Beranda blog Halaman 77

Inilah Adab-adab Bagi Para Penuntut Hadis

0
penuntut hadis
penuntut hadis

Hadispedia. id – Bagi thalib al-hadis atau penuntut hadis hendaknya memiliki akhlak terpuji dan adab yang mulia sebagaimana mulianya ilmu yang sedang dituntut. Dr. Nuruddin Itr dalam karyanya Manhaj An-Naqd fi Ulum Al-Hadis menyebutkan beberapa adab yang sekiranya wajib dimiliki oleh penuntut hadis.

Adab pertama yang harus dimiliki adalah ikhlas karena Allah ta’ala serta hanya mengharapkan ridha dan pahala dari-Nya bukan untuk hal-hal keduniawian. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda,

وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ، وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ، وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ.” رواه مسلم

“…dan seseorang yang belajar ilmu dan mengajarkan ilmu dan membaca Al-Qur’an, lalu Allah menunjukkan nikmat-nikmat-Nya kepadanya dan ia mengetahuinya. Allah berkata, “Apa yang kamu kerjakan?” Ia berkata, “Aku belajar dan mengajarkan ilmu serta aku membaca Al-Qur’an demi Engkau” Allah berkata, “Bohong! Kamu mempelajari ilmu agar disebut sebagai orang yang berilmu dan kamu membaca Al-Qur’an agar disebut sebagai Qari’ (pembaca) dan sebutan itu telah kamu dapatkan.” Kemudian diperintahkan agar wajahnya diseret dan dilempar ke neraka. (H.R. Muslim)

Kedua, bersungguh-sungguh dalam mengambil (belajar) hadis dari ulama seperti dengan melakukan rihlah (perjalanan) ilmiah untuk mendapatkan ilmu dari ahlinya yang mungkin tidak ada di lingkungannya.

Ketiga, mengamalkan ilmu yang telah didapat karena orang yang pelit akan ilmu diumpamakan dengan perumpamaan yang amat buruk. Allah ta’ala berfirman:

مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangat buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah.” (QS. Al-Jumuah ayat 5).

Baca juga: Pembelajar Hadis Wajib Kuasai Tiga Ilmu Ini

Para penuntut hadis juga diwajibkan untuk menghormati gurunya dan siapapun yang menjadi sumber didapatkannya hadis ataupun ilmu. Selain itu, mereka harus menjaga nama baik guru-gurunya dan tidak mencari-cari kesalahan gurunya. Hendaknya, mereka pun menghindari rasa malu dan sombong sehingga tidak mau bertanya demi mendapatkan ilmu.

Apabila seorang thalib al-hadis/penuntut hadis memiliki ilmu yang ia kuasai, hendaknya ia mengajarkan ilmunya atau saling bertukar informasi ke sesama rekan penuntut hadis. Dan dalam kegiatan menuntut hadis, dianjurkan untuk berpegang pada metode yang berlaku serta memperhatikan mushtalah hadits.

Hadis No. 4 Sunan Ibn Majah

0
Sunan Ibn Majah
Sunan Ibn Majah

قَالَ الْاِمَامُ ابْنُ مَاجَة فِيْ بَاب اتِّبَاعِ سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ عَدِيٍّ عَنْ ابْنِ الْمُبَارَكِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سُوقَةَ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ قَالَ
كَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا سَمِعَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثًا لَمْ يَعْدُهُ وَلَمْ يُقَصِّرْ دُونَهُ

Al-Imam Ibnu Majah berkata pada bab mengikuti sunnah Rasulullah saw.,

Muhammad bin Abdullah bin Numair telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Zakariya bin ‘Adi telah menceritakan kepada kami dari Ibn Al-Mubarak dari Muhamamd bin Suqah dari Abu Ja’far, ia berkata, “Ibnu Umar jika mendengar sebuah hadis dari Rasulullah saw., ia tidak melewatkannya dan tidak pula sibuk dengan yang lainnya.

Hadis No. 3 Sunan Ibn Majah

0
Sunan Ibn Majah
Sunan Ibn Majah

قَالَ الْاِمَامُ ابْنُ مَاجَة فِيْ بَاب اتِّبَاعِ سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ وَوَكِيعٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ

Al-Imam Ibnu Majah berkata pada bab mengikuti sunnah Rasulullah saw.,

Abu Bakr bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Abu Mu’awiyah dan Waki’ telah menceritakan kepada kami dari Al A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang mentaatiku, maka ia telah taat kepada Allah, dan siapa yang durhaka kepadaku, maka ia telah durhaka kepada Allah.”

