Beranda blog Halaman 89

Cara Memilih Calon Suami atau Istri Berdasarkan Hadis Nabi

0
Hadis Nabi Memilih Istri dan Suami
Hadis Nabi Memilih Istri dan Suami

Hadispedia.id- Sebelum menentukan calon suami maupun calon istri, Islam memberikan kriteria khusus bagaimana seharusnya seorang suami atau istri dipilih. Karena seringkali kita dihadapkan dengan berbagai persoalan yang sedemikian rupa. Misalnya kita dihadapkan dengan beberapa calon suami atau istri yang masing-masing memiliki kelebihan.

Satu di antaranya memiliki kelebihan harta, satu yang lainnya memiliki kelebihan rupa dan bisa juga memiliki kelebihan pada kematengan agamanya. Dari sinilah Islam memandu agar kita tidak memilih calon suami/istri yang kurang tepat untuk rumah tangga kita nantinya. Berikut adalah cara memilih calon suami atau istri berdasarkan hadis Nabi saw. riwayat imam Abu Dawud: 

 عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw., beliau bersabda, “Calon suami atau istri dinikahi karena empat hal yaitu sebab hartanya, sebab strata sosialnya, sebab kecantikannya, dan sebab kedalaman agamanya. Pilihlah calon istri atau suami yang kuat agamanya, kamu pasti beruntung. (H.R. Abu Daud)

Hadis di atas kalimat awalnya berbentuk khabar, Nabi saw. menceritakan kebiasaan yang terjadi di masyarakat. Bahwa wanita  biasanya dinikahi karena empat hal yaitu yang pertama karena ia memiliki kekayaan harta, kedua karena ia memiliki strata sosial yang tinggi di masyarakatnya, ketiga karena kecantikannya dan yang keempat karena agamanya. Nabi saw. kemudian menekankan dalam bentuk perintah, agar kita memilih calon suami atau istri yang memiliki agama yang kuat.

Jika rumah tangga tanpa didasari dengan agama yang kuat maka akan hilang barokah dan kebaikannya. Karena keduanya tidak memiliki tujuan yang pasti, tidak dapat saling menenangkan. Dapat dibayangkan, sepasang suami istri yang berjalan di tengah gelapnya malam penuh tantangan tanpa penerang cahaya, bagaimana jadinya.

Itulah mengapa Nabi saw., teladan kita memerintahkan agar memilih calon pasangan berdasarkan agamanya. Karena kesakinahan dan keberkahan hanya bisa didapatkan dengan menghadirkan agama dalam kehidupan rumah tangga. Menghadirkan Allah swt. dalam seluruh kehidupan rumah tangga. (Syarah Sunan Abi Daud, Abdul Mahasin al-‘Ibbaad)

Setelah menentukan calon pasangan kita, Nabi saw. memerintahkan agar kita juga melakukan nadhar, yaitu melihat pasangan kita, mencari tahu tentangnya dari sahabat maupun orang terdekat, memahami perilaku dan cara berpikirnya. Semata-mata agar kita menetukan sendiri pilihan kita, apakah bisa hidup bersama kita dengan saling melengkapi. Apakah mungkin bisa menjalin kerjasama bersamanya seumur hidup kita. Hal-hal semacam ini perlu diperhatikan, agar setelah menikah tidak menimbulkan kemudharatan dan kekecewaan yang merugikan satu atau kedua belah pihak.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ قَالَ : فَخَطَبْتُ جَارِيَةً فَكُنْتُ أَتَخَبَّأُ لَهَا حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا مَا دَعَانِي إِلَى نِكَاحِهَا وَتَزَوُّجِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا

Dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah saw. bersabda, “Apabila kalian melamar seseorang maka pandanglah (pahamilah) semampu kalian terhadap apa yang mendorong kalian untuk menikahinya. Jabir berkata, “Kemudian aku melamar seorang perempuan dan aku melihatnya dan hal itu mendorongku untuk menikahinya, maka saya menikahinya.” (H.R. Abu Daud).

Hadis ini memandu kita agar kita bisa menentukan pasangan kita sendiri, tanpa paksaan dari siapapun. Pasangan, kita tentukan berdasarkan pengetahuan kita terhadapnya. Agama menghendaki kemaslahatan sehingga jalan-jalan yang berimpilkasi pada kemudharatan harus dihentikan. Wallahu a’lam.

 

Apa Itu Ilmu Musthalah Hadis?

0
Apa Itu Ilmu Musthalah Hadis.?
Apa Itu Ilmu Musthalah Hadis.?

Hadispedia.id – Sebelum memulai kajian apapun, seorang pelajar dianjurkan untuk mengetahui al-mabadi al-‘asyarah atau sepuluh istilah dasar dari bidang ilmu yang akan dipelajari. Tujuannya adalah supaya ia mengerti dengan objek yang dipelajari, apa tujuan, manfaat, materi, serta siapa pencetusnya. Demikian juga ia dapat mengetahui arah pembelajaran sehingga dapat menghayati serta mengikutinya dengan sepenuh hati. Syekh Muhammad ibn Ali al-Shubban (1206 H) menyimpulkan kesepuluh istilah tersebut dalam bait syair berikut :

إن مبادئ كل فن عشرة : الحد والموضوع ثم الثمرة، ونسبة وفضله والواضع : والاسم والاستمداد حكم الشارع، مسائل والبعض بالبعض اكتفى : ومن درى الجميع حاز الشرفا.

Sesungguhnya istilah dasar setiap cabang keilmuan itu ada 10, yaitu pengertian, objek bahasan, manfaat, posisi, keutamaan, pencetus, nama, tempat pengambilan, hukum mempelajari, dan permasalahan-permasalahannya. Masing-masingnya saling melengkapi. Barangsiapa yang menguasai semuanya, niscaya dia akan memperoleh kemulian”.

Di antara istilah-istilah dasar tersebut adalah :

Pertama, ilmu ini dinamai Ilmu Musthalah Hadis. Selain itu, sebagian ahli ada juga yang menamakannya dengan Ilmu Riwayah wa Akhbar atau Ushul Hadis.

Kedua, pengertian. Mahmud Thahhan dalam karyanya, Taisir Musthalah al-Hadis mendefinisikannya sebagai berikut :

علم بأصول وقواعد يعرف بها أحوال السند والمتن من حيث القبول والرد.

Yaitu ilmu yang mengkaji tentang kaedah-kaedah terkait sanad (silsilah) dan matan (redaksi) sebuah hadis untuk menentukan apakah dia valid atau tidak”.

