Beranda blog Halaman 86

Sejarah Awal Kemunculan Ilmu Musthalah Hadis

0
Sejarah Kemunculan Ilmu Musthalah Hadis
Sejarah Kemunculan Ilmu Musthalah Hadis

Hadispedia.id – Setelah Rasulullah Saw wafat, estafet ajaran Islam dilanjutkan oleh para sahabat. Mereka menyebar ke berbagai daerah untuk mengajarkan al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi. Sebagian besar ajaran itu disampaikan secara oral dari seorang sahabat ke sahabat yang lain dan dari satu tabi’in ke tabi’in yang lain. Sebuah gebrakan baru dilakukan oleh Khalifah Abu Bakr. Setelah bermusyawarah dengan Umar dan beberapa sahabat lainnya, ia mengambil kebijakan untuk membukukan al-Qur’an. Hal itu dilatarbelakangi oleh kekhawatiran akan lenyapnya al-Qur’an karena para penghafalnya banyak yang sudah meninggal dunia.

Berbeda halnya dengan al-Qur’an, hadis tidak mendapatkan perlakuan yang sama. Ia tetap saja disebarkan secara oral dari mulut ke mulut. Pembukuannya dirasa belum diperlukan karena para sahabat masih banyak dan kejujuran pada saat itu masih dijunjung tinggi. Apabila seorang sahabat membutuhkan keterangan terkait sebuah persoalan misalnya, mereka tinggal bertanya kepada sahabat yang lain. Lalu sahabat tersebut akan menjelaskannya sesuai dengan apa yang ia dengar dari Nabi ataupun sahabat-sahabat yang lain. Hadis tersebar secara natural tanpa ada kecurigaan akan adanya kebohongan ataupun kemunafikan dari para penuturnya.

Namun seiring berjalannya waktu, kehidupan sahabat tidak lagi diselimuti oleh ketenteraman seperti masa-masa awal dahulu. Pergolakan politik serta banyaknya berita-berita bohong yang tersebar telah membuat hilangnya kepercayaan antar satu sama lain. Di saat yang sama, para pelaku bid’ah juga merajalela. Mereka dengan mudahnya menisbatkan sebuah perkataan kepada Nabi demi untuk mendukung ide-ide bohong mereka. Maka sejak saat itu, para sahabatpun mulai selektif dalam menerima hadis. Mereka sangat berhati-hati dalam menerima ataupun menyampaikan sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw.

Terkait dengan hal ini, Imam Muslim (261 H) dalam Shahih-nya mengutip perkataan Ibnu Sirin (110 H) sebagai berikut :

لم يكونوا يسألون عن الإسناد، فلما وقعت الفتنة قالوا : سموا لنا رجالكم، فينظر إلى أهل السنة فيؤخذ حديثهم وينظر إلى أهل البدع فلا يؤخذ حديثهم.

Para sahabat (awalnya) tidak pernah menanyakan tentang isnad (silsilah berita). Ketika fitnah mulai tersebar, merekapun berkata (kepada setiap pembawa berita) : Sebutkan kepada kami silsilah keilmuan kalian! Lalu mereka memilah informasi dari ahli sunah dan ahli bid’ah. Hadis yang disampaikan oleh para ahli sunah mereka terima. Sementara itu hadis yang bersumber dari ahli bid’ah (yang suka berbohong) mereka tolak”.

Karena sebuah berita tidak bisa diterima kecuali setelah mengetahui silsilah pembawanya (sanadnya), maka pada masa-masa selanjutnya mulailah berkembang Ilmu Jarah wa al-Ta’dil, yaitu ilmu untuk mengetahui kredibelitas pembawa berita. Begitu juga berkembang ilmu tentang asal-usul pembawa berita (Ilmu Rijal) dan Ilmu Sanad untuk membuktikan apakah silsilah sebuah berita bersambung hingga kepada Nabi atau terputus. Hingga ilmu tentang sebab-sebab tertolaknya sebuah berita atau yang disebut juga dengan ilmu ‘Ilal al-Hadis dan lain sebagainya.

Vase ini berakhir dengan lahirnya beberapa karya yang fokus membahas masalah-masalah ini. Seperti misalnya kitab al-Muhaddits al-Fashil bayn al-Rawi wa al-Wa’i karya al-Qadhi al-Ramahurmuzi (360 H), Kitab Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits karya al-Hakim al-Naisaburi (405 H), Kitab al-Mustakhraj ‘ala Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits karya Abu Nu’aim al-Ashbahani (430 H), al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah karya al-Khatib al-Baghdadi (463 H) dan lain sebagainya. Allahu A’lam

Kitab-kitab Populer dalam Ilmu Hadis

0
Kitab-kitab populer dalam Ilmu Hadis
Kitab-kitab populer dalam Ilmu Hadis

Hadispedia.id – Seperti yang sudah dijelaskan pada tulisan sebelumnya, Ilmu Musthalah Hadis secara nama belum ada pada masa Rasulullah Saw. Ia pada saat itu masih berupa spirit yang teraplikasikan secara natural dalam kehidupan para sahabat ketika mendengarkan berita yang disebut-disebut bersumber dari Nabi Saw. Ketika mereka mendengarkan seseorang bercerita tentang Nabi, maka merekapun mengkonfirmasi kebenaran berita tersebut kepada sumber utamanya, yaitu Nabi Muhammad Saw sendiri atau orang-orang yang dekat dengan beliau.