Hadis No. 2 Sunan Ibn Majah

0
Sunan Ibn Majah
Sunan Ibn Majah

قَالَ الْاِمَامُ ابْنُ مَاجَة فِيْ بَاب اتِّبَاعِ سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ قَالَ أَنْبَأَنَا جَرِيرٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَخُذُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَانْتَهُوا

Al-Imam Ibnu Majah berkata pada bab mengikuti sunnah Rasulullah saw.,

Muhammad bin Ash-Shabbah telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Jarir telah memberitakan kepada kami, dari Al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Biarkanlah apa yang telah aku tinggalkan untuk kalian. Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena pertanyaan dan perselisihan mereka kepada para Nabinya. Jika aku perintahkan kepada kalian terhadap suatu perkara, maka laksanakanlah semampu kalian, dan jika aku larang kalian dari suatu perkara, maka jauhilah.”

Hadis No. 1 Sunan Ibn Majah

0
Sunan Ibn Majah
Sunan Ibn Majah

قَالَ الْاِمَامُ ابْنُ مَاجَة فِيْ بَاب اتِّبَاعِ سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

Al-Imam Ibnu Majah berkata pada bab mengikuti sunnah Rasulullah saw.,

Abu Bakr bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Syarik telah menceritakan kepada kami dari Al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Apa yang aku perintahkan maka ambillah, dan apa yang aku larang maka tinggalkanlah.”

Delapan Metode Penerimaan dan Periwayatan Hadis

0
Penerimaan dan Penyampaian Hadis
Penerimaan dan Penyampaian Hadis

Hadispedia.id – Hadis memiliki peranan penting. Demi memelihara kualitas serta menghindari hadis dari kesalahan baik dalam matan ataupun sanad, diperlukan pengetahuan tentang bagaimana para perawi menerima dan meriwayatkan hadis agar dapat diketahui mana hadis yang diterima dan mana yang ditolak.

Kegiatan menerima dan menyampaikan hadis atau dikenal dengan at-tahammul wa ada’ al-hadis, pada zaman Rasulullah berbeda dengan zaman sahabat. Saat Rasulullah saw. masih hidup, hadis yang diterima oleh para sahabat dapat dengan mudah diperiksa keabsahannya. Sedangkan setelah wafatnya Rasulullah saw., pemalsuan hadis kerap terjadi dan sekiranya ada hadis yang diragukan kebenarannya, semakin jauh jarak munculnya hadis tersebut dengan masa hidup Rasulullah saw. maka akan semakin sulit diperiksa.

Adapun langkah-langkah untuk memastikan ketersambungan sanad sebuah hadis adalah dengan mencatat nama-nama perawi dalam sanad, meneliti sejarah dan kualitas perawi melalui kitab-kitab rijal al-hadis serta meneliti kata-kata yang menunjukkan metode penerimaan hadis antarperawi dalam sanad atau dalam ilmu hadis dikenal dengan at-tahammul wa ada al-hadis.

Dr. Nuruddin Itr dalam Manhaj An-Naqd fi Ulum Al-Hadis mendefinisikan At-Tahammul sebagai penerimaan hadis oleh murid dari gurunya dengan salah satu cara tertentu sedangkan Al-Ada’ adalah proses meriwayatkan hadis dari seorang guru kepada muridnya.

Baca juga: Mengenal Istilah I’tibar dalam Penelitian Hadis Nabi

Metode penerimaan dan periwayatan hadis ada delapan macam, yaitu:

1. As-Sima’ min Lafzhi Asy-Syaikh (السِّمَاعُ مِنْ لَفْظِ الشَّيْخ)

Maksud dari metode ini adalah seorang murid mendengar langsung dari gurunya baik dengan didiktekan (imla) atau pemberian informasi (tahdits) berdasarkan hafalan sang guru ataupun catatannya.

Metode ini menurut pendapat mayoritas ulama merupakan yang paling tinggi derajatnya dan lambang atau shighat yang digunakan pada penyampaian hadis berdasarkan metode ini adalah dengan lafal sami’tu (سَمِعْتُ)/saya telah mendengar, haddatsani (حَدَّثَنِي)/seseorang telah bertutur kepada saya, akhbarani (أَخْبَرَنِي)/seseorang telah mengabarkan kepada saya, qala li (قَالَ لِي)/seseorang telah berkata kepada saya atau dzakara li (ذَكَرَ لِي)/seseorang telah menyebutkan kepada saya.

Jika sang murid pada saat mendengar hadis tidak sendirian maka dhamir (pronoun/kata ganti) yang dipakai adalah dhamir jamak نا (kita) maka lafal yang telah disebutkan di atas menjadi  سَمِعْنَا، حَدَّثَنَا، أَخْبَرَنَا، قَالَ لَنَا، ذَكَرَ لَنَا.

2. Al-Qira’ah ‘ala Asy-Syaikh  (القِرَاءَةُ عَلَى الشَّيْخِ)

Metode kedua disebut juga dengan Al-‘Ardhu yakni seorang murid atau perawi membacakan hadis pada gurunya dari yang dia hafal ataupun dari catatan yang ada di hadapannya. Baik guru tersebut menyimak orang yang membaca dari hafalannya, menghadirkan catatannya kepada yang membaca ataupun dilakukan oleh orang tsiqah selainnya.

