Beranda blog Halaman 83

Apa Hadis Mursal Itu?

0
Apa Hadis Mursal Itu
Apa Hadis Mursal Itu

Hadispedia.id – Apa hadis mursal itu?. Hadis mursal merupakan bagian dari penyebab cacatnya sanad hadis secara zahir. Secara bahasa, mursal adalah isim maf’ul dari kata arsala (أرسل) yang maknanya sama dengan أطلق yaitu melepaskan. Dari asal kata tersebut, seakan seorang perawi melepas sanad, dan tidak mengikatnya dengan perawi yang dikenal.

Secara istilah, hadis mursal sebagaimana tertera dalam kitab Taysīr Musthalah al-Hadīts karya Dr. Mahmud al-Thahhān:

الحديث الذي سقط من إسناده الراوي الذي بعد التابعي

Hadis yang terputus pada akhir sanad setelah tabi’in.

Gambaran hadis mursal adalah, misalnya seorang tabi’in (seorang muslim yang bertemu sahabat dan wafat dalam keadaan muslim), baik ia masih tabi’in junior maupun senior, mengatakan “Qāla Rasūlullah …. begini…begini…” atau “Rasulullah pernah melakukan hal ini… hal itu…” tanpa menyebutkan sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut dari Rasulullah langsung maka ia telah melakukan irsāl (memursalkan hadis).

Contohnya adalah hadis yang diriwayatkan dalam kitab Shahīh Muslim, dalam pembahasan jual beli:

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ، ثَنَا حُجَيْن، ثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْل، عَنِ ابْنِ شِهَاب، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّب أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْمُزَابَنَةِ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rāfi’, telah menceritakan kepada kami Hujain bin al-Mutsanna, telah menceritakan kepada kami al-Laits dari ‘Uqail dari Ibnu Syihāb dari Sa’īd bin al-Musayyib bahwasannya Rasulullah saw. melarang transaksi dengan sistem muzābanah.

Baca juga: Kitab-kitab Populer dalam Ilmu Hadis

Pada hadis di atas, dapat kita lihat bahwa Sa’īd bin al-Musayyib; seorang tabi’in senior, meriwayatkan hadis dari Nabi saw. tanpa menyebutkan perawi di antara Rasul dan dirinya, yaitu sahabat. Dalam hal ini, paling minimalnya hadis dianggap sebagai mursal adalah membuang sahabat, tapi dapat menjadi kemungkinan pula yang dibuang adalah sahabat dan tabi’in setelahnya.

Adapun hadis mursal menurut para ahli fiqih dan ahli ushul sedikit berbeda dengan gambaran mursal menurut ahli hadis. Adapun mursal menurut ahli fiqih dan ushul lebih umum. Menurut mereka, setiap hadis yang terputus (munqathi’) adalah mursal, entah dari sisi mana terputusnya hadis itu. Al-Khatib al-Baghdadi berpendapat demikian juga dalam perihal hadis mursal.

Hukum hadis mursal pada asalnya adalah dha’if mardūd (lemah dan tertolak) karena hilangnya salah satu syarat diterimanya hadis yaitu ittishāl al-sanad (tersambungnya sanad), juga karena tidak diketahuinya kondisi rawi yang dihilangkan, apakah benar yang dihilangkannya adalah seorang sahabat atau bukan. dalam kondisi tadi, maka hadis tersebut menjadi dh’aif.

Kendati demikian, para ahli hadis dan yang lainnya berbeda pendapat perihal hukum hadis mursal dan kebolehan menjadikannya hujjah. Perbedaan tersebut muncul karena jenis terputusnya hadis ini berbeda dari terputusnya rawi-rawi di dalam sanad. Terputusnya sanad dalam hadis mursal umumnya rawi yang dibuang adalah dari kalangan sahabat, sedangkan seluruh sahabat itu bersifat ‘udūl. Tidak menjadi problem apabila sahabat yang dihilangkan dalam hadis tersebut tidak diketahui kondisinya.

Baca juga: Pembelajar Hadis Wajib Kuasai Tiga Ilmu Ini

Pendapat para ulama mengenai hadis mursal ini secara umum ada tiga, yaitu:

  1. Dha’if dan tidak dapat diterima. Pendapat ini menurut para ahli hadis dan ahli fiqih. Alasannya adalah karena rawi yang dihilangkan tidak diketahui kondisinya, juga kemungkinan apakah yang dihilangkannya adalah kalangan sahabat atau bukan
  2. Sahih dan dapat dijadikan hujjah. Pendapat ini menurut tiga imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad menurut riwayat yang masyhur) serta sekelompok ulama, dengan syarat orang yang me-mursal-kan hadis itu adalah orang yang kredibel (tsiqah), dan dari orang yang kredibel pula. Landasan pendapat ini adalah, orang-orang dari kalangan tabi’in yang kredibel (tsiqah), mustahil mereka mengatakan “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda” kecuali ketika mereka telah mendengarnya dari orang yang kredibel juga
  3. Dapat diterima dengan syarat, atau dapat disebut sahih bersyarat. Ini adalah pendapatnya imam Syafi’i dan sebagian ahli ilmu. Syaratnya ada empat, tiga berkenaan dengan perawi mursal dan satu berkenaan dengan hadis mursal. Syarat-syarat tadi adalah sebagai berikut:
  4. Rawi yang melakukan me-mursal-kan hadis berasal dari tabi’in senior
  5. Ketika menyebutkan siapa yang di-mursal-kan, dia menyebutkan perawi tsiqah
  6. Ketika riwayatnya bersekutu dengan para huffāz yang dipercaya, ia tidak menyelisihinya
  7. Dalam ketiga syarat di atas, masuk salah satu dari beberapa kondisi berikut ini :
    1. Hadis tersebut diriwayatkan dari jalur lain yang sampai kepada Nabi saw.
    2. Diriwayatkan dari jalur lain secara mursal yang di-mursal-kan oleh orang yang mengambil ilmu dari selain perawi mursal yang pertama
    3. Sesuai dengan perkataan sahabat
    4. Difatwakan oleh kebanyakan ahli ilmu.

Ketika syarat-syarat di atas tercapai, maka jelaslah hadisnya sahih. Adapun mursal shahabī adalah hadis yang disampaikan oleh Sahabat berupa sabda Rasulullah Saw ataupun perbuatan beliau, namun ia tidak pernah mendengarnya ataupun menyaksikannya langsung. Entah karena masih kecil usianya, masuk Islam belakangan, atau karena ia tidak hadir saat itu. Pada asalnya mereka mendengar hadis tersebut dari Sahabat yang lain.

Mursal shahabī disebabkan karena masih kecilnya usia sahabat misalnya hadis-hadis yang disampaikan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair. Hukum hadis mursal shahabī adalah sahih dan dapat dijadikan hujjah, sebagaimana dipastikan oleh jumhur ulama. Demikianlah penjelasan singkat tengtang apa hadis mursal itu?. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Apa Hadis Mudallas Itu?

0
Apa Hadis Mudallas Itu
Apa Hadis Mudallas Itu

Hadispedia.id – Dalam periwayatan hadis, adakalanya seorang perawi tidak pede meriwayatkan hadis karena gurunya adalah seorang yang tidak tsiqah (kredibel) dengan menyembunyikan identitas gurunya. Hal tadi dalam istilah ilmu hadis disebut tadlīs atau mudallas. Mudallas menurut bahasa adalah isim maf’ul dari altadlīs (التدليس), dan tadlīs dalam bahasa berarti penyembunyian aib barang dagangan dari pembeli. Diambil dari kata al-dalsu, yaitu kegelapan.