Ketiga, objek kajiannya adalah sanad dan matan sebuah ungkapan yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw.

Keempat, manfaatnya adalah untuk membedakan mana hadis yang berderajat shahih, hasan dan dhoif.

Kelima, hukum mempelajarinya adalah fardhu kifayah. Namun jika tidak satupun yang menguasainya, maka hukumnya menjadi fardhu ‘ain.

Keenam, pencetus pertama kali adalah al-Qadhi Abu Muhammad al-Hasan ibn Abdurrahman ibn Khallad al-Ramahurmuzi (360 H) lewat karyanya al-Muhaddits al-Fashil Bayn al-Rawi wa al-Wa’i.

Ketujuh, sumber pengambilannya adalah dari al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi yang shahih yang menjelaskan pentingnya mengonfirmasi sebuah informasi yang muncul dari siapapun.

Kedelapan, keutamaannya adalah ilmu ini mendekatkan seseorang kepada objek yang dikaji yaitu Nabi Muhammad Saw dan membuat pengkajinya menjadi mulia serta dekat dengan Allah Swt.

Kesembilan, ilmu ini mempunyai fungsi sebagai pembantu dalam memahami al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman secara umum.

Kesepuluh, sub kajiannya antara lain pengertian hadis, pembagiannya berdasarkan kualitas dan kuantitas sanadnya, metode penyampaian hadis, kaedah-kaedah jarah dan ta’dil dan lain sebagainya.

Demikianlah sepuluh istilah dasar dari Ilmu Musthalah Hadis. Semoga dengan mengetahuinya dapat menambah semangat dan spirit para pembaca dalam mempelajari hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. Allahu A’lam

Hadis tentang Rukun Islam yang Ada Lima

0
Hadis tentang Rukun Islam yang Ada Lima
Hadis tentang Rukun Islam yang Ada Lima

Hadispedia.id – Imam Nawawi di dalam kitab Al-Arbain menjelaskan hadis tentang rukun Islam yang ada lima pada pembahasan ketiga sebagaimana berikut.

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنْ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ:« بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.

Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Umar bin Al-Khattab r.a., ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda,

Islam dibangun di atas lima (pilar): (1) Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, (2) Melaksanakan shalat, (3) Menunaikan zakat, (4) Haji ke Baitullah, (5) Puasa Ramadhan.’ (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Hadis ini juga diriwayatkan oleh imam At-Tirmidzi dan imam An-Nasai di dalam kitab Sunannya dan imam Ahmad bin Hanbal di dalam kitab Musnadnya.

Imam Nawawi di dalam kitab Syarah Shahih Muslim menjelaskan tentang penyebab kata haji didahulukan dari pada puasa pada riwayat tersebut. Pada dasarnya, Ibnu Umar r.a. memiliki empat redaksi periwayatan tentang hadis ini. Riwayat pertama dan keempat mendahulukan puasa, sedangkan riwayat kedua dan ketiga mendahulukan haji. Ia meriwayatkan dua versi tersebut dalam dua waktu yang berbeda.

Namun, pada kesempatan lain, Ibnu Umar r.a. pernah menegur Yazid bin Bisyr yang meriwayatkan hadis tersebut dengan mendahulukan haji daripada puasa. Kemungkinan, Ibnu Umar r.a. lupa bahwa ia pun meriwayatkan versi seperti itu.

Sementara itu, Syekh Abu Amru bin Shalah berpendapat bahwa konsistensinya Ibnu Umar r.a. untuk mendahulukan puasa dari pada haji dan melarang untuk membaliknya menjadikan dasar bahwa kata wawu pada hadis tersebut itu menunjukkan urutan tertib. Inilah yang dijadikan patokan mayoritas ulama Syafiiyah dan ulama Nahwu. Ada pula yang menganggap wawu tersebut bukan menunjukkan urutan tertib.

Jumhur ulama mengatakan bahwa sebenarnya wawu itu menunjukkan tertib karena kewajiban puasa Ramadhan itu pada tahun 2 H. Sedangkan kewajiban haji pada tahun 6 H. dikatakan pula 9 H. Sehingga kata puasa harus didahulukan daripada haji.

Adapun periwayatan mendahulukan haji itu dianggap diriwayatkan secara makna/bil makna (periwayatan dengan lafadz yang berbeda dengan inti/makna yang sama). Atau ketika meriwayatkannya tidak mendengar larangan Ibnu Umar r.a. tentang hal itu. Syekh Abu Amru bin Shalah juga menegaskan agar tidak mendhaifkan antara satu dengan lainnya, karena keduanya itu riwayat yang shahih di dalam dua kitab shahih pula.

Sementara itu, imam Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul Bari menyebutkan bahwa penyebutan shalat, zakat, dan haji beriringan pada hadis tersebut memiliki rahasia. Yakni shalat itu amal yang bersifat badan, zakat amal yang bersifat harta, dan haji adalah amal yang menggunakan badan dan harta sekaligus.

Sedangkan puasa dijadikan rukun kelima pada hadis tersebut disebabkan karena puasa itu amal jiwa, bukan perbuatan badan. Oleh sebab itu puasa diakhirkan. Namun, jika ingin menyengaja mengurutkan sesuai tertib maka harus mendahulukan puasa daripada haji karena Ibnu Umar pun mengingkari orang yang meriwayatkan hadis dengan mendahulukan haji daripada puasa. Meskipun Ibnu Umar r.a. memiliki riwayat seperti itu pada riwayat lainnya.

Penjelasan Hadis

Sebuah bangunan tiada berarti jika tidak kuat dan kokoh. Oleh sebab itu, maka bangunan itu pasti butuh pondasi, tiang, tembok, atap, pintu, dan fentilasi udara agar nyaman dan layak untuk dijadikan hunian.

Sementara itu, bangunan yang kita tempati di dunia ini adalah Islam. Hal ini sebagaimana disampaikan di dalam hadis tersebut bahwa Rasulullah saw. mengibaratkan Islam sebagai bangunan yang terdiri dari lima pilar.

Dr. Ahmad Ubaidi Hasbillah di dalam kitab Al-Fawaid Al-Mustafawiyah menggambarkan bangunan Islam dengan sangat jelas. Dua kalimat syahadat itu ibarat pondasi bangunan Islam. Shalat lima waktu adalah tiangnya. Puasa adalah temboknya. Zakat menjadi atapnya. Haji dan umrah sebagai pintu dan jendelanya.