Hukum riwayat yang disampaikan dengan metode ini adalah shahih hanya saja terdapat silang pendapat tentang derajatnya. Ulama yang berpendapat bahwa Al-Qira’ah sederajat dengan As-Sima’ adalah Imam Malik, Imam Al-Bukhari, dan sebagian besar ulama Hijaz dan Kufah.

Adapun yang berpendapat metode ini lebih rendah adalah mayoritas ulama dari Masyriq sedangkan yang berpendapat Al-Qira’ah lebih tinggi daripada As-Sima’ ialah Imam Abu Hanifah serta Imam Ibnu Adz-Dzi’bi dan riwayatnya dari Imam Malik.

Riwayat yang disampaikan melalui cara ini menggunakan lafal qara’tu ‘ala fulanin/قَرَاْتُ عَلَى فُلَانٍ (aku membacakan kepada fulan), quri’a ‘alaihi wa ana asma’u fa aqarra bihi/قُرِئَ عَلَيهِ وَأنَا أَشْمَعُ فَأقَرَّ بِهِ (Dibacakan kepadanya dan saya mendengarnya lalu ia setuju) atau dengan lafal haddatsana qiraatan ‘alaihi/حَدَّثَنَا قِرَاءَةً عَلَيْهِ (telah ia tuturkan bacaan kepada kami.

3. Al-Ijazah (الإِجَازَةُ)

Al-Ijazah adalah salah satu bentuk penerimaan hadis dengan cara pemberian izin untuk meriwayatkan hadis dari seorang guru kepada muridnya atau orang lain baik dari ucapan ataupun catatan.

Apabila seorang guru mengizinkan riwayat tertentu untuk dapat disampaikan oleh orang seperti ungkapan ajaztuka Shahih Al-Bukhari/أَجَزْتُكَ صَحِيحَ البُخَارِي (saya mengizinkanmu untuk meriwayatkan Shahih Al-Bukhari) , maka hal ini dibolehkan menurut pendapat mayoritas ulama karena dianggap sebagai model periwayatan yang paling kuat dalam metode ini.

Sedangkan jika izin atas riwayat yang tidak ditentukan kepada orang yang juga tidak tentu atau tidak dikenal bahkan untuk generasi berikutnya yang belum ada saat sang guru memberikan izin maka hal tersebut dianggap membawa kelemahan dan menggampangkan periwayatan.

Adapun lafal penyampaiannya seperti ajaza li fulanun/أَجَازَ لِي فُلَانٌ (telah mengizinkanku si fulan), haddatsana ijazatan/حَدَّثَنَا إِجَازَةً (telah mengatakan kepada kami dengan ijazah/perizinan), akhbarana ijazatan/أَخْبَرَنَا إِجَازَةً (telah mengabarkan kepada kami dengan ijazah/perizinan).

4. Al-Munawalah (المُنَاوَلَةَ)

Yaitu seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadis tertulis agar diriwayatkan dengan mengambil sanad darinya.

Al-munawalah dibagi menjadi dua jenis, yang pertama adalah al-munawalah dengan yang disertai dengan ijazah. Pada jenis ini, sang guru menyerahkan catatannya kepada muridnya dan mengatakan hadza riwayati ‘an fulanin fa arwihi ‘anni/هَذَا رِوَايَتِيي عَنْ فُلَانٍ فَأَرْوِهِ عَنِّيْ (ini adalah riwayatku dari fulan maka riwayatkanlah ini dariku). Periwayatan yang disampaikan dengan jenis ini dibolehkan karena termasuk ke dalam metode as-sima’ dan al-qiraah derajat paling rendah.

Sedangkan jenis yang kedua adalah al-munawalah yang tidak disertai indikasi ijazah. Bentuknya adalah jika seorang guru menyerahkan catatannya pada muridnya disertai dengan perkataan ini adalah hadis-hadis yang aku dengar. Adapun periwayatan dengan jenis ini tidak diperbolehkan.

5. Al-Kitabah (الكِتَابَةُ)

Maksud dari al-kitabah di sini adalah seorang guru catatannya kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkannya

Jalan periwayatan ini juga terdapat dua jenis sebagaimana pada al-munawalah yakni disertai dengan ijazah seperti ajaztuka ma katabtu laka aw ilaika/أَجَزْتُكَ مَا كَتَبْتُ لَكَ أَو إِلَيْكَ (aku mengizinkanmu untuk meriwayatkan apa yang aku tulis untukmu atau kepadamu) dan sebagainya. Hukum untuk meriwayatkan yang disertai dengan ijazah seperti ini adalah shahih.

Sedangkan jenis kedua adalah yang tidak disertai ijazah. Maksudnya, seorang guru menuliskan hadis-hadisnya dan memberikan catatannya kepada muridnya namun sang murid tidak boleh meriwayatkannya.

