Beranda blog Halaman 72

Lima Syarat Hadis Shahih

0
Hadis shahih
Hadis shahih

Hadispedia.id – Berdasarkan kuantitas sanad, hadis dibagi menjadi dua; hadis mutawatir dan hadis ahad. Sedangkan ditinjau berdasarkan kualitas sanad, hadis dibagi menjadi tiga; hadis shahih, hasan, dan dhaif. Pada pembahasan berikut ini, kita akan memfokuskan pada penjelasan hadis shahih. Apa itu hadis shahih? Apa saja syaratnya?

Secara bahasa, shahih berarti sehat atau lawan dari sakit. Makna ini menjadi makna sebenarnya untuk fisik, namun merupakan majaz untuk hadis. Sementara secara istilah, Dr. Mahmud At-Tahhan menjelaskan hadis shahih dalam kitabnya Taisir Mustalah Al-Hadis sebagaimana berikut.

مَااتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ عَنْ مِثْلِهِ اِلَى مُنْتَهَاهُ مِنْ غَيْرِشُذُوْذٍ وَلَاعِلَّةٍ

Hadis yang bersambung sanadnya diriwayatkan oleh rawi yang adil lagi dhabit (kuat hafalannya) dan yang semisalnya hingga puncak akhirnya, terhindar dari syadz dan illat (cacat).

Berdasarkan istilah tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hadis shahih itu harus memiliki lima syarat yang penjabarannya adalah sebagaimana berikut.

Pertama, bersambung sanadnya (ittishalus sanad). Artinya, tiap-tiap rawi (periwayat hadis) dari rawi lainnya benar-benar mengambil (hadis) secara langsung dari orang di atasnya dari sejak awal sanad sampai akhir sanad. Jadi, setiap rangkaian rawi dalam sanad tersebut memiliki hubungan guru dan murid.

Hal ini bisa diketahui dengan melihat biografi masing-masing rawi di kitab sejarah para rawi hadis (rijal al-hadis). Biasanya dalam kitab tersebut dicantumkan nama guru dan muridnya, namun apabila tidak disebutkan bisa juga diketahui dengan melihat perjalanan ilmiah atau tahun wafatnya.

Kedua, adilnya para perawi (adalatur ruwwat). Artinya, tiap-tiap rawi itu harus terdiri dari orang Muslim, baligh, sehat akalnya, tidak fasik, dan tidak pula jelek kepribadiannya.

Ketiga, kuatnya hafalan para perawi (dhabtur ruwwat). Artinya, tiap-tiap perawi harus sempurna hafalannya (dhabit). Dhabit ada dua jenis dhabith shadr dan dhabit kitab. Dhabith shadr adalah rawi yang kuat hafalannya. Ukuran kuat hafalannya adalah ia yakin akan apa yang ia ingat dan apabila diminta untuk menyebutkan hadis yang diminta, ia tidak butuh bantuan lainnya, seperti kitab. Sedangkan dhabith kitab adalah rawi yang memiliki catatan lengkap dari gurunya secara turun menurun. Sehingga rawi yang dhabit itu tidak pelupa dan menguasai apa yang diriwayatkannya.

Keempat, tidak adanya syadz (adamus syudzudz). Syadz adalah riwayat orang yang tsiqah menyelisihi periwayatan orang yang lebih tsiqah. Jadi hadisnya tidak bertentangan dengan periwayatan yang lebih baik kualitasnya.

Kelima, tidak ada cacat (adamul illah). Artinya, hadis itu tidak ada cacatnya, yakni suatu sebab yang tertutup dan tersembunyi yang dapat mencederai keshahihan hadis, sementara dhahirnya selamat dari cacat.

Contoh Hadis Shahih

ما أخرجه البخاري في صحيحه قال :  حدثنا عبدالله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قرأ في المغرب بالطور

Hadis yang dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya, ia berkata, “Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Malik telah mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari ayahnya, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. membaca surah At-Thur dalam shalat Maghrib.”

Hadis ini shahih karena,

a. Sanadnya bersambung, sebab tiap-tiap perawinya telah mendengar dari gurunya (Hal ini bisa dilihat dengan cara membaca biografi tiap-tiap perawi pada bagian nama-nama guru dan murid).

b. Perawi-perawinya semua adil dan kuat hafalannya. Adapun menurut ulama Jarh dan ta’dil, sifat-sifat mereka adalah:

  1. Abdullah bin Yufus: tsiqah mutqin (terpercaya dan meyakinkan)
  2. Malik bin Anas: Imam Hafidz (yang menguasai hadis)
  3. Ibnu Syihab Az-Zuhri: Seorang faqih, menguasai hadis, dan disepakati ketinggian serta terpercayanya.
  4. Muhammad bin Jubair; Tsiqah
  5. Jubair bin Muth’im: seorang sahabat Nabi saw.

c. Tidak ada syadz (kejanggalan atau menyelesihi periawayat yang lebih tsiqah lainnya)

d. Tidak ada illat (cacat) di dalamnya.

Demikianlah lima syarat hadis itu bisa dikategorikan shahih. Yakni bersambung sanadnya, adil para perawi, kuat hafalannya para perawi, tidak adanya syadz, dan tidak adanya cacat/illat di dalamnya. Wa Allahu a’lam bis shawab.

 

Hadis No. 5 Sunan Abi Daud

0
Sunan Abu Daud
Sunan Abu Daud

قَالَ الْاِمَامُ أَبُو دَاوُدَ سُلَيْمَانُ بْنُ الأَشْعَثِ فِيْ سُنَنِهِ فِيْ بَابِ مَا يَقُولُ الرَّجُلُ إِذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مَرْزُوقٍ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ النَّضِرِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ هَذِهِ الْحُشُوشَ مُحْتَضَرَةٌ فَإِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ الْخَلَاءَ فَلْيَقُلْ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ

ِAl-Imam Abu Daud; Sulaiman bin Al-Asy’ats berkata di dalam kitab Sunan-nya pada bab doa yang diucapkan seseorang saat masuk WC,

Amr bin Marzuq telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Syu’bah telah mengabarkan kepada kami dari Qatadah dari An-Nadhr bin Anas dari Zaid bin Arqam dari Rasulullah saw., beliau bersabda,

Sesungguhnya tempat buang hajat itu dihadiri oleh setan-setan, maka apabila salah seorang dari kalian mendatangi WC, hendaklah ia mengucapkan, ‘A’udzu billahi minal khubutsi wal khabaits (Aku berlindung kepada Allah dari setan laki-laki dan setan perempuan).”

