Beranda blog Halaman 75

Gambaran Mata dan wajah Rasulullah saw. Kajian Kitab As-Syamail Al-Muhammadiyah ke-6

0
Mata dan Wajah Rasulullah
Mata dan Wajah Rasulullah

Hadispedia.id.- Gambaran mata dan wajah Rasulullah saw. sangat indah seperti yang akan dijelaskan dalam hadis. Beliau memiliki sifat yang indah baik secara fisik maupun karakter. Menjelaskan sifat-sifat beliau tidak bisa secara langsung dari teks hadis, kecuali bagi para ahli yang mumpuni, baik dari sisi riwayat dan dirayahnya.

Memerhatikan dan menelaah pendapat ulama adalah sebuah keharusan untuk mengulas sifat-sifat beliau, termasuk mengenai gambaran mata dan wajah Rasulullah saw. Maka dari itu, perhatikan riwayat ‘Ali bin Abi Thalib di bawah ini:

كَانَ عَلِيٌّ إِذَا وَصَفَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لم يكن رسول الله صلى الله عليه وسلم بِالطَّوِيلِ الْمُمَّغِطِ، وَلَا بِالقَصِيرِ المُتَرَدِّدِ، وَكَانَ رَبْعَةً مِنَ القَوْمِ، وَلَمْ يَكُنْ بِالجَعْدِ القَطَطِ وَلَا بِالسَّبِطِ، كَانَ جَعْدًا رَجلًا، وَلَمْ يَكُنْ بِالمُطَهَّمِ، وَلَا بِالمُكَلْثَمِ، وَكَانَ فِي الوَجْهِ تَدْوِيرٌ، أَبْيَضُ، مُشْرَبٌ أَدْعَجُ العَيْنَيْنِ، أَهْدَبُ الأَشْفَارِ، جَلِيلُ المُشَاشِ وَالكَتَدِ، أَجْرَدُ ذُو مَسْرُبَةٍ شَثْنُ الكَفَّيْنِ وَالقَدَمَيْنِ إِذَا مَشَى تَقَلَّعَ كَأَنَّمَا يَمْشِي فِي صَبَبٍ، وَإِذَا التَفَتَ التَفَتَ مَعًا، بَيْنَ كَتِفَيْهِ خَاتَمُ النُّبُوَّةِ، وَهُوَ خَاتَمُ النَّبِيِّينَ، أَجْوَدُ النَّاسِ صَدْرًا، وَأَصْدَقُ النَّاسِ لَهْجَةً، وَأَلْيَنُهُمْ عَرِيكَةً، وَأَكْرَمُهُمْ عِشْرَةً، مَنْ رَآهُ بَدِيهَةً هَابَهُ، وَمَنْ خَالَطَهُ مَعْرِفَةً أَحَبَّهُ، يَقُولُ نَاعِتُهُ: لَمْ أَرَ قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ مِثْلَهُ صلى الله عليه وسلم.

‘Ali ketika menyifati Nabi saw, Ia berkata: Rasulullah saw tidak berperawakan terlalu tinggi dan tidak pula terlalu pendek. Beliau berperawakan sedang di antara kaumnya. Rambutnya tidak keriting bergulung dan tidak pula lurus kaku, melainkan ikal bergelombang. Badannya tidak gemuk, dagunya tidak lancip dan wajahnya agak bundar. Kulitnya agak kemerah-merahan, matanya hitam pekat dan bulu matanya lentik. Bahunya bidang. Beliau memiliki bulu lebat yang memanjang dari dada sampai pusar.

Telapak tangan dan kakinya terasa tebal. Apabila beliau berjalan, berjalan dengan tegap seakan-akan turun ke tempat yang rendah. Apabila beliau berpaling, maka seluruh badannya ikut berpaling. Di antara kedua bahunya terdapat khatam al-nubuwah, yaitu tanda kenabian. Beliau memiliki hati yang paling pemurah di antara manusia. Ucapannya merupakan perkataan yang paling benar di antara semua orang. Perangainya sangat lembut dan beliau paling ramah dalam pergaulan. Barangsiapa yang melihatnya, pasti akan menaruh hormat padanya. Dan barangsiapa yang pernah berkumpul dengannya, kemudian kenal padanya, tentulah ia akan mencintainya. Orang yang menceritakan sifatnya, pastilah berkata, “Belum pernah aku melihat sebelum dan sesudahnya orang yang seistimewa beliau saw.”

Dari kutub al-sittah hanya Imam Tirmidzi yang meriwayatkan hadis ini. Namun, hadis ini juga  bisa ditemukan dalam Musnad Ahmad, Musnad al-Bazzar, Shahih Ibn Hibban dan Musnad Abi Daud al-Thayalisy.

Mata dan Wajah Rasulullah saw.

Beberapa sifat fisik Nabi saw. dalam hadis ini sudah dibahas, sehingga pembahasan ini mengenai sifat fisik yang lain, seperti mata dan wajah Rasulullah saw. hingga pada timbal balik seseorang yang membersamainya. Ini banyak dideskripskan melalui kalimat-kalimat sukar.

Kata al-‘Ad’aj dalam hadis mempunyai arti kedua mata yang sangat hitam, seperti itulah mata Rasulullah saw. Sedangkan wajah beliau tidak bulat lagi kecil dan tubuh beliau tidak gemuk. Gambaran mata dan wajah Rasulullah saw. ini dapat kita jumpai dalam kitab Syu’ab al-Iman.

Menurut imam Al-Baihaqi dalam kitab tersebut, maksud dari al-Misyasy adalah ujung dari bahu, atau bisa diartkan dengan perkumpulan ujung bahu dan lengan bagian atas.  Kemudian kata al-katad yaitu tulang belakang yang lurus ke leher. Keduanya (al-Misyasy dan al-katad) sama-sama besar.

Seseorang yang mencintai Rasulullah saw.

Rasulullah saw. adalah seseorang yang paling jujur perkataanya, paling lembut karakternya. Kata al-‘arikah berarti karakter, sedangkan dikatakan mempunyai karakter yang lembut apabila seseorang itu yang lembut, penurut, sedikit kontroversi dan rasa bencinya. Begitu menurut Jalaluddin al-Syuyuti dalam Qut al-Mughtadi ala Jami’ al-Tirmidzi.

Barangsiapa berteman dengan Nabi saw. dia akan menghormatinya. Barangsiapa yang melihat, dia akan dikejutkan dan barangsiapa yang bergaul dan kenal kepadanya, dia akan mencintai Nabi saw.[]

.

Hafsah binti Sirin, Ulama Perempuan Ahli Hadis dari Kalangan Tabi’in

0
Hafsah binti Sirin
Hafsah binti Sirin

Hadispedia.id – Hafsah binti Sirin merupakan seorang ulama perempuan dari kalangan tabi’in. Beliau salah satu perempuan yang banyak meriwayatkan hadis. Namun sayangnya masih minim ditemukan referensi tentang Hafsah binti Sirin. Ulama hadis perempuan ini memiliki rekam jejak kisah yang menyedihkan dari background orangtuanya. Kisah ini diambil dari referensi yang ditulis pada lamannya About Islam yang berjudul Hafsa bint Sereen: A Remarkable Scholar in Islamic History.