Hal serupa juga terjadi setelah wafatnya Rasul. Para sahabat saling bertanya antar satu sama lain dalam mengkonfirmasi kebenaran sebuah berita. Lama-kelamaan karena waktu terus bergulir dan jarak umat Islam dengan Nabi semakin jauh, maka dengan sendirinya sebuah berita membentuk silsilah pembawanya (perawi) yang semakin panjang. Hal inilah yang kemudian melatari munculnya sebuah ilmu untuk mengkaji kebenaran silsilah berita tersebut. Ilmu tersebut bernama Ilmu Musthalah Hadis yang pembentukannya semakin matang pada abad kedua dan ketiga hijriah.

Puncaknya adalah dengan ditulisnya beberapa kitab khusus yang membahas istilah-istilah penting dalam hadis sebagai berikut :

Pertama, Kitab al-Muhaddits al-Fashil bayn al-Rawi wa al-Wa’i karya al-Qadhi al-Ramahurmuzi (360 H). Kitab ini dianggap sebagai kitab pertama yang membahas Ilmu Hadis secara khusus, meskipun pembahasannya masih umum dan belum terlalu detail.

Kedua, kitab Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits karya al-Hakim al-Naisaburi (405 H). Kitab ini juga masih sederhana dan susunannya belum tersistematis.

Ketiga, kitab al-Mustakhraj ‘ala Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits karya Abu Nu’aim al-Asbahani (430 H). Penulisnya melalui kitab ini mencoba melengkapi kekurangan dari kitab-kitab yang ada sebelumnya.

Keempat, kitab al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah karya al-Khatib al-Baghdadi (463 H). Berbeda dengan karya-karya sebelumnya, kitab ini lebih lengkap dan memuat tema-tema Ilmu Hadis yang lebih beragam.

Kelima, kitab ‘Ulum al-Hadits atau yang lebih dikenal dengan sebutan Muqaddimah Ibn Shalah yang ditulis oleh Imam Ibn Shalah (643 H). Kitab ini menghimpun keterangan dari beberapa kitab sebelumnya dan merapikan sistematika penyajiannya.

Keenam, kitab al-Taqrib wa al-Taysir li Ma’rifah Sunan al-Basyir al-Nadzir karya Imam al-Nawawi (676 H). Karya ini merupakan kesimpulan dari kitab Muqaddimah Ibn Shalah.

Ketujuh, kitab Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi karya Imam Jalaluddin al-Suyuthi (911 H). Karya ini merupakan syarh (penjelasan) dari kitab al-Taqrib al-Nawawi.

Kedelapan, kitab Taisir Mushthalah al-Hadis karya Mahmud Thahhan. Kitab kontemporer yang mencakup seluruh istilah dalam Ilmu Hadis dan dijelaskan dengan bahasa yang gamblang serta mudah dipahami.

Selain itu, sebagian kitab Ilmu Hadis ada juga yang ditulis dalam bentuk nazham (syair berbahasa Arab) oleh para ulama, di antaranya seperti kitab Alfiyyah al-‘Iraqi karya Imam al-‘Iraqi (806 H) yang kemudian dijelaskan oleh Imam al-Sakhawi (902 H) dalam karyanya Fath al-Mughits fi Syarh Alfiyyah al-Hadits. Demikian juga dengan nazham al-Bayquni yang ditulis oleh Umar ibn Muhammad al-Baiquni (1080 H) yang terdiri dari 34 bait saja. Kitab yang terakhir ini sangat populer dan diajarkan di berbagai pesantren di Nusantara. Allahu A’lam

Hadis Segala Perbuatan Ditentukan Niatnya

0
Segala Perbuatan Tergantung Niatnya
Segala Perbuatan Tergantung Niatnya

Hadispedia.id – Hadis pertama sebagai pembuka kitab Al-Arbain An-Nawawiyah adalah hadis segala perbuatan ditentukan niatnya.

عَنْ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ أَبِي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رضي الله عنه – قَالَ: سَمِعْت رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ: ” إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ”

رَوَاهُ إِمَامَا الْمُحَدِّثِينَ أَبُو عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بنُ إِسْمَاعِيل بن إِبْرَاهِيم بن الْمُغِيرَة بن بَرْدِزبَه الْبُخَارِيُّ الْجُعْفِيُّ، وَأَبُو الْحُسَيْنِ مُسْلِمٌ بنُ الْحَجَّاج بن مُسْلِم الْقُشَيْرِيُّ النَّيْسَابُورِيُّ فِي “صَحِيحَيْهِمَا” اللذِينِ هُمَا أَصَحُّ الْكُتُبِ الْمُصَنَّفَةِ.

Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Al-Khattab r.a. berkata,

Semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan. Siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju.”

(Diriwayatkan oleh dua ahli hadis; Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari Al-Ju’fi dan Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi di dalam kedua kitab shahihnya yang merupakan kitab hadis paling shahih)

Hadis ini juga diriwayatkan oleh imam Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah di dalam kitab sunannya. Selain itu, imam Ahmad pun meriwayatkan di dalam kitab Musnadnya. Begitu pula imam Ad-Daruqutni di dalam kitab sunannya, imam Ibnu Hibban di dalam kitab shahihnya, dan imam Al-Baihaqi di dalam kitab sunannya.

Hadis ini merupakan salah satu hadis yang menjadi porosnya agama Islam. Pentingnya hadis ini dapat dilihat dari beberapa pendapat ulama. Imam Abu Daud berkata bahwa hadis ini merupakan setengah dari ajaran Islam. Hal ini disebabkan karena agama itu bertumpu pada dua hal: sisi luarnya yakni amal perbuatan dan sisi dalamnya berupa niat.

Sedangkan imam Syafii, imam Ahmad, imam Al-Baihaqi, dan imam lainnya mengatakan bahwa hadis ini mencakup sepertiga ilmu. Alasannya adalah karena perbuatan manusia itu terkait dengan tiga hal; hati, lisan, dan anggota badan. Sementara niat di dalam hati adalah salah satu dari tiga hal tersebut. Ada pula ulama lain yang mengatakan hadis ini adalah seperempatnya ilmu. Bahkan imam Syafii mengatakan bahwa hadis tersebut masuk dalam 70 bab masalah fiqh.

Melihat pentingnya hadis ini, maka tidak heran jika banyak ulama mengawali kitabnya dengan menyebutkan hadis ini. Di antaranya adalah imam Al-Bukhari yang menempatkan hadis ini pada posisi pertama kitab shahihnya. Begitu pula imam An-Nawawi di dalam tiga kitabnya: Riyadhus Shalihih, Al-Adzkar, dan Al-Arbain An-Nawawiyah.

Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi mengatakan bahwa penyebutan hadis ini di awal kitab adalah agar pembaca menyadari pentingnya niat. Sehingga, ia akan meluruskan niatnya hanya karena Allah, baik ketika menuntut ilmu atau melakukan kebaikan lainnya.

Begitu pula dengan imam Abdurrahman bin Mahdi menghimbau setiap orang yang hendak menyusun kitab agar memulainya dengan hadis ini. Hal ini sebagai pengingat para penuntut ilmu untuk meluruskan niatnya.

Imam At-Thabrani di dalam kitab Al-Mu’jam Al-Kabir meriwayatkan sebab wurud hadis ini dari sahabat Abdullah bin Mas’ud r.a. yang berkata,

“Di antara kami ada seorang laki-laki yang melamar seorang wanita, bernama Ummu Qais. Namun, wanita itu menolak sehingga ia berhijrah ke Madinah. Maka, laki-laki tersebut ikut hijrah dan menikahinya. Oleh sebab itu, kami memberinya julukan Muhajir Ummi Qais (orang yang hijrahnya karena Ummu Qais).”

Kejadian itu pun diketahui oleh Rasulullah saw. Ketika beliau sampai di kota Madinah untuk melaksanakan hijrah, beliau berkhutbah yang di antara isinya adalah hadis tentang pentingnya niat tersebut.

Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi menjelaskan beberapa kandungan hadis ini. Di antaranya adalah tentang syarat niat. Ulama sepakat bahwa perbuatan seorang muslim tidak akan diterima dan mendapat pahala kecuali jika disertai dengan niat. Seperti dalam ibadah inti: shalat, haji, puasa, dan zakat, niat merupakan rukun. Oleh sebab itu, ibadah-ibadah tersebut tidak sah jika tidak diiringi niat.

Adapun waktu niat adalah di awal ibadah. Seperti takbiratul ihram untuk shalat, dan ihram untuk haji. Sedangkan puasa, maka diperbolehkan sebelumnya karena untuk mengetahui masuknya waktu Shubuh secara tepat sangat sulit.

Niat tempatnya adalah di dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Namun, boleh diucapkan untuk membantu konsentrasi. Juga disyaratkan menentukan secara tepat ibadah yang hendak dilakukan. Jadi, tidak cukup hanya dengan berniat untuk melakukan shalat secara umum. Namun, harus ditentukan shalat Zuhur, Asar, atau lainnya.

Hadis ini juga mendorong kita untuk ikhlas dalam segala perbuatan dan ibadah agar mendapat pahala di akhirat serta kemudahan dan kebahagiaan di dunia. Imam Al-Baidhawi berkata, “Amal ibadah tidak akan sah kecuali jika diiringi dengan niat. Karena, niat tanpa amal diberi pahala, sementara amal tanpa niat adalah sia-sia. Perumpamaan niat bagi amal, ibarat ruh bagi jasad. Jasad tidak akan berfungsi jika tanpa ruh, dan ruh tidak akan tampak jika terpisah dari jasad.”