Mengutip Dr. Mahmud al-Thahhān dalam karyanya Taysīr Musthalah al-Hadīts, mudallas secara istilah adalah:

إخفاء غيب في الإسناد وتحسين لظاهره

“Penyembunyian aib dalam sanad dan menampakkan zahirnya secara baik.

Dalam Mandhūmah al-Baiquniyah mudallas digambarkan seperti ini,

وَمَا أَتَى مُدَلَّساً نَوعَانِ

اَلْأَوَّلُ: الْاِسْقَاطُ لِلشَّيْخِ وَأَنْ … يَنْقُلَ عَمَّنْ فَوْقَهُ بِعَنْ وَأَنْ

وَالثَّانِ: لاَ يُسْقِطُهُ لَكِنْ يَصِفْ … أَوْصَافَهُ بِمَا بِهِ لاَ يَنْعَرِفْ

Hadis mudallas ada dua macam. Pertama: gurunya gugur dengan penukilan di atasnya memakai (عَنْ) dan (أَنْ) . Kedua: gurunya tidak gugur tetapi menyifatinya dengan sifat yang tidak dikenal.

Tadlīs memiliki berbagai macam jenis, namun secara garis besar dapat kita bagi menjadi dua bagian, pertama tadlīs al-isnād, dan kedua adalah tadlīs al-syuyūkh. Ahmad bin ‘Amr al-Bazzār dan Abū al-Hasan ibn al-Qaththān menyebutkan definisi tadlīs al-isnādi adalah:

أن يَرْوِيَ الرَّاوِي عَمَّنْ قَدْ سَمِعَ مِنْهُ مَا لَمْ يَسْمَعْ مِنْهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَذْكُرَ أنَّه سَمِعَهُ مِنْهُ

Tadlīs alisnād adalah seorang perawi meriwayatkan hadis dari gurunya, dengan riwayat yang [sebenarnya] tidak ia dengar dari gurunya, ditambah ia tidak menyebutkan [secara jelas] bahwa ia telah mendengar [hadis tersebut] dari gurunya. (Dr. Mahmud al-Thahhān, Taysīr Musthalah al-Hadīts, Surabaya: Penerbit Al-Hidayah, hal 80)

Dari definisi di atas, terlihat perawi yang melakukan tadlīs al-isnād mencoba mengaburkan bahwa riwayat yang ia sampaikan adalah dari gurunya. Benar bahwa ia telah mendengar beberapa hadis dari gurunya, namun untuk hadis satu ini yang ia tadlīs, bukanlah berasal dari gurunya, namun dari orang lain.

Baca juga: Penjelasan Lengkap Hadis Munqathi’

Di sini perawi yang melakukan tadlīs biasanya menggunakan lafaz Contoh قال (dia berkata), فعل (dia berbuat), عن فلان (dari fulan), أن فلان قال (bahwa fulan berkata), فعل (berbuat) atau sejenisnya. Perawi tidak meriwayatkannya dengan lafaz yang kuat seperti سمعت (saya telah mendengar), حدّثني (ia telah menceritakan kepadaku). Dari indikasi-indikasi hasil pelacakan lafaz yang digunakan ketika menyampaikan hadis seperti di atas, itulah yang akan memunculkan istilah hadis mu’an’an (معنعن) dan muannan (مؤنن) yang terlihat seperti si perawi ingin mengaburkan penyandaran riwayat yang ia sampaikan dari gurunya.

Contoh dari tadlīs al-isnād adalah:

عَنْ عَلِيِّ بْنِ خَشْرَمٍ قَالَ: كُنَّا عِنْدَ ابْنِ عُيَيْنَةَ فَقَالَ: الزُّهْرِيُّ، فَقِيلَ لَهُ: حَدَّثَكُمُ الزُّهْرِيُّ؟ فَسَكَتَ، ثُمَّ قَالَ: الزُّهْرِيُّ، فَقِيلَ لَهُ: سَمِعْتَهُ مِنَ الزُّهْرِيِّ؟ فَقَالَ: لَا، لَمْ أَسْمَعْهُ مِنَ الزُّهْرِيِّ، وَلَا مِمَّنْ سَمِعَهُ مِنَ الزُّهْرِيِّ، حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّزَّاقِ، عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ

Pada hadis di atas, Ibnu ‘Uyainah telah menghilangkan dua perawi di antara dirinya dengan al-Zuhri. (Dr. Mahmud al-Thahhān, Taysīr Musthalah al-Hadīts, Surabaya: Penerbit Al-Hidayah, hal 80)

Di antara yang termasuk bagian tadlīs al-isnād adalah tadlīs taswiyah, yaitu si perawi meriwayatkan hadis dari gurunya, kemudian menghilangkan perawi dhaif yang terdapat di antara dua perawi yang tsiqah (kredibel). Bentuknya adalah, misalnya seorang perawi mendapatkan hadis dari gurunya yang tsiqah, gurunya mendapatkan hadis dari rawi yang dhaif, rawi yang dhaif tersebut mendapatkan hadis dari rawi yang tsiqah. Maka ada satu rawi dha’if di antara dua tsiqah. Kemudian, perawi yang melakukan tadlīs tadi membuang rawi yang dhaif di antara dua rawi tsiqah itu, jadilah sanad hadis tersebut diriwayatkan dari tsiqah seluruhnya.

Misalnya, Ibnu Abī Hātim meriwayatkan dalam kitabnya al-‘Ilal, “Aku mendengar ayahku menyebutkan hadis yang diriwayatkan oleh Ishaq. Adapun redaksi sanad dan matannya adalah:

اسحق بن راهويه عن بقية حدثني أبو وهب الأسدي عن نافع عن ابن عمر حديث لا تحمدوا إسلام المرء حتى تعرفوا عُقْدَةَ رأيه

Abū Hātim mengatakan, hadis ini diriwayatkan oleh Ubaydullah bin ‘Amr (tsiqah), dari Ishaq bin Abī Farwah (dhaif), dari Nāfi’ (tsiqah), dari Ibnu ‘Umar dari Nabi Saw.

Baca juga: Apa Itu Hadis Mutawatir?

Bagian kedua dari tadlīs adalah tadlīs syuyūkh (تدليس الشيوخ), yaitu seorang perawi menyebut atau mendeskripsikan gurunya dengan sifat yang tidak ada pada gurunya, sehingga orang menyangka gurunya tersebut adalah orang lain. Dr. Mahmūd al-Thahhān dalam Taysīr Musthalah Hadīts menyebutkan definisi tadlīs al-syuyūkh:

أن يَرْوي الراوي عن شيخ حديثاً سمعه منه، فيُسَمِّيهُ أو يَكْنَيِهُ أو يَنْسِبَهُ أو يَصِفهٌ بما لا يُعْرَفُ به كي لا يُعْرَفُ

Seorang perawi meriwayatkan sebuah hadis yang ia dengar dari gurunya, kemudian [ketika meriwayatkan] ia menyebutkan gurunya dengan sifat, atau kunyah, atau nasab lain, dengan maksud agar gurunya tidak dikenal orang lain.

Hal ini bisa jadi karena gurunya lebih muda darinya, sehingga dia tidak ingin ketahuan bahwa ia telah meriwayatkan dari orang yang lebih muda darinya. Atau perawi tersebut melakukan hal tersebut dengan tujuan agar orang-orang mengira bahwa dia memiliki banyak guru, atau ia melakukannya karena berbagai tujuan yang lain.