Latar Belakang Hafsah binti Sirin

Hafsah dilahirkan pada tahun 31 Hijriyah pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Ayahnya adalah seorang budak sahabat Anas bin Malik yang telah dibebaskan. Singkat kisah, ayah Hafsah semula dijual temannya kepada Khalid bin Walid. Kemudian Khalid menjualnya kepada sahabat Anas bin Malik, lantaran kebaikan Anas bin Malik, Sirin dibebaskan dan diperbolehkan kembali kepada keluarganya.

Meskipun ayah Hafsah seorang budak, akan tetapi dia memiliki ibu sebagai seorang ulama terkemuka pada saat itu, namanya Safiyyah.  Ibu Hafsah pandai memahami ilmu keislaman, lantaran belajar kepada sahabat Abu Bakar. Dan dia bisa belajar karena dulu pernah menjadi budak sahabat Abu Bakar. Perjalanan keilmuan Safiyyah (ibu Hafsah) tidak berhenti pada Sahabat Abu Bakar, dikala Abu Bakar sudah tiada, Safiyyah melanjutkan belajarnya kepada putri Abu Bakar, yaitu Aisyah r.a. Melihat ketekunan Safiyyah, ia pun berhasil mewariskan ilmunya kepada putrinya yang bernama Hafsah.

Sejak kecil, Hafsah sudah memiliki ketekunan belajar dan kecerdasan seperti ibunya. Usia 12 tahun, Hafsah sudah mampu menghafal Al-Qur’an bahkan menguasai semua qira’at. Setelah itu Hafsah juga memulai untuk belajar hadis.

Pada saat itu, Hafsah tinggal di Basra, aktivitasnya ialah mengatur halaqah untuk siswanya yang lumayan besar jumlahnya. Karena pengetahuannya yang mendalam tentang keilmuan hadis, serta aspek praktis hukum dari tradisi Islam, menjadikan ia memiliki murid yang banyak. Bahkan muridnya tidak hanya kaum perempuan, akan tetapi juga kaum laki-laki.

Pendapat Ulama Tentang Hafsah binti Sirin

Pada kitab Tahdzib al-Kamal menceritakan bahwa seorang Iyas bin Muawwiyah juga pernah berkata tentang Hafsah. Iyas mengaku tidak pernah bertemu dengan yang lebih ia sukai kecuali Hafsah. Hal yang disukainya maksudnya ialah mengagumi keilmuan ulama perempuan hadis yang bernama Hafsah ini. Selain itu, Hasan al-Basri mengungkapkan kesukaan atau kekagagumannya juga kepada Hafsah. Bahkan tidak hanya keilmuan hadis, akan tetapi juga dengan hafalan Al-Qur’an serta kemampuannya mengusai semua qira’at pada usia 12 tahun .

Selanjutnya pendapat datang dari Ibnu Hibban pada kitab al-Tsiqat. Ibn Hibban mengakui bahwa Hafsah adalah seorang muhaddisin perempuan sekaligus ahli di bidang hukum. Keilmuannya ini bisa terbilang didapatkan dari sahabat Anas bin Malik.

Kemudian pendapat lain datang dari seorang mufassir perempuan yang bernama Zainab binti Yunus. Ia pernah mengutip ucapan syeckh Muhammad Akram Nadwi tentang Hafsah yang ditulis pada kitabnya yang berjudul al-Muhaddits. Sepeti ini, meskipun Hafsah terlahir dari orangtua sebagai budak, justru Hafsah binti Sirin ini memanfaatkan keadaannya untuk belajar dengan sungguh, hingga menjadi salah satu ulama terpenting pada masanya.

Karena kegigihan Hafsah binti Sareen dalam menggiatkan keilmuan hadis, lahirlah murid yang juga mengikuti jejak giatnya Hafsah. Baik itu perempuan maupun laki-laki, mereka adalah Ummu ‘Attiyyah, Abu al-‘Aliya, dan Salman bin Amir. Mereka semua melanjutkan jejak Hafsah dengan turut menyebarkan keilmuan hadis.

Adapun buah pemikiran Hafsah yang menarik hingga sekarang adalah ia menegaskan bahkan sering mengingatkan pada muridnya, bahwa pengetahuan itu untuk laki-laki dan perempuan, tidak ada gender dalam Islam. Apalagi ketika itu perempuan dipandang rendah dengan segala skeptis yang ada. Perempuan didiskreditkan atau dimarjinalkan, namun bukan berarti perempuan tidak memiliki hak untuk meningkatkan pengetahuannya. Semangat serta keberaniannya Hafsah binti Sirin dalam menyuarakan ilmu pengetahuan sungguh menjadi teladan bagi kita semua. Semoga kita bisa melanjutkan semangat Hafsah hingga pada generasi Islam selanjutnya. Wallahu a’lam.

 

Keutamaan Para Penuntut Ilmu dalam Hadis Nabi

0
Keutamaan Para Penuntut Ilmu dalam Hadis Nabi
Keutamaan Para Penuntut Ilmu dalam Hadis Nabi

Hadispedia.id – Tujuan hidup di dunia ini bukanlah untuk mencari popularitas atau kedudukan tinggi di mata manusia. Sebagai hamba Allah, kita tidak membenarkan jika di dunia ini hanya memikirkan kepentingan diri sendiri. Berbagi kebahagiaan dengan orang lain adalah sebuah perintah.

Selain perintah, suara hati yang tulus juga sangat menginsafi bahwa indahnya kebahagian jika dapat dirasakan banyak orang. Salah satunya adalah mendoakan orang yang sedang berjuang mencari ilmu merupakan hal yang sangat baik. Karena perjuangan orang yang berada di jalan ilmu itu tidaklah mudah. Imam Syafi’i pernah berkata, “Ta’allam falaisal mar’u yuuladu ‘aaliman. Belajarlah karena tidak ada orang yang terlahir dalam keadaan berilmu.”

Setiap insan lahir dalam keadaan sama, suci dari dosa dan tak berilmu. Akan tetapi, manusia sudah dibekali insting belajar. Contoh ketika kita masih kecil, kita diajari dari mulai belajar berjalan, berbicara, mengenal nama orang-orang terdekat yaitu bapak ibu kakak dan adik, mengetahui nama-nama benda, hingga mengenal Allah swt.

Dengan itu, belajar merupakan sifat alamiah manusia yang perlu terus diasah dan dikembangkan. Maka ada riwayat hadis yang mampu menjadikan kita akan semangat belajar yakni hadis riwayat Imam Ahmad, Ad-Darimi, Abu Daud, dan Ibnu Majah. Namun redaksi hadis yang kami kutip berikut ini adalah riwayat Imam Ibnu Majah di dalam kitab Sunannya dari sahabat Abu Darda’ r.a.

فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ، وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، حَتَّى الْحِيتَانِ فِي الْمَاءِ، وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa meniti jalan untuk mencari ilmu, Allah akan permudahkan baginya jalan menuju surga. Para Malaikat akan membentangkan sayapnya karena ridha kepada penuntut ilmu. Dan seorang penuntut ilmu akan dimintakan ampunan oleh penghuni langit dan bumi hingga ikan yang ada di air. Sungguh, keutamaan seorang alim dibanding seorang ahli ibadah adalah ibarat bulan purnama atas semua bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang sangat besar.”

Pada hadis di atas ada sabda Rasulullah saw. berikut,

وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ

“Dan sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayapnya karena ridha kepada penuntut ilmu.”

Pernyataan tersebut menunjukkan kecintaan, penghargaan, pemuliaan dan penghormatan para malaikat terhadap para penuntut ilmu, sehingga mereka –yakni para malaikat akan melebarkan sayap-sayap mereka bagi para penuntut ilmu, karena ridha terhadap penuntut ilmu.

Maksud dari meletakkan sayap-sayap nya adalah menjaga, melindungi dan membentengi para penuntut ilmu dengan izin Allah. Sungguh mulianya orang yang mampu hingga berdarah-darah dalam mendalami ilmu. Selain akal dan perilakunya yang menjadi moderat, juga mendapatkan kemulian dari Allah swt. Tentunya itu sudah merupakan kemuliaan dan kehormatan tersendiri bagi para penuntut ilmu.

Jihad tidak melulu harus mengangkat senjata melawan musuh. Akan tetapi ada banyak cara jihad, salah satunya dengan menuntut ilmu. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin mengutip perkataan Abu Darda r.a., “Siapa yang tak menganggap bahwa menuntut ilmu bukan bagian dari jihad, maka berkuranglah akalnya”. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Al-Jarh wa At-Ta’dil, Ilmu untuk Mengadili Perawi Hadis

0
Al-Jarh wa At-Ta'dil
Al-Jarh wa At-Ta'dil

Hadispedia.id – Untuk mengetahui kredibilitas perawi dibutuhkan informasi mengenai keadaan tiap individu baik kelebihan maupun kekurangan melalui kitab-kitab yang ditulis oleh para ahli di bidang al-jarh wa at-ta’dil.

Jarh (جَرْحٌ) berasal dari kata ja-ra-ha (جَرَحَ) yang secara leksikal berarti melukai. Sedangkan dalam ilmu hadis, jarh adalah sifat perawi yang menunjukkan hilangnya ‘adil dan dhabit dari dirinya. Adapun tajrih adalah mengkritik perawi dengan pemberian sifat-sifat yang dapat menjatuhkan ke’adilan dan kedhabitannya.

Sebaliknya, ‘adl (عَدْلٌ) berarti sifat benar dalam beragama yang dimiliki oleh perawi dan ta’dil  (تَعْدِيلٌ) adalah pemberian sifat baik atau pujian terhadap perawi sehingga ditetapkan sebagai orang yang ‘adil dan dhabit.

Dr. Ajjaj Al-Khatib dalam Ushul Al-Hadits mendefinisikan ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil sebagai:

عِلْمُ الَّذِي يَبْحَثُ فِي أَحْوَالِ الرُّوَاة مِنْ حَيْثُ قُبُوْلِ رِوَايَتِهِمْ أَوْ رَدِّهَا

“Ilmu yang membahas seputar para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan.”

Baca juga: Penjelasan Singkat tentang Hadis Mu’allal

Karena tidak semua perawi berada pada tingkat ke’adilan dan kedhabitan yang sama, maka dalam melakukan tajrih dan ta’dil, para ulama menetapkan enam tingkatan beserta lafal yang digunakan pada sifat al-jarh wa al-ta’dil sebagai berikut:

Tingkat ta’dil pertama menggunakan ungkapan superlatif dan hiperbolis atau dengan wazan (pola kata) af’ala (أفعل) seperti awtsaq an-nas/manusia paling tsiqah (أوثقُ النَّاسِ), atsbat an-nas/manusia paling teguh atau cerdas (أثبتُ النَّاس) dan ilaihi al-muntaha fi ats-tsabat/kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan (إِليهِ المُنْتَهى في الثبتِ).

Tingkat kedua ditunjukkan dengan lafal yang memperkuat salah satu atau dua sifat yang menujukkan ke’adilan seperti tsiqatun tsiqah (ثِقَةٌ ثِقَة), tsabatun tsabat (ثَبَت تَبت) atau tsiqatun hafiz (ثِقَةٌ حَافِظ).

Pada tingkat ketiga lafal ta’dil yang digunakan menunjukkan ketsiqahan tanpa adanya penguatan seperi tsiqah (ثِقَةٌ) dan hujjah atau ahli argumen (حُجَّةٌ).

Sedangkan pada tingkat keempat menggunakan lafal ta’dil tanpa menunjukkan kedhabitan seperti shaduq/jujur (صَدُوْقٌ), la ba’sa bihi  (لَا بَأْسَ بِهِ) atau ia tidak punya masalah/cacat. Namun apabila yang memberi penilaian dengan la ba’sa bihi terhadap perawi adalah Imam Ibnu Ma’in maka mempunyai arti tsiqah.

Tingkat ta’dil kelima menggunakan lafal yang tidak menunjukkan sifat tsiqah ataupun jarh seperti fulanun syaikhun/fulan memiliki guru (فُلَانٌ شَيْخٌ) atau ruwiya ‘anhu an-nas/manusia meriwayatkan darinya (رُوِيَ عَنْهُ النَّاس).

Tingkat terakhir adalah lafal yang mendekati jarh seperti fulanun shalihul hadits/fulan yang hadisnya shalih atau baik (فُلَانٌ صَالِحُ الحَدِيْث) dan yuktabu haditsuhu/hadis darinya dicatat (يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ).

Para perawi yang ditetapkan dengan lafal pada tingkatan pertama hingga ketiga berarti hadis yang diriwayatkan dari mereka dapat dijadikan sebagai hujjah atau penguat argumen meskipun kualitas tiap perawi berbeda dengan yang lainnya.

Adapun para perawi yang ditetapkan dengan lafal pada tingkatan keempat dan kelima, mereka tidak dapat dijadikan hujjah. Meskipun begitu, hadisnya dapat ditulis dan diberitahukan kedhabitannya dengan membandingkan hadis mereka dengan hadis yang datang dari perawi tsiqah dan dhabit. Jika sesuai, maka dapat dijadikan hujjah, apabila berselisih maka ditolak.

Sedangkan para perawi yang ditetapkan dengan lafal pada tingkatan terakhir, hadis mereka tidak bisa dijadikan hujjah namun dapat dicatat sebagai pelajaran bukan untuk diriwayatkan karena perawinya tidak dhabit.

Sebagaimana pada tingkatan ta’dil, jarh pun memiliki enam tingkatan. Tingkatan pertama yang merupakan tingkatan paling rendah adalah penggunaan lafal yang menunjukkan adanya kelemahan layyinul-hadiits/lemah haditsnya (لَيِّنُ الحَدِيْثِ) atau fiihi maqaal/dirinya diperbincangkan(فِيْهِ مَقَالٌ) .

