidak menyebutkan warna putih yang seperti apa. Namun, dalam kitab syarah secara tegas mewaspadai potensi warna amhaq, yang berarti sangat putih dan tidak bercahaya.

Warna kulit Rasulullah saw. putih bercahaya terdapat dalam hadis yang kesebelas dalam kitab As-Syamail Al-Muhammadiyah sebagaimana hadis pertama pada artikel ini. Dalam kitab Al-Mawahib Ad-Dunyaniyah ‘ala As-Syamail Al-Muhammadiyah menjelaskan bahwa cahaya, kilauan indah dan kegembiraan lebih unggul daripada warna putih pada beliau. Maka tidak berlebihan perumpamaan Rasulullah saw. mirip dengan perak, seperti dalam hadis tersebut.

Baca juga: Inilah Postur Tubuh Rasulullah

Hadis lain yang juga membuktikan Rasulullah saw. putih bercahaya adalah riwayat Jabir bin Samurah yang menyatakan beliau lebih indah dari rembulan, dalam riwayat lain mirip dengan matahari dan atau dengan rembulan dan matahari. Ini membuktikan bahwa cahaya, kegembiraan dan kilauan indah lebih dominan pada diri Rasulullah saw.

Ibrahim bin Muhammad Al-Bajuri dalam kitab Al-Mawahib tadi juga menjelaskan perumpamaan ini memberikan pemahaman, Allah memperindah ciptaan Rasulullah saw. dan ada sinyalir wajah beliau bersinar dan anggota tubuhnya sesuai dengan yang lainnya. Kemudian dari sinilah Ibrahim Al-Bajuri berkesimpulan bahwa kulit Rasulullah saw. putih bercahaya.

Ini Dua Iri yang Diperbolehkan dalam Hadis Nabi

0
Iri
Iri

Hadispedia.id – Iri merupakan salah satu sifat tercela yang dilarang dalam Islam. Seseorang yang memiliki penyakit hati ini memiliki kecemburuan dan kurang senang hati melihat kelebihan atau keberuntungan orang lain. Bahkan ia menginginkan nikmat kebaikan tersebut hilang dari pemiliknya.

Dalam Al-Qur’an dan hadis, Allah swt. dan Rasulullah saw. secara tegas memerintahkan umat manusia untuk menghilangkan sifat tercela yang bahayanya dapat menghilangkan seluruh amal kebaikan yang telah dilakukan;

وَلَا تَتَمَنَّوۡاْ مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعۡضَكُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبُواْۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبۡنَۚ

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. (Qs. al-Nisa: 34)

Namun dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. juga menyebutkan diperbolehkannya seorang mukmin memiliki sifat iri dalam hatinya atas dua hal, salah satunya iri terhadap ahlul qur’an. Disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari:

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سُلَيْمَانَ سَمِعْتُ ذَكْوَانَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ فَقَالَ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِي الْحَقِّ فَقَالَ رَجُلٌ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ

Telah menceritakan kepada kami Ali bin Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Sulaiman, aku mendengar Dzakwan dari Abu Hurairah r.a. bahwasannya Rasulullah saw. bersabda,

“Tidak diperbolehkan hasad (iri) kecuali pada dua perkara, yaitu; seseorang yang telah diajari Al-Qur’an oleh Allah, sehingga ia membacanya di pertengahan malam dan siang, sampai tetangga yang mendengarnya berkata, ‘Duh, sekiranya aku diberikan sebagaimana apa yang diberikan kepada si Fulan, niscaya aku akan melakukan apa yang dilakukannya.’ Kemudian seseorang diberi karunia harta oleh Allah, sehingga ia dapat membelanjakannya pada kebenaran. Lalu orang pun berkata, ‘Seandainya aku diberi karunia sebagaimana si Fulan, maka niscaya aku akan melakukan sebagaimana yang dilakukannya.”