Hukum Hadis Mudallas

  1. Hadis Mudallas jenis tadlīs al-isnād sangat dibenci para ulama, salah satunya adalah Syu’bah yang paling keras menghukumi tadlīs, hingga ia mengatakan: التدليس أخو الكذب, tadlīs itu saudaranya dusta. Artinya sebelas dua belas mirip dengan kedustaan.
  2. Hadis Mudallas jenis tadlīs taswiyah malah lebih parah dibanding tadlīs al-isnād, sampai-sampai Imam al-‘Irāqī menyebutkan, “Bagi yang sengaja melakukannya, ia perusak (qādih)”
  3. Hadis Mudallas jenis tadlīs al-syuyūkh tidak separah dua tadlīs diatas karena tidak sampai membuang orangnya, hanya mengubah penyebutan sifat yang disematkan kepada rawi sebelumnya.

Hadis No. 1 Shahih Al-Bukhari

0
Shahih Al-Bukhari
Shahih Al-Bukhari

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

قَالَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ الْحَافِظُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْمُغِيرَةِ الْبُخَارِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى آمِينَ

كَيْفَ كَانَ بَدْءُ الْوَحْيِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَوْلُ اللَّهِ جَلَّ ذِكْرُهُ{إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ}

حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.

Bismillahirrahmanirrahim

Asy-Syeikh Al-Imam Al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al-Bukhari rahimmahullahu ta’ala (aamiin) berkata,اا

Bab: Bagaimana permulaan turunnya wahyu kepada Rasulullah saw. dan firman Allah swt (Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya. Q.S. An-Nisa’: 163)

Telah menceritakan kepada kami al-Humaidi Abdullah bin Az-Zubair dia berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan dia berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id Al-Anshari dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ibrahim At-Taimiy, bahwa dia pernah mendengar Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi berkata, Saya mendengar Umar bin Al-Khattab di atas mimbar berkata, Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda,

Semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena dunia yang ia cari atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju.”

Penjelasan Lengkap Hadis Munqathi’

0
Penjelasan Lengkap Hadis Munqathi
Penjelasan Lengkap Hadis Munqathi

Hadispedia.id – Hadis munqathi’ adalah bagian dari penyebab cacatnya sanad secara zahir. Secara bahasa, munqathi’ adalah isim fa’il dari الإنقطاع yang berarti keterputusan. Adapun seara istilah, hadis munqathi’ adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Taysīr Musthalah al-Hadīts karya Dr. Mahmud al-Thahhān:

ما لم يتصل إسناده، على أي وجه كان انقطاعه

“Hadits yang sanadnya tidak bersambung dari semua sisi”

Terputusnya suatu sanad, di awal, tengah, ataupun akhir, ketiganya masuk kepada bagian-bagian penyebab cacatnya sanad secara zahir yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu mursal, mu’allaq, dan mu’dhal. Akan tetapi, para ulama ahli hadis belakangan mulai mengkhususkan bentuk terputusnya suatu sanad yang tidak masuk bagian ketiganya dengan istilah munqathi’.اا

Istilah munqathi’ ini memang terkadang digunakan secara umum untuk mewakili keterputusan sanad. Oleh karena itu salah satu definisi munqathi’ adalah,

مَا كَانَ فِيْ إِسْناَدِهِ انْقِطَاعٌ فِيْمَا دُوْنَ الصَّحَابِيِّ

Apabila di dalam sanadnya ada keterputusan pada generasi di bawah tingkatan sahabat

Para ulama hadis belakangan mendefinisikan hadis munqathi’ sebagai : “Hadis yang di tengah sanadnya gugur seorang perawi atau beberapa perawi tetapi tidak berturut-turut”. Jadi yang gugur adalah satu saja di tengah sanadnya, atau dua tapi tidak berturut-turut pada dua tempat dari sanad, atau lebih dari dua dengan syarat tidak berturut-turut juga.

Contoh hadis munqathi’ adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abdul Razzāq dari al-Tsauri dari Abu Ishāq dari Zaid bin Yutsay’ dari Huzaifah secara marfū’:

إن وليتموها أبا بكر فقوي أمين

Hadis di atas telah mengalami keterputusan sanad, yaitu seorang perawi yang bernama Syarīk, ia mestinya berada di antara al-Tsauri dan Abu Ishāq, karena al-Tsauri nyatanya belum pernah mendengar sama sekali hadis dari Abu Ishāq secara langsung, ia mendengarnya dari Syarīk, Syarīk dari Abu Ishāq.

Contoh lainnya:

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ مَرْوَانَ الْأَهْوَازِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ وَأَبُو دَاوُدَ عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ يَزِيدَ الْهُذَلِيِّ عَنْ عَوْنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَكَعَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ وَذَلِكَ أَدْنَاهُ وَإِذَا سَجَدَ فَلْيَقُلْ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى ثَلَاثًا وَذَلِكَ أَدْنَاهُ (رواه أبو داود)

Abu Dawud as-Sijistaniy berkata, “Telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin Marwān al-Ahwazī” (ia berkata), “Telah menceritakan kepada kami Abū ‘Amir dan Abū Dawūd dari Ibnu Abī Dzi’b dari Ishāq bin Yazīd al-Hudzalī dari ‘Aun bin ‘Abdullah dari ‘Abdullah bin Mas’ūd ia berkata”: (Rasulullah shallalLahu ‘alaihi wasallam bersabda: Jika salah seorang dari kalian ruku, maka ucapkanlah 3 kali: Subhāna RabbiyalAdzhīm. Itu paling minimalnya. Dan jika sujud maka ucapkanlah Subhāna Rabbiyal a’lā 3 kali. Itu adalah paling minimalnya. (H.R Abū Dāwūd)

Imam Abu Dawud mengatakan: ‘Aun tidak pernah berjumpa dengan Abdullah bin Mas’ūd. Hadis ini dihukumi munqathi’ oleh Imam al-‘Irāqī dalam al-Mughnī ‘an Hamlil Asfār.

Hukum hadis yang munqathi’ ialah dhai’f. Ulama telah bersepakat mengenai kedha’ifannya. Akan tetapi, jika ada hadis yang tergolong munqathi’, karena terputus satu rawi sebelum sahabat, sedangkan ada hadis yang sama dari jalur lain yang sanadnya muttashil (bersambung) kepada Nabi saw dan shahih, maka hadis munqathi’ tersebut naik kualitasnya karena ada hadis shahih dari jalur lain yang menguatkannya. Wallahu a’lam

Pengertian dan Contoh Hadis Mu’dhal

0
Pengertian dan Contoh Hadis Mu'dhal
Pengertian dan Contoh Hadis Mu'dhal

Hadispedia.id – Mu’dhal merupakan bagian dari penyebab cacatnya sanad hadis secara zahir. Secara bahasa, mu’dhal adalah isim maf’ūl dari kata a’dhala yang artinya meletihkan. Adapun secara istilah, sebagaimana dikutip dari kitab Taysīr Musthalah al-Hadīts karya Dr. Mahmud al-Thahhān:

ما سقط من إسناده اثنان فأكثر على التوالي

Mu’dhal adalah hadis yang di dalam sanadnya terdapat 2 orang perawi atau lebih, yang gugur secara berturut-turut.

Meninjau dari segi bahasa dan istilahnya, kita dapat memahami bahwa mu’dhal dapat dikatakan hadis yang menyulitkan dan meletihkan untuk dihubungkan sampai kepada Nabi Saw., karena terputusnya atau gugurnya perawi dari sanad hadis yang jumlahnya banyak, di mana ada 2 perawi atau lebih yang gugur di dalamnya, baik di awal, di tengah, maupun di akhir sanad.