Sementara itu, Dr. Ahmad Ubaidi Hasbillah di dalam Al-Fawaid Al-Musthafawiyah mengibaratkan niat sebagai pondasi sebuah bangunan. Sehingga, ketika seseorang ingin membangun rumah harus memiliki pondasinya. Begitu pula dengan orang yang hendak melakukan sesuatu harus memiliki niat yang ikhlas untuk menguatkan bangunan amalnya.

Kita pun diminta untuk berhati-hati dalam urusan niat. Kerena banyak sekali amal akhirat menjadi amal dunia disebabkan karena niatnya, begitu pula amal dunia bisa menjadi amal akhirat disebabkan karena niatnya.

Misalnya pada kasus Ummu Qais tersebut. Hijrah adalah amal akhirat jika niatnya karena melaksanakan perintah Allah dan RasulNya. Tetapi, hijrah tersebut malah menjadi amal dunia yang sia-sia jika dilakukan hanya karena untuk mengejar wanita yang dicintai. Oleh sebab itu, mari kita cek kembali niat kita. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Hadis Tahapan Penciptaan Manusia dan Amalan Terakhirnya

0
Hadis Tahapan Penciptaan Manusia dan Amalan Terakhirnya
Hadis Tahapan Penciptaan Manusia dan Amalan Terakhirnya

Hadispedia.id – Pada pembahasan keempat, imam Nawawi menjelaskan tentang hadis tahapan penciptaan manusia dan amalan terakhirnya sebagaimana berikut.

عَنْ اَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ: «إِنَّ أَحَدَكُمْ يَجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ فَوَاللهِ الَّذِيْ لَا إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.

Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud r.a., ia berkata, “Rasulullah saw. yang jujur dan terpercaya telah menceritakan kepada kami, ‘Sesungguhnya penciptaan kalian dikumpulkan dalam rahim ibu selama empat puluh hari berupa nutfah (sperma), lalu menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama itu pula, lalu menjadi mudhghah (segumpal daging) selama itu pula. Kemudian malaikat diutus untuk meniupkan ruh dan mencatat empat perkara, yaitu rezeki, ajal, amal, dan sengsara atau bahagianya.

Demi Allah, Dzat yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya ada di antara kalian yang melakukan perbuatan-perbuatan penghuni surga hingga jarak antara dia dengan surga hanya sehasta (dari siku sampai ke ujung jari), namun suratan takdirnya sudah ditetapkan, lalu ia melakukan perbuatan penghuni neraka, maka ia pun masuk neraka.

Ada juga yang melakukan perbuatan-perbuatan penghuni neraka hingga jarak antara dia dan neraka hanya sehasta. Namun suratan takdirnya sudah ditetapkan, lalu ia melakukan perbuatan penghuni surga, maka ia pun masuk surga.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Hadis ini tidak hanya diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari dan Muslim, tetapi juga diriwayatkan imam Abu Daud, imam At-Tirmidzi, dan imam Ibnu Majah di dalam kitab sunan mereka.

Hadis ini menjelaskan bahwa selama 120 hari, janin mengalami tiga kali perkembangan. Perkembangan tersebut terjadi setiap empat puluh hari. Empat puluh hari pertama, janin masih berbentuk sperma. Empat puluh hari berikutnya, berbentuk gumpalan darah. Empat puluh hari selanjutnya menjadi segumpal daging. Setelah itu, malaikat meniupkan ruh ke dalamnya dan menuliskan empat takdirnya.

Tiga tahapan tersebut juga disebutkan Allah swt. di dalam Q.S. Al-Hajj ayat 5. Sementara itu, Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa manusia itu diciptakan melalui tujuh tahapan. Hal ini didasarkan pada Q.S. Al-Mukminun ayat 12-14.

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari satu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging, kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik.” (Q.S. Al-Mukminun:12-14)

Allah swt. sebenarnya mampu menciptakan manusia secara langsung dan dalam waktu yang singkat. Tetapi ada banyak hikmah di dalamnya. Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi menjelaskan bahwa salah satu hikmahnya adalah untuk menyesuaikan sunnatullah yang berlaku di alam semesta. Semuanya berjalan sesuai hukum sebab akibat.

Hikmah lainnya adalah agar manusia berhati-hati dalam melakukan segala urusannya, tidak terburu-buru. Selain itu juga mengajarkan manusia bahwa untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan sempurna, baik dalam masalah-masalah batin atau zahir adalah dengan melakukannya dengan penuh hati-hati dan bertahap.

Hadis tersebut juga menyadarkan kita bahwa manusia itu terbuat dari air sperma yang ‘menjijikkan’. Di mana bahan dasarnya adalah dari tanah yang tempatnya di bawah, bukan di atas. Oleh sebab itu, maka sangatlah tidak pantas jika kita berlaku sombong dan takabbur.

