Al-Jarh wa At-Ta’dil, Ilmu untuk Mengadili Perawi Hadis

Hadispedia.id – Untuk mengetahui kredibilitas perawi dibutuhkan informasi mengenai keadaan tiap individu baik kelebihan maupun kekurangan melalui kitab-kitab yang ditulis oleh para ahli di bidang al-jarh wa at-ta’dil.

Jarh (جَرْحٌ) berasal dari kata ja-ra-ha (جَرَحَ) yang secara leksikal berarti melukai. Sedangkan dalam ilmu hadis, jarh adalah sifat perawi yang menunjukkan hilangnya ‘adil dan dhabit dari dirinya. Adapun tajrih adalah mengkritik perawi dengan pemberian sifat-sifat yang dapat menjatuhkan ke’adilan dan kedhabitannya.

Sebaliknya, ‘adl (عَدْلٌ) berarti sifat benar dalam beragama yang dimiliki oleh perawi dan ta’dil  (تَعْدِيلٌ) adalah pemberian sifat baik atau pujian terhadap perawi sehingga ditetapkan sebagai orang yang ‘adil dan dhabit.

Dr. Ajjaj Al-Khatib dalam Ushul Al-Hadits mendefinisikan ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil sebagai:

عِلْمُ الَّذِي يَبْحَثُ فِي أَحْوَالِ الرُّوَاة مِنْ حَيْثُ قُبُوْلِ رِوَايَتِهِمْ أَوْ رَدِّهَا

“Ilmu yang membahas seputar para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan.”

Baca juga: Penjelasan Singkat tentang Hadis Mu’allal

Karena tidak semua perawi berada pada tingkat ke’adilan dan kedhabitan yang sama, maka dalam melakukan tajrih dan ta’dil, para ulama menetapkan enam tingkatan beserta lafal yang digunakan pada sifat al-jarh wa al-ta’dil sebagai berikut:

Tingkat ta’dil pertama menggunakan ungkapan superlatif dan hiperbolis atau dengan wazan (pola kata) af’ala (أفعل) seperti awtsaq an-nas/manusia paling tsiqah (أوثقُ النَّاسِ), atsbat an-nas/manusia paling teguh atau cerdas (أثبتُ النَّاس) dan ilaihi al-muntaha fi ats-tsabat/kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan (إِليهِ المُنْتَهى في الثبتِ).

Tingkat kedua ditunjukkan dengan lafal yang memperkuat salah satu atau dua sifat yang menujukkan ke’adilan seperti tsiqatun tsiqah (ثِقَةٌ ثِقَة), tsabatun tsabat (ثَبَت تَبت) atau tsiqatun hafiz (ثِقَةٌ حَافِظ).

Pada tingkat ketiga lafal ta’dil yang digunakan menunjukkan ketsiqahan tanpa adanya penguatan seperi tsiqah (ثِقَةٌ) dan hujjah atau ahli argumen (حُجَّةٌ).

Sedangkan pada tingkat keempat menggunakan lafal ta’dil tanpa menunjukkan kedhabitan seperti shaduq/jujur (صَدُوْقٌ), la ba’sa bihi  (لَا بَأْسَ بِهِ) atau ia tidak punya masalah/cacat. Namun apabila yang memberi penilaian dengan la ba’sa bihi terhadap perawi adalah Imam Ibnu Ma’in maka mempunyai arti tsiqah.

Tingkat ta’dil kelima menggunakan lafal yang tidak menunjukkan sifat tsiqah ataupun jarh seperti fulanun syaikhun/fulan memiliki guru (فُلَانٌ شَيْخٌ) atau ruwiya ‘anhu an-nas/manusia meriwayatkan darinya (رُوِيَ عَنْهُ النَّاس).

Tingkat terakhir adalah lafal yang mendekati jarh seperti fulanun shalihul hadits/fulan yang hadisnya shalih atau baik (فُلَانٌ صَالِحُ الحَدِيْث) dan yuktabu haditsuhu/hadis darinya dicatat (يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ).