Contoh hadis mu’dhal adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam kitabnya, Ma’rifat ‘Ulūm al-Hadīts dengan sanadnya yang sampai kepada al-Qa’nabī dari Imam Malik, bahwa ia [Imam Malik] menyampaikan kepada al-Qa’nabī, Sesungguhnya Abu Hurairah berkata, “Rasulullah saw bersabda,

للمملوك طعامه وكسوته بالمعروف، ولا يكلف من العمل إلا ما يطيق

Artinya, “Berikan makanan dan pakaian yang layak kepada para budak. Jangan bebani mereka dengan pekerjaan yang tidak mereka sanggupi” (HR Malik dalam al-Muwattha`)

Al-Hakim mengatakan, “Hadis ini mu’dhal diriwayatkan dari Imam Malik, ia [Imam Malik] me-mu’dhal-kannya sebagaimana di atas” Adapun jika kita lihat dari kitab-kitab hadis lainnya, maka sanad lengkapnya adalah

عن مالك عن محمد بن عجلان عن أبيه عن أبي هريرة

Dari Malik dari Muhammad bin ‘Ajlan dari bapaknya dari Abu Hurairah r.a.

Jika melihat contoh di atas, dapat kita pahami bahwa Imam Malik (w. 179 H) menyampaikan hadis dari Abu Hurairah (w. 57 H), secara jelas ada dua rawi yang tidak disebutkan secara berturut-turut, yakni Muhammad bin ‘Ajlan dan bapaknya.

Demikianlah pengertian dan contoh hadis mu’dhal. Adapun hukum hadis mu’dhal adalah dha’if karena rawi pada sanadnya ada yang dibuang, bahkan lebih buruk dari mursal dan munqathi’ karena banyaknya rawi yang dihilangkan. Ulama sepakat mengenai kedha’ifannya. Kendati demikian, perlu dipertegas kembali bahwa hadis yang cacat sanadnya karena ada rawi yang dibuang dapat menjadi naik statusnya menjadi hasan jika terdapat jalur lain yang menjelaskan rawi mana saja yang dibuang. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Apa Hadis Mu’allaq Itu?

0
Apa Hadis Mu'allaq itu
Apa Hadis Mu'allaq itu

Hadispedia.id – Hadis Nabawi adakalanya maqbūl, dapat diterima, dan adakalanya mardūd, tidak dapat diterima. Hadis-hadis yang mardūd tentulah memiliki sebab. Sebab yang mendha’ifkan hadis itu secara garis besar terbagi kepada dua bagian. Pertama, cacatnya sanad. Kedua, cacatnya rawi.

Untuk bagian yang pertama, penyebab kedhaifan hadis berupa cacat sanadnya terbagi kepada dua bagian, zahir dan samar. Cacat pada sanad secara zahir ada 4 macam: Mu’allaq, Mursal, Mu’dhal, dan Munqathi’. Sedang cacatnya sanad secara samar ada 2 macam: Mudallas dan Mursal Khafī.

Artikel kali ini fokus pada pembahasan hadis mu’allaq yang mana adalah bagian dari cacatnya sanad secara zahir. Secara bahasa, mu’allaq adalah isim maf’ul dari kata ‘alaqa yang artinya terikat dan tergantung. Dinamakan demikian karena hadis mu’allaq sanadnya hanya terikat dan tersambung pada bagiannya saja, sementara bagian bawahnya terputus, sehingga diumpamakan seperti sesuatu yang tergantung pada atap dan yang semacamnya. (Dr. Mahmud al-Thahhān, Taysīr Musthalah al-Hadīts, Surabaya: Penerbit Al-Hidayah, hal 69)

Secara istilah, hadis mu’allaq didefinisikan sebagai:

مَا حُذِفَ مِنْ مُبْتَدَأِ إِسْنَادِهِ رَاوٍ فَأَكْثَرَ وَلَوْ إِلَى آخِرِ اْلإِسْنَادِ

Hadis yang dari awal sanadnya dihilangkan seorang perawi atau lebih, seterusnya sampai akhir sanad. (Dr. Mahmud al-Thahhān, Taysīr Musthalah al-Hadīts, hal 69)

Dari definisi di atas, dapat kita pahami bahwa awal sanad (penyusun kitab) dibuang dan yang disebutkan hanya akhir sanad saja. Adakalanya yang disebut hanya sahabat saja atau sahabat sekaligus tabi’in-nya. Kendati demikian, setidaknya hadis mu’allaq memiliki dua bentuk :

  1. Dibuang semua sanadnya dan yang disebutkan hanya “Qāla Rasulullah ….”
  2. Dibuang semua sanadnya kecuali sahabat, atau sahabat dan tabi’in

Hadis mu’allaq dapat kita temukan di kitab-kitab hadis yang sekunder (mashdar far’ī), ataupun kitab-kitab non-hadis yang di dalamnya terdapat kutipan hadis, yang fungsinya untuk meringkas supaya teks yang dinukil tidak panjang hanya karena sanadnya. Misalnya hadis-hadis dalam kitab Bulūghul Marām karya Imam Ibnu Hajar al-‘Asqallānī. 

Contoh:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي اَلْبَحْرِ هُوَ اَلطُّهُورُ مَاؤُهُ اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah sw. bersabda tentang (air) laut. “Laut itu airnya suci dan mensucikan, bangkainya pun halal.” (Imam Ibnu Hajar al-Asqallānī, Bulūghul Marām, Mesir : al-Mathba’ah al-Salafiyah, 1347 H, hal 23).

Baca juga: Unsur-unsur Dasar Sebuah Hadis

Di atas adalah contoh bahwa Imam Ibnu Hajar menukil hadis namun membuang sanadnya, dan hanya menampilkan perawi dari sahabat saja. Tujuan Imam Ibnu Hajar jelas, untuk meringkas kitab, karena Bulūghul Marām bukanlah kitab hadis secara khusus, namun ia merupakan dalil-dalil amaliyah fikih.

Hukum hadis mu’allaq adalah dhaif karena ia terputus sanadnya dan tidak memenuhi syarat hadis sahih yaitu tersambungnya sanad (ittishāl al-sanad). Akan tetapi, penting digarisbawahi bahwa hadis mu’allaq dapat menjadi shahih jika ditemukan sanad yang menyambung dari mukharrij hingga Rasulullah Saw.

Misalnya hadis yang dikutip oleh Imam Ibnu Hajar di atas sebenarnya muttashil atau tersambung sanadnya. Karena dalam teks lengkapnya Imam Ibnu Hajar menyebutkan:

أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَاَلتِّرْمِذِيُّ

Diriwayatkan oleh Imam Empat dan Ibnu Syaibah, dan lafaz hadis di atas adalah lafaz [yang diriwayatkan oleh] Ibnu Syaibah. Ibnu Khuzaimah dan Tirmidzi menyatakan hadis di atas shahih. Imam Ibnu Hajar al-Asqallānī, Bulūghul Marām, hal 23).

Baca juga: Apa itu Hadis Mutawatir?

Hukum Hadis-Hadis Mu’allaq Dalam Kitab Shahīh Bukhārī dan Muslim

Hadis mu’allaq tentulah dhaif kecuali dengan syarat tertentu sebagaimana disebutkan di atas, juga apabila hadis mu’allaq tersebut didapati dalam kitab yang sudah dipastikan keshahihannya seperti Shahīh Bukhāri dan Shahīh Muslim.

Pertama, apabila diriwayatkan dengan tegas dan jelas, yaitu dengan sighat jazm (kata kerja aktif), seperti : qāla (dia telah berkata), zakara (dia telah menyebutkan), dan hakā (dia telah bercerita) maka hadisnya dihukumi shahih.