Selanjutnya, Dr. Mustafa Dieb menerangkan bahwa terkait dengan pengetahuan Allah swt. terhadap takdir manusia sebelum mereka diciptakan, maka hal ini tidak meniadakan ikhtiar seorang hamba. Hal ini disebabkan karena Allah swt. telah memerintahkan hamba-Nya untuk beriman dan menaati perintah, juga melarang manusia dari kekufuran dan kemaksiatan.

Sehingga, apa yang telah diperintahkan hendaknya kita lakukan dan apa yang telah dilarang kita tinggalkan. Selain itu, kita juga sudah dibekali otak oleh Allah swt. untuk dapat berpikir mana yang baik dan mana yang buruk.

Pada hadis ini juga dijelaskan bahwa yang menjadi penentu adalah bagian akhir dari amal perbuatan. Karenanya, jangan tertipu dengan sikap dan perilaku manusia yang bersifat lahiriyah. Jangan pula berputus asa dengan sikap dan perilaku seseorang. Karena yang paling menentukan adalah akhir hayatnya.

Oleh sebab itu, marilah kita berdoa semoga Allah memberikan kepada kita keteguhan hati dalam kebenaran dan kebaikan serta memberikan kepada kita husnul khatimah. Rasulullah saw. pun pernah mengajarkan doa agar kita senantiasa ditetapkan hatinya untuk beragama dan melakukan ketaatan.

Ya Muqallibal qulub, tsabbit qalbi ‘ala dinik (Wahai Dzat yang membolak balikkan hati, teguhkanlah hatiku dalam agama-Mu).” Dalam riwayat Muslim, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya hati seluruh manusia berada di antara dua jari Allah, seolah-olah hanya satu hati. Allah berbuat sekehendaknya.” Lalu beliau berdoa, “Ya Musharrifal qulub, sharrif qulubuna ‘ala tha’atik (Wahai Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatanmu).”

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami berkata, “Sesungguhnya akhiran yang buruk diakibatkan oleh bibit keburukan yang terpendam dalam jiwa manusia, yang tidak diketahui orang lain. Kadang-kadang seseorang melakukan perbuatan-perbuatan ahli neraka. Namun, di dalam jiwanya terpendam bibit kebaikan. Maka, menjelang ajalnya bibit kebaikan tersebut tumbuh dan mengalahkan kejahatannya. Sehingga ia mati dengan husnul khatimah.”

Dengan demikian, maka tugas utama kita adalah terus berusaha dan berdoa agar dimudahkan melakukan kebaikan-kebaikan sesuai yang diperintahkan Allah swt. Karena kita tidak ada yang tahu takdir apa yang akan kita lalui. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Posisi Hadis dalam Hukum Islam

0
Posisi Hadis dalam Hukum Islam
Posisi Hadis dalam Hukum Islam

Hadispedia.id – Hadis dalam konsep hukum Islam dianggap sebagai mashdarun tsanin (sumber kedua) setelah al-Qur’an. Ia berfungsi sebagai penjelas dan penyempurna ajaran-ajaran Islam yang disebutkan secara global dalam al-Qur’an. Bisa dikatakan bahwa kebutuhan al-Qur’an terhadap hadis sebenarnya jauh lebih besar ketimbang kebutuhan hadis terhadap al-Qur’an. Kendati demikian, seseorang muslim tidak dibenarkan untuk mengambil salah satu dan membuang yang lainnya, karena keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.

Untuk mengeluarkan hukum Islam, pertama kali para ulama harus menelitinya di dalam al-Qur’an. Kemudian setelah itu, baru mencari bandingan dan penjelasannya di dalam hadis-hadis Nabi, karena pada dasarnya tidak satupun ayat yang ada dalam al-Qur’an kecuali dijelaskan oleh hadis-hadis Nabi. Sehingga dengan sinergi antar beberapa ayat dan hadis tersebut, seorang ulama bisa mengeluarkan hukum-hukum agama sesuai dengan persoalan yang dihadapi, tentunya dengan dukungan ilmu dan perangkat pengetahuan yang mumpuni terhadap kedua sumber tersebut.

Baca juga: Apa itu Ilmu Musthalah Hadis?

Menurut Abdul Wahab Khalaf, seorang ahli hukum Islam berkebangsaan Mesir, hadis mempunyai paling tidak tiga fungsi utama dalam kaitannya dengan al-Qur’an :

Pertama, hadis berfungsi sebagai penegas dan penguat segala hukum yang ada dalam al-Qur’an, seperti perintah salat, puasa, zakat dan haji. Abdul Wahab Khalaf mengatakan :

إما أن تكون سنة مقررة ومؤكدة حكما جاء في القرآن

Adakalanya hadis berfungsi sebagai penegas dan penguat terhadap hukum yang ada dalam al-Quran”.