Dari segi sanad, hadis ini mempunyai sanad yang shahih karena diriwayatkan oleh Syaikhani. Imam Al-Bukhari (w. 256 H) meriwayatkan dalam Shahih-nya, pada pembahasan ‘Keutamaan Al-Qur’an (كتاب فضل القرآن)’, bab ‘Iri dengan Ahlu ِِAl-Qur’an (باب اغتباط أهل القرآن)’, nomor hadis 5026, jilid 3, halaman 346.

Adapun Imam Muslim (w. 261 H) meriwayatkan dalam Shahih Muslim, pada pembahasan ‘Shalatnya musafir dan penjelasan tentang qashar (كتاب صلاة المسافرين وقصرها)’, bab ‘Keutamaan orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya serta keutamaan orang yang mempelajari hikmah dari ahli ilmu lalu mengamalkan dan mengajarkannya (باب فَضْلِ مَنْ يَقُومُ بِالْقُرْآنِ وَيُعَلِّمُهُ وَفَضْلِ مَنْ تَعَلَّمَ حِكْمَةً مِنْ فِقْهٍ أَوْ غَيْرِهِ فَعَمِلَ بِهَا وَعَلَّمَهَا)’, nomor hadis 815, jilid 1, halaman 365, dengan jalur sanad dan matan hadis:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ كُلُّهُمْ عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ – قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ – حَدَّثَنَا الزُّهْرِىُّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ  لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَقُومُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ

Hadis yang sama dengan jalur sanad periwayatan yang berbeda juga disebutkan dalam kitab hadis lainnya seperti Sunan Ibnu Majah pada bab ‘Hasad (باب الحسد)’, Sunan An-Nasa’i pada bab ‘(باب اغتباط صاحب القرآن), dan Shahih Ibnu Hibban.

Dalam kitab ‘Umdat Al-Qari Syarh Shahih Al-Bukhari karya Badr Al-Din Al-‘Aini, makna hasad pada hadis ini adalah ghibtah. Ghibtah adalah keinginan kuat dan menggebu agar dirinya menjadi seperti orang lain. Adapun membaca Al-Qur’an selain menggunakan lafadz ‘yatlu hu’ juga dijelaskan dalam redaksi lain dengan lafadz ‘qoma bihi’, yang berarti mengamalkannya.

Hal ini sejalan dengan penjelasan Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya Al-Anshari dalam Minhat Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari atau yang dikenal dengan Tuhfat Al-Bari. Ia menyebutkan bahwa maknanya tidak hanya membaca Al-Qur’an sepanjang siang dan malam, namun juga mengamalkan kandungan-kandungan di dalamnya.

Dari segi matan hadis, hadis ini tidak bertentangan dengan akal karena perbuatan iri maupun dengki yang dimaksud pada hadis adalah iri dalam rangka berlomba-lomba melakukan kebaikan seperti kebaikan yang dilakukan oleh orang lain. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam Q.S Al-Maidah ayat 2:

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.

Baca juga: Inilah Postur Tubuh Rasulullah

Maka dalam hal ini, iri yang diperbolehkan adalah rasa iri atau ghibtah terhadap ahlul qur’an yang senantiasa membaca Al-Qur’an di waktu pagi dan petang sembari mengamalkan kandungannya dalam kehidupan sehari-hari. Iri juga diperbolehkan terhadap mereka yang mempunyai banyak kelebihan harta namun tidak gelap mata untuk selalu berbagi dan menginfakkannya kepada yang membutuhkan.

Dengan demikian, hadis ini merupakan pengingat bagi kita untuk senantiasa bersemangat membaca dan tadarrus Al-Qur’an setiap harinya serta tidak pelit dalam menginfakkan harta benda kepada sesama yang membutuhkan. Lebih jauh, hadis ini juga sebagai alarm bagi umat muslim untuk terus mengamalkan nilai dan kandungan-kandungan Al-Qur’an dalam kehidupannya sehari-hari, di samping hanya sekedar membaca maupun menghafalkan kalam-kalam-Nya. Ahlul qur’an seperti inilah yang kita diperbolehkan iri kepada mereka agar kita juga dapat meniru dan melakukan hal serupa dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu a’lam.