Kedua, apabila diriwayatkan dengan shigat tamridl (kata kerja pasif) seperti qīla (dikatakan), zukira (diceritakan), atau hukiya; maka tidaklah sahih semuanya. Adakalanya sahih, hasan maupun dhaif. Akan tetapi perlu diketahui bahwa tidak ada satupun hadis yang lemah dalam kitab yang shahih seperti Shahīh Bukhārī dan Shahīh Muslim. Wallahu a’lam

Hadis tentang Baik dan Halal adalah Syarat Diterimanya Doa

0
Hadis tentang Baik dan Halal adalah Syarat Diterimanya Doa
Hadis tentang Baik dan Halal adalah Syarat Diterimanya Doa

Hadispedia.id – Imam Nawawi dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah hadis kesepuluh menjelaskan hadis tentang baik dan halal adalah syarat diterimanya doa.

عَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:« إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ، فَقَالَ تَعَالَى: {يَٓاأَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحًا} [المؤمنون-51].وَقَالَ تَعَالَى: {يَٓاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ }[البقرة-172]، ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟ » رواه مسلم.

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda,

Sesungguhnya Allah Maha baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Dia memerintahkan orang-orang mukmin sama seperti yang diperintahkan kepada para Rasul. Dia berfirman, ‘Wahai para Rasul, makanlah makanan yang baik dan kerjakanlah amal shalih.’ (Al-Mukminun: 51) Dia juga berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman makanlah makanan yang baik yang telah kami berikan kepada kalian.’ (Al-Baqarah: 172) Lalu, Rasulullah saw. bercerita tentang seorang laki-laki yang menempuh perjalanan jauh, hingga rambutnya kusut dan kotor. Ia menadahkan kedua tangannya ke langit (seraya berdoa), ‘Ya Rabb, ya rabb’, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia kenyang dengan barang haram. Bagaimana mungkin doanya dikabulkan?.” (H.R. Muslim)

Imam Al-Qadli sebagaimana dikutip imam Nawawi di dalam ٍSyarah Shahih Muslim mengatakan bahwa at-thayyib merupakan sifat Allah yang berarti bersih dari kekurangan-kekurangan. Imam Nawawi juga menjelaskan bahwa hadis ini mendorong agar berinfak dengan harta yang halal, bukan dari harta yang haram.

Meskipun infak itu baik tetapi karena bersumber dari harta yang tidak baik maka Allah swt. tidak akan menerimanya. Begitu pula jika harta haram tersebut kita gunakan untuk membangun sekolah, panti asuhan, dan berangkat haji, maka semua itu tidak akan diterima Allah swt.

Baca juga: Hadis tentang Penyebab Hati yang Gelisah

Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi juga menjelaskan bahwa maksud sabda Nabi saw. di atas mencakup perbuatan, harta benda, ucapan, dan keyakinan. Allah swt. tidak akan menerima semua itu kecuali yang baik dan bersih dari segala noda, seperti riya’ dan ujub.

Selain itu, hadis ini mendorong kita agar makanan, minuman, dan pakaian kita harus halal dan murni dari benda-benda syubhat dan haram. Karena sebagaimana dijelaskan dalam hadis tersebut, hal yang menyebabkan penghalang doa adalah menggunakan barang haram, baik makanan, minuman, maupun pakaian.

Imam At-Thabrani meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas r.a. berkata, “Saya membaca ayat “Wahai sekalian manusia, makanlah apa-apa yang ada di bumi, yang halal dan baik.” (Al-Baqarah: 168) di sisi Rasulullah saw. Lalu, Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, “Wahai Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah agar doaku dikabulkan.” Nabi saw. bersabda, “Wahai Sa’ad, baikkanlah makananmu (pilihlah yang halal), niscaya doamu mustajab. Demi Dzat yang jiwaku berada digenggaman-Nya, sesungguhnya orang yang di rongganya terdapat satu genggam barang haram, tidak akan diterima amalnya selama empat puluh hari. Dan barang siapa yang daging tubuhnya tumbuh dari barang haram, maka nerakalah tempat yang paling layak baginya.”

Salah satu manfaat mengkonsumsi makanan dan minuman halal adalah dapat membuahkan amal shalih. Sebaliknya, makanan dan minuman haram dapat menjadikan kita malas berbuat amal shalih atau menjadikan amal shalih kita tidak diterima Allah swt.

Lalu, bagaimana jika kita terlanjur memiliki harta yang haram, baik berasal dari mencuri, korupsi atau lainnya? Dr. Mustafa Dieb dalam kitab Al-Wafi menjelaskan bahwa harta itu wajib dibersihkan dengan cara dishadaqahkan dan pahalanya bagi pemilik harta.

Hal ini sebagaimana pendapat imam Ibnu Rajab, “Pendapat yang benar adalah dengan menshadaqahkannya (bukan memusnahkannya), karena memusnahkan harta adalah tindakan yang dilarang. Menyimpannya hingga diketahui pemiliknya juga rentan rusak atau dicuri orang. Jadi, sebaiknya dishadaqahkan dan pahalanya untuk si pemilik harta tersebut.” Tetapi jika memang pemilik harta tersebut masih ada, maka dikembalikan kepadanya atau mengganti rugi dan meminta maaf kepadanya.

Baca juga: Hadis tentang Doa Ketika Mengetahui Musibah Orang Lain

Demikianlah penjelasan hadis tentang baik dan halal adalah syarat diterimanya doa. Hendaknya kita berhati-hati, jangan sampai apa yang kita konsumsi, pakai, maupun amalkan terdapat unsur hal yang tidak baik dan dibenci Allah swt. Terakhir, marilah kita perbanyak doa yang diajarkan Nabi saw. sebagai berikut.

اَللّٰهُمَّ اَغْنِنَا بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَبِطَاعَتِكَ عَنْ مَعْصِيَتِكَ وَبِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ.

Allahumma aghnina bi halalika ‘an haramika wa bi tha’atika ‘an ma’shiyatika wa bi fadhlika ‘amman siwak. Ya Allah, Cukupilah kami dengan harta halal-Mu, bukan yang haram. Isilah hari-hariku dengan taat kepada-Mu, bukan dengan mendurhakai-Mu, dan cukupilah diriku dengan karunia-Mu, bukan selain-Mu.

Wa Allahu a’lam bis shawab.

Hadis tentang Menjauhi Hal-hal yang Dilarang dan Menjalankan Hal-hal yang Diperintahkan

0
Hadis tentang Menjauhi Hal-hal yang Dilarang dan Menjalankan Hal-hal yang Diperintahkan
Hadis tentang Menjauhi Hal-hal yang Dilarang dan Menjalankan Hal-hal yang Diperintahkan

Hadispedia.id – Imam Nawawi dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah hadis kesembilan menjelaskan hadis tentang menjauhi hal-hal yang dilarang dan menjalankan hal-hal yang diperintahkan.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: « مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ. وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أنْبِيَائِهِمْ» رواه البخاري ومسلم.