Adapun lafal penyampaiannya seperti kataba ilayya fulanun/كَتَبَ إلَيَّ فُلَانٌ (fulan telah menuliskan sesuatu kepada saya) atau dengan lafal as-sima’ dan al-qiraah seperti haddatsani fulanun/حَدَّثَنِي فُلَانٌ (fulan telah mengatakan kepada saya) atau akhbarani kitabatan/أَخْبَرَنِي كِتَابَةً (Ia telah mengabarkan kepadaku secara tertulis).

6. Al-I’lam (الإِعْلَامُ)

Penyampaian hadis secara al-i’lam maksudnya adalah sang guru memberitahu muridnya bahwa hadis yang ia sampaikan atau catatan yang ia bacakan didapatkan langsung dari yang ia dengar.

Mayoritas ulama hadis dan ushul fiqh memperbolehkan periwayatan dengan metode ini asalkan didapat dari guru yang kredibel namun sejumlah muhaddits tidak memperbolehkannya karena tidak disertai dengan ijazah atau izin. Adapun lafal yang digunakan pada metode ini seperti a’lamani syaikhi bikadza/أَعْلَمَنِي شَيْخِي بِكَذَا (guruku telah memberitahukanku seperti ini).

7. Al-Washiyyah (الوَصِيَّةُ)

Bentuk dari metode ini adalah pemberian wasiat dari seorang guru sebelum ia wafat atau berpergian kepada seseorang berupa catatan atau kitab tertentu yang ia riwayatkan.

Sejumlah ulama memperbolehkan periwayatan hadis dengan cara ini namun pendapat ini keliru. Adapun pendapat yang benar adalah tidak diperbolehkan karena al-washiyyah termasuk cara penyampaian hadis yang lemah. Contoh lafal al-washiyyah seperti ungkapan ausha ilayya fulanun/أَوْصَى إِلَيَّ فُلَانٌ (fulan telah mewasiatkan kepadaku) atau haddatsani fulanun washiyyatan/حَدّثَنِي فُلَانٌ وَصِيَّةً (fulan mengatakan kepadaku secara wasiat).

Baca juga: Biografi Anas bin Malik, Sahabat yang Melayani Rasulullah saw.

8. Al-Wijadah (الوِجَادَةُ)

Jalan penerimaan hadis dengan bentuk al-wijadah maksudnya adalah ketika seorang murid menemukan hadis-hadis tulisan gurunya dan ia mengenali tulisan itu sedangkan ia tidak pernah mendapatkan hadis-hadis tersebut dengan cara as-sima’ ataupun al-ijazah.

Riwayat hadis yang didapatkan dengan cara al-wijadah adalah munqathi’ (مُنْقَطِعٌ) atau terputus meski di dalam catatan yang ditemukan terdapat hadis yang muttashil (مُتَّصِلٌ) atau tersambung.

Adapun lafal penyampaiannya seperti wajadtu bi khaththi fulanin/وَجَدْتُ بِخَطِّ فُلَانٍ (aku mendapati tulisan fulan) atau qara’tu bikhaththi fulanin kadza/قَرَاْتُ بِخَطِّ فُلَانٍ كَذَا (aku membaca tulisan si fulan seperti ini).

Hadis Menjadi Hamba Allah yang Sebenar-benarnya

0
Hamba Allah
Hamba Allah

Hadispedia.id – Pada hadis kedua puluh empat, imam Nawawi dalam kitab Al-Arbain menghadirkan hadis qudsi. Hadis qudsi adalah hadis yang diriwayatkan Rasulullah saw. dari Allah swt. melalui malaikat Jibril a.s. Namun, redaksinya diserahkan kepada Rasulullah saw. Berbeda dengan Al-Qur’an yang makna dan lafadznya dari Allah swt. Hadis qudsi berikut ini adalah seputar tips dari Allah untuk menjadi hamba-Nya yang sebenar-benarnya.

عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ الْغِفَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ: “يَا عِبَادِيْ؛ إِنِّيْ حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا، يَا عِبَادِيْ؛ كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ، فَاسْتَهْدُوْنِيْ أَهْدِكُمْ، يَا عِبَادِيْ؛ كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلَّا مَنْ أَطْعَمْتُهُ، فَاسْتَطْعِمُوْنِيْ أَطْعِمْكُمْ، يَا عِبَادِيْ؛ كُلُّكُمْ عَارٍ إِلَّا مَنْ كَسَوْتُهُ، فَاسْتَكْسُوْنِيْ أَكْسُكُمْ، يَا عِبَادِيْ؛ إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ، وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا، فَاسْتَغْفِرُوْنِيْ أَغْفِرُ لَكُمْ، يَا عِبَادِيْ؛ إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوْا ضُرِّيْ فَتَضُرُّوْنِيْ، وَلَنْ تَبْلُغُوْا نَفْعِيْ فَتَنْفَعُوْنِيْ، يَا عِبَادِيْ؛ لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ، وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ، كَانُوْا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ. مَا زَادَ ذَلِكَ فِيْ مُلْكِيْ شَيْئًا، يَا عِبَادِيْ؛ لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ، وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ، كَانُوْا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ. مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِيْ شَيْئًا، يَا عِبَادِي؛ لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُم وَآخِرَكُمُ، وَإنْسَكُم وَجِنَّكُمْ، قَامُوْا فِيْ صَعِيْدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُوْنِيْ، فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ. مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِيْ إلَّا كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ، يَا عِبَادِيْ؛ إنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيْهَا لَكُمْ، ثُمَّ أُوَفِّيْكُمْ إيَّاهَا، فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللَّهَ، وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلَا يَلُوْمَنَّ إلَّا نَفْسَهُ” رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Abu Dzar Al-Ghifari r.a. berkata, Nabi saw. mensabdakan firman Allah swt.,

