Beranda blog Halaman 87

Hadis tentang Baik dan Halal adalah Syarat Diterimanya Doa

0
Hadis tentang Baik dan Halal adalah Syarat Diterimanya Doa
Hadis tentang Baik dan Halal adalah Syarat Diterimanya Doa

Hadispedia.id – Imam Nawawi dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah hadis kesepuluh menjelaskan hadis tentang baik dan halal adalah syarat diterimanya doa.

عَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:« إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ، فَقَالَ تَعَالَى: {يَٓاأَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحًا} [المؤمنون-51].وَقَالَ تَعَالَى: {يَٓاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ }[البقرة-172]، ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟ » رواه مسلم.

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda,

Sesungguhnya Allah Maha baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Dia memerintahkan orang-orang mukmin sama seperti yang diperintahkan kepada para Rasul. Dia berfirman, ‘Wahai para Rasul, makanlah makanan yang baik dan kerjakanlah amal shalih.’ (Al-Mukminun: 51) Dia juga berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman makanlah makanan yang baik yang telah kami berikan kepada kalian.’ (Al-Baqarah: 172) Lalu, Rasulullah saw. bercerita tentang seorang laki-laki yang menempuh perjalanan jauh, hingga rambutnya kusut dan kotor. Ia menadahkan kedua tangannya ke langit (seraya berdoa), ‘Ya Rabb, ya rabb’, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia kenyang dengan barang haram. Bagaimana mungkin doanya dikabulkan?.” (H.R. Muslim)

Imam Al-Qadli sebagaimana dikutip imam Nawawi di dalam ٍSyarah Shahih Muslim mengatakan bahwa at-thayyib merupakan sifat Allah yang berarti bersih dari kekurangan-kekurangan. Imam Nawawi juga menjelaskan bahwa hadis ini mendorong agar berinfak dengan harta yang halal, bukan dari harta yang haram.

Meskipun infak itu baik tetapi karena bersumber dari harta yang tidak baik maka Allah swt. tidak akan menerimanya. Begitu pula jika harta haram tersebut kita gunakan untuk membangun sekolah, panti asuhan, dan berangkat haji, maka semua itu tidak akan diterima Allah swt.

Baca juga: Hadis tentang Penyebab Hati yang Gelisah

Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi juga menjelaskan bahwa maksud sabda Nabi saw. di atas mencakup perbuatan, harta benda, ucapan, dan keyakinan. Allah swt. tidak akan menerima semua itu kecuali yang baik dan bersih dari segala noda, seperti riya’ dan ujub.

Selain itu, hadis ini mendorong kita agar makanan, minuman, dan pakaian kita harus halal dan murni dari benda-benda syubhat dan haram. Karena sebagaimana dijelaskan dalam hadis tersebut, hal yang menyebabkan penghalang doa adalah menggunakan barang haram, baik makanan, minuman, maupun pakaian.

Imam At-Thabrani meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas r.a. berkata, “Saya membaca ayat “Wahai sekalian manusia, makanlah apa-apa yang ada di bumi, yang halal dan baik.” (Al-Baqarah: 168) di sisi Rasulullah saw. Lalu, Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, “Wahai Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah agar doaku dikabulkan.” Nabi saw. bersabda, “Wahai Sa’ad, baikkanlah makananmu (pilihlah yang halal), niscaya doamu mustajab. Demi Dzat yang jiwaku berada digenggaman-Nya, sesungguhnya orang yang di rongganya terdapat satu genggam barang haram, tidak akan diterima amalnya selama empat puluh hari. Dan barang siapa yang daging tubuhnya tumbuh dari barang haram, maka nerakalah tempat yang paling layak baginya.”

Salah satu manfaat mengkonsumsi makanan dan minuman halal adalah dapat membuahkan amal shalih. Sebaliknya, makanan dan minuman haram dapat menjadikan kita malas berbuat amal shalih atau menjadikan amal shalih kita tidak diterima Allah swt.