Tingkatan kedua menggunakan lafal yang menunjukkan ketidakpantasan untuk dijadikan sebagai hujjah seperti fulanun la yuhtajju bihi/fulan tidak boleh dijadikan hujjah (فُلَانٌ لَا يُحْتَجُّ بِهِ), dhaif/lemah (ضَعِيفٌ) atau lahu manakir/ia memiliki hadits-hadits yang munkar (لَهُ مَنَاكِير).

Pada tingkatan ketiga menggunakan lafal yang menunjukkan bahwa perawi tersebut lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya seperti fulan la yuktabu haditsuhu/tidak ditulis haditsnya (فلان لا يكتب حديثه), la tahillu ar-riwayah ‘anhu/tidak dibolehkan periwayatan darinya (لا تحل الراوية عنه) atau dhaif jiddan/sangat lemah (ضعيف جدا).

Tingkatan keempat menggunakan lafal yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsuan hadits seperti fulan muttaham bil-kadzib/dituduh berdusta (فلان متهم بالكذب), muttaham bil wadh’i/dituduh memalsukan hadis (متهم بالوضع), atau yusriqu al-hadis/mencuri hadits (يسرق الحديث).

Baca juga: Ini Bunyi Hadis Agama Islam itu Mudah

Selanjutnya, lafal yang digunakan pada tingkatan kelima adalah yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu seperti kadzdzab/tukang dusta (كَذّاب), dajjal (دَجَّال) atau wadhdha’/pemalsu (وَضَّاع).

Tingkatan yang terakhir adalah tingkatan yang paling buruk dengan lafal yang menunjukkan adanya dusta berlebih seperti, fulan akdzabu an-nas/fulan orang yang paling pembohong (فلان أكذب الناس) atau ilaihi al-muntaha fi al-kidzbi/ia adalah puncak kedustaan (إليه المنتهى في الكذب).

Perawi yang disifati dengan lafal pada tingkatan jarh pertama dan kedua berarti perawi tersebut tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadisnya namun boleh ditulis untuk diperhatikan dan dipelajari saja. Sedangkan untuk tingkatan ketiga hingga keenam maka hadis yang diriwayatkan dari mereka tidak dapat dijadikan hujjah, ditulis bahkan tidak boleh dijadikan sebagai pelajaran.

Status Perawi Hadis yang Buruk Hafalannya

0
Status Perawi Hadis yang Buruk Hafalannya
Status Perawi Hadis yang Buruk Hafalannya

Hadispedia.id – Kuatnya hafalan seorang perawi hadis merupakan salah satu faktor penting yang menentukan kualitas hadis yang diriwayatkannya di samping faktor kecakapan pribadi sebagai seorang muslim (‘adalah).

Perawi yang memiliki hafalan yang kuat, dikenal dengan perawi yang dhabit. Kemampuan hafalan yang cakap ini, sangatlah penting dimiliki oleh seorang perawi untuk menjaga orisinalitas hadis yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Perawi yang dhabit dan memiliki kualitas ‘adalah yang baik dianggap sebagai perawi yang kredibel (tsiqah).

Perawi yang tidak memiliki hafalan yang kuat, dalam ilmu musthalah hadis dikenal dengan perawi yang su’u al-hifzi (buruk hafalannya). Yaitu perawi yang ketepatan hafalannya tidaklah lebih besar dari pada kekeliruannya dalam meriwayatkan suatu hadis, maka ia sering keliru dalam meriwayatkan hadis yang ia telah dengar sehingga banyak dijumpai kesalahan dalam periwayatannya.

Jika dijumpai kesalahan dalam riwayat perawi, sedangkan sang perawi termasuk ke dalam perawi yang jarang melakukan kesalahan, maka ia tidaklah dikatakan sebagai perawi yang buruk hafalannya. Sehingga, hadisnya masih dapat diterima dengan ketentuan bahwa hadis tersebut bukanlah hadis yang ia riwayatkan secara salah, seperti menyelisihi perawi lain yang lebih kredibel.

Namun, bilamana perawi itu lebih dominan melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadis dari semua total hadis yang pernah ia riwayatkan maka barulah ia tergolong kategori perawi yang buruk hafalannya.

Hal tersebut didasarkan pada anggapan bahwa semua orang tidaklah terlepas dari kesalahan. Maka kesalahan yang sangat sedikit, tidak lantas menjatuhkan kualitas hafalan perawi hingga ia dihukumi sebagai orang yang kurang kredibel (tsiqah)

Baca juga: Inilah Adab-adab Bagi Para Penuntut Hadis

Setidaknya terdapat dua jenis perawi yang buruk hafalannya menurut para ahli ilmu hadis:

Pertama. Perawi yang buruk hafalannya semasa hidupnya, yang mana buruk hafalannya ini merupakan sifat dasar yang ada pada diri perawi tersebut, sehingga ia selalu lupa dalam banyak hal. Perawi yang demikian, maka periwayatannya tidak dapat diterima dan menurut sebagian ahli hadis dikenal dengan sebuatan “syadz

Kedua. Perawi yang buruk hafalannya disebabkan oleh beberapa faktor yang muncul pada hidupnya. Faktor tersebut adalah sebagai berikut: usia yang semakin tua seperti ‘Atha bin As-Saib, atau hilang penglihatannya seperti Abdul Ar-Razzaq bin Hammam As-Shan’ani, atau hilangnya kitab-kitab yang sering dijadikan rujukan dalam setiap periwayatan hadis seperti ‘Abdullah bin Lahi’ah, atau terbakar kitab-kitabnya seperti Ibnu Al-Mulaqqan dan penyebab-penyebab lain. Kondisi yang demikian ini dikenal juga dengan sebutan “al-ikhtilath”. Kata ikhtilath dapat dipahami juga sebagai rusak atau berubahnya ingatan seseorang, sedangkan perawinya disebut dengan “al-mukhtalath”.

Periwayatan hadis dari seorang perawi yang mengalami ikhtilath pada masa hidupnya memiliki tiga hukum.

Pertama. Hadis yang dapat dipastikan telah diriwayatkan sebelum masa ikhtilath, maka diterima. Sebagaimana riwayat Syu’bah dan Sufyan Ats-Tsauri dari ‘Atha bin As-Saib. Mereka berdua meriwayatkan hadis dari Atha sebelum masa ikhtilath.

Kedua. Hadis yang diriwayatkan setelah masa ikhtilath maka tidak dapat diterima. Sebagaimana riwayat Jarir bin Abdul Hamid dari ‘Atha bin as-Saib. Jarir meriwayatkan hadis dari Atha setelah masa ikhtilath, maka riwayat Jarir, tidak dapat diterima karena berstatus lemah.