“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman kepada diri-Ku dan Aku menjadikan kezaliman itu haram di antara kalian. Karena itu, jangan saling menzalimi.

‘Wahai hamba-Ku, kalian semua tersesat, kecuali yang Ku-beri petunjuk. Karena itu, mintalah petunjuk kepada-Ku, pasti Ku-beri petunjuk.

Wahai hamba-Ku, kalian semua lapar, kecuali yang Ku-beri makan. Karena itu, mintalah makan kepada-Ku, pasti Ku-beri makan.

Wahai hamba-Ku, kalian semua telanjang, kecuali yang Ku-beri pakaian. Karena itu, mintalah pakaian kepada-Ku, pasti Ku-beri pakaian.

Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian semua berbuat salah di malam dan siang hari. Sedangkan Aku mengampuni semua dosa. Karena itu, mintalah ampun kepada-Ku, pasti Ku-ampuni.

Wahai hamba-Ku, kalian tidak dapat menjangkau kemudharatan-Ku. Karena itu, sedikitpun kalian tidak mampu menimpakan mudharat kepada-Ku. Kalian juga tidak dapat menjangkau kemanfaatan-Ku. Karena itu, kalian sedikitpun tidak mampu memberi manfaat kepada-Ku.

Wahai hamba-Ku, andaikan kalian semua, yang pertama dan terakhir, dari bangsa manusia dan jin, menjadi seperti orang yang paling bertakwa di antara kalian, sama sekali tidak menambah kekuasaan-Ku.

Wahai hamba-Ku, andaikan kalian semua, yang pertama dan terakhir, dari bangsa dan jin, menjadi seperti orang paling jahat di antara kalian, sama sekali tidak mengurangi kekuasaan-Ku.

Wahai hamba-Ku, andaikan kalian semua, yang pertama dan terakhir, dari bangsa manusia dan jin, berkumpul di satu daratan, mengajukan permintaan kepada-Ku, lalu masing-masing aku kabulkan permintaannya. Hal itu sama sekali tidak mengurangi kekayaan-Ku, kecuali hanya seperti jarum yang dicelupkan ke laut.

Wahai hamba-Ku, semua itu adalah amal perbuatan kalian. Aku hitung lalu Kuberi balasan. Karena itu, barang siapa mendapatkan kebaikan, hendaklah ia memuji Allah. Dan barangsiapa mendapatkan selain itu, hendaklah tidak mencela kecuali dirinya sendiri.” (H.R. Muslim)

Dr. Ahmad Ubaydi Hasbillah dalam kitab Al-Fawaid Al-Musthafawiyyah menjelaskan bahwa pada hadis qudsi tersebut, betapa Allah swt. sangat memuliakan hamba-hambaNya. Hal ini dapat dilihat dari cara Allah swt. memanggil dengan panggilan Ya ‘Ibadi’ (wahai hamba-hamba-Ku).

Allah swt. memanggil dengan disandarkan langsung kepada Dzatnya, bukan kepada nama-Nya, seperti Ya Ibadallah (Wahai hamba-hamba Allah). Allah swt. juga tidak memanggil dengan panggilan Ya ayyuhal muslimun (wahai orang-orang Islam) dan Ya ayyuhan nas (wahai manusia).

Baca juga: Hadis Jalan Menuju Surga

Ibaratnya seperti ketika bapak dan ibu kita memanggil dengan panggilan ‘Anakku’, pasti perasaan kita sangat senang. Betapa mereka memuliakan kita dengan panggilan itu. Sebuah panggilan yang mengindikasikan dalamnya rasa kasih sayang yang mereka miliki kepada kita. Begitu pula perasaan yang seharusnya ada pada diri kita saat membaca hadis qudsi tersebut. Allah swt. memanggil kita dengan panggilan sayang ‘Wahai hamba-hamba-Ku’.