Kedua, hadis juga berfungsi sebagai penjelas dan penafsir segala hukum yang bersifat global dalam al-Qur’an, seperti menjelaskan tata cara salat, puasa, zakat dan haji. Abdul Wahab Khalaf juga mengatakan :

إما أن تكون سنة مفصلِّة ومفسِّرة لما جاء في القرآن

Adakalanya Hadis berfungsi sebagai penjelas dan penafsir terhadap hukum global/umum yang disebutkan dalam al-Qur’an.

Ketiga, hadis juga berfungsi sebagai pembuat serta pemproduksi hukum yang belum dijelaskan oleh al-Qur’an seperti hukum mempoligami seorang perempuan sekaligus dengan bibinya, hukum memakan hewan yang bertaring, burung yang berkuku tajam dan lain sebagainya. Khalaf kembali mengatakan :

وإما أن تكون سنة مثبِتَة ومنشِئَة حُكما سكت عنه القرآن

Adakalanya Hadis berfungsi sebagai penetap dan pencipta hukum baru yang belum disebutkan oleh al-Qur’an”.

Baca juga: Pembelajar Hadis Wajib Kuasai Tiga Ilmu Ini!

Begitu pentingnya posisi hadis dalam konsepsi hukum Islam, maka seseorang yang akan berkecimpung di dalamnya diharuskan untuk mengenal istilah dasar dalam Ilmu Hadis, menguasai kaedah-kaedah takhrij dan kajian sanadnya, serta mengetahui seluk beluk dan tata cara memahami redaksinya. Karena pembacaan yang tidak paripurna serta serampangan terhadap hadis akan membuat seseorang keliru dan bahkan juga membuat keliru orang lain. Allahu A’lam

Hadis tentang Menolak Kemungkaran dan Bid’ah

0
Hadis Tentang Menolak Kemungkaran dan Bid'ah
Hadis Tentang Menolak Kemungkaran dan Bid'ah

Hadispedia.id – Imam Nawawi dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah menjelaskan hadis tentang menolak kemungkaran dan bid’ah pada pembahasan yang kelima sebagaimana berikut.

عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: «مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمُ. وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: «مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ».

Dari Ummul Mukminin, Ummu Abdillah, Aisyah r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa mendatangkan hal baru dalam urusan agama yang tidak termasuk bagian darinya (tidak ada dasar hukumnya) maka tertolak.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Disebutkan di dalam riwayat imam Muslim, “Barang siapa melakukan amalan tanpa didasari perintah kami, maka tertolak.”

Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh imam Abu Daud di dalam kitab Sunan Abi Daud, dan imam Ibnu Majah di dalam kitab Sunan Ibn Majah.

Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi Syarah kitab Al-Arbain An-Nawawiyah menjelaskan bahwa hadis ini merupakan salah satu dasar Islam yang sangat penting. Bila hadis “Segala sesuatu tergantung niatnya” menjadi barometer dari setiap perbuatan ditinjau dari segi batin/niatnya.

Yakni setiap amal yang tidak diniati untuk mencari ridha Allah, maka amal tersebut tidak berpahala. Maka, hadis ini menjadi barometer setiap perbuatan dari sisi zahirnya. Bahwa semua perbuatan yang tidak didasari perintah Allah dan Rasul-Nya, maka perbuatan tersebut tertolak.

Demikian pula orang yang membuat satu tambahan dalam agama yang tidak memiliki dasar, baik di dalam Al-Qur’an maupun hadis, maka tambahan tersebut sama sekali bukan bagian dari agama dan dengan sendirinya akan tertolak.

Begitu pentingnya hadis ini, Imam Nawawi pun berkata bahwa hadis ini perlu dihafal dan dijadikan dalil untuk menolak segala kemungkaran. Begitu pula dengan imam Ibn Hajar Al-Asqalani berkata, “Hadis ini merupakan salah satu dasar Islam. Secara tekstual, memiliki manfaat yang sangat luas, karena ia merupakan dasar global semua dalil.”

Adapun di antara kandungan hadis yang dapat kita ambil istifadahnya adalah sebagai berikut.

Pertama: Beramallah dengan ilmu. Ketika kita diperintahkan untuk melakukan sesuatu, maka berilah kapasitas diri kita dengan ilmu atas amal itu. Sehingga amal yang kita lakukan tersebut benar, dapat diterima, dan tidak sia-sia. Terutama dalam masalah amalan-amalan keagamaan. Kita harus mempelajari terlebih dahulu hukum dan tata caranya agar amal kita sesuai dengan syariat dan selamat.

Oleh sebab itu, jangan sampai kita tertipu dalam beramal karena kebodohan dan ketidak tahuan. Hal itu pun berujung pada penyesalan bahwa amal yang telah kita lakukan tidak ada manfaatnya dan tidak ada artinya.

Kedua:  Bidah atau sesuatu yang baru itu ada dua. Bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Bid’ah hasanah adalah perkara yang sifatnya baru dan tidak bertentangan dengan syara’. Bahkan sesuati atau didukung syariat. Contoh: Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar As-Shiddiq, penyeragaman bacaan Al-Qur’an pada masa Usman bin Affan, penulisan ilmu Nahwu dan berbagai ilmu lainnya.