Apa jadinya jika kita tinggal di sebuah bangunan yang tidak memiliki pondasi? Pastinya bangunan itu akan mudah roboh karena terjangan angin dan mudah terbawa arus banjir. Oleh sebab itu, pondasi pertama banguan Islam adalah dua kalimat syahadat.

Apa jadinya jika kita tinggal di sebuah bangunan yang tidak memiliki tiang? Maka, bangunan itu tidak dapat berdiri dan tidak bisa dipasang atap. Oleh sebab itu, shalat menjadi tiangnya agama. Siapa yang mendirikan shalat, maka ia telah mendirikan agamanya. Namun, jika ia tidak mendirikan shalat, maka ia sama saja dengan tidak mendirikan agamanya.

Setelah bangunan itu memiliki pondasi dan tiang, maka bangunan itu juga membutuhkan tembok agar terhindar dari hal-hal yang membahayakan. Begitu pula dengan bangunan Islam, puasa menjadi temboknya. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi saw. bahwa puasa adalah perisai.

Bangunan itu pun membutuhkan atap agar terhindar dari hujan dan sengatan matahari. Maka, atap untuk bangunan Islam adalah zakat. Di mana zakat itu dapat menolak bencana dan menyucikan harta.

Bangunan juga membutuhkan pintu dan jendela. Maka, buatlah pintu dan jendela dengan melaksanakan haji dan umrah karena hal itu dapat menjernihkan hawa nafsu dan meleburkan kesalahan. Setelah bangunan itu kokoh, maka hendaknya diperbagus dan dihiasi dengan ibadah-ibadah sunah, shalat sunah, shadaqah, infaq, puasa sunah, dan amal-amal shalih lainnya.

Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi menjelaskan bahwa ibadah dalam Islam bukanlah sekedar bentuk kegiatan fisik. Lebih dari itu, ibadah mempunyai tujuan yang mulia. Shalat misalnya, tidak akan berguna jika orang yang melakukan shalat tidak meninggalkan perbuatan keji dan mungkar.

Puasa, tidak akan bermanfaat ketika orang yang melakukan puasa tidak meninggalkan perbuatan dusta. Haji atau zakat tidak akan diterima jika dilakukan hanya karena ingin dipuji orang lain.

Meskipun demikian, bukan berarti ketika tujuan dan buah tersebut belum tercapai, ibadah boleh ditinggalkan. Dalam kondisi seperti ini seseorang tetap berkewajiban untuk menunaikannya seikhlas mungkin dan senantiasa berusaha mewujudkan tujuan dari setiap ibadah yang dilakukan. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Pembelajar Hadis Wajib Kuasai Tiga Ilmu Ini

0
Pembelajar Hadis
Pembelajar Hadis

Hadispedia.id – Sebagaimana halnya al-Qur’an, hadis juga mempunyai rumpun keilmuan yang beragam. Seseorang tidak dibenarkan untuk berdalil dengan menggunakan hadis Nabi sebelum dia menguasai secara mendalam ragam keilmuan hadis tersebut. Hal ini adalah rasional karena juga diterapkan dalam segala rumpun keilmuan yang ada. Misalnya saja seseorang tidak dibenarkan mengambil tindakan medis terhadap orang yang sakit kecuali kalau dia mempunyai sertifikat dokter dan menguasai ilmunya. Begitu juga seseorang tidak diizinkan untuk mengajar kecuali jika dia menguasai bidang yang ia ajar dan lain sebagainya.

Almarhum Kyai Ali Mustafa Yaqub, salah seorang pakar hadis Nusantara, menjelaskan dalam salah sebuah bukunya :

وتنحصر دراسات الحديث النبوي في العصر الحاضر على ثلاثة أمور : الأول ما يتعلق بمصطلح الحديث بما في ذلك الدفاع عن الحديث ضد منكري الحديث والمستشرقين. والثاني ما يتعلق بطرق تخريج الحديث ونقد المتون والأسانيد. والثالث ما يتعلق بفهم الحديث النبوي.

Kajian hadis pada masa sekarang terbagi menjadi tiga bahasan. Pertama, berkaitan dengan dengan Ilmu Mustalah Hadis, termasuk untuk mempertahankan hadis dari serangan orang-orang yang menolak hadis dan para orientalis. Kedua, berkaitan dengan metode takhrij serta kritik matan dan sanad hadis. Ketiga, bahasan yang berkaitan dengan metode pemahaman hadis”.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa seseorang baru bisa dikatakan sebagai ahli hadis dalam konteks sekarang ketika dia menguasai tiga ilmu berikut :

Pertama, Ilmu Mustalah Hadis. Yaitu ilmu yang berisi tentang istilah-istilah dasar dalam Ilmu Hadis, seperti apa yang dimaksud dengan sanad dan matan. Apa itu hadis sahih, hasan dan dhoif. Apa saja kriteria sebuah hadis disebut sahih, hasan dan dhoif. Apa yang dimaksud dengan istilah mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi. Apa yang dimaksud dengan hadis ahad dan variannya dan lain sebagainya. Ilmu ini berfungsi untuk mempertahankan eksistensi hadis sebagai sumber kedua hukum Islam dari cengkeraman orang-orang yang tidak menyukainya.

Kedua, Ilmu Takhrij dan Dirasah Sanad. Yaitu ilmu yang berisi tatacara mengidentifikasi sebuah teks apakah benar dia berstatus sebagai hadis Nabi atau bukan. Selain itu, ilmu ini juga berfungsi untuk membuktikan tingkat kevalidan sebuah ungkapan apakah dia hadis sahih, hasan, atau dhoif dengan menganalisis segala sesuatu yang terdapat di dalam sanad-nya. Dengan menguasai ilmu ini, seseorang dapat mengatakan bahwa hadis ini bernilai sahih karena sanad-nya bersambung hingga kepada Nabi Muhammad Saw dan semua perawi (pembawa beritanya) berstatus jujur dan adil, serta hasil penelitian lainnya.