Motivasi Nabi untuk Mereka yang Terbata-bata Membaca Al-Qur’an

0
Membaca Al-Qur'an Terbata-bata
Image processed by CodeCarvings Piczard ### FREE Community Edition ### on 2018-09-13 19:26:03Z | | x9Û/Wˆ

Hadispedia.id – Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad saw. selain tersusun dari ayat-ayat yang indah, juga berisi ajaran dan pedoman hidup umat manusia. Oleh karenanya, sudah menjadi kewajiban bagi umat Muslim untuk bisa memahaminya dengan cara mempelajari, membaca, atau menghafalnya. Dalam Al-Qur’an sendiri, Allah swt telah berkali-kali menegaskan bahwa Al-Qur’an telah dibuat mudah untuk diingat, diucapkan, dibaca, ditabburi, dan dipelajari oleh tiap-tiap orang yang mau mempelajarinya;

 وَلَقَدۡ يَسَّرۡنَا ٱلۡقُرۡءَانَ لِلذِّكۡرِ فَهَلۡ مِن مُّدَّكِرٖ ١٧

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran. (Q.S. Al-Qamar: 17)

Begitu juga dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. telah menyebutkan adanya jaminan pahala bagi mereka yang telah pandai dan mahir membaca atau menghafal Al-Qur’an, maupun bagi mereka yang masih terbata-bata karena masih merasa kesulitan dalam membaca maupun menghafalnya:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ الْغُبَرِيُّ جَمِيعًا عَنْ أَبِي عَوَانَةَ قَالَ ابْنُ عُبَيْدٍ: حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ زُرَارَةَ بْنِ أَوْفَى عَنْ سَعْدِ بْنِ هِشَامٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ

Telah menceritakan kepada kami Quthaibah bin Sa’id dan Muhammad bin ‘Ubaid al-Ghubari, semuanya dari Abi ‘Awanah. Ibnu ‘Ubaid berkata, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah, dari Qatadah, dari Zurarah bin Aufa, dari Sa’d bin Hisyam, dari ‘Aisyah ia berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Orang mukmin yang mahir membaca Al-Qur’an, maka kedudukannya di akhirat ditemani oleh para malaikat yang mulia. Sedangkan orang yang membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata, ia sulit dalam membacanya, maka ia mendapat dua pahala.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (w. 261 H) dalam al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar bi Naql al-‘Adl ‘an ‘Adl ila Rasulillah Shallallahu ‘Alayhi Wasallam, pada pembahasan ‘Shalatnya Musafir dan Penjelasan tentang Qashar (كتاب صلاة المسافرين وقصرها)’, bab ‘Keutamaan Orang yang Mahir dalam Membaca Al-Qur’an dan Orang yang Terbata-bata dalam Membacanya (باب فَضْل الماهِر في القُرآن والّذِي يَتَتَعْتَعُ فِيه)’.

Dari segi sanad, hadis ini termasuk hadis shahih karena selain diriwayatkan dalam Shahih Muslim, juga tidak ditemukan rawi yang dhaif pada sanad lain. Sanad-sanad lain tersebut, antara lain terdapat dalam: Sunan Abi Daud, pada pembahasan ‘Shalat (كتاب الصلاة)’, bab ‘Pahala Membaca Al-Qur’an (باب ثَوابُ القرآن)’; Sunan At-Tirmidzi, pada pembahasan ‘Keutamaan Al-Qur’an dari Rasulullah (كتاب فَضائل القُرآن عن رسول الله)’, bab ‘Keutamaan Pembaca Al-Qur’an (ما جاء في فَضْل قارئ القرآن); As-Sunan Al-Kubra, karya Abu ‘Abdul Rahman An-Nasa’i (w. 303 H), pada pembahasan ‘Keutamaan Al-Qur’an (كتاب فضائل القرآن)’, bab ‘Orang yang terbata-bata dalam Membaca Al-Qur’an (المُتَتَعتِع في القرآن); dan Sunan Ibnu Majah, pada pembahasan ‘Adab (كتاب الأدَب)”, bab ‘Pahala Al-Qur’an (باب ثَواب القرآن)’.

Hadis tersebut juga terdapat dalam Shahih Al-Bukhari, pada pembahasan ‘Tafsir Al-Qur’an (كتاب تفسير القرآن)’, bab ‘Surat ‘Abasa (سورة عبس)’, dengan redaksi matan yang berbeda sebagai berikut:

حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ قَالَ سَمِعْتُ زُرَارَةَ بْنَ أَوْفَى يُحَدِّثُ عَنْ سَعْدِ بْنِ هِشَامٍ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَثَلُ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَهُوَ حَافِظٌ لَهُ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَمَثَلُ الَّذِي يَقْرَأُ وَهُوَ يَتَعَاهَدُهُ وَهُوَ عَلَيْهِ شَدِيدٌ فَلَهُ أَجْرَانِ

Telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, telah menceritakan kepada kami Qatadah, ia berkata: Aku mendengar Zurarah bin Aufa menceritakan dari Sa’d bin Hisyam dari Aisyah dari Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam, beliau bersabda: “Perumpamaan orang membaca Al-Qur’an sedangkan ia menghafalnya, maka ia akan bersama para Malaikat mulia. Sedangkan perumpamaan seorang membaca al-Qur’an dengan tekun, dan ia mengalami kesulitan atasnya, maka dia akan mendapat dua ganjaran pahala.”

Dari segi arti matan hadis, Muhammad bin Yazid Al-Qazwini (w. 273 H) dalam Sunan Ibnu Majah menyebutkan, maksud ‘al-mahir bi al-qur’an’ adalah al-hadziq bi al-qur’an, yaitu orang yang pandai dan lancar membaca Al-Qur’an dengan tidak terbata-bata. Abu Zakariya Muhyiddin An-Nawawi (w. 676 H) dalam al-Minhaj menambahkan, bahwa maksud al-Mahir adalah orang yang telah sempurna dan mutqin hafalannya, sehingga ia tidak mengalami kesulitan dalam membaca Al-Qur’an.

Al-Safarah merupakan bentuk plural dari Safir, orang yang berpergian. Yang dimaksud dalam hadis ini adalah Malaikat, karena mereka diutus Allah untuk ‘bepergian’ dalam rangka menyampaikan wahyu kepada para Nabi dan Rasul. Hal ini sejalan dengan penafsiran Imam Bukhari (w. 256 H) pada surat ‘Abasa ayat 15. Al-Kiram al-Bararah merupakan sifat dari Malaikat yang senantiasa taat dan patuh dalam menjalankan perintah Allah.  

Adapun penjelasan makna matan tersebut adalah bahwa orang yang mahir dan lancar membaca Al-Qur’an, sepatutnya untuk selalu berusaha dalam menyampaikan, mengajarkan dan mengamalkan nilai-nilai Al-Qur’an yang telah ia baca, agar memperoleh keutamaan-keutamaan dan keikhlasan niat karena Allah swt, sehingga ia layak disandingkan dengan para Malaikat yang selalu ikhlas dalam ketaatan menjalankan perintah Allah. Al-Qadhi ‘Iyadh (w. 544 H) menambahkan, maksud dari mereka yang mahir membaca Al-Qur’an bersama Malaikat adalah dari segi kedudukannya di akhirat kelak, karena mereka sama-sama membaca, menyampaikan, dan mengamalkan Al-Qur’an.