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Apa yang kularang, jauhilah, dan apa yang kuperintahkan, laksanakanlah semampu kalian. Sesungguhnya yang membinasakan umat-umat sebelum kalian adalah banyak bertanya dan berselisih dengan nabi mereka.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)ا

Latar Belakang/Asbab Wurud Hadis

Imam Muslim di dalam kitab shahih-nya meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. berpidato di hadapan kami seraya berkata, “Wahai sekalian manusia, telah diwajibkan kepada kalian ibadah haji, maka berhajilah.” Seorang laki-laki bertanya, “Ya Rasulullah, apakah dilakukan setiap tahun?” Rasulullah saw. diam. Hingga orang itu mengulangnya sampai tiga kali. Maka, Rasulullah saw. pun menjawab, “Andai saya jawab ya, tentu haji akan diwajibkan (setiap tahun). Dan kalian tidak akan mampu.” Setelah itu, Rasulullah saw. bersabda, “Biarkanlah apa yang saya diamkan. Sesungguhnya kehancuran umat sebelummu adalah karena mereka banyak bertanya dan berselisih dengan nabi-nabi mereka. Jika saya perintahkan kepada kalian untuk mengerjakan sesuatu maka tunaikanlah semampu kalian. Dan jika aku melarang sesuatu maka tinggalkanlah.”

Riwayat imam Ibnu Majah dari sahabat Ibnu Abbas r.a. menyebutkan bahwa laki-laki yang bertanya kepada Nabi saw. tersebut bernama Aqra’ bin Habis. Imam Abu Dawud dalam kitab sunannya dan imam Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadraknya juga menyebutkan riwayat senada.

Fiqhul Hadis/Kandungan Hadis

  1. Menjauhi hal-hal yang dilarang agama.

Pada hadis tersebut, Rasulullah saw. memerintahkan kepada kita untuk menjauhi hal-hal yang dilarang. Beliau tidak mengatakan “mastatha’tum” atau semampu kalian. Hal ini menunjukkan bahwa menjauhi hal-hal yang dilarang itu perkara yang mudah.

Lebih mudah dari pada melaksanakan perintah. Karena menjauhi larangan itu tidak membutuhkan pada kemampuan yang besar. Bahkan tanpa perlu kekuatan badan. Tetapi yang diperlukan hanya kemauan dan keinginan yang kuat saja. Selain itu, menjauhi larangan itu tidak memerlukan amal perbuatan, karena kita hanya cukup diam saja, maka kita sudah otomatis meninggalkan larangan itu. Seperti larangan minum khamr. Kita cukup diam saja, tidak mengambil minuman itu, maka otomatis kita telah meninggalkannya.

2. Larangan dalam Al-Qur’an maupun hadis itu ada dua kategori, haram dan makruh.

Larangan yang bersifat haram adalah larangan yang dalilnya jelas dengan tegas memerintahkan untuk meninggalkannya. Bahkan ada hukuman bagi yang melakukannya dan pahala bagi yang meninggalkannya. Contohnya: zina, mencuri, membunuh, dan mengkonsumsi hal yang memabukkan.

Larangan yang bersifat makruh adalah larangan yang dalilnya tidak tegas pelarangannya. Bagi yang melakukannya tidak mendapat dosa, tetapi bagi yang meninggalkannya mendapat pahala. Contohnya makan makanan yang memiliki bau menyengat sehingga dapat mengganggu orang lain ketika shalat berjamaah.

3. Komitmen pada perintah agama

Rasulullah saw. pada hadis tersebut bersabda, “Tunaikanlah perintahku semampu kalian.” Hal ini menunjukkan bahwa kita pasti mampu melaksanakannya. Oleh karena melakukan itu membutuhkan tenaga atau usaha, maka beliau memberi sifat “semampu kalian”. Beliau tidak membebani kita jika tidak mampu melaksanakannya dengan sempurna. Seperti shalat. Kita tetap diwajibkan melaksanakannya dalam kondisi apapun. Jika tidak bisa berdiri, maka dengan duduk. Jika tidak mampu duduk, maka dengan berbaring dan seterusnya.

Baca juga: Hadis tetang Menolak Kemungkaran dan Bid’ah

4. Perintah agama itu terdiri dari dua kategori: wajib dan sunnah.

Perintah yang bersifat wajib adalah perintah yang memiliki dalil yang tegas untuk dilaksanakan. Konsekuensi bagi yang meninggalkannya adalah mendapat hukuman/siksa dan bagi yang melakukannya akan mendapat pahala. Seperti shalat lima waktu, zakat, dan puasa Ramadhan.

Perintah yang bersifat sunah adalah perintah yang memiliki dalil sunnah untuk dikerjakan. Bagi yang melakukannya mendapat pahala, dan bagi yang meninggalkannya tidak mendapat hukuman. Seperti shalat sunah rawatib, shalat sunah Dhuha, shadaqah, dan makan dengan tangan kanan.

5. Penyebab kehancuran umat terdahulu

Rasulullah saw. telah menjelaskan kepada kita bahwa penyebab kehancuran umat-umat terdahulu adalah akibat dua perkara. Dua hal itu adalah banyaknya pertanyaan yang tidak berguna dan tidak komitmen dengan syariat Allah.

Imam Nawawi di dalam kitab Syarah Shahih Muslim mengutip pendapat imam Al-Khattabi yang mengatakan bahwa orang yang memiliki pertanyaan yang diperlukan untuk ditanyakan maka diperbolehkan. Hal ini sebagaimana firman Allah swt. “Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (Q.S. An-Nahl: 43).

Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi menjelaskan bahwa pertanyaan itu memiliki beberapa hukum. 1. Fardu ain, seperti bertanya seputar agama yang wajib ia ketahui. 2. Fardhu kifayah, seperti pertanyaan untuk mendalami suatu permasalahan. Misalnya mendalami masalah fiqh dan hadis. 3. Mandub/sunnah, seperti menanyakan amalan sunnah. 4. Haram, seperti pertanyaan yang bertujuan untuk mengejek atau bersifat menentang mukjizat Rasul. 5. Makruh, seperti pertanyaan yang sebenarnya tidak dibutuhkan, bahkan dapat membuka aib si penanya. 6. Mubah/boleh, seperti pendapat imam Nawawi yang mengutip imam Al-Khattabi di atas.

Baca juga: Hadis tentang Rukun Islam yang Ada Lima

6. Memahami dan mengamalkan lebih utama dari pada bertanya

Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi menjelaskan bahwa seorang muslim hendaklah lebih mementingkan untuk mengkaji dan berusaha memahami semua yang datang dari Allah dan Rasul-Nya.

Jika yang didapati adalah perkara yang bersifat normatif, maka hendaknya ia meyakini kebenarannya. Namun, jika yang didapati adalah perkara yang aplikatif maka bersegeralah untuk mengaplikasikannya.

Sementara itu, Dr. Ahmad Ubaidi Hasbillah di dalam kitab Al-Fawaid Al-Mustafawiyah mengatakan bahwa semua perintah dan larangan agama itu memiliki kemaslahatan. Selain itu, ia juga memiliki faedah dan hikmah yang besar. Bahkan meskipun kita tidak mempertanyakannya, niscaya kita akan mendapatinya ketika mengamalkannya. Wa Allahu A’lam bis shawab.

Menjelajah Keilmuan Hadis Sahabat Abu Bakar as-Sidhiq

0
Abu Bakar as-Sidhiq
Abu Bakar as-Sidhiq

Abu Bakar as-Sidhiq adalah salah satu sahabat yang sangat dicintai oleh baginda Nabi Muhammad saw. sekaligus ayah dari salah satu istri Rasulullah yang paling beliau sayangi yakni Aisyah r.a. Abu bakar as-Sidhiq merupakan sahabat Rasulullah yang sangat setia, sebab, ia memiliki peran penting dalam kehidupan Rasulullah secara pribadi maupun sebagai sahabat dalam mensyiarkan agama islam. Maka mustahil kiranya mempelajari hadis tanpa mengenal sosok Abu bakar as-Sidhiq serta perjuangan beliau dalam membantu dan meneruskan dakwah Rasulullah.