Ketiga, Ilmu Thuruq Fahm al-Hadis. Yaitu ilmu yang berisi tentang tatacara serta kaedah-kaedah khusus dalam memahami teks hadis seperti kaedah tidak semua hadis sahih langsung diamalkan, tidak semua hadis dhoif langsung ditolak, kaedah membedakan antara hadis yang mengandung syariat dan hadis yang hanya sebatas budaya lokal Arab semata dan lain sebagainya. Ilmu ini sangat penting dalam ranah pengaplikasian hadis, sehingga bagi orang yang menguasainya diharapkan dapat memahami konteks sebuah hadis dengan baik dan benar. Allahu A’lam

Sejarah Awal Kemunculan Ilmu Musthalah Hadis

0
Sejarah Kemunculan Ilmu Musthalah Hadis
Sejarah Kemunculan Ilmu Musthalah Hadis

Hadispedia.id – Setelah Rasulullah Saw wafat, estafet ajaran Islam dilanjutkan oleh para sahabat. Mereka menyebar ke berbagai daerah untuk mengajarkan al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi. Sebagian besar ajaran itu disampaikan secara oral dari seorang sahabat ke sahabat yang lain dan dari satu tabi’in ke tabi’in yang lain. Sebuah gebrakan baru dilakukan oleh Khalifah Abu Bakr. Setelah bermusyawarah dengan Umar dan beberapa sahabat lainnya, ia mengambil kebijakan untuk membukukan al-Qur’an. Hal itu dilatarbelakangi oleh kekhawatiran akan lenyapnya al-Qur’an karena para penghafalnya banyak yang sudah meninggal dunia.

Berbeda halnya dengan al-Qur’an, hadis tidak mendapatkan perlakuan yang sama. Ia tetap saja disebarkan secara oral dari mulut ke mulut. Pembukuannya dirasa belum diperlukan karena para sahabat masih banyak dan kejujuran pada saat itu masih dijunjung tinggi. Apabila seorang sahabat membutuhkan keterangan terkait sebuah persoalan misalnya, mereka tinggal bertanya kepada sahabat yang lain. Lalu sahabat tersebut akan menjelaskannya sesuai dengan apa yang ia dengar dari Nabi ataupun sahabat-sahabat yang lain. Hadis tersebar secara natural tanpa ada kecurigaan akan adanya kebohongan ataupun kemunafikan dari para penuturnya.

Namun seiring berjalannya waktu, kehidupan sahabat tidak lagi diselimuti oleh ketenteraman seperti masa-masa awal dahulu. Pergolakan politik serta banyaknya berita-berita bohong yang tersebar telah membuat hilangnya kepercayaan antar satu sama lain. Di saat yang sama, para pelaku bid’ah juga merajalela. Mereka dengan mudahnya menisbatkan sebuah perkataan kepada Nabi demi untuk mendukung ide-ide bohong mereka. Maka sejak saat itu, para sahabatpun mulai selektif dalam menerima hadis. Mereka sangat berhati-hati dalam menerima ataupun menyampaikan sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw.

Terkait dengan hal ini, Imam Muslim (261 H) dalam Shahih-nya mengutip perkataan Ibnu Sirin (110 H) sebagai berikut :

لم يكونوا يسألون عن الإسناد، فلما وقعت الفتنة قالوا : سموا لنا رجالكم، فينظر إلى أهل السنة فيؤخذ حديثهم وينظر إلى أهل البدع فلا يؤخذ حديثهم.

Para sahabat (awalnya) tidak pernah menanyakan tentang isnad (silsilah berita). Ketika fitnah mulai tersebar, merekapun berkata (kepada setiap pembawa berita) : Sebutkan kepada kami silsilah keilmuan kalian! Lalu mereka memilah informasi dari ahli sunah dan ahli bid’ah. Hadis yang disampaikan oleh para ahli sunah mereka terima. Sementara itu hadis yang bersumber dari ahli bid’ah (yang suka berbohong) mereka tolak”.

Karena sebuah berita tidak bisa diterima kecuali setelah mengetahui silsilah pembawanya (sanadnya), maka pada masa-masa selanjutnya mulailah berkembang Ilmu Jarah wa al-Ta’dil, yaitu ilmu untuk mengetahui kredibelitas pembawa berita. Begitu juga berkembang ilmu tentang asal-usul pembawa berita (Ilmu Rijal) dan Ilmu Sanad untuk membuktikan apakah silsilah sebuah berita bersambung hingga kepada Nabi atau terputus. Hingga ilmu tentang sebab-sebab tertolaknya sebuah berita atau yang disebut juga dengan ilmu ‘Ilal al-Hadis dan lain sebagainya.

Vase ini berakhir dengan lahirnya beberapa karya yang fokus membahas masalah-masalah ini. Seperti misalnya kitab al-Muhaddits al-Fashil bayn al-Rawi wa al-Wa’i karya al-Qadhi al-Ramahurmuzi (360 H), Kitab Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits karya al-Hakim al-Naisaburi (405 H), Kitab al-Mustakhraj ‘ala Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits karya Abu Nu’aim al-Ashbahani (430 H), al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah karya al-Khatib al-Baghdadi (463 H) dan lain sebagainya. Allahu A’lam

Kitab-kitab Populer dalam Ilmu Hadis

0
Kitab-kitab populer dalam Ilmu Hadis
Kitab-kitab populer dalam Ilmu Hadis

Hadispedia.id – Seperti yang sudah dijelaskan pada tulisan sebelumnya, Ilmu Musthalah Hadis secara nama belum ada pada masa Rasulullah Saw. Ia pada saat itu masih berupa spirit yang teraplikasikan secara natural dalam kehidupan para sahabat ketika mendengarkan berita yang disebut-disebut bersumber dari Nabi Saw. Ketika mereka mendengarkan seseorang bercerita tentang Nabi, maka merekapun mengkonfirmasi kebenaran berita tersebut kepada sumber utamanya, yaitu Nabi Muhammad Saw sendiri atau orang-orang yang dekat dengan beliau.

Hal serupa juga terjadi setelah wafatnya Rasul. Para sahabat saling bertanya antar satu sama lain dalam mengkonfirmasi kebenaran sebuah berita. Lama-kelamaan karena waktu terus bergulir dan jarak umat Islam dengan Nabi semakin jauh, maka dengan sendirinya sebuah berita membentuk silsilah pembawanya (perawi) yang semakin panjang. Hal inilah yang kemudian melatari munculnya sebuah ilmu untuk mengkaji kebenaran silsilah berita tersebut. Ilmu tersebut bernama Ilmu Musthalah Hadis yang pembentukannya semakin matang pada abad kedua dan ketiga hijriah.

Puncaknya adalah dengan ditulisnya beberapa kitab khusus yang membahas istilah-istilah penting dalam hadis sebagai berikut :

Pertama, Kitab al-Muhaddits al-Fashil bayn al-Rawi wa al-Wa’i karya al-Qadhi al-Ramahurmuzi (360 H). Kitab ini dianggap sebagai kitab pertama yang membahas Ilmu Hadis secara khusus, meskipun pembahasannya masih umum dan belum terlalu detail.