Pada redaksi matan selanjutnya, kata yatata’ta’ berarti gagap, terbata-bata dalam membaca Al-Qur’an, karena belum lancar maupun lemahnya hafalan. Menurut hadis tersebut, orang yang demikian, di mana ia masih terbata-bata dan merasa kesulitan dalam membaca Al-Qur’an, maka ia akan mendapat ajraani, yaitu dua pahala.

Dalam kitab ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Muhammad Syams Al-Haq Abadi (w. 1329 H) menjelaskan, maksud dua pahala di sini adalah pahala dari membaca Al-Qur’an dan pahala karena masyaqqah atau kesulitan yang ia alami ketika membaca. Namun yang perlu menjadi catatan, bukan berarti mereka yang masih terbata-bata tersebut memperoleh pahala lebih besar daripada mereka yang telah mahir membaca Al-Qur’an.

Justru mereka yang telah mahir membaca Al-Qur’an, akan mendapatkan pahala yang lebih banyak dan lebih utama, yaitu akan disandingkan dengan para Malaikat. Bahkan kelipatan dari pahala mereka juga tidak terhitung karena telah berhasil melewati kesulitan-kesulitan hingga mampu membaca Al-Qur’an dengan hafal dan lancar.

Dengan demikian, hadis ini menjadi pengingat sekaligus motivator agar kita senantiasa bersungguh-sungguh dalam membaca, menghafal, maupun mempelajari Al-Qur’an. Maka jangan sampai berkecil hati bahkan merasa putus asa jika mengalami kesulitan dalam mempelajari Al-Qur’an, baik untuk membaca maupun menghafalkannya. Asalkan ada kemauan kita untuk terus belajar dan memperbaikinya. Hal ini dikarenakan Allah swt melalui Rasul-Nya telah memberikan garansi kepada umatnya yang telah berhasil maupun masih bersusah payah dalam mempelajari kalam-Nya, berupa kemuliaan dan pahala yang besar di sisi-Nya. Wallahu a’lam.

.

Ikutilah! Pelatihan Memahami Arti Bacaan Shalat

0
Pelatihan Shalat Khuyuk
Pelatihan Shalat Khuyuk

Hadispedia.id-  Shalat adalah rukun Islam yang kedua. Setiap hari, umat Muslim akan melaksanakan shalat minimal lima kali. Shubuh, Dhuhur, Asar, Maghrib, dan Isya’. Hanya saja, tidak semua umat Muslim dapat merasakan shalat dengan khusyu. ِAda saja yang dipikirkan saat melaksanakan shalat, entah memikirkan ini dan itu. Bahkan hal tersebut sampai mengakibatkan lupa jumlah rakaat yang telah dikerjakan.

Terkait hal ini, Rasulullah saw. di dalam salah satu hadisnya telah mengingatkan bahwa salah satu penyebab ketidak khusyu’an shalat seseorang adalah diganggu setan.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا نُودِيَ بِالصَّلَاةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لَا يَسْمَعَ الْأَذَانَ فَإِذَا قُضِيَ الْأَذَانُ أَقْبَلَ فَإِذَا ثُوِّبَ بِهَا أَدْبَرَ فَإِذَا قُضِيَ التَّثْوِيبُ أَقْبَلَ حَتَّى يَخْطِرَ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُولُ اذْكُرْ كَذَا وَكَذَا مَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ إِنْ يَدْرِي كَمْ صَلَّى فَإِذَا لَمْ يَدْرِ أَحَدُكُمْ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَوْ أَرْبَعًا فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Jika dipanggil shalat (adzan), setan lari sambil mengeluarkan kentut hingga ia tidak mendengar adzan tersebut. Apabila panggilan azan telah selesai maka setan kembali. Dan bila iqamat dikumandangkan setan kembali lagi hingga untuk mengganggu hatinya seseorang seraya berkata, ‘Ingatlah ini dan itu, yang semestinya tidak diingat sehingga seseorang membayangkannya hingga akhirnya orang itu tidak tahu berapa rakaat shalat yang sudah dia laksanakan. Oleh karena itu, bila seseorang dari kalian tidak mengetahui berapa rakaat dari shalat yang sudah dikerjakannya, apakah tiga atau empat rakaat, maka hendaklah dia melakukan sujud dua kali dalam shalat dalam posisi duduk.” (H.R. Al-Bukhari)

Namun, selain faktor adanya gangguan setan, ada faktor lain yang menyebabkan seseorang itu tidak fokus atau khusyu’ dalam shalatnya. Yakni kurangnya memahami arti bacaan dalam gerakan-gerakan shalatnya. Sebagaimana diketahui bahwa bacaan dalam shalat adalah berupa bahasa Arab. Sedangkan bahasa ibu dari masyarakat Indonesia adalah bahasa Indonesia atau bahasa-bahasa daerah tempat kelahirannya. Sehingga, tidak dapat dipungkiri masih banyak umat Muslim Indonesia yang kurang mengerti bacaan-bacaan dalam shalatnya.

Oleh sebab itu, hadispedia dan el-Bukhari Institute mengadakan “Pelatihan Memahami Arti Bacaan Shalat; Sebuah Upaya Untuk Meraih Kekhusyu’an Shalat” dengan diskripsi sebagaimana berikut.
===========

Narasumber :
M. Masrur, SQ
Kordinator Terjemah Al-Quran Tangsel & Mudir Yayasan Sabilul Qur’an Banyuwangi

Hari :
Minggu, 28 Februari 2021

Jam :
08.00 – 14.30 WIB (3 Sesi)

Investasi Pendidikan :
300K/Peserta (Diskon 100K bagi yang mendaftar sebelum tanggal 20 Februari 2021)

Fasilitas :
1⃣. Ilmu yang bermanfaat.
2⃣. Buku Panduan.
3⃣. E-Sertifikat.

Media Pengajaran :
Zoom Cloud Meeting

Info Pendaftaran :
http://bit.ly/PelatihanBacaanShalat

Note :
Khusus untuk alumni Sekolah Hadis El-Bukhari Institute kegiatan ini bisa diikuti secara cuma-cuma (free).

Dengan mengikuti acara ini, Anda telah membantu pembangunan gedung Tahfiz Al-Qur’an dan Pendidikan Anak Yatim.!

============
Hadispedia; Situs Hadis Terlengkap di Indonesia

Hadis No. 10 Shahih Al-Bukhari

0
Shahih Al-Bukhari
Shahih Al-Bukhari

قَالَ الْاِمَامُ الْبُخَارِيُّ فِيْ صَحِيْحِهِ فِيْ بَاب أَيُّ الْإِسْلَامِ أَفْضَلُ 

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الْقُرَشِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبِي قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو بُرْدَةَ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْإِسْلَامِ أَفْضَلُ قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Al-Imam Al-Bukhari berkata di dalam kitab Shahihnya pada bab Islam apakah yang paling utama?,

Sa’id bin Yahya bin Sa’id Al-Qurasyi telah menceritakan kepada kami, ia berkata, ayahku telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Abu Burdah bin Abdullah bin Abi Burdah telah menceritakan kepada kami dari Abu Burdah dari Abu Musa r.a., ia berkata, mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, Islam apakah yang paling utama itu?.” Beliau bersabda, “Orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya.”