Ketiga. Hadis yang tidak dapat dipastikan apakah diriwayatkan sebelum atau sesudah masa ikhtilath maka hukumnya mauquf (terhenti) hingga dapat dipastikan. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Telapak Tangan Rasulullah saw. Kajian Kitab As-Syamail Al-Muhammadiyah Ke-5

0
Telapak Tangan Rasulullah
Telapak Tangan Rasulullah

Hadispedia.id – Telapak tangan Rasulullah saw. lembut, tebal, dan keras. Beberapa fisik Rasulullah saw. juga dijelaskan dalam hadis riwayat Ali bin Abi Thalib. Uraian Sahabat Ali bin Abi Thalib yang merupakan sepupu Rasulullah saw ini lebih detail menyangkut beberapa anggota tubuh beliau.

Adapun anggota tubuh yang dibahas dalam riwayat Ali bin Abi Thalib mencakup telapak tangan Rasulullah saw. telapak kaki, kepala, persendian, bulu di dada hingga jari-jemari beliau. Penjelasan hadisnya dalam kitab As-Syamail Al-Muhammadiyah karya imam At-Tirmidzi sebagaimana berikut:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ: حَدَّثَنَا المَسْعُودِيُّ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ مُسْلِمِ بْنِ هُرْمُزَ، عَنْ نَافِعِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ، عَنْ عَلِيٍّ، قَالَ: «لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالطَّوِيلِ وَلَا بِالقَصِيرِ شَثْنَ الكَفَّيْنِ وَالقَدَمَيْنِ، ضَخْمَ الرَّأْسِ، ضَخْمَ الكَرَادِيسِ طَوِيلَ المَسْرُبَةِ، إِذَا مَشَى تَكَفَّأَ تَكَفُّؤًا كَأَنَّمَا يَنْحَطُّ مِنْ صَبَبٍ لَمْ أَرَ قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ مِثْلَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ». هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismail, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Al-Mas’udi, dari Usman bin Muslim bin Hurmuz dari Nafi’ bin Jubair bin Muth’im dari Ali, ia berkata,

“Nabi saw. tidak berperawakan tinggi, tidak pula pendek. Telapak tangan dan kakinya terasa tebal. Mempunyai kepala yang besar, demikian pula tulang persendiannya. Bulu dadanya memanjang. Apabila beliau berjalan, berjalannya gontai seakan-akan turun ke tempat yang rendah. Tidak pernah aku melihat orang seumpama beliau, baik sebelum maupun sesudahnya.” Ini Hadis Hasan Shahih.

Telapak Tangan Rasulullah saw.

Kedua telapak tangan Rasulullah saw. tebal dan pendek. Demikian juga dengan telapak kaki beliau. Ada pendapat jari-jemari beliau tebal tetapi tidak pendek, ini menjadi hal yang terpuji bagi seorang laki-laki karena sangat menawan dan tidak bagi perempuan.

Dikatakan juga keras telapaknya dan tebal jari-jemarinya, tetapi riwayat imam Al-Bukhari membantah pendapat tersebut melalui hadis ini:

 عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: مَا مَسِسْتُ حَرِيرًا وَلاَ دِيبَاجًا أَلْيَنَ مِنْ كَفِّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلاَ شَمِمْتُ رِيحًا قَطُّ أَوْ عَرْفًا قَطُّ أَطْيَبَ مِنْ رِيحِ أَوْ عَرْفِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Anas r.a. berkata, “Belum pernah aku menyentuh sutera dan dibaj (sutera jenis lain) yang lebih lembut dari telapak tangan Nabi saw. dan belum pernah aku mencium suatu aroma sekalipun atau bau minyak wangi yang lebih wangi dibanding aroma atau wangi Nabi saw.

Menurut Abdurrahman Al-Mubarakfuri dalam menjelaskan telapak tangan Rasulullah saw. lembut adalah lembut kulitnya dan keras tulangnya. Maka hadis pertama dikompromikan dengan riwayat imam Al-Bukhari tadi, sehingga pemahamannya adalah kelembutan badan serta kekuatannya, pendapat al-Mubarakfury didukung oleh riwayat At-Thabarani dan Al-Bazzar Dari Mu’adz:

أَرْدَفَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلْفَهُ فِي سَفَرٍ فَمَا مَسِسْتُ شَيْئًا قَطُّ أَلْيَنَ مِنْ جِلْدِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Nabi saw. mengikutkan saya di belakang beliau pada suatu perjalanan, saya tidak pernah menyentuh sesuatu sama sekali yang paling lembut dari kulit Nabi saw.

Persendian hingga Bulu Dada Rasulullah saw.

Selain telapak tangan Rasulullah saw. tebal. Ada fakta lain, secara fisik kepala Rasulullah saw. besar dan mempunyai tulang yang besar yaitu kepala dari tulang-tulang. Ada yang mengatakan yang dimaksud dengan al-kurdus yaitu tempat bertemunya dua tulang besar yaitu dua lutut, dua siku dan dua bahu, lebih simpelnya persendian. Itu semua menunjukkan besarnya anggota fisik beliau.

Nabi saw. juga memiliki bulu tipis yang menghubungkan dada dan pusar. Adapun perkataan Ali bin Abi Thalib “Saya belum pernah melihat seumpama beliau baik sebelum ataupun sesudah” maksudnya adalah sebelum wafat dan sesudah wafat Nabi saw. bukan sebelum keberadaannya, karena faktanya Ali bin Abi Thalib lebih muda. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Pakaian Merah Rasulullah saw. Kajian Kitab As-Syamail al-Muhammadiyah Ke-4

0
Pakaian Merah Rasulullah
Pakaian Merah Rasulullah

Hadispedia.id – Rasulullah saw. pernah mengenakan pakaian merah. Kejadian ini direkam oleh banyak riwayat dan semua muallif sumber primer hadis meriwayatkan dari sahabat Al-Bara’ bin ‘Azib.

Hadis Rasulullah saw. mengenakan pakaian merah memberikan banyak interpretasi dari para ulama, bahkan pendapat paling ektrem berbanding terbalik dari aktifitas Rasulullah saw. bahwa pakaian merah adalah hiasan dan kesukaan setan.

Teks Hadis Pakaian Merah Rasulullah saw. dalam kitab Asy-Syamail Al-Muhammadiyah karya imam At-Tirmidzi.

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلاَنَ، قَالَ: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ البَرَاءِ، قَالَ: مَا رَأَيْتُ مِنْ ذِي لِمَّةٍ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ أَحْسَنَ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لَهُ شَعْرٌ يَضْرِبُ مَنْكِبَيْهِ، بَعِيدُ مَا بَيْنَ الْمَنْكِبَيْنِ، لَمْ يَكُنْ بِالقَصِيرِ وَلاَ بِالطَّوِيلِ

Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Waki’, ia berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abu Ishaq dari Al-Bara’, ia berkata,

“Aku tidak pernah melihat orang yang berambut panjang terurus rapi, dengan mengenakan pakaian merah, yang lebih tampan dari Rasulullah saw. Rambutnya mencapai kedua bahunya. Kedua bahunya bidang. Beliau bukanlah seseorang yang berperawakan pendek dan tidak terlampau panjang.”