Kedua, kitab Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits karya al-Hakim al-Naisaburi (405 H). Kitab ini juga masih sederhana dan susunannya belum tersistematis.

Ketiga, kitab al-Mustakhraj ‘ala Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits karya Abu Nu’aim al-Asbahani (430 H). Penulisnya melalui kitab ini mencoba melengkapi kekurangan dari kitab-kitab yang ada sebelumnya.

Keempat, kitab al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah karya al-Khatib al-Baghdadi (463 H). Berbeda dengan karya-karya sebelumnya, kitab ini lebih lengkap dan memuat tema-tema Ilmu Hadis yang lebih beragam.

Kelima, kitab ‘Ulum al-Hadits atau yang lebih dikenal dengan sebutan Muqaddimah Ibn Shalah yang ditulis oleh Imam Ibn Shalah (643 H). Kitab ini menghimpun keterangan dari beberapa kitab sebelumnya dan merapikan sistematika penyajiannya.

Keenam, kitab al-Taqrib wa al-Taysir li Ma’rifah Sunan al-Basyir al-Nadzir karya Imam al-Nawawi (676 H). Karya ini merupakan kesimpulan dari kitab Muqaddimah Ibn Shalah.

Ketujuh, kitab Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi karya Imam Jalaluddin al-Suyuthi (911 H). Karya ini merupakan syarh (penjelasan) dari kitab al-Taqrib al-Nawawi.

Kedelapan, kitab Taisir Mushthalah al-Hadis karya Mahmud Thahhan. Kitab kontemporer yang mencakup seluruh istilah dalam Ilmu Hadis dan dijelaskan dengan bahasa yang gamblang serta mudah dipahami.

Selain itu, sebagian kitab Ilmu Hadis ada juga yang ditulis dalam bentuk nazham (syair berbahasa Arab) oleh para ulama, di antaranya seperti kitab Alfiyyah al-‘Iraqi karya Imam al-‘Iraqi (806 H) yang kemudian dijelaskan oleh Imam al-Sakhawi (902 H) dalam karyanya Fath al-Mughits fi Syarh Alfiyyah al-Hadits. Demikian juga dengan nazham al-Bayquni yang ditulis oleh Umar ibn Muhammad al-Baiquni (1080 H) yang terdiri dari 34 bait saja. Kitab yang terakhir ini sangat populer dan diajarkan di berbagai pesantren di Nusantara. Allahu A’lam

Hadis Segala Perbuatan Ditentukan Niatnya

0
Segala Perbuatan Tergantung Niatnya
Segala Perbuatan Tergantung Niatnya

Hadispedia.id – Hadis pertama sebagai pembuka kitab Al-Arbain An-Nawawiyah adalah hadis segala perbuatan ditentukan niatnya.

عَنْ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ أَبِي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رضي الله عنه – قَالَ: سَمِعْت رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ: ” إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ”

رَوَاهُ إِمَامَا الْمُحَدِّثِينَ أَبُو عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بنُ إِسْمَاعِيل بن إِبْرَاهِيم بن الْمُغِيرَة بن بَرْدِزبَه الْبُخَارِيُّ الْجُعْفِيُّ، وَأَبُو الْحُسَيْنِ مُسْلِمٌ بنُ الْحَجَّاج بن مُسْلِم الْقُشَيْرِيُّ النَّيْسَابُورِيُّ فِي “صَحِيحَيْهِمَا” اللذِينِ هُمَا أَصَحُّ الْكُتُبِ الْمُصَنَّفَةِ.

Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Al-Khattab r.a. berkata,

Semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan. Siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju.”

(Diriwayatkan oleh dua ahli hadis; Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari Al-Ju’fi dan Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi di dalam kedua kitab shahihnya yang merupakan kitab hadis paling shahih)

Hadis ini juga diriwayatkan oleh imam Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah di dalam kitab sunannya. Selain itu, imam Ahmad pun meriwayatkan di dalam kitab Musnadnya. Begitu pula imam Ad-Daruqutni di dalam kitab sunannya, imam Ibnu Hibban di dalam kitab shahihnya, dan imam Al-Baihaqi di dalam kitab sunannya.

Hadis ini merupakan salah satu hadis yang menjadi porosnya agama Islam. Pentingnya hadis ini dapat dilihat dari beberapa pendapat ulama. Imam Abu Daud berkata bahwa hadis ini merupakan setengah dari ajaran Islam. Hal ini disebabkan karena agama itu bertumpu pada dua hal: sisi luarnya yakni amal perbuatan dan sisi dalamnya berupa niat.

Sedangkan imam Syafii, imam Ahmad, imam Al-Baihaqi, dan imam lainnya mengatakan bahwa hadis ini mencakup sepertiga ilmu. Alasannya adalah karena perbuatan manusia itu terkait dengan tiga hal; hati, lisan, dan anggota badan. Sementara niat di dalam hati adalah salah satu dari tiga hal tersebut. Ada pula ulama lain yang mengatakan hadis ini adalah seperempatnya ilmu. Bahkan imam Syafii mengatakan bahwa hadis tersebut masuk dalam 70 bab masalah fiqh.

Melihat pentingnya hadis ini, maka tidak heran jika banyak ulama mengawali kitabnya dengan menyebutkan hadis ini. Di antaranya adalah imam Al-Bukhari yang menempatkan hadis ini pada posisi pertama kitab shahihnya. Begitu pula imam An-Nawawi di dalam tiga kitabnya: Riyadhus Shalihih, Al-Adzkar, dan Al-Arbain An-Nawawiyah.

Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi mengatakan bahwa penyebutan hadis ini di awal kitab adalah agar pembaca menyadari pentingnya niat. Sehingga, ia akan meluruskan niatnya hanya karena Allah, baik ketika menuntut ilmu atau melakukan kebaikan lainnya.

Begitu pula dengan imam Abdurrahman bin Mahdi menghimbau setiap orang yang hendak menyusun kitab agar memulainya dengan hadis ini. Hal ini sebagai pengingat para penuntut ilmu untuk meluruskan niatnya.

Imam At-Thabrani di dalam kitab Al-Mu’jam Al-Kabir meriwayatkan sebab wurud hadis ini dari sahabat Abdullah bin Mas’ud r.a. yang berkata,

“Di antara kami ada seorang laki-laki yang melamar seorang wanita, bernama Ummu Qais. Namun, wanita itu menolak sehingga ia berhijrah ke Madinah. Maka, laki-laki tersebut ikut hijrah dan menikahinya. Oleh sebab itu, kami memberinya julukan Muhajir Ummi Qais (orang yang hijrahnya karena Ummu Qais).”