Hadis No. 9 Shahih Al-Bukhari

0
Shahih Al-Bukhari
Shahih Al-Bukhari

قَالَ الْاِمَامُ الْبُخَارِيُّ فِيْ صَحِيْحِهِ فِيْ بَاب الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي السَّفَرِ وَإِسْمَاعِيلَ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ وَقَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا دَاوُدُ عَنْ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ دَاوُدَ عَنْ عَامِرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Al-Imam Al-Bukhari berkata di dalam kitab Shahihnya pada bab seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya,

Adam bin Abi Iyas telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Syu’bah telah menceritakan kepada kami dari Abdullah bin Abi As-Safar dan Ismail dari As-Sya’bi dari Abdullah bin Amru r.a. dari Nabi saw., beliau bersabda,

Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya, dan seorang Muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” Abu Abdillah berkata dan Abu Mu’awiyyah berkata, Daud telah menceritakan kepada kami dari ‘Amir, ia berkata, Aku mendengar Abdullah dari Nabi saw. dan Abdul A’la berkata dari Daud dari ‘Amir dari Abdullah dari Nabi saw.

Hadis No. 8 Shahih Al-Bukhari

0
Shahih Al-Bukhari
Shahih Al-Bukhari

قَالَ الْاِمَامُ الْبُخَارِيُّ فِيْ صَحِيْحِهِ فِيْ بَاب أُمُورِ الْإِيمَانِ

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ

Al-Imam Al-Bukhari berkata di dalam kitab Shahihnya pada bab perkara-perkara iman,

Abdullah bin Muhammad telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Abu ‘Amir Al-‘Aqidi telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Sulaiman bin Bilal telah menceritakan kepada kami, dari Abdullah bin Dinar dari Abu Shalih dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw., beliau berkata,

Iman memiliki lebih dari enam puluh cabang dan malu adalah bagian dari iman.”

Baca juga: Hadis Budaya Malu Adalah Warisan Para Nabi

Hadis No. 7 Shahih Al-Bukhari

0
Shahih Al-Bukhari
Shahih Al-Bukhari

قَالَ الْاِمَامُ الْبُخَارِيُّ فِيْ صَحِيْحِهِ فِيْ بَاب اْلايمَان وَقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ وَهُوَ قَوْلٌ وَفِعْلٌ وَيَزِيدُ وَيَنْقُصُ

حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى قَالَ أَخْبَرَنَا حَنْظَلَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Al-Imam Al-Bukhari berkata di dalam kitab Shahihnya pada bab Islam dibangun di atas lima (landasan) dan Islam adalah perkataan, perbuatan, bertambah, dan berkurang,

Ubaidullah bin Musa telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Handzalah bin Abi Sufyan telah mengabarkan kepada kami, dari ‘Ikrimah bin Khalid dari Ibnu Umar r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda,

Islam dibangun di atas lima, persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji, dan puasa Ramadhan.”

Baca juga: Hadis tentang Rukun Islam yang Ada Lima

Hadis No. 6 Shahih Al-Bukhari

0
Shahih Al-Bukhari
Shahih Al-Bukhari

قَالَ الْاِمَامُ الْبُخَارِيُّ فِيْ صَحِيْحِهِ فِيْ بَابِ كَيْفَ كَانَ بَدْءُ الْوَحْيِ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ الْحَكَمُ بْنُ نَافِعٍ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَا سُفْيَانَ بْنَ حَرْبٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ هِرَقْلَ أَرْسَلَ إِلَيْهِ فِي رَكْبٍ مِنْ قُرَيْشٍ وَكَانُوا تِجَارًا بِالشَّأْمِ فِي الْمُدَّةِ الَّتِي كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَادَّ فِيهَا أَبَا سُفْيَانَ وَكُفَّارَ قُرَيْشٍ فَأَتَوْهُ وَهُمْ بِإِيلِيَاءَ فَدَعَاهُمْ فِي مَجْلِسِهِ وَحَوْلَهُ عُظَمَاءُ الرُّومِ ثُمَّ دَعَاهُمْ وَدَعَا بِتَرْجُمَانِهِ فَقَالَ أَيُّكُمْ أَقْرَبُ نَسَبًا بِهَذَا الرَّجُلِ الَّذِي يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ فَقَالَ أَبُو سُفْيَانَ فَقُلْتُ أَنَا أَقْرَبُهُمْ نَسَبًا فَقَالَ أَدْنُوهُ مِنِّي وَقَرِّبُوا أَصْحَابَهُ فَاجْعَلُوهُمْ عِنْدَ ظَهْرِهِ ثُمَّ قَالَ لِتَرْجُمَانِهِ قُلْ لَهُمْ إِنِّي سَائِلٌ هَذَا عَنْ هَذَا الرَّجُلِ فَإِنْ كَذَبَنِي فَكَذِّبُوهُ فَوَاللَّهِ لَوْلَا الْحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْتُ عَنْهُ ثُمَّ كَانَ أَوَّلَ مَا سَأَلَنِي عَنْهُ أَنْ قَالَ كَيْفَ نَسَبُهُ فِيكُمْ قُلْتُ هُوَ فِينَا ذُو نَسَبٍ قَالَ فَهَلْ قَالَ هَذَا الْقَوْلَ مِنْكُمْ أَحَدٌ قَطُّ قَبْلَهُ قُلْتُ لَا قَالَ فَهَلْ كَانَ مِنْ آبَائِهِ مِنْ مَلِكٍ قُلْتُ لَا قَالَ فَأَشْرَافُ النَّاسِ يَتَّبِعُونَهُ أَمْ ضُعَفَاؤُهُمْ فَقُلْتُ بَلْ ضُعَفَاؤُهُمْ قَالَ أَيَزِيدُونَ أَمْ يَنْقُصُونَ