Hadis tersebut diriwayatkan oleh imam At-Tirmidzi dalam kitab Sunannya dan juga oleh semua ulama pemilik sumber primer hadis dengan riwayat al-Bara’, walaupun dengan beberapa perbedaan redaksi.

Mengenai pakaian merah Rasulullah saw. dalam hadis, terjadi perbedaan pada sanad (silsilah periwayat hadis) dan matan (redaksi hadis). Sanad yang berbeda pada kalangan sahabat, yaitu Al-Bara’ bin ‘Azib dan Jabir bin Samurah. Menurut imam Al-Bukhari riwayat Abu Ishaq dari Al-Bara’ maupun Jabir adalah shahih, begitu juga pendapat Al-Hakim. Sedangkan matan dalam riwayat Abu Daud dengan redaksi burd hamra’ dengan arti yang sama.

Perbedaan Ulama Mengenai Pakaian Merah

Ada tujuh pendapat ulama salaf (terhdahulu) terkait memakai pakaian merah sebagaimana dalam hadis. Imam Ibn Hajar telah meringkas semua pendapat tersebut dalam Fath al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari (Dar al-Ma’rifah, 10/305).

Pertama, boleh secara mutlak. Pendapat ini dari ‘Ali, Abdullah bin Ja’far, Al-Bara’, Thalhah, ada satu orang lagi bukan dari kalangan sahabat, Sa’id bin Musayyab, An-Nakha’i, As-Sya’biy, Abi Qulabah, Abi Wail, dan sekelompok tabi’in.

Kedua, dilarang secara mutlak. Pendapat ini berdasarkan hadis Ibn ‘Umar yang diriwayatkan Al-Bayhaqi dan Ibn Majah:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمُفْدَمِ» قَالَ يَزِيدُ: قُلْتُ لِلْحَسَنِ: مَا الْمُفْدَمُ قَالَ: الْمُشْبَعُ بِالْعُصْفُرِ

Ibn ‘Umar berkata, “Rasulullah saw. melarang al-mufdam.” Yazid berkata, “Aku bertanya kepada Hasan, Apakah al-Mufdam itu?. Dia menjawab, “(pakaian) yang dicelup dengan pohon ‘usfur (sejenis tumbuhan pewarna).

Dan hadis ‘Umar:

عن عُمَرَ أنه كان إذا رَأَى عَلَى رَجُلٍ ثَوْبًا مُعَصْفَرًا، جذبه. فَقَالَ: دَعُوا هَذا لِلنّسَاء

Dari umar bahwa ketika ia melihat seorang laki-laki memakai pakaian yang dicelup dengan pohon ‘usfur, maka Umar menariknya. Umar berkata, Tinggalkanlah ini pada seorang perempuan. (H.R. At-Thabari).

Ibn Hajar menyampaikan hadis pada pendapat kedua ini, tetapi hadis tersebut dha’if, seperti hadis berikut:

إِنَّ الْحُمْرَةَ مِنْ زِينَةِ الشَّيْطَانِ، وَإِنَّ الشَّيْطَانَ يُحِبُّ الْحُمْرَةَ

Sesungguhnya merah adalah hiasan setan dan ia menyukai warna merah.

Banyak yang meriwayatkan hadis ini akan tetapi menurut Ibn Hajar hadis ini dha’if. Menurut Al-Jawzaqani batil dan Ibn Al-Jauzi memasukkan dalam kitabnya Al-Maudhu’at.

Baca juga: Ternyata Rambut Rasulullah saw. Panjang

Sedangkan pendapat ketiga, makruh memakai pakaian yang penuh dengan warna merah, tetapi tidak makruh apabila celupannya ringan. Pendapat ini dari Imam ‘Atha’, Thawuz dan Mujahid dengan riwayat hadis pada Ibn ‘Umar, yaitu hadis pertama dalam pendapat kedua.

Berdasarkan hadis Ibn ‘Abbas pada pendapat keempat, makruh memakai pakaian warna merah secara mutlak dengan tujuan berhias dan reputasi. Namun berbeda ketika berada di rumah dan tuntutan karir, hal ini diperbolehkan.

Kelima, diperbolehkan memakai pakaian yang dicelup benangnya kemudian ditenun, dan sebaliknya dilarang, yakni pakaian yang dicelup setelah ditenun. Al-Khaththaby condong pada pendapat ini dengan berhujjah yang dimaksud dengan hullah hamra’ (pakaian merah) yang dikenakan Rasulullah saw. dalam hadis adalah jenis pakaian Yaman. Begitu juga dalam redaksi lain disebut dengan al-burd al-ahmar karena pakaian Yaman dicelup benangnya terlebih dahulu dan ditenun kemudian.

Keenam, pelarangan khusus pada pakaian yang dicelup dengan ‘usfur, karena memang ada larangan terhadapnya, berbeda jika dicelup dengan selain ‘usfur, maka itu tidak ada larangan.

Ketujuh, pelarangan khusus pada pakaian yang dicelup keseluruhan dengan warna merah, namun apabila terdapat warna lain maka tidak dilarang. Hadis-hadis yang mendukung pendapat ini adalah yang menjadi pembahasan utama dalam artikel ini, yaitu yang dimaksud dengan hullah hamra’.

Fakta menarik lain yang disampaikan Ibn Al-Jauzi, ada sebagian ulama yang mengenakan baju merah dan menyangka bahwa dirinya adalah pengikut sunnah. Hal itu keliru menurut Ibn Al-Jauzi, karena yang dimaksud dengan hullah hamra’ adalah pakaian Yaman yang tidak dicelup dengan merah murni.

Pendapat ketujuh dari At-Thabari. Setelah ia menyebutkan pendapat yang unggul dalam masalah ini, yaitu memperbolehkan memakai pakaian yang dicelup dengan warna apapun, tetapi dirinya tidak menyukai memakai pakaian full warna merah dan merah mutlak yang tampak jelas saat berada di atas pakaian yang lain. Hal ini disebabkan karena bukan pakaian ahli kewibawaan pada zamannya. Sedangkan menjaga kehormatan dari pakaian pada zaman itu adalah sebagian dari kewibawaan, tetapi bukan dosa. Dan perbedaan pakaian adalah sebagian dari reputasi.

Adapun yang benar adalah dilarang memakai pakaian berwarna merah apabila pakaian merah menjadi pakaian orang-orang kafir dan atau merupakan pakaian perempuan maka larangannya pencegahan pada tasyabbuh (keserupaan) dengan perempuan, pelarangan itu bukan pada zatnya. Apabila larangannya dari sisi reputasi atau rusaknya kewibawaan maka larangan itu sesuai sebagaimana terjadinya. Jika tidak, maka pendapat imam Malik menjadi kuat yang membedakan antara ketika berada dalam kerumunan orang banyak atau berada di rumah. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Inilah Sebab-sebab Perawi itu Majhul, Tidak Diketahui Identitasnya

0
Majhul
Majhul

Hadispedia.id – Mengetahui keadaan perawi hadis adalah salah satu hal penting untuk menentukan kualitas sebuah hadis apakah diterima, atau ditolak. Hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah (terpercaya) maka hadisnya maqbul (dapat diterima). Sedangkan, hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang dhaif (lemah kualitas ‘adalah ataupun dhabithnya) maka hadisnya mardud (tertolak).