Lalu, bagaimana jika kita terlanjur memiliki harta yang haram, baik berasal dari mencuri, korupsi atau lainnya? Dr. Mustafa Dieb dalam kitab Al-Wafi menjelaskan bahwa harta itu wajib dibersihkan dengan cara dishadaqahkan dan pahalanya bagi pemilik harta.

Hal ini sebagaimana pendapat imam Ibnu Rajab, “Pendapat yang benar adalah dengan menshadaqahkannya (bukan memusnahkannya), karena memusnahkan harta adalah tindakan yang dilarang. Menyimpannya hingga diketahui pemiliknya juga rentan rusak atau dicuri orang. Jadi, sebaiknya dishadaqahkan dan pahalanya untuk si pemilik harta tersebut.” Tetapi jika memang pemilik harta tersebut masih ada, maka dikembalikan kepadanya atau mengganti rugi dan meminta maaf kepadanya.

Baca juga: Hadis tentang Doa Ketika Mengetahui Musibah Orang Lain

Demikianlah penjelasan hadis tentang baik dan halal adalah syarat diterimanya doa. Hendaknya kita berhati-hati, jangan sampai apa yang kita konsumsi, pakai, maupun amalkan terdapat unsur hal yang tidak baik dan dibenci Allah swt. Terakhir, marilah kita perbanyak doa yang diajarkan Nabi saw. sebagai berikut.

اَللّٰهُمَّ اَغْنِنَا بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَبِطَاعَتِكَ عَنْ مَعْصِيَتِكَ وَبِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ.

Allahumma aghnina bi halalika ‘an haramika wa bi tha’atika ‘an ma’shiyatika wa bi fadhlika ‘amman siwak. Ya Allah, Cukupilah kami dengan harta halal-Mu, bukan yang haram. Isilah hari-hariku dengan taat kepada-Mu, bukan dengan mendurhakai-Mu, dan cukupilah diriku dengan karunia-Mu, bukan selain-Mu.

Wa Allahu a’lam bis shawab.

Hadis tentang Menjauhi Hal-hal yang Dilarang dan Menjalankan Hal-hal yang Diperintahkan

0
Hadis tentang Menjauhi Hal-hal yang Dilarang dan Menjalankan Hal-hal yang Diperintahkan
Hadis tentang Menjauhi Hal-hal yang Dilarang dan Menjalankan Hal-hal yang Diperintahkan

Hadispedia.id – Imam Nawawi dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah hadis kesembilan menjelaskan hadis tentang menjauhi hal-hal yang dilarang dan menjalankan hal-hal yang diperintahkan.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: « مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ. وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أنْبِيَائِهِمْ» رواه البخاري ومسلم.

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Apa yang kularang, jauhilah, dan apa yang kuperintahkan, laksanakanlah semampu kalian. Sesungguhnya yang membinasakan umat-umat sebelum kalian adalah banyak bertanya dan berselisih dengan nabi mereka.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)ا

Latar Belakang/Asbab Wurud Hadis

Imam Muslim di dalam kitab shahih-nya meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. berpidato di hadapan kami seraya berkata, “Wahai sekalian manusia, telah diwajibkan kepada kalian ibadah haji, maka berhajilah.” Seorang laki-laki bertanya, “Ya Rasulullah, apakah dilakukan setiap tahun?” Rasulullah saw. diam. Hingga orang itu mengulangnya sampai tiga kali. Maka, Rasulullah saw. pun menjawab, “Andai saya jawab ya, tentu haji akan diwajibkan (setiap tahun). Dan kalian tidak akan mampu.” Setelah itu, Rasulullah saw. bersabda, “Biarkanlah apa yang saya diamkan. Sesungguhnya kehancuran umat sebelummu adalah karena mereka banyak bertanya dan berselisih dengan nabi-nabi mereka. Jika saya perintahkan