قُلْتُ بَلْ يَزِيدُونَ قَالَ فَهَلْ يَرْتَدُّ أَحَدٌ مِنْهُمْ سَخْطَةً لِدِينِهِ بَعْدَ أَنْ يَدْخُلَ فِيهِ قُلْتُ لَا قَالَ فَهَلْ كُنْتُمْ تَتَّهِمُونَهُ بِالْكَذِبِ قَبْلَ أَنْ يَقُولَ مَا قَالَ قُلْتُ لَا قَالَ فَهَلْ يَغْدِرُ قُلْتُ لَا وَنَحْنُ مِنْهُ فِي مُدَّةٍ لَا نَدْرِي مَا هُوَ فَاعِلٌ فِيهَا قَالَ وَلَمْ تُمْكِنِّي كَلِمَةٌ أُدْخِلُ فِيهَا شَيْئًا غَيْرُ هَذِهِ الْكَلِمَةِ قَالَ فَهَلْ قَاتَلْتُمُوهُ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ فَكَيْفَ كَانَ قِتَالُكُمْ إِيَّاهُ قُلْتُ الْحَرْبُ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ سِجَالٌ يَنَالُ مِنَّا وَنَنَالُ مِنْهُ قَالَ مَاذَا يَأْمُرُكُمْ قُلْتُ يَقُولُ اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَةِ فَقَالَ لِلتَّرْجُمَانِ قُلْ لَهُ سَأَلْتُكَ عَنْ نَسَبِهِ فَذَكَرْتَ أَنَّهُ فِيكُمْ ذُو نَسَبٍ فَكَذَلِكَ الرُّسُلُ تُبْعَثُ فِي نَسَبِ قَوْمِهَا وَسَأَلْتُكَ هَلْ قَالَ أَحَدٌ مِنْكُمْ هَذَا الْقَوْلَ فَذَكَرْتَ أَنْ لَا فَقُلْتُ لَوْ كَانَ أَحَدٌ قَالَ هَذَا الْقَوْلَ قَبْلَهُ لَقُلْتُ رَجُلٌ يَأْتَسِي بِقَوْلٍ قِيلَ قَبْلَهُ وَسَأَلْتُكَ هَلْ كَانَ مِنْ آبَائِهِ مِنْ مَلِكٍ فَذَكَرْتَ أَنْ لَا قُلْتُ فَلَوْ كَانَ مِنْ آبَائِهِ مِنْ مَلِكٍ قُلْتُ رَجُلٌ يَطْلُبُ مُلْكَ أَبِيهِ وَسَأَلْتُكَ هَلْ كُنْتُمْ تَتَّهِمُونَهُ بِالْكَذِبِ قَبْلَ أَنْ يَقُولَ مَا قَالَ فَذَكَرْتَ أَنْ لَا فَقَدْ أَعْرِفُ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِيَذَرَ الْكَذِبَ عَلَى النَّاسِ وَيَكْذِبَ عَلَى اللَّهِ وَسَأَلْتُكَ أَشْرَافُ النَّاسِ اتَّبَعُوهُ أَمْ ضُعَفَاؤُهُمْ فَذَكَرْتَ أَنَّ ضُعَفَاءَهُمْ اتَّبَعُوهُ وَهُمْ أَتْبَاعُ الرُّسُلِ وَسَأَلْتُكَ أَيَزِيدُونَ أَمْ يَنْقُصُونَ فَذَكَرْتَ أَنَّهُمْ يَزِيدُونَ وَكَذَلِكَ أَمْرُ الْإِيمَانِ حَتَّى يَتِمَّ وَسَأَلْتُكَ أَيَرْتَدُّ أَحَدٌ سَخْطَةً لِدِينِهِ بَعْدَ أَنْ يَدْخُلَ فِيهِ فَذَكَرْتَ أَنْ لَا وَكَذَلِكَ الْإِيمَانُ حِينَ تُخَالِطُ بَشَاشَتُهُ الْقُلُوبَ وَسَأَلْتُكَ هَلْ يَغْدِرُ فَذَكَرْتَ أَنْ لَا وَكَذَلِكَ الرُّسُلُ لَا تَغْدِرُ وَسَأَلْتُكَ بِمَا يَأْمُرُكُمْ فَذَكَرْتَ أَنَّهُ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَيَنْهَاكُمْ عَنْ عِبَادَةِ الْأَوْثَانِ وَيَأْمُرُكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ فَإِنْ كَانَ مَا تَقُولُ حَقًّا فَسَيَمْلِكُ مَوْضِعَ قَدَمَيَّ هَاتَيْنِ وَقَدْ كُنْتُ أَعْلَمُ أَنَّهُ خَارِجٌ لَمْ أَكُنْ أَظُنُّ أَنَّهُ مِنْكُمْ فَلَوْ أَنِّي أَعْلَمُ أَنِّي أَخْلُصُ إِلَيْهِ لَتَجَشَّمْتُ لِقَاءَهُ وَلَوْ كُنْتُ عِنْدَهُ لَغَسَلْتُ عَنْ قَدَمِهِ ثُمَّ دَعَا بِكِتَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي بَعَثَ بِهِ دِحْيَةُ إِلَى عَظِيمِ بُصْرَى فَدَفَعَهُ إِلَى هِرَقْلَ فَقَرَأَهُ فَإِذَا فِيهِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ سَلَامٌ عَلَى مَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ أَسْلِمْ تَسْلَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الْأَرِيسِيِّينَ {وَيَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَنْ لَا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ}قَالَ أَبُو سُفْيَانَ

فَلَمَّا قَالَ مَا قَالَ وَفَرَغَ مِنْ قِرَاءَةِ الْكِتَابِ كَثُرَ عِنْدَهُ الصَّخَبُ وَارْتَفَعَتْ الْأَصْوَاتُ وَأُخْرِجْنَا فَقُلْتُ لِأَصْحَابِي حِينَ أُخْرِجْنَا لَقَدْ أَمِرَ أَمْرُ ابْنِ أَبِي كَبْشَةَ إِنَّهُ يَخَافُهُ مَلِكُ بَنِي الْأَصْفَرِ فَمَا زِلْتُ مُوقِنًا أَنَّهُ سَيَظْهَرُ حَتَّى أَدْخَلَ اللَّهُ عَلَيَّ الْإِسْلَامَ وَكَانَ ابْنُ النَّاظُورِ صَاحِبُ إِيلِيَاءَ وَهِرَقْلَ سُقُفًّا عَلَى نَصَارَى الشَّأْمِ يُحَدِّثُ أَنَّ هِرَقْلَ حِينَ قَدِمَ إِيلِيَاءَ أَصْبَحَ يَوْمًا خَبِيثَ النَّفْسِ فَقَالَ بَعْضُ بَطَارِقَتِهِ قَدْ اسْتَنْكَرْنَا هَيْئَتَكَ قَالَ ابْنُ النَّاظُورِ وَكَانَ هِرَقْلُ حَزَّاءً يَنْظُرُ فِي النُّجُومِ فَقَالَ لَهُمْ حِينَ سَأَلُوهُ إِنِّي رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ حِينَ نَظَرْتُ فِي النُّجُومِ مَلِكَ الْخِتَانِ قَدْ ظَهَرَ فَمَنْ يَخْتَتِنُ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ قَالُوا لَيْسَ يَخْتَتِنُ إِلَّا الْيَهُودُ فَلَا يُهِمَّنَّكَ شَأْنُهُمْ وَاكْتُبْ إِلَى مَدَايِنِ مُلْكِكَ فَيَقْتُلُوا مَنْ فِيهِمْ مِنْ الْيَهُودِ فَبَيْنَمَا هُمْ عَلَى أَمْرِهِمْ أُتِيَ هِرَقْلُ بِرَجُلٍ أَرْسَلَ بِهِ مَلِكُ غَسَّانَ يُخْبِرُ عَنْ خَبَرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا اسْتَخْبَرَهُ هِرَقْلُ قَالَ اذْهَبُوا فَانْظُرُوا أَمُخْتَتِنٌ هُوَ أَمْ لَا فَنَظَرُوا إِلَيْهِ فَحَدَّثُوهُ أَنَّهُ مُخْتَتِنٌ وَسَأَلَهُ عَنْ الْعَرَبِ فَقَالَ هُمْ يَخْتَتِنُونَ فَقَالَ هِرَقْلُ هَذَا مُلْكُ هَذِهِ الْأُمَّةِ قَدْ ظَهَرَ ثُمَّ كَتَبَ هِرَقْلُ إِلَى صَاحِبٍ لَهُ بِرُومِيَةَ وَكَانَ نَظِيرَهُ فِي الْعِلْمِ وَسَارَ هِرَقْلُ إِلَى حِمْصَ فَلَمْ يَرِمْ حِمْصَ حَتَّى أَتَاهُ كِتَابٌ مِنْ صَاحِبِهِ يُوَافِقُ رَأْيَ هِرَقْلَ عَلَى خُرُوجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَّهُ نَبِيٌّ فَأَذِنَ هِرَقْلُ لِعُظَمَاءِ الرُّومِ فِي دَسْكَرَةٍ لَهُ بِحِمْصَ ثُمَّ أَمَرَ بِأَبْوَابِهَا فَغُلِّقَتْ ثُمَّ اطَّلَعَ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ الرُّومِ هَلْ لَكُمْ فِي الْفَلَاحِ وَالرُّشْدِ وَأَنْ يَثْبُتَ مُلْكُكُمْ فَتُبَايِعُوا هَذَا النَّبِيَّ فَحَاصُوا حَيْصَةَ حُمُرِ الْوَحْشِ إِلَى الْأَبْوَابِ فَوَجَدُوهَا قَدْ غُلِّقَتْ فَلَمَّا رَأَى هِرَقْلُ نَفْرَتَهُمْ وَأَيِسَ مِنْ الْإِيمَانِ قَالَ رُدُّوهُمْ عَلَيَّ وَقَالَ إِنِّي قُلْتُ مَقَالَتِي آنِفًا أَخْتَبِرُ بِهَا شِدَّتَكُمْ عَلَى دِينِكُمْ فَقَدْ رَأَيْتُ فَسَجَدُوا لَهُ وَرَضُوا عَنْهُ فَكَانَ ذَلِكَ آخِرَ شَأْنِ هِرَقْلَ رَوَاهُ صَالِحُ بْنُ كَيْسَانَ وَيُونُسُ وَمَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ

Al-Imam Al-Bukhari berkata di dalam kitab Shahihnya pada bab bagaimana cara permulaan wahyu kepada Rasulullah saw.,

Abu Al-Yaman Al-Hakam bin Nafi’ telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Syu’aib telah mengabarkan kepada kami, dari Az-Zuhri, ia berkata, Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud telah mengabarkan kepadaku bahwa Abdullah bin Abbas telah mengabarkan kepadanya bahwa Abu Sufyan bin Harb telah mengabarkan kepadanya bahwa Heraklius menerima rombongan dagang Quraisy yang sedang mengadakan ekspedisi dagang ke Negeri Syam pada saat berlakunya perjanjian antara Nabi saw. dengan Abu Sufyan dan orang-orang kafir Quraisy.

Saat singgah di Iliya’ mereka menemui Heraklius atas undangan Heraklius untuk diajak dialog di majelisnya, yang saat itu Heraklius bersama dengan para pembesar-pembesar Negeri Romawi. Heraklius berbicara dengan mereka melalui penerjemah. Heraklius berkata, “Siapa di antara kalian yang paling dekat hubungan keluarganya dengan orang yang mengaku sebagai Nabi itu?”

Abu Sufyan berkata, maka aku menjawab, “Akulah yang paling dekat hubungan kekeluargaannya dengan dia.” Heraklius berkata, “Dekatkanlah dia denganku dan juga sahabat-sahabatnya.” Maka mereka meletakkan orang-orang Quraisy berada di belakang Abu Sufyan. Lalu Heraklius berkata melalui penerjemahnya, “Katakan kepadanya, bahwa aku bertanya kepadanya tentang lelaki yang mengaku sebagai Nabi. Jika ia berdusta kepadaku maka kalian harus mendustakannya.”

“Demi Allah, kalau bukan rasa malu akibat tudingan pendusta yang akan mereka lontarkan kepadaku niscaya aku berdusta kepadanya.” Abu Sufyan berkata, “Maka yang pertama ditanyakannya kepadaku tentangnya (Nabi saw.) adalah, “Bagaimana kedudukan nasabnya di tengah-tengah kalian?” Aku menjawab, “Dia adalah dari keturunan baik-baik (bangsawan).” Tanyanya lagi, “Apakah ada orang lain yang pernah mengatakannya sebelum dia?” Aku jawab, “Tidak ada”.

Tanyanya lagi, “Apakah bapaknya seorang raja?” Jawabku, “Bukan”. “Apakah yang mengikuti dia orang-orang yang terpandang atau orang-orang yang rendah?”. Aku menjawab, “Bahkan yang mengikutinya adalah orang-orang yang rendah.” Dia bertanya lagi, “Apakah bertambah pengikutnya atau berkurang?” Aku jawab, “Bertambah”. Dia bertanya lagi, “Apakah ada yang murtad disebabkan dongkol terhadap agamanya?” Aku jawab, “Tidak ada.” Dia bertanya lagi, “Apakah kalian pernah mendapatkannya dia berdusta sebelum dia menyampaikan apa yang dikatakannya itu?” Aku jawab, “Tidak pernah.” Dia bertanya lagi, “Apakah dia pernah berlaku curang?” Aku jawab, “Tidak pernah, ketika kami bergaul dengannya, dia tidak pernah melakukan itu.”

Abu Sufyan berkata, “Aku tidak mungkin menyampaikan selain ucapan seperti ini.” Dia bertanya lagi, “Apakah kalian memeranginya?” Aku jawab, “Iya.” Dia bertanya lagi, “Bagaimana kesudahan perang tersebut?”. Aku jawab, “Perang antara kami dan dia sangat banyak. Terkadang dia mengalahkan kami terkadang kami yang mengalahkan dia.” Dia bertanya lagi, “Apa yang diperintahkannya kepada kalian?” Aku jawab, “Dia menyuruh kami; Sembahlah Allah dengan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun, dan tinggalkan apa yang dikatakan oleh nenek moyang kalian. ‘Dia juga memerintahkan kami untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, berkata jujur, saling memaafkan, dan menyambung silaturahim.”