Para perawi yang ditetapkan dengan lafal pada tingkatan pertama hingga ketiga berarti hadis yang diriwayatkan dari mereka dapat dijadikan sebagai hujjah atau penguat argumen meskipun kualitas tiap perawi berbeda dengan yang lainnya.

Adapun para perawi yang ditetapkan dengan lafal pada tingkatan keempat dan kelima, mereka tidak dapat dijadikan hujjah. Meskipun begitu, hadisnya dapat ditulis dan diberitahukan kedhabitannya dengan membandingkan hadis mereka dengan hadis yang datang dari perawi tsiqah dan dhabit. Jika sesuai, maka dapat dijadikan hujjah, apabila berselisih maka ditolak.

Sedangkan para perawi yang ditetapkan dengan lafal pada tingkatan terakhir, hadis mereka tidak bisa dijadikan hujjah namun dapat dicatat sebagai pelajaran bukan untuk diriwayatkan karena perawinya tidak dhabit.

Sebagaimana pada tingkatan ta’dil, jarh pun memiliki enam tingkatan. Tingkatan pertama yang merupakan tingkatan paling rendah adalah penggunaan lafal yang menunjukkan adanya kelemahan layyinul-hadiits/lemah haditsnya (لَيِّنُ الحَدِيْثِ) atau fiihi maqaal/dirinya diperbincangkan(فِيْهِ مَقَالٌ) .

Tingkatan kedua menggunakan lafal yang menunjukkan ketidakpantasan untuk dijadikan sebagai hujjah seperti fulanun la yuhtajju bihi/fulan tidak boleh dijadikan hujjah (فُلَانٌ لَا يُحْتَجُّ بِهِ), dhaif/lemah (ضَعِيفٌ) atau lahu manakir/ia memiliki hadits-hadits yang munkar (لَهُ مَنَاكِير).

Pada tingkatan ketiga menggunakan lafal yang menunjukkan bahwa perawi tersebut lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya seperti fulan la yuktabu haditsuhu/tidak ditulis haditsnya (فلان لا يكتب حديثه), la tahillu ar-riwayah ‘anhu/tidak dibolehkan periwayatan darinya (لا تحل الراوية عنه) atau dhaif jiddan/sangat lemah (ضعيف جدا).

Tingkatan keempat menggunakan lafal yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsuan hadits seperti fulan muttaham bil-kadzib/dituduh berdusta (فلان متهم بالكذب), muttaham bil wadh’i/dituduh memalsukan hadis (متهم بالوضع), atau yusriqu al-hadis/mencuri hadits (يسرق الحديث).

Baca juga: Ini Bunyi Hadis Agama Islam itu Mudah

Selanjutnya, lafal yang digunakan pada tingkatan kelima adalah yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu seperti kadzdzab/tukang dusta (كَذّاب), dajjal (دَجَّال) atau wadhdha’/pemalsu (وَضَّاع).

Tingkatan yang terakhir adalah tingkatan yang paling buruk dengan lafal yang menunjukkan adanya dusta berlebih seperti, fulan akdzabu an-nas/fulan orang yang paling pembohong (فلان أكذب الناس) atau ilaihi al-muntaha fi al-kidzbi/ia adalah puncak kedustaan (إليه المنتهى في الكذب).

Perawi yang disifati dengan lafal pada tingkatan jarh pertama dan kedua berarti perawi tersebut tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadisnya namun boleh ditulis untuk diperhatikan dan dipelajari saja. Sedangkan untuk tingkatan ketiga hingga keenam maka hadis yang diriwayatkan dari mereka tidak dapat dijadikan hujjah, ditulis bahkan tidak boleh dijadikan sebagai pelajaran.

Isyfi Anni
Isyfi Anni
Alumni Darus Sunnah International Institute for Hadith Sciences

Artikel Terkait

spot_img

Artikel Terbaru