Dalam kitab Tahdzib al-Kamal karya Yusuf al-Mazzi , Abu bakar as-Sidhiq memiliki nama lengkap Abd’Allah bin Utsman Abu Qakhafah Aamr bin Amru bin Ka’ab. Nama panggilannya sebelum masuk islam ialah Abdul Ka’bah, setelah masuk islam Rasulullah mengganti namanya menjadi Abdullah dan memberinya gelar sebagai as-Sidhiq yang berarti orang pertama (lelaki) yang membenarkan, sebab beliaulah yang mempercayai kenabian Rasulullah tanpa sedikit pun keraguan. Yang kemudian ia lebih sering dipanggil dengan Abu bakar as-Sidhiq. Abu bakar as-Sidhiq wafat pada tahun 13 H, namun riwayat lain dalam kitab Khulashah Nurul Yaqin karya ‘Umar ‘Abdul Jabar beliau lahir kurang lebih dua tahun setelah Nabi Muhammad dilahirkan dan wafat pada tahun 12 H.

Dalam kitab yang sama pula, Abu bakar as-Sidhiq digambarkan sebagai sosok yang memiliki paras rupawan, pergaulan yang baik, serta memiliki pribadi dan hati yang lemah lembut. Beliau merupakan salah satu orang quraisy yang memiliki kejayaan yang cukup lama, yakni sejak masa jahiliyah hingga memeluk Islam.

Baca juga: Mengenal Sosok Usman bin Affan: Perawi Hadis yang Penuh kehati-hatian

Kesuksesannya dalam dunia perdagangan ia raih karena sifatnya yang amanah, selain itu Abu bakar as-Sidhiq juga merupakan sosok yang sangat disenangi oleh kaum Quraisy karena sifat kasih dan sayangnya tehadap orang-orang lemah maupun orang-orang fakir. Selain itu, sejak memeluk islam Abu bakar membeli banyak budak dari tuan-tuannya untuk kemudian ia merdekakan. Hal tersebut tidak lain ia lakukan semata demi mengharap ridha Allah swt. kemudian pada tahun ke-9 Hijriyah, ia melakukan ibadah haji bersama kaum muslimin.

Mengenal kedekatan antara Abu Bakar as-Sidiq dengan Rasulullah Muhammad SAW.

Abu bakar as-Sidiq adalah salah satu orang yang sangat dekat dengan Rasulullah bahkan sebelum Rasul mengetahui tanda kenabian yang dimilikinya. Dan ketika Rasulullah menerima wahyu pertamanya, Abu bakarlah lelaki dewasa pertama yang membenarkan dan mengimani kenabian Rasulullah. Dalam kitab Khulashah Nurul Yaqin karya ‘Umar ‘Abdul Jabar, terdapat sabda Rasulullah yakni

“ مَا دَ عُوْتُ اَحَدًا اِلَئ الإسْلَامِ الّاكَانَتْ لَهُ كَبْوَاةٌ غَيْرَا اَبِيْ بَكْرٍ”.

Semasa Rasulullah melakukan hijrah menuju Madinah, Abu Bakar as-Sidiq lah yang menemani perjalanan beliau. Pun ketika mereka berdua dikejar oleh kaum musyrikin, sehingga membuat Abu Bakar as-Sidiq sangat ketakutan namun hal tersebut tidak sedikitpun menggugurkan semangatnya untuk tetap menemani Rasulullah hijrah menuju Madinah.

Peristiwa tersebut yang kemudian diabadikan dalam surat At-taubah ayat 40. Kesetiaan Abu bakar juga dibuktikan dalam keikut sertaannya dalam membantu jihad Rasulullah melawan kaum kafir. Diantara perang yang pernah diikuti Abu bakar bersama Rasulullah ialah perang badar, perang uhud, perang bani an-Nadhir, perang khandaq, perang bani al-Mustaliq, perang bani quraizah, perjanjian hudaibiah, perang khaibar dan seterusnya.

Baca juga: Adab Melangsungkan Akad Pernikahan Menurut Hadis

Ketika Rasulullah jatuh sakit, beliau memerintah Abu bakar untuk menjadi imam sholat kaum muslim, hal tersebut kemudian menjadi isyarat terpilihnya Abu bakar sebagai pengganti kepemimpinan Rasulullah sekaligus penerus dakwah mensyiarkan agama islam.

Peradaban keilmuan Islam di bawah pimpinan Abu bakar as-sidiq

Semasa Rasulullah masih hidup, beliaulah yang menjadi guru sekaligus sumber pengetahuan tentang islam yang utama bagi kaum muslimin. Setiap persoalan yang dihadapi baik dalam hal ibadah, muamalah maupun persoalan hukum negara, kaum muslimin dapat menanyakan langsung solusi dari permasalahan-permasalahan tersebut kepada Rasulullah.

Namun, setelah wafatnya beliau, persoalan yang dihadapi oleh kaum muslim pun semakin beragam. Islam yang saat itu sudah mulai tersebar ke beberapa kota, satu persatu orang yang telah memeluk agama islam semasa Rasulullah masih hidup kini menjadi murtad. Banyak orang-orang yang dahulu memerangi Rasulullah kini mengaku dirinya sebagai nabi diantaranya ialah Musailamah al-Kadzab, Tulaikhah al-Asad, dan Aswad dari bangsa ‘Ansi. Selain itu banyak kaum muslim yang engan untuk membayar zakat, seperi para pengikut Malik bin Nuwairah dari suku Tamim.

Dalam menjalankan amanah kekhalifahannya yang hanya berjalan dua tahun, kepemimpinan yang dijalankan oleh Abu bakar as-Sidiq pun tidak jauh berbeda dengan masa kepemimpinan Rasulullah, yakni  bersifat sentral, kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif ditangan khalifah. Dalam masa kepemimpinananya yang singkat Abu bakar mengerahkan segala upaya untuk menyelesaikan persoalan-persoalan sebagaimana yang telah disebutkan diatas.

Baca juga: Riwayat Hadis Tentang Penyebab Hati yang Gelisah, Begini Penjelasannya!

Sedang dalam bidang keilmuan, Abu bakar  sebagai salah satu sahabat terdekat Rasulullah tentu juga memiliki peran yang sangat penting. Bahkan dalam beberapa riwayat, Rasulullah pun mengakui keluasan ilmu dan pemahamannya tentang ajaran islam. Beberapa riwayat Rasulullah tentangnya ialah:

«إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي إِلَيْكُمْ فَقُلْتُمْ كَذَبْتَ، وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ صَدَقَ، وَوَاسَانِي بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَهَلْ أَنْتُمْ تَارِكُوا لِي صَاحِبِي»

“Sesungguhnya Allah mengutusku kepada kalian, kemudian kalian berkata, “engkau (Muhammad) telah berdusta.” (akan tetapi) Abu Bakar berkata, “engkau (Muhammad) memang benar.” HR. Bukhari-3661

«إِنْ لَمْ تَجِدِينِي فَأْتِي أَبَا بَكْرٍ»

“Jika engkau tidak mendapatiku maka temulah Abu Bakar” HR. Bukhari-3659

Hal tersebut menunjukkan bahwa Nabi pun memberikan penghormatan terhadap keilmuan Abu Bakar. Selain itu, keberhasilannya dalam memerangi nabi-nabi palsu, meluruskan kembali kaum muslim yang enggan membayar zakat dengan mendirikan lembaga peradilan dan lembaga keuangan negara menunjukkan bahwa Abu Bakar as-Sidiq merupakan sosok khalifah Islam yang sangat menjunjung tinggi ajaran islam maupun kemaslahatan umat islam. Dan atas saran dari Umar bin Khatab pada pemerintahan Abu Bakar inilah catatan-catatan ayat al-Qur’an yang telah disimpan oleh para sahabat ataupun juru tulis Rasulullah mulai dikumpulkan.