Maka Heraklius berkata kepada penerjemahnya, “Katakan kepadanya, bahwa aku telah bertanya kepadamu tentang keturunan orang itu, kamu ceritakan bahwa orang itu dari keturunan bangsawan. Begitu juga laki-laki itu dibangkitkan di tengah keturunan kaumnya. Dan aku tanya kepadamu apakah pernah ada orang sebelumnya yang mengatakan seperti yang dikatakannya, kamu jawab tidak. Seandainya dikatakan ada orang sebelumnya yang mengatakannya tentu kuanggap orang ini meniru orang sebelumnya yang pernah mengatakan hal serupa. Aku tanyakan juga kepadamu apakah bapaknya ada yang dari keturunan raja, maka kamu jawab tidak. Aku katakan seandainya bapaknya dari keturunan raja, tentu orang ini sedang menuntut kerajaan bapaknya. Dan aku tanyakan juga kepadamu apakah kalian pernah mendapatkan dia berdusta sebelum dia menyampaikan apa yang dikatakannya, kamu menjawab tidak. Sungguh aku memahami, kalau kepada manusia saja dia tidak berani berdusta apalagi berdusta kepada Allah.

Dan aku juga telah bertanya kepadamu, apakah yang mengikuti dia orang-orang yang terpandang atau orang-orang yang rendah?” Kamu menjawab orang-orang yang rendah yang mengikutinya. Memang mereka itulah yang menjadi para pengikut Rasul. Aku juga sudah bertanya kepadamu apakah bertambah pengikutnya atau berkurang, kamu menjawabnya bertambah. Dan memang begitulah perkara iman hingga menjadi sempurna. Aku juga sudah bertanya kepadamu apakah ada yang murtad disebabkan marah terhadap agamanya. Kamu menjawab tidak ada. Dan memang begitulah iman bila telah masuk tumbuh bersemi di dalam hati.

Aku juga telah bertanya kepadamu apakah dia pernah berlaku curang, kamu jawab tidak pernah. Memang begitulah para Rasul tidak mungkin curang. Aku juga sudah bertanya kepadamu apa yang diperintahkannya kepada kalian, kamu menjawab dia memerintahkan untuk menyembah Allah dengan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun, dan melarang kalian menyembah berhala, dia juga memerintahkan kalian untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, berkata jujur, saling memaafkan, dan menyambung silaturahim. Seandainya semua apa yang kamu katakan ini benar, pasti dia akan menguasai kerajaan yang ada di bawah kakiku ini. Sungguh aku telah menduga bahwa dia tidak ada di antara kalian sekarang ini, seandainya aku tahu jalan untuk bisa menemuinya, tentu aku akan berusaha keras menemuinya hingga aku sudah berada di sisinya pasti aku akan basuh kedua kakinya.

Kemudian Heraklius meminta surat Rasulullah saw. yang dibawa oleh Dihyah untuk para Penguasa Negeri Bashrah. Maka diberikannya surat itu kepada Heraklius, maka dibacanya dan isinya berbunyi, “Bismillahirrahmanirrahiim. Dari Muhammad, Hamba Allah dan rasul-Nya untuk Heraklius, penguasa Romawi. Keselamatan bagi siapa yang mengikuti petunjuk. Kemudian dari pada itu, aku mengajakmu dengan seruan Islam; masuk Islamlah, maka kamu akan selamat, Allah akan memberi pahala kepadamu dua kali. Namun jika kamu berpaling, maka kamu menanggung dosa rakyat kamu, dan “Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Rabb selain Allah.”

Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” Abu Sufyan menuturkan, “Setelah Heraklius menyampaikan apa yang dikatakannya dan selesai membaca surat tersebut, terjadilah hiruk pikuk dan suara-suara ribut, sehingga mengusir kami. Aku berkata kepada teman-temanku setelah kami diusir keluar, “Sungguh dia telah diajak kepada utusan anak Abu Kabsyah. Heraklius mengkhawatirkan kerajaan Romawi. “Pada saat itu pun aku juga khawatir bahwa Muhammad akan berjaya, sampai akhirnya (perasaan itu hilang setelah) Allah memasukkan aku ke dalam Islam. Ibnu An-Nazhur, seorang Pembesar Iliya’ dan Heraklius adalah seorang uskup agama Nasrani, dia menceritakan bahwa pada suatu hari ketika Heraklius mengunjungi Iliya’, dia sangat gelisah, berkata sebagian komandan perangnya, “Sungguh, kami mengingkari keadaanmu. Selanjutnya kata Ibnu Nazhur, “Heraklius adalah seorang ahli nujum yang selalu memperhatikan perjalanan bintang-bintang. Dia pernah menjawab pertanyaan para pendeta yang bertanya kepadanya, “Pada suatu malam ketika saya mengamati perjalanan bintang-bintang, saya melihat raja Khitan telah lahir, siapakah di antara umat ini yang dikhitan?” Para pendeta menjawab, “Yang berkhitan hanyalah orang-orang Yahudi, janganlah Anda risau karena orang-orang Yahudi itu. Perintahkan saja ke seluruh negeri dalam kerajaan Anda, supaya orang-orang Yahudi di negeri tersebut dibunuh.”

Ketika itu dihadapkan kepada Heraklius seorang utusan raja Bani Ghassan untuk menceritakan perihal Rasulullah saw. setelah orang itu selesai bercerita, lalu Heraklius memerintahkan agar dia diperiksa, apakah dia berkhitan atau tidak, ternyata memang dia berkhitan. Lalu diberitahukan orang kepada Heraklius. Heraklius bertanya kepada orang tersebut tentang orang-orang Arab yang lainnya, dikhitankah mereka ataukah tidak?” Dia menjawab, “Orang Arab itu dikhitan semuanya.”

Heraklius berkata, “Inilah raja umat, sesungguhnya dia telah terlahir.” Kemudian Heraklius berkirim surat kepada seorang seorang sahabatnya di Roma yang ilmunya setaraf dengan Heraklius (untuk menceritakan perihal kelahiran Nabi Muhammad saw.) Sementara itu, ia meneruskan perjalanannya ke negeri Himsha, tetapi sebelum tiba di Himsha, balasan surat dari sahabatnya itu telah tiba terlebih dahulu. Sahabatnya itu menyetujui pendapat Heraklius bahwa Muhammad telah lahir dan bahwa beliau memang seorang Nabi.

Heraklius lalu mengundang para pembesar Roma supaya datang ke tempatnya di Himsha, setelah semuanya hadir dalam majelisnya, Heraklius memerintahkan supaya mengunci semua pintu. Kemudian dia berkata, “Wahai bangsa Rum, maukah Anda semua beroleh kemenangan dan kemajuan yang gilang gemilang, sedangkan kerajaan tetap utuh di tangan kita?’ Kalau mau akuilah Muhammad sebagai Nabi.

Mendengar ucapan itu, mereka lari bagaikan keledai liar, padahal semua pintu telah terkunci. Melihat keadaan yang demikian, Heraklius jadi putus harapan yang mereka akan beriman (percaya kepada kenabian Muhammad). Lalu diperintahkannya semuanya untuk kembali ke tempatnya masing-masing seraya berkata, “Sesungguhnya saya mengucapkan perkataan tadi hanyalah sekedar menguji keteguhan hati Anda semua. Kini saya telah melihat keteguhan itu.” Lalu, mereka sujud di hadapan Heraklius dan mereka senang kepadanya. Demikianlah akhir kisah Heraklius. Telah diriwayatkan oleh Shalih bin Kaisah dan Yunus dan Ma’mar dari Az-Zuhri.