Kejadian itu pun diketahui oleh Rasulullah saw. Ketika beliau sampai di kota Madinah untuk melaksanakan hijrah, beliau berkhutbah yang di antara isinya adalah hadis tentang pentingnya niat tersebut.

Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi menjelaskan beberapa kandungan hadis ini. Di antaranya adalah tentang syarat niat. Ulama sepakat bahwa perbuatan seorang muslim tidak akan diterima dan mendapat pahala kecuali jika disertai dengan niat. Seperti dalam ibadah inti: shalat, haji, puasa, dan zakat, niat merupakan rukun. Oleh sebab itu, ibadah-ibadah tersebut tidak sah jika tidak diiringi niat.

Adapun waktu niat adalah di awal ibadah. Seperti takbiratul ihram untuk shalat, dan ihram untuk haji. Sedangkan puasa, maka diperbolehkan sebelumnya karena untuk mengetahui masuknya waktu Shubuh secara tepat sangat sulit.

Niat tempatnya adalah di dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Namun, boleh diucapkan untuk membantu konsentrasi. Juga disyaratkan menentukan secara tepat ibadah yang hendak dilakukan. Jadi, tidak cukup hanya dengan berniat untuk melakukan shalat secara umum. Namun, harus ditentukan shalat Zuhur, Asar, atau lainnya.

Hadis ini juga mendorong kita untuk ikhlas dalam segala perbuatan dan ibadah agar mendapat pahala di akhirat serta kemudahan dan kebahagiaan di dunia. Imam Al-Baidhawi berkata, “Amal ibadah tidak akan sah kecuali jika diiringi dengan niat. Karena, niat tanpa amal diberi pahala, sementara amal tanpa niat adalah sia-sia. Perumpamaan niat bagi amal, ibarat ruh bagi jasad. Jasad tidak akan berfungsi jika tanpa ruh, dan ruh tidak akan tampak jika terpisah dari jasad.”

Sementara itu, Dr. Ahmad Ubaidi Hasbillah di dalam Al-Fawaid Al-Musthafawiyah mengibaratkan niat sebagai pondasi sebuah bangunan. Sehingga, ketika seseorang ingin membangun rumah harus memiliki pondasinya. Begitu pula dengan orang yang hendak melakukan sesuatu harus memiliki niat yang ikhlas untuk menguatkan bangunan amalnya.

Kita pun diminta untuk berhati-hati dalam urusan niat. Kerena banyak sekali amal akhirat menjadi amal dunia disebabkan karena niatnya, begitu pula amal dunia bisa menjadi amal akhirat disebabkan karena niatnya.

Misalnya pada kasus Ummu Qais tersebut. Hijrah adalah amal akhirat jika niatnya karena melaksanakan perintah Allah dan RasulNya. Tetapi, hijrah tersebut malah menjadi amal dunia yang sia-sia jika dilakukan hanya karena untuk mengejar wanita yang dicintai. Oleh sebab itu, mari kita cek kembali niat kita. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Hadis Tahapan Penciptaan Manusia dan Amalan Terakhirnya

0
Hadis Tahapan Penciptaan Manusia dan Amalan Terakhirnya
Hadis Tahapan Penciptaan Manusia dan Amalan Terakhirnya

Hadispedia.id – Pada pembahasan keempat, imam Nawawi menjelaskan tentang hadis tahapan penciptaan manusia dan amalan terakhirnya sebagaimana berikut.

عَنْ اَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ: «إِنَّ أَحَدَكُمْ يَجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ فَوَاللهِ الَّذِيْ لَا إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.

Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud r.a., ia berkata, “Rasulullah saw. yang jujur dan terpercaya telah menceritakan kepada kami, ‘Sesungguhnya penciptaan kalian dikumpulkan dalam rahim ibu selama empat puluh hari berupa nutfah (sperma), lalu menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama itu pula, lalu menjadi mudhghah (segumpal daging) selama itu pula. Kemudian malaikat diutus untuk meniupkan ruh dan mencatat empat perkara, yaitu rezeki, ajal, amal, dan sengsara atau bahagianya.

Demi Allah, Dzat yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya ada di antara kalian yang melakukan perbuatan-perbuatan penghuni surga hingga jarak antara dia dengan surga hanya sehasta (dari siku sampai ke ujung jari), namun suratan takdirnya sudah ditetapkan, lalu ia melakukan perbuatan penghuni neraka, maka ia pun masuk neraka.

Ada juga yang melakukan perbuatan-perbuatan penghuni neraka hingga jarak antara dia dan neraka hanya sehasta. Namun suratan takdirnya sudah ditetapkan, lalu ia melakukan perbuatan penghuni surga, maka ia pun masuk surga.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Hadis ini tidak hanya diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari dan Muslim, tetapi juga diriwayatkan imam Abu Daud, imam At-Tirmidzi, dan imam Ibnu Majah di dalam kitab sunan mereka.

Hadis ini menjelaskan bahwa selama 120 hari, janin mengalami tiga kali perkembangan. Perkembangan tersebut terjadi setiap empat puluh hari. Empat puluh hari pertama, janin masih berbentuk sperma. Empat puluh hari berikutnya, berbentuk gumpalan darah. Empat puluh hari selanjutnya menjadi segumpal daging. Setelah itu, malaikat meniupkan ruh ke dalamnya dan menuliskan empat takdirnya.

Tiga tahapan tersebut juga disebutkan Allah swt. di dalam Q.S. Al-Hajj ayat 5. Sementara itu, Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa manusia itu diciptakan melalui tujuh tahapan. Hal ini didasarkan pada Q.S. Al-Mukminun ayat 12-14.

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari satu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging, kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik.” (Q.S. Al-Mukminun:12-14)

Allah swt. sebenarnya mampu menciptakan manusia secara langsung dan dalam waktu yang singkat. Tetapi ada banyak hikmah di dalamnya. Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi menjelaskan bahwa salah satu hikmahnya adalah untuk menyesuaikan sunnatullah yang berlaku di alam semesta. Semuanya berjalan sesuai hukum sebab akibat.

Hikmah lainnya adalah agar manusia berhati-hati dalam melakukan segala urusannya, tidak terburu-buru. Selain itu juga mengajarkan manusia bahwa untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan sempurna, baik dalam masalah-masalah batin atau zahir adalah dengan melakukannya dengan penuh hati-hati dan bertahap.