Akan tetapi seringkali ditemukan dalam daftar perawi sebuah hadis, adanya perawi yang tidak diketahui jati dirinya, atau diketahui jati dirinya, namun tidak diketahui keadaan ‘adalah dan dhabithnya sehingga sulit untuk ditentukan kualitasnya. Dalam disiplin ilmu mustholahul hadis, perawi seperti ini disebut dengan perawi yang majhul.

Kata majhul, merupakan derivasi dari kata “jahila” (tidak mengetahui) lawan dari kata “alima”  (mengetahui), maka secara etimologi kata majhul bermakna yang tidak diketahui. Sedangkan menurut istilah, perawi yang majhul adalah perawi yang tidak diketahui jati dirinya atau keadaan tentang dirinya baik dari segi kredibilitasnya (‘adalahnya) maupun kualitas hafalannya (dhabitnya).

Keadaan tidak mengetahui perawi hadis ini dalam ilmu musthalah disebut dengan al-jahalah bi al-rawi. Mahmud At-Tahhan dalam kitab Taisir Musthalah Al-Hadis menjelaskan tiga sebab al-jahalah bi al-rawi.

  1. Banyaknya identitas/penyebutan diri perawi. Yakni bilamana seorang perawi hadis disebut dengan sebutan yang beragam, seperti dengan namanya, kunyahnya, julukannya, sifatnya, profesinya, atau nasab keturunannya. Maka apabila sang perawi populer dengan salah satu sebutan tadi, namun pada saat tertentu ia disebutkan dengan sebutan yang kurang populer sebab maksud tertentu sehingga dikira bahwa ia adalah seorang yang berbeda, maka hal itu dapat membuat seorang perawi tadi menjadi majhul. Sebagai contoh: Muhammad bin al-Saib bin Bisyr al-Kalbi. Sebagian menasabkannya kepada kakeknya, hingga disebut dengan “Muhammad bin Bisyr”. Sebagian lain menyebutnya dengan nama “Hammad bin al-Saib”. Sebagian lain menyebut dengan kunyah “Abu al-Nadr” adapula yang menyebut “Abu Sa’id” dan “Abu Hisyam”. Penyebutan yang beragam itu memberi kesan bahwa mereka adalah orang yang berbeda, padahal kenyataannya sama.
  2. Sedikit meriwayatkan hadis. Oleh karena itu, sedikit orang yang mengambil riwayat hadis darinya, atau bahkan tidak ada yang mengambil riwayat hadis darinya kecuali hanya seorang. Sebagai contoh: Abu al-Usyara’ ad-Darimi seorang tabi’in. Hadisnya hanya diriwayatkan oleh Hammad bin Salamah.
  3. Penyebutan nama perawi yang tidak jelas atau gamblang dengan maksud untuk meringkas, atau yang semacamnya. Nama perawinya hanya disebut dengan kata rajul, fulan, syaikh, . Sebab macam ini, lebih populer dikenal dengan sebutan “mubham”.

Sebagai contoh, jika seorang perawi meriwayatkan hadis dengan berkata, “Telah menceritakan kepada saya fulan, dari rajul, dari seorang syaikh. Kata fulan, rajul, dan syaikh tidak menjelaskan secara gamblang nama perawi hadis, untuk itulah disebut dengan “mubham” (yang samar/yang rancu/belum jelas)

Sebuah hadis yang di dalamnya terdapat perawi yang majhul kualitasnya adalah dhaif (lemah), karena perawi tidak dapat diidentifikasi kualitas ‘adalah dan dhabithnya secara baik. Padahal yang menjadi pertimbangan shahihnya sebuah hadis adalah kualitas kredibilitas seorang perawi dan kualitas hafalannya disamping jalur periwayatan yang tidak terputus dari satu perawi ke perawi lain hingga sampai ke Rasulullah saw.

Baca juga: Apakah Diterima Periwatayan Pelaku Bid’ah?

Majhul ada tiga macam. Pertama, Majhul ‘ain. Kedua, Majhu hal. Ketiga, Mubham. Macam yang ketiga diperdebatkan oleh para ulama, apakah masuk kepada macam-macam majhul ataukah dia merupakan suatu bahasan yang berdiri sendiri. Menurut Mahmud At-Tahhan, mubham termasuk ke dalam bagian majhul, karena hakikat keduanya dinilai serupa.

  1. Mahjul ‘Ain. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Nuzhatun Nadzar fi Taudhihi Nukhbatul Fikri menjelaskan majhul ‘ain adalah seorang perawi yang telah disebutkan namanya, namun ia tidak meriwayatkan hadis kecuali hanya kepada seorang perawi. Hukum hadis dari perawi yang majhul ‘ain ialah adam al-qabul (tidak diterima) kecuali bila ada pernyataan yang mentsiqahkannya (memberi label tsiqah pada perawi). Pernyataan ini didapat melalui dua model. Model pertama, yaitu pernyataan mentsiqahkan yang didapat dari orang yang tidak mengambil riwayat dari perawi yang majhul ain. Model kedua, yaitu pernyataan mentsiqahkan yang didapat dari orang yang meriwatkan hadis perawi majhul ain dengan syarat ia merupakan ahli dalam jarh dan ta’dil.
  2. Majhul Hal ialah seorang perawi yang meriwayatkan hadis kepada dua orang atau lebih namun tidak ditsiqahkan oleh para pakar jarh dan ta’dil.  Majhul hal juga dikenal dengan sebutan al-mastur (yang tertutup/terhalang). Mayoritas ulama berpendapat bahwa riwayat hadis dari seorang yang majhul hal adalah tidak diterima karena keadaan perawi yang belum teridentifikasi secara jelas.
  3. Mubham yaitu seseorang yang disamarkan penyebutan namanya di dalam periwayatan sebuah hadis. Mubham dapat terdapat di dalam sanad (jalur periwayatan) atau matan (isi hadis). Bila ia terdapat dalam sanad, maka hadis tersebut tidak dapat diterima periwayatannya sampai diketahui keterangan yang menjelaskan sosok yang disamarkan tadi dari jalur periwayatan lainya. Sebab tidak diterimanya periwayatan hadis yang terdapat perawi mubham ialah karena sang perawi tidak diketahui jati dirinya atau kepribadiannya, sebagaimana tidak diketahui keadaan ‘adalah dan dhabitnya.

Apakah Diterima Periwayatan Pelaku Bid’ah?

0
Bid'ah
Bid'ah

Hadispedia.id – Dalam disiplin ilmu musthalah hadis, perawi yang dinyatakan tsiqah (terpercaya/kredibel) ialah yang memiliki dua sifat utama; ‘adalah dan dhabit.