Lebih lanjut, Dr. Ahmad Ubaidi Hasbillah juga menerangkan bahwa semua dari kita adalah hamba-hamba Allah swt. Namun, masalahnya adalah apakah kita sudah menjadi hamba-hambaNya yang sebenar-sebenarnya? Pada posisi manakah kita di hadapan-Nya? Sebagaimana kita ketahui bahwa semua manusia memang hamba Allah. Baik ia taat atau maksiat, baik laki-laki atau perempuan, baik anak-anak maupun orang dewasa. Namun, semua itu masih dalam kategori hamba secara umum, belum hamba Allah swt. yang hakiki.

Oleh sebab itu, panggilan hamba-Ku pada hadis tersebut mengindikasikan secara tidak langsung bahwa Allah swt. mengingatkan kita agar menjadi hamba-Nya yang sebenar-benarnya. Yakni dengan tidak melakukan syirik dalam kondisi apapun. Sebagaimana pesan pertama dalam hadis qudsi tersebut, Allah swt. melarang berbuat zalim.

Zalim adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Dan perbuatan zalim yang paling besar adalah berbuat syirik. Yakni memosisikan makhluk pada posisi Sang Pencipta. Syirik itu ada kalanya yang jalli (jelas), seperti orang menyembah patung, pohon, atau batu. Ada juga syirik khafi (samar), seperti bersandar sepenuhnya pada harta.

Baca juga: Kitab-kitab Populer dalam Ilmu Hadis

Pada hadis tersebut, Allah swt. juga mengingatkan kepada kita bahwa segala sesuatu itu adalah milik-Nya dan atas kehendak-Nya. Baik itu hidayah, makanan, pakaian, ampunan, dan lainnya. Sehingga, kita tidak boleh putus asa dalam menjalani hidup ini, karena semuanya adalah milik Allah swt. Hanya kepada-Nya lah tempat meminta segala sesuatu, bukan kepada selain-Nya.

Selain itu, kita pun tidak boleh sombong ketika memiliki harta yang melimpah atau ilmu yang luas. Lagi-lagi semua itu adalah anugerah yang diberikan Allah swt. yang kapanpun Dia boleh mengambilnya. Maka, sudah semestinya ucapan rasa syukur senantiasa kita haturkan kepada-Nya. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Apa Mutabi’ itu?

0
Mutabi'
Mutabi'

Hadispedia.id – Setelah dilakukannya i’tibar, maka seluruh keadaan sanad hadis beserta pendukungnya yang berupa mutabi’ atau syahid dapat terlihat. Mutabi’ merupakan nomina turunan dari kata taba’a (تبع) yang berarti wafaqa (وفق) atau sesuai. Adapun Dr. Mahmud Thahan mendefinisikannya sebagai:

المُتَابِعُ هُوَ الحَدِيْثُ الَّذِي يُشَارِكُ فِيهِ رُوَاتُهُ رُوَاةُ الحَدِيْثِ الفَرْدِ لَفْظًا وَمَعْنًى أَوْ مَعْنًى فَقَطْ مَعَ الاِتِّحَاد فِي الصَّحَابِي

“Hadis yang di dalam para perawi dalam riwayatnya berserikat dengan perawi hadis yang menyendiri baik secara lafadz dan makna ataupun secara makna saja dan sanadnya menyatu pada sahabat.”

Sedangkan mutaba’ah adalah berserikatnya seorang perawi dengan lainya pada periwayatan hadis. Mutaba’ah terbagi menjadi dua yaitu mutaba’ah tammah dan mutaba’ah qashirah.

Disebut mutaba’ah tammah adalah jika dalam sebuah sanad terdapat perawi yang berserikat dari awal rantai sanad hingga akhir serta matannya sama secara lafal atau makna dengan hadis lain. Adapun contoh mutaba’ah tammah sebagai berikut:

عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ مَعْدَانَ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ فِي لَيْلَةٍ ثُلُثَ الْقُرْآنِ؟ قَالُوا: وَكَيْفَ يَقْرَأْ ثُلُثَ الْقُرْآنِ؟ قَالَ: قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ (رواه مسلم)

Syu’bah bin Al-Hajjaj meriwayatkan dari Qatadah, dari Salim bin Abu Al-Ja’d, dari Ma’dam bin Abu Talhah dari Abu Darda r.a. dari Nabi saw. bersabda, “Apakah kalian tidak sanggup untuk membaca satu pertiga Al-Qur’an dalam satu malam?” Lalu para sahabat bertanya, “Bagaimana dibaca satu pertiga Al-Quran (dalam satu malam)?” Lalu baginda pun bersabda, “Bacalah Qul Huwallahu Ahad (قل هو الله أحد ), sesungguhnya surah itu menyamai satu pertiga Al-Qur’an.” H.R. Muslim

حَدَّثَنَا أَبَانُ الْعَطَّارُ، جَمِيعًا عَنْ قَتَادَةَ، بِهَذَا الْإِسْنَادِ، وَفِي حَدِيثِهِمَا مِنْ قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: إِنَّ اللهَ جَزَّأَ الْقُرْآنَ ثَلَاثَةَ أَجْزَاءٍ، فَجَعَلَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ جُزْءًا مِنْ أَجْزَاءِ الْقُرْآنِ (رواه مسلم)