Bid’ah sayyi’ah adalah perkara yang sifatnya baru dan bertentangan dengan syara’. Contohnya bergabung dengan aliran sesat yang mengingkari syariat Allah dan mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad saw.

Kedua kategori tersebut sebagaimana disebutkan oleh Imam Syafii, “Apa-apa yang disengaja dibuat dan tidak sesuai dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ atau atsar, maka perkara tersebut adalah bid’ah yang sesat/dhalalah. Apa-apa yang sengaja diciptakan dan bersifat baik  juga tidak bertentangan dengan dalil tersebut maka hal itu disebut dengan bid’ah yang baik/mahmudah.”

Ketiga: KH. Ali Mustafa Ya’qub di dalam salah satu karyanya menyebutkan bid’ah terbagi menjadi tiga bagian. Bid’ah dalam urusan akidah, ibadah, dan muamalah. Bid’ah dalam urusan akidah adalah keyakinan-keyakinan yang tidak bersumber dari Al-Qur’an dan hadis. Seperti Muktazilah yang mengatakan bahwa mukmin yang berdosa besar tidak akan masuk surga dan neraka tetapi berada di antara keduanya atau manzilah baina manzilatain.

Bid’ah dalam urusan ibadah adalah ibadah-ibadah yang tidak ada dalilnya baik dari Al-Qur’an, hadis, ijma’, qiyas, atau dalil-dalil agama lainnya. Seperti melaksanakan shalat Shubuh empat rakaat. Sementara bid’ah dalam urusan muamalah pada dasarnya semuanya diperbolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya. Seperti penciptaan teknologi-teknologi dan sebagainya, bahkan dalam urusan ini perlu diciptakan.

Keempat: Jangan sembarangan menuduh bid’ah kepada orang lain. Jika kita mengetahui ada seseorang yang melakukan atau menciptakan hal yang baru atau bid’ah, maka janganlah terburu-buru menghakiminya, mencela, dan sebagainya. Sebagaimana kita ketahui bahwa ada bid’ah yang baik dan ada pula yang buruk.

Terburu-buru menuduh bid’ah adalah perbuatan main hakim sendiri dan adab yang buruk. Di mana keduanya juga dapat menimbulkan fitnah. Maka, terlebih dahulu kita harus mengetahui dalil dan argumen atas perbuatan seseorang tersebut.

Kelima: Bukan hanya menciptakan tetapi juga mengamalkan bid’ah yang tidak sesuai dengan dalil syara’ itu tidak boleh. Oleh sebab itu, maka imam Nawawi di dalam hadis tersebut memberikan tambahan riwayat lain dengan redaksi “Barang siapa melakukan amalan tanpa didasari perintah kami, maka tertolak.” Sehingga riwayat tersebut dapat membungkam orang yang berdalih hanya mengamalkan saja tidak ikut menciptakan hal baru yang tidak sesuai dengan syara’.

Wa Allahu a’lam bis shawab.

Hadis tentang Islam, Iman, dan Ihsan

0
Hadis Islam iman dan ihsan
Hadis Islam iman dan ihsan

Hadispedia.id – Imam Nawawi di dalam kitab Al-Arbain menjelaskan hadis tentang Islam, iman, dan ihsan pada urutan kedua.

عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – اَيْضًا قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ اِذْ طَلَعَ عَلَينَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ، شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ. لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فأَسْنَدَ رُكْبَتَيهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ، وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ، وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِيْ عَنِ الْإِسْلَامِ ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنْ تَشْهَدَ أنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَتُقِيْمَ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلًا. قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ : فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الْإِيْمَانِ؟ قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ، قَالَ: صَدَقْتَ. قَالَ: فأَخْبِرْنِيْ عَنِ الْإِحْسَانِ؟ قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ، قَالَ: صَدَقْتَ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ السَّاعَةِ؟ قَالَ: مَا الْمَسْئُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ: أَنْ تَلِدَ الْأَمَةُ رَبَّتَها وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِى الْبُنْيَانِ. ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتَ مَلِيًّا، ثمَّ قَالَ لِيْ: يَا عُمَرُ أَتَدْرِيْ مَنِ السَّائِلُ؟ قُلْتُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: هَذَا جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ» رَوَاهُ مُسْلِم.

Dari Umar bin Al-Khattab r.a. juga, ia berkata,

“Suatu hari, kami duduk dekat Rasulullah saw., tiba-tiba muncul seorang laki-laki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya hitam legam. Tak terlihat tanda-tanda bekas perjalanan jauh, dan tak seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia duduk di depan Nabi saw., lututnya ditempelkan ke lutut beliau, dan kedua tangannya diletakkan di atas kedua pahanya sendiri, lalu berkata, ‘Wahai Muhammad! Beritahu aku tentang Islam.’