Hadis tersebut juga menyadarkan kita bahwa manusia itu terbuat dari air sperma yang ‘menjijikkan’. Di mana bahan dasarnya adalah dari tanah yang tempatnya di bawah, bukan di atas. Oleh sebab itu, maka sangatlah tidak pantas jika kita berlaku sombong dan takabbur.

Selanjutnya, Dr. Mustafa Dieb menerangkan bahwa terkait dengan pengetahuan Allah swt. terhadap takdir manusia sebelum mereka diciptakan, maka hal ini tidak meniadakan ikhtiar seorang hamba. Hal ini disebabkan karena Allah swt. telah memerintahkan hamba-Nya untuk beriman dan menaati perintah, juga melarang manusia dari kekufuran dan kemaksiatan.

Sehingga, apa yang telah diperintahkan hendaknya kita lakukan dan apa yang telah dilarang kita tinggalkan. Selain itu, kita juga sudah dibekali otak oleh Allah swt. untuk dapat berpikir mana yang baik dan mana yang buruk.

Pada hadis ini juga dijelaskan bahwa yang menjadi penentu adalah bagian akhir dari amal perbuatan. Karenanya, jangan tertipu dengan sikap dan perilaku manusia yang bersifat lahiriyah. Jangan pula berputus asa dengan sikap dan perilaku seseorang. Karena yang paling menentukan adalah akhir hayatnya.

Oleh sebab itu, marilah kita berdoa semoga Allah memberikan kepada kita keteguhan hati dalam kebenaran dan kebaikan serta memberikan kepada kita husnul khatimah. Rasulullah saw. pun pernah mengajarkan doa agar kita senantiasa ditetapkan hatinya untuk beragama dan melakukan ketaatan.

Ya Muqallibal qulub, tsabbit qalbi ‘ala dinik (Wahai Dzat yang membolak balikkan hati, teguhkanlah hatiku dalam agama-Mu).” Dalam riwayat Muslim, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya hati seluruh manusia berada di antara dua jari Allah, seolah-olah hanya satu hati. Allah berbuat sekehendaknya.” Lalu beliau berdoa, “Ya Musharrifal qulub, sharrif qulubuna ‘ala tha’atik (Wahai Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatanmu).”

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami berkata, “Sesungguhnya akhiran yang buruk diakibatkan oleh bibit keburukan yang terpendam dalam jiwa manusia, yang tidak diketahui orang lain. Kadang-kadang seseorang melakukan perbuatan-perbuatan ahli neraka. Namun, di dalam jiwanya terpendam bibit kebaikan. Maka, menjelang ajalnya bibit kebaikan tersebut tumbuh dan mengalahkan kejahatannya. Sehingga ia mati dengan husnul khatimah.”

Dengan demikian, maka tugas utama kita adalah terus berusaha dan berdoa agar dimudahkan melakukan kebaikan-kebaikan sesuai yang diperintahkan Allah swt. Karena kita tidak ada yang tahu takdir apa yang akan kita lalui. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Posisi Hadis dalam Hukum Islam

0
Posisi Hadis dalam Hukum Islam
Posisi Hadis dalam Hukum Islam

Hadispedia.id – Hadis dalam konsep hukum Islam dianggap sebagai mashdarun tsanin (sumber kedua) setelah al-Qur’an. Ia berfungsi sebagai penjelas dan penyempurna ajaran-ajaran Islam yang disebutkan secara global dalam al-Qur’an. Bisa dikatakan bahwa kebutuhan al-Qur’an terhadap hadis sebenarnya jauh lebih besar ketimbang kebutuhan hadis terhadap al-Qur’an. Kendati demikian, seseorang muslim tidak dibenarkan untuk mengambil salah satu dan membuang yang lainnya, karena keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.

Untuk mengeluarkan hukum Islam, pertama kali para ulama harus menelitinya di dalam al-Qur’an. Kemudian setelah itu, baru mencari bandingan dan penjelasannya di dalam hadis-hadis Nabi, karena pada dasarnya tidak satupun ayat yang ada dalam al-Qur’an kecuali dijelaskan oleh hadis-hadis Nabi. Sehingga dengan sinergi antar beberapa ayat dan hadis tersebut, seorang ulama bisa mengeluarkan hukum-hukum agama sesuai dengan persoalan yang dihadapi, tentunya dengan dukungan ilmu dan perangkat pengetahuan yang mumpuni terhadap kedua sumber tersebut.

Baca juga: Apa itu Ilmu Musthalah Hadis?

Menurut Abdul Wahab Khalaf, seorang ahli hukum Islam berkebangsaan Mesir, hadis mempunyai paling tidak tiga fungsi utama dalam kaitannya dengan al-Qur’an :

Pertama, hadis berfungsi sebagai penegas dan penguat segala hukum yang ada dalam al-Qur’an, seperti perintah salat, puasa, zakat dan haji. Abdul Wahab Khalaf mengatakan :

إما أن تكون سنة مقررة ومؤكدة حكما جاء في القرآن

Adakalanya hadis berfungsi sebagai penegas dan penguat terhadap hukum yang ada dalam al-Quran”.

Kedua, hadis juga berfungsi sebagai penjelas dan penafsir segala hukum yang bersifat global dalam al-Qur’an, seperti menjelaskan tata cara salat, puasa, zakat dan haji. Abdul Wahab Khalaf juga mengatakan :

إما أن تكون سنة مفصلِّة ومفسِّرة لما جاء في القرآن

Adakalanya Hadis berfungsi sebagai penjelas dan penafsir terhadap hukum global/umum yang disebutkan dalam al-Qur’an.

Ketiga, hadis juga berfungsi sebagai pembuat serta pemproduksi hukum yang belum dijelaskan oleh al-Qur’an seperti hukum mempoligami seorang perempuan sekaligus dengan bibinya, hukum memakan hewan yang bertaring, burung yang berkuku tajam dan lain sebagainya. Khalaf kembali mengatakan :

وإما أن تكون سنة مثبِتَة ومنشِئَة حُكما سكت عنه القرآن

Adakalanya Hadis berfungsi sebagai penetap dan pencipta hukum baru yang belum disebutkan oleh al-Qur’an”.

Baca juga: Pembelajar Hadis Wajib Kuasai Tiga Ilmu Ini!