Biografi Imam Ibnu Majah

0
Biografi Imam Ibnu Majah, Salah Satu Penyusun Kitab Sunan
Biografi Imam Ibnu Majah, Salah Satu Penyusun Kitab Sunan

Hadispedia.id – Imam Ibnu Majah merupakan salah satu ulama hadis pada masa Dinasti Abbasiyah dan nama beliau turut serta menghiasi dalam Kutub As-Sittah. Beliau lahir pada tahun pada tahun 209 H atau sekitar 824 M di Qazwin, Irak. Memiliki nama lengkap Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah Ar-Rabi’ Al-Qazwini Al-Hafidz. Panggilan Majah merupakan panggilan yang dinisbatkan kepada ayahnya bernama Majah Maula Rabat. Kemudian dipanggil Ibn Majah sebagai kunyah beliau.

Perjalanan Intelektual Imam Ibnu Majah

Seperti sosok ulama lainnya, Imam Ibnu Majah merupakan seseorang yang terkenal dengan ke’alimannya. Beliau telah mencintai ilmu sejak dini. Kecintaannya tersebut didukung dengan lingkungannya yang juga memiliki kecintaan terhadap ilmu, khususnya ilmu hadis. Sejak usia 15 tahun, Imam Ibnu Majah telah menggeluti ilmu hadis dan akhirnya berhasil mengumpulkan kurang lebih 4000 hadis. Namun, sebelum beliau menggeluti bidang ilmu lainnya, penyusun Sunan Ibn Majah ini lebih dahulu telah menghafal Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum-hukum Islam di usia dini.

Prosesnya dalam mencari ilmu, beliau mengunjungi berbagai negara seperti Syam, Kufah, Damaskus, Madinah, Makkah, Mesir, dan tempat lainnya. Dalam perjalanannya tersebut, beliau menemui banyak guru, di antaranya Ali bin Muhammad Ath-Thanasafi salah satu guru yang kemudian Imam Ibnu Majah banyak mengambil riwayat hadis dari beliau. Selanjutnya, Muhammad bin Al-Muthanna bin Dinar Al-Anzi, Abu Bakar bin Abi Shaybah, Muhammad bin Abdullah bin Namir, Jabara bin Al-Mughalis, Hisham bin Ammar, Muhammad bin Ramah, Dawood bin Rashid, Muhammad bin Bashar, dan ulama terkemuka lainnya yang berpengaruh dalam proses keilmuan Imam Ibnu Majah.

Setelah menjalani lawatan ilmu selama 15 tahun, Imam Ibnu Majah akhirnya kembali ke tanah kelahiran, Qazwin dan menetap di sana. Di tanah kelahirannyalah, Imam Ibnu Majah mulai menulis berbagai kitab yang akhirnya menjadi karya monumental hingga saat ini dan menyampaikan riwayat hadis yang beliau peroleh selama mencari ilmu. Nama Imam Ibnu Majah pun masyhur dan beliau menjadi tempat bagi para pelajar mencari ilmu.

Di antara para murid beliau adalah Ali bin Said bin Abdullah Al-Ghudani, Ishaq bin Muhammad Al-Qazwini, Ja’far bin Idris, Muhammad bin Isa Ash-Shafar, Ibrahim bin Dinar Al-Jarsyi Al-Hamdani, Abul Hasan Ali bin Ibrahim bin Salamah Al-Qazwini, dan masih banyak lagi murid lainnya.

Karya-Karya Imam Ibnu Majah

Dalam lawatan ilmu yang telah dijalaninya, Imam Ibnu Majah dapat menghasilkan kurang lebih 30 karya yang dapat dikelompokkan menjadi 3; kitab hadis, kitab tafsir, dan kitab sejarah. Karena beberapa karya yang telah ditulisnya, Imam Ibnu Majah kerap kali disebut sebagai Muhaddits, Mufassir, dan Muarrikh.

Berikut beberapa karya dari Imam Ibnu Majah :

  1. Kitab As-Sunan, yang merupakan salah satu bagian dari Kutub As-Sittah.
  2. Kitab Tafsir Al-Qur’an Al-Karim. Kitab tafsir ini kemudian mendapat pujian dari Ibn Katsir yang dituliskan dalam kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah.
  3. Kitab At-Tarikh yang membahas tentang biografi para periwayat hadis sejak awal hingga pada masanya.

Dari sekian banyak karya beliau yang telah ditulisnya, Sunan Ibn Majah lah yang kemudian fenomenal hingga saat ini. Tidak berbeda jauh dengan Kitab Sunan lainnya, di dalamnya terkandung hadis-hadis yang membahas tentang hukum juga hadis-hadis lain seperti hadis yang berkaitan dengan akidah maupun muamalat. Tertulis dalam jurnal Kitab Sunan Ibn Majah karya Nurkhalijah Siregar bahwa terhimpun 4341 hadis, dan 3002 hadis di antaranya telah terhimpun di dalam kitab-kitab hadis lainnya. Dari 4341 hadis tersebut, terdiri dari muqaddimah, 37 kitab, dan 1502 bab. Dari berbagai hadis yang diriwayatkan, beberapa ulama mengkategorikan sebagian hadisnya lemah.

Dalam Sunan Ibn Majah ini memuat hadis-hadis dengan berbagai kualitas. Baik itu shahih, hasan maupun dhaif. Tetapi, dalam memuat hadis-hadis dhaif ini, Imam Ibnu Majah tidak memberikan komentar apapun juga tidak memberikan keterangan terhadap hadis dhaif ini. Hal ini yang membuat polemik berkepanjangan terhadap Sunan Ibn Majah ini, apakah termasuk dalam Kutub As-Sittah atau tidak.

Pendapat Ulama Terhadap Imam Ibnu Majah

Beberapa pendapat tentang kepribadian Imam Ibnu Majah, di antaranya :

  1. Abu Ya’la Al-Khalil bin Abdullah Al-Khalili Al-Qazwini berpendapat tentang Ibnu Majah ini, “Ibnu Majah adalah kepercayaan.”
  2. Shams Ad-Din Ibn Khallikan berkata, “Ibnu Majah adalah seorang imam dalam hadis, mengetahui ilmu pengetahuannya dan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu.”
  3. Al-Hafiz Shams Ad-Din Ad-Dzahabi berpendapat, “Ibn Majah adalah seorang kritikus, jujur, dan berpengetahuan luas.”                                                                                   Sedangkan Abu Zar’ah berpendapat tentang kitab Sunan Ibn Majah, “Menurutku jika kitab ini telah sampai di tangan orang-orang, maka kitab jami’ atau kitab lainnya tidak akan terpakai.”

Setelah usaha yang dicurahkan oleh Imam Ibnu Majah dalam menuntut ilmu juga menyampaikannya dan menulis berbagai kitab, pada tahun 273 H beliau wafat tepatnya pada bulan Ramadhan. Segala proses pemakamannya diurusi oleh Abu Abdillah dan Abdullah bin Muhammad bin Yazid. Wa Allahu a’lam bis shawab.