Aban Al-Attar meriwayatkan dari Qatadah, dengan sanad yang sama, dari Nabi saw. bersabda, “Allah membagi Al-Qur’an ke dalam tiga bagian, maka bacalah Qul Huwallahu Ahad (قل هو الله أحد ) satu dari tiga bagian Al-Qur’an.” H.R. Muslim

Hadis kedua yang diriwayatkan oleh Abban Al-Attar dari Qatadah memiliki sanad yang sama dengan hadis pertama. Karena hal ini, Aban Al-Attar menjadi mutabi tam bagi Syu’bah bin Al-Hajjaj karena sama-sama meriwayatkan dari syaikh atau guru yang sama yaitu Qatadah dan juga dari sahabat yang sama yaitu Abu Darda r.a.

Sedangkan mutaba’ah qashirah apabila perawi yang sama ditemukan pada pertengahan sanad.

أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ (رواه الشافعي)

Diriwayatkan dari Asy-Syafi’i dari Malik dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, “Satu bulan itu terdiri dari 29 hari maka jangankah berpuasa sampai kalian melihat hilal (bulan baru) dan janganlah kalian berbuka sampai melihatnya (bulan baru), apabila pandangan kalian terhalang oleh awan (mendung) maka sempurnakanlah hitungan (satu bulan) menjadi 30 (hari).” H.R. Asy-Syafi’i

حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْعُمَرِيُّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ثَلَاثِينَ، وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا، وَيَعْقِدُ فِي الثَّالِثَة، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ  (رواه ابن خزيمة)

Dari Ashim bin Muhammad Al-Umari dari ayahnya dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Sebulan adalah seperti ini dan seperti ini dan seperti ini tiga puluh, dan sebulan adalah seperti ini dan seperti ini dan seperti ini dan melakukan itu (mengacungkan jari) tiga kali, apabila pandangan kalian terhalang oleh awan (mendung) maka sempurnakanlah hitungan (satu bulan) menjadi 30 (hari).” H.R. Ibnu Khuzaimah

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam As-Syafii dan Ibnu Khuzaimah memiliki kesamaan pada perawi di tingkat sahabat yaitu Ibnu Umar r.a. namun tidak didapati adanya kesamaan perawi di awal sanad sehingga disebut mutabaah qashirah.

Mengenal Istilah I’tibar dalam Penelitian Hadis Nabi

0
I'tibar
I'tibar

Hadispedia.id – Pada langkah awal penelitian hadis, kegiatan takhrij hadis dilakukan untuk menemukan hadis pada sumber-sumber aslinya yang telah diriwayatkan lengkap beserta sanadnya lalu menjelaskan derajat hadis tersebut. Apabila seluruh sanad hadis telah terhimpun maka penelitian dilanjutkan dengan proses i’tibar untuk menentukan kualitas hadis bersadarkan sumber literaturnya.

Secara leksikal, al-i’tibar (الاعتبار) adalah verbal noun atau mashdar dari kata kerja i’tabara (اعتبر) yang berarti mempertimbangkan atau memperhatikan suatu perkara untuk mengetahui perkara lain yang sejenis. Adapun dalam ilmu hadis, sebagaimana yang dikemukakan oleh Dr. Mahmud Thahan dalam kitab Taisir Musthalah Al-Hadis:

الاِعْتِبَارُ هُوَ تَتَّبُعُ طُرُقِ حَدِيْثٍ انْفَرَدَ بِرِوَايَتِهِ رَاوٍ لِيَعْرِفَ هَلْ شَارِكُهُ فِي رِوَايَتِهِ غَيْرَهُ أَمْ لاَ

I’tibar adalah penelusuran jalur-jalur hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi untuk mengetahui apakah terdapat rawi lain yang berserikat dalam riwayatnya atau tidak.”

Saat melakukan i’tibar, ada tiga elemen yang harus diperhatikan dengan seksama oleh peneliti. Elemen pertama adalah jalur sanad. Diagram yang menggambarkan skema sanad harus memiliki garis yang jelas agar jalur yang satu dengan yang lainnya dapat dibedakan secara jelas serta untuk memudahkan peneliti dalam menentukan ketersambungan sanad.

Elemen kedua yang harus dicermati adalah nama-nama perawi. Seluruh nama mulai dari perawi pertama hingga terakhir dituliskan ke dalam diagram. Seringkali, terdapat dua atau beberapa orang berbeda dengan nama yang sama ataupun nama perawi yang terdapat dalam sanad untuk matan hadis hanya sebagian menggunakan kunyah atau laqab. Karenanya, diperlukan pencarian terperinci pada setiap nama agar tidak terjadi kesalahan dalam menilai personalitas perawi.