Begitu pentingnya posisi hadis dalam konsepsi hukum Islam, maka seseorang yang akan berkecimpung di dalamnya diharuskan untuk mengenal istilah dasar dalam Ilmu Hadis, menguasai kaedah-kaedah takhrij dan kajian sanadnya, serta mengetahui seluk beluk dan tata cara memahami redaksinya. Karena pembacaan yang tidak paripurna serta serampangan terhadap hadis akan membuat seseorang keliru dan bahkan juga membuat keliru orang lain. Allahu A’lam

Hadis tentang Menolak Kemungkaran dan Bid’ah

0
Hadis Tentang Menolak Kemungkaran dan Bid'ah
Hadis Tentang Menolak Kemungkaran dan Bid'ah

Hadispedia.id – Imam Nawawi dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah menjelaskan hadis tentang menolak kemungkaran dan bid’ah pada pembahasan yang kelima sebagaimana berikut.

عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: «مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمُ. وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: «مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ».

Dari Ummul Mukminin, Ummu Abdillah, Aisyah r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa mendatangkan hal baru dalam urusan agama yang tidak termasuk bagian darinya (tidak ada dasar hukumnya) maka tertolak.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Disebutkan di dalam riwayat imam Muslim, “Barang siapa melakukan amalan tanpa didasari perintah kami, maka tertolak.”

Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh imam Abu Daud di dalam kitab Sunan Abi Daud, dan imam Ibnu Majah di dalam kitab Sunan Ibn Majah.

Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi Syarah kitab Al-Arbain An-Nawawiyah menjelaskan bahwa hadis ini merupakan salah satu dasar Islam yang sangat penting. Bila hadis “Segala sesuatu tergantung niatnya” menjadi barometer dari setiap perbuatan ditinjau dari segi batin/niatnya.

Yakni setiap amal yang tidak diniati untuk mencari ridha Allah, maka amal tersebut tidak berpahala. Maka, hadis ini menjadi barometer setiap perbuatan dari sisi zahirnya. Bahwa semua perbuatan yang tidak didasari perintah Allah dan Rasul-Nya, maka perbuatan tersebut tertolak.

Demikian pula orang yang membuat satu tambahan dalam agama yang tidak memiliki dasar, baik di dalam Al-Qur’an maupun hadis, maka tambahan tersebut sama sekali bukan bagian dari agama dan dengan sendirinya akan tertolak.

Begitu pentingnya hadis ini, Imam Nawawi pun berkata bahwa hadis ini perlu dihafal dan dijadikan dalil untuk menolak segala kemungkaran. Begitu pula dengan imam Ibn Hajar Al-Asqalani berkata, “Hadis ini merupakan salah satu dasar Islam. Secara tekstual, memiliki manfaat yang sangat luas, karena ia merupakan dasar global semua dalil.”

Adapun di antara kandungan hadis yang dapat kita ambil istifadahnya adalah sebagai berikut.

Pertama: Beramallah dengan ilmu. Ketika kita diperintahkan untuk melakukan sesuatu, maka berilah kapasitas diri kita dengan ilmu atas amal itu. Sehingga amal yang kita lakukan tersebut benar, dapat diterima, dan tidak sia-sia. Terutama dalam masalah amalan-amalan keagamaan. Kita harus mempelajari terlebih dahulu hukum dan tata caranya agar amal kita sesuai dengan syariat dan selamat.

Oleh sebab itu, jangan sampai kita tertipu dalam beramal karena kebodohan dan ketidak tahuan. Hal itu pun berujung pada penyesalan bahwa amal yang telah kita lakukan tidak ada manfaatnya dan tidak ada artinya.

Kedua:  Bidah atau sesuatu yang baru itu ada dua. Bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Bid’ah hasanah adalah perkara yang sifatnya baru dan tidak bertentangan dengan syara’. Bahkan sesuati atau didukung syariat. Contoh: Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar As-Shiddiq, penyeragaman bacaan Al-Qur’an pada masa Usman bin Affan, penulisan ilmu Nahwu dan berbagai ilmu lainnya.

Bid’ah sayyi’ah adalah perkara yang sifatnya baru dan bertentangan dengan syara’. Contohnya bergabung dengan aliran sesat yang mengingkari syariat Allah dan mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad saw.

Kedua kategori tersebut sebagaimana disebutkan oleh Imam Syafii, “Apa-apa yang disengaja dibuat dan tidak sesuai dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ atau atsar, maka perkara tersebut adalah bid’ah yang sesat/dhalalah. Apa-apa yang sengaja diciptakan dan bersifat baik  juga tidak bertentangan dengan dalil tersebut maka hal itu disebut dengan bid’ah yang baik/mahmudah.”

Ketiga: KH. Ali Mustafa Ya’qub di dalam salah satu karyanya menyebutkan bid’ah terbagi menjadi tiga bagian. Bid’ah dalam urusan akidah, ibadah, dan muamalah. Bid’ah dalam urusan akidah adalah keyakinan-keyakinan yang tidak bersumber dari Al-Qur’an dan hadis. Seperti Muktazilah yang mengatakan bahwa mukmin yang berdosa besar tidak akan masuk surga dan neraka tetapi berada di antara keduanya atau manzilah baina manzilatain.

Bid’ah dalam urusan ibadah adalah ibadah-ibadah yang tidak ada dalilnya baik dari Al-Qur’an, hadis, ijma’, qiyas, atau dalil-dalil agama lainnya. Seperti melaksanakan shalat Shubuh empat rakaat. Sementara bid’ah dalam urusan muamalah pada dasarnya semuanya diperbolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya. Seperti penciptaan teknologi-teknologi dan sebagainya, bahkan dalam urusan ini perlu diciptakan.

Keempat: Jangan sembarangan menuduh bid’ah kepada orang lain. Jika kita mengetahui ada seseorang yang melakukan atau menciptakan hal yang baru atau bid’ah, maka janganlah terburu-buru menghakiminya, mencela, dan sebagainya. Sebagaimana kita ketahui bahwa ada bid’ah yang baik dan ada pula yang buruk.

Terburu-buru menuduh bid’ah adalah perbuatan main hakim sendiri dan adab yang buruk. Di mana keduanya juga dapat menimbulkan fitnah. Maka, terlebih dahulu kita harus mengetahui dalil dan argumen atas perbuatan seseorang tersebut.

Kelima: Bukan hanya menciptakan tetapi juga mengamalkan bid’ah yang tidak sesuai dengan dalil syara’ itu tidak boleh. Oleh sebab itu, maka imam Nawawi di dalam hadis tersebut memberikan tambahan riwayat lain dengan redaksi “Barang siapa melakukan amalan tanpa didasari perintah kami, maka tertolak.” Sehingga riwayat tersebut dapat membungkam orang yang berdalih hanya mengamalkan saja tidak ikut menciptakan hal baru yang tidak sesuai dengan syara’.

Wa Allahu a’lam bis shawab.