‘Adalah dapat diartikan sebagai sifat perawi yang ‘adil serta memiliki kualitas moral yang baik, yaitu seorang muslim yang aqil, balig dan terbebas dari sifat fasiq dan perbuatan yang dapat merusak muruah atau citra baik seorang muslim seperti perbuatan berbohong, ghibah, namimah, suka mengumpat dan perbuatan sejenis yang kurang baik.

Sedangkan dhabit adalah sifat yang berkenaan dengan kualitas intelektual seorang perawi yakni dalam hal kuatnya hafalan yang dimilikinya. Bila sering lupa, maka dirinya bukanlah perawi yang memiliki sifat dhabit.

Lantas, bagaimana dengan seorang perawi yang melakukan bid’ah, apakah dengan kebid’ahan itu akan mempengaruhi kualitas hadis yang diriwayatkannya?

Secara bahasa, bid’ah merupakan bentuk mashdar dari kata bada’a yang bermakna membuat, menciptakan, dan memunculkan. Sedangkan menurut istilah kata bid’ah bermakna terjadinya sesuatu yang baru dalam masalah agama setelah dinyatakan sempurna.

Bid’ah juga bermakna terjadinya sesuatu yang baru dalam masalah agama yang tidak ada contoh dan panduannya yang bersumber dari Rasulullah saw. Orang yang melakukan bid’ah disebut dengan mubtadi.

Baca juga: Inilah Adab-adab Bagi Para Penuntut Hadis

Ibnu Hajar Al-Asqalani di dalam kitabnya Nukhbah al-Fikri fi Mushtalahi ahli al-Atsari membagi bid’ah menjadi dua bagian.

Pertama adalah bid’ah mukaffirah yaitu bid’ah yang dapat membuat pelakunya dicap sebagai seorang yang kafir, seperti meyakini sesuatu yang dapat mengkafirkan dirinya atau ia mengingkari perkara yang telah paten dan ditetapkan dalam agama secara mutawatir.

Contohnya adalah meyakini bahwa hari Kiamat tidak akan terjadi, dan manusia tidaklah dibangkitkan, mengingkari keberadaan surga dan neraka, mengingkari hari Kiamat, meyakini bahwa shalat lima waktu tidaklah wajib untuk dilaksanakan, dan lain sebagainya.

Kedua adalah bid’ah mufassiqah yaitu bid’ah yang tidak membuat pelakunya kafir atau keluar dari agama Islam namun pelakunya hanya dicap sebagai seseorang yang fasiq. Mereka adalah orang-orang yang melakukan kebid’ahan namun tidak sampai mengingkari perkara-perkara agama yang mutawatir.

Hukum riwayat hadis dari seorang mubtadi’ terbagi menjadi dua berdasarkan jenis bid’ahnya. Riwayat hadis dari seorang pelaku bid’ah mukaffirah tidaklah dapat diterima menurut pendapat mayoritas ulama.

Sedangkan riwayat hadis dari seorang pelaku bid’ah mufassiqah masih dapat diterima menurut pendapat mayoritas ulama dengan syarat bahwa sang perawi tidaklah menyeru orang lain kepada kebid’ahan yang dilakukannya dan ia tidak meriwayatkan hadis yang dapat memberi keuntungan kepada bid’ahnya, atau hadis-hadis yang mendukung bid’ah yang ia lakukan tersebut.

Dalam hal ini, berkata Abu Ishaq Ibrahim bin Ya’qub al-Juzajani yang merupakan syaikh dari Imam Abi Daud As-Sijistani, Imam An-Nasai, Imam At-Tirmidzi dalam kitabnya Ma’rifah ar-Rijal kala menjelaskan tentang perawi hadis

“Di antara perawi hadis terdapat orang-orang yang melenceng dari kebenaran yaitu melenceng dari As-Sunnah. Namun mereka jujur dalam ucapan, maka tidak ada yang dapat dilakukan kecuali menerima hadisnya selama hadisnya tidaklah munkar yaitu jika riwayatnya tidak menjadi penguat bagi kebid’ahannya”.

Baca juga: Delapan Metode Penerimaan dan Periwayatan Hadis

Berdasarkan dengan ketentuan ini, dapat disaksikan bahwa kelima Imam pengarang kutubus-sittah selain Imam al-Bukhari (Imam Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah) masing-masing memiliki riwayat hadis dari seorang syiah yang bernama Aban bin Taghliba ar-Rabai al-Kufi sebagaimana yang dipaparkan oleh Imam Al-Mizzi (w 742 H) dalam kitabnya Tahdzib Al-Kamal fi Asma Al-Rijal.

Hadis yang berasal dari perawi yang mubtadi’ tidak memiliki sebutan khusus, akan tetapi hadis tersebut termasuk ke dalam kategori hadis-hadis yang mardud atau tertolak, tidak dapat diterima kecuali bila memenuhi ketentuan yang telah dipaparkan sebelumnya. Wallahu a’lam bis shawab.

Hadis No. 3 Sunan Abi Daud

0
Sunan Abu Daud
Sunan Abu Daud

قَالَ الْاِمَامُ أَبُو دَاوُدَ سُلَيْمَانُ بْنُ الأَشْعَثِ فِيْ سُنَنِهِ فِيْ بَابِ الرَّجُلِ يَتَبَوَّأُ لِبَوْلِهِ

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ أَخْبَرَنَا أَبُو التَّيَّاحِ قَالَ: حَدَّثَنِي شَيْخٌ قَالَ لَمَّا قَدِمَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ الْبَصْرَةَ فَكَانَ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي مُوسَى فَكَتَبَ عَبْدُ اللهِ إِلَى أَبِي مُوسَى يَسْأَلُهُ عَنْ أَشْيَاءَ فَكَتَبَ إِلَيْهِ أَبُو مُوسَى : إِنِّي كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ يَوْمٍ فَأَرَادَ أَنْ يَبُولَ فَأَتَى دَمِثًا فِي أَصْلِ جِدَارٍ فَبَالَ ثُمَّ قَالَ: صلى الله عليه وسلم إِذَا أَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يَبُولَ فَلْيَرْتَدْ لِبَوْلِهِ مَوْضِعًا

ِAl-Imam Abu Daud; Sulaiman bin Al-Asy’ats berkata di dalam kitab Sunan-nya pada bab mencari tempat untuk kecing,

Musa bin bin Isma’il telah menceritakan kepada kami, ia berkata Hammad telah menceritakan kepada kami, ia berkata Abu At-Tayyah telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, Seorang Syaikh telah menceritakan kepadaku, ia berkata, Abdullah bin Abbas datang ke Bashrah, ketika itu dia menceritakan hadis dari Abu Musa.

Lalu, Abdullah menulis kepada Abu Musa dalam rangka menanyakan kepadanya tentang beberapa hal. Maka Abu Musa menulis kepadanya, sesungguhnya saya pernah bersama Rasulullah saw. pada suatu hari, lalu beliau ingin buang air kecil, maka beliau mendatangi tempat yang bertanah lunak di bawah dinding, kemudian beliau bersabda,

Apabila salah seorang dari kalian hendak buang air kecil, maka hendaklah ia mencari tempat yang bertanah lunak untuk kencingnya.”