Elemen ketiga adalah metode periwayatan yang digunakan antar perawi. Metode yang dimaksud adalah mencermati lambang periwayatan yang digunakan perawi dalam menerima dan menyampaikan riwayat atau dikenal dengan tahammul wa ada’ul hadis. Lalu menulisnya dalam diagram sesuai dengan yang tercantum dalam sanad. Lambang yang dipakai oleh masing-masing perawi menunjukkan tersambung atau tidaknya sebuah periwayatan dan tingkat akurasi perawi. Namun, lambang yang tercantum tetap harus dikaji ulang karena mungkin saja terdapat tadlis pada sanad.

I’tibar dilakukan dengan menganalisa jumlah periwayatan kemudian membuat skema jalur sanad dan nama periwayatnya dengan cermat karena apabila ada sedikit kesalahan seperti kesalahan dalam penulisan nama, maka akan berpengaruh pada saat menyimpulkan kualitas sanadnya.

Kegiatan i’tibar dalam penelitian hadis ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pendukung berupa mutabi atau syahid pada hadis yang diteliti. Adapun i’tibar sendiri bukanlah bagian dari mutabi dan syahid melainkan metode untuk menemukan keduanya. Apabila jalur sanad yang diteliti memiliki pendukung maka sanad hadis yang telah memenuhi syarat dikuatkan, layak untuk dinaikkan kualitasnya. Namun, apabila kualitas awal sanad hadis sudah sangat dhaif maka tidak dapat dikuatkan dengan jalur lain. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Biografi Anas bin Malik, Sahabat yang Melayani Rasulullah saw.

0
Anas bin Malik
Anas bin Malik

Hadispedia.id – Dalam kitab Tahdzib al-Kamal karya Yusuf al-Mazzi, Anas bin Malik memiliki nama lengkap Anas bin Malik bin al-Nadzar bin Dhamdham bin Zaid. Dan memiliki nama julukan Abu Hamzah al-Madani, Sahabat sekaligus pelayan Rasulullah saw. Ibunya bernama Ummu Sulaim binti Malhan.

Ia dibesarkan ditengah-tengah keluarga Rasulullah saw. selama 9 tahun lebih beberapa bulan. Sehingga ia banyak mengetahui hal ihwal Rasulullah saw., baik berupa perkataan, perbuatan dan pengakuan beliau. Pada saat perang Badar, Anas bin Malik masih berusia sangat muda sehingga belum mengikuti peperangan ini. Tetapi semasa beranjak dewasa ia banyak melibatkan diri dalam berbagai pertempuran. Ketika Abu Bakar bermusyawarah dengan Umar tentang pengangkatannya sebagai Gubernur Bahrai, Umar memujinya ia adalah salah satu pemuda yang cerdas dan penulis. Dia seorang yang wara’ dan takwa sebab telah lama pergaulannya dengan Rasulullah saw.

Kedekatan Anas bin Malik dengan Rasulullah saw.

Dalam sebuah riwayat Anas bin Malik berkata, “Saat Rasulullah saw. hijrah ke Madinah, usiaku delapan tahun, kemudian ibuku mendatangi beliau seraya berkata, ‘Ya Rasulallah sesungguhnya mereka adalah para pria Anshar, dan para istrinya telah memberikan persembahannya untukmu, sedang aku tidak memiliki suatu apapun untuk aku berikan kepadamu kecuali putraku ini, dia akan melayani apa yang engkau perlu”.

Kemudian Anas berkata, “Saya melayani Rasulullah saw. selama sepuluh tahun, selama tinggal di Madinah. Beliau tidak pernah sekalipun memukul saya, menghina saya, dan tidak pernah mengernyit kepada saya.” Beliau pun sering mengajak Anas bercanda dengan sebutan “Ya Dza al-Udzunayn” (Hai anak yang memiliki telinga dua) sehingga tidak terkesan pergaulan antara tuan dan pelayannya.

Ia dikaruniai usia yang cukup panjang, ia masih sihup bahkan 83 tahun setelah wafatnya Rasulullah saw. Hal inilah yang menyebabkan ia banyak meriwayatkan hadis yakni 2.286 baik yang langsung ia dengar dari Rasulullah saw. maupun dari Sahabat lain.

Di antara para sahabat tersebut adalah Abi bin Ka’ab, Asid bin Khadhir, Tsabit bin Qais, Jarir bin Abdullah al-Bajali, Zaid bin Tsabit, Sulaiman Al-Farisi, dan Abdullah bin Abbas. Sedangkan beberapa murid yang meriwayatkan hadis dari beliau adalah Ibrahim bin Maisaroh, Azhar bin Rasyid, Ishaq bin Abdullah bin Abi Thalqah, Anas bin Siriin, Khafsah binti Siriin, Abu ‘Ashom al-Basri, dan Yazid bin Abi Mansur. Ia merupakan sahabat terakhir yang wafat di Bashrah. Ia wafat pada tahun 92 H dalam riwayat lain beliau wafat pada tahun 93 H pada usia 103 tahun.