Rasulullah saw. menjawab, ‘Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan haji ke Baitullah jika engkau mampu.’ Laki-laki itu berkata, ‘Benar’. Kami heran kepadanya, ia yang bertanya kepada Nabi, ia pula yang membenarkannya.

Ia bertanya lagi, ‘Beritahu aku tentang iman.’ Nabi menjawab, ‘Iman itu engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari Akhir dan takdir; yang baik atau yang buruk.’ Ia berkata, ‘Benar’.

Dia bertanya lagi, ‘Beritahu aku tentang Ihsan.’ Nabi menjawab, ‘Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, kalaupun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.’

Laki-laki itu berkata lagi, ‘Beritahu aku kapan terjadinya Kiamat.’ Nabi menjawab, ‘Yang ditanya tidaklah lebih tahu dari pada yang bertanya.’ Dia pun bertanya lagi, ‘Beritahu aku tanda-tandanya.’ Nabi menjawab, ‘Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya, orang yang bertelanjang kaki dan tidak memakai baju (orang miskin), dan penggembala kambing saling berlomba mendirikan bangunan megah.’

Kemudian laki-laki itu pergi. Aku diam beberapa waktu. Setelah itu, Nabi bertanya kepadaku, ‘Hai Umar, tahukah kamu siapa yang bertanya tadi?’ Aku menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.’ Beliau bersabda, ‘Dia Jibril, datang untuk mengajarkan Islam kepada kalian.’ (H.R. Muslim)

Hadis ini juga diriwayatkan oleh imam At-Tirmidzi, imam Abu Daud, dan Imam An-Nasa’i di dalam kitab sunannya. Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi menjelaskan bahwa hadis ini termasuk hadis mutawatir. Hal ini disebabkan karena hadis ini diriwayatkan oleh 8 sahabat. Abu Hurairah r.a., Umar r.a., Abu Dzar r.a., Anas r.a., Ibnu Abbas r.a., Ibnu Umar r.a., Abu ‘Amir r.a., Al-Asy’ari r.a., dan Jariri Al-Bajali r.a.

Syekh Ibn Daqiq Al-‘Id di dalam Syarh Al-Arbain An-Nawawiyah berkata, “Hadis ini sangat penting, meliputi semua amal perbuatan, baik yang zahir maupun yang batin. Begitu pula ilmu-ilmu syariat mengacu kepadanya  karena ia mencakup semua ilmu sunnah. Oleh sebab itu, maka hadis ini merupakan induknya hadis/ummus sunnah. Sebagaimana surah Al-Fatihah yang menjadi ummul Qur’an/induknya Al-Qur’an karena mencakup seluruh nilai-nilai Al-Qur’an.”

Hadis ini dikenal dengan hadis Jibril, karena malaikat Jibril secara langsung datang kepada Nabi saw. dan para sahabatnya untuk mengajarkan semua aspek tentang agama. Yakni meliputi iman, islam, dan ihsan.

Dr. Ahmad Ubaidi Hasbillah di dalam kitab Al-Fawaid Al-Mustafawiyyah menjelaskan hubungan antara hadis ini dengan hadis tentang niat. Niat itu dianggap sah dengan adanya keimanan. Niat yang disertai dengan keimanan adalah dengan membenarkan di dalam hati dan mengikrarkan dengan lisan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Selanjutnya mengamalkan dengan anggota badan amal-amal shalih yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Seperti shalat, zakat, puasa, dan haji.

Selanjutnya kebenaran niat dan amal harus disempurnakan dengan berbuat ihsan kepada Allah swt. Yakni merasa diawasi oleh Allah swt. dalam melaksanakan niat dan amal itu. Dengan iman, islam, dan ihsan itulah seseorang dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi hari Kiamat.

Pada hadis tersebut sudah dapat dipastikan bahwa datangnya hari Kiamat itu tidak ada yang tahu. Bahkan Nabi saw. dan malaikat Jibril a.s. pun tidak tahu. Artinya jika ada orang yang memprediksi waktu datangnya hari Kiamat, maka jelas sekali hal itu tidak boleh dipercaya. Sejatinya kita tidak perlu meributkan kapan hari Kiamat akan datang, tetapi hendaknya kita menyibukkan diri untuk mempersiapkannya dengan amal shalih.

Namun, Nabi saw. telah menjelaskan di antara tanda-tandanya. Yakni adanya krisis moral dengan banyaknya anak yang durhaka kepada orang tuanya seperti perlakuan tuan kepada budaknya. Dan kehidupan yang jungkar balik. Banyak orang bodoh menjadi pemimpin, pemberian wewenang kepada orang yang tidak mempunyai kemampuan, manusia banyak yang sombong dan foya-foya, bahkan mereka berlomba saling meninggikan bangunan.

Hadis ini juga menunjukkan pentingnya memperhatikan penampilan, perilaku, dan kebersihan ketika mendatangi ulama dan majlis ilmu. Selain itu, hadis ini juga mengajarkan metode tanya jawab dalam menuntut ilmu. Wa Allahu a’lam bis shawab.