Adapun dibidang hadis, dalam kitab Tahdzib al-Thdzib karya Ibnu Hajar al-Asqalani dijelaskan sebagaimana umat muslim lainnya yang menjadi sumber pengetahuannya (Abu Bakar) tentang islam ialah Nabi Agung Muhammad saw. dan diantara para sahabat yang menerima  hadis darinya ialah Umar bin khatab,Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, Ausad al-Bajali, al-Baraa’ bin ‘Aazb, Jaabir bin ‘Abd Allah, Jabiir bin al-Khawarits al-Maqzuumi, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah, dan nak-anaknya Abdurrahman dan Aisyah ummul mukminin. Wallahu a’lam[]

Hadis tentang Terjaganya Darah dan Harta Umat Muslim

0
Hadis tentang Terjaganya Harta dan Darah Umat Muslim
Hadis tentang Terjaganya Harta dan Darah Umat Muslim

Hadispedia.id – Imam Nawawi pada hadis kedelapan dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah menjelaskan hadis tentang terjaganya darah dan harta umat Muslim.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لَا إِلَهَ إلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَيُقِيْمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالَى» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.

Dari Ibnu Umar r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku diperintah memerangi manusia hingga mereka bersaksi tiada ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Apabila mereka melakukan itu, maka mereka telah melindungi darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan alasan yang dibenarkan Islam. Sedangkan perhitungan mereka adalah wewenang Allah swt.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Hadis di atas sangat sensitif sekali jika tidak dipahami dengan benar. Bahkan dapat menimbulkan pemahaman yang radikal. Hal ini disebabkan karena bila hadis itu dipahami secara tekstual, maka seolah-olah kita harus membunuh semua orang yang tidak mau masuk Islam.

KH. Ali Mustafa Ya’qub di dalam buku Kerukunan Umat dalam Prespektif Al-Qur’an dan Hadis mengatakan bahwa ada dua kategori di dalam Al-Qur’an dan hadis. Kategori pertama adalah ayat-ayat dan hadis-hadis yang berkaitan dengan perang dan kategori kedua adalah yang berkaitan dengan situasi damai.

Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis yang berkaitan dengan perang harus diperlakukan dalam situasi perang dan jangan diperlakukan di situasi damai. Dan hadis di atas harus diartikan secara khusus. Sebab khalifah Abu Bakar As-Shiddiq memerangi umat Islam yang tidak mau membayar zakat, padahal mereka adalah orang Islam.

Nabi Muhammad saw. sendiri tidak memerangi semua manusia yang tidak mau masuk Islam. Misalnya beliau tidak membunuh mertuanya yang beragama Yahudi; Huyai bin Akhtab, atau mertua beliau yang musyrik; Abu Sufyan. Orang-orang Nasrani Najran pun tidak pernah diperangi oleh Nabi saw.

Sementara itu, KH. Ali Mustafa Ya’qub di dalam buku Islam Antara Perang dan Damai menyebutkan bahwa Islam membagi orang-orang non muslim ke dalam tiga kategori.

Pertama, Kafir Harbi, yaitu non muslim yang memerangi kaum muslimin. Dalam kondisi seperti ini, kaum muslimin diperintahkan untuk menghadapi peperangan yang dilakukan non muslim. Allah swt. berfirman di dalam Q.S. Al-Baqarah: 190

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Kedua, Kafir Musta’man, yaitu non muslim yang menetap dan tinggal di negara Islam untuk beberapa waktu. Dia bukan warga negara muslim tersebut. Dia hanya tinggal untuk urusan bisnis, kepentingan diplomatik, belajar, atau yang lain.

Islam mewajibkan setiap muslim untuk memberikan keamanan kepada non muslim kategori ini, baik harta maupun jiwanya. Sebab, dia datang ke negara muslim tidak untuk berperang melawan orang muslim, tetapi untuk menjalin hubungan baik antara mereka.

Allah swt. berfirman di dalam Q.S. Al-Mumtahanah: 8

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

Ketiga, Kafir Dzimmi, yaitu non muslim yang tinggal dan menetap bersama dengan orang-orang muslim sebagai penduduk di negara muslim. Istilah lainnya, non muslim ini juga disebut dengan mu’ahad.

Umumnya, non muslim ini merupakan minoritas dari suatu negara, di mana muslim menjadi mayoritas penduduknya. Maka, orang-orang muslim dilarang membunuh orang non muslim kategori ini. Jika ada orang muslim yang membunuhnya, maka orang muslim tersebut tidak akan dapat masuk ke dalam surga.

Nabi Muhammad saw. bersabda, “Siapa yang membunuh seorang dzimmi (non muslim yang berada dalam perjanjian keamanan), maka ia tidak akan dapat mencium aroma surga.” (H.R. Al-Bukhari, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah). Jadi, hanya ada satu kategori non muslim yang boleh kita perangi, yaitu non muslim yang memerangi orang muslim.

Sementara itu, Dr. Ahmad Ubaidi Hasbillah di dalam kitab Al-Fawaid Al-Mustafawiyah menjelaskan bahwa hadis ini disabdakan Nabi saw. lebih dari tiga kali. Pertama, ketika perang Bani Tsaqif pada tahun 8 H. Kedua, perang Tabuk 9 H. Ketiga, pada perang Wadil Qura, dan pada kondisi-kondisi lainnya.

Salah satu sebab wurud hadis ini dijelaskan dalam riwayat imam Ahmad, Al-Baihaqi, dan Ibnu Majah dengan redaksi yang berbeda. Di mana saat itu, para sahabat Nabi saw. membunuh seorang laki-laki kafir yang sudah mengucapkan syahadat. “Bukankah ia telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah?” Tanya Nabi saw. Salah satu dari para sahabat menjawab, “Benar, tetapi ia mengucapkannya untuk berlindung (agar tidak dibunuh).” Lalu beliau mengucapkan hadis sebagaimana di atas.

Oleh sebab itu, maka hadis tersebut sebagai bentuk pencegahan dan pengingkaran atas perbuatan sebagian sahabat nabi yang membunuh orang yang telah membaca syahadat. Mereka berprasangka buruk dengan syahadat yang diucapkan orang tersebut sebagai tameng agar tidak dibunuh. Padahal hanya Allah swt. yang tahu isi hati orang. Dengan demikian, maka Nabi saw. saja ketika dalam kondisi perang memerintahkan untuk menjaga darah dan harta orang yang telah bersyadahat, apalagi ketika dalam kondisi damai.

Adapun maksud dari kalimat “illa bihaqqil islam” kecuali hak yang dibenarkan Islam adalah sebagaimana dijelaskan oleh riwayat imam Al-Bukhari dan Muslim. Nabi saw. bersabda, “Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, kecuali diakibatkan oleh salah satu dari tiga hal, orang tua yang berzina (telah menikah), membunuh, dan murtad.” Jadi, jiwa orang muslim tidak dapat terpelihara alias boleh dibunuh jika mereka melakukan tiga hal tersebut.

Demikianlah penjelasan hadis tentang terjaganya darah dan harta umat Muslim. Hadis tersebut sarat sekali dengan pesan-pesan toleransi antar sesama umat muslim dan non muslim jika dipahami dengan benar. Wa Allahu a’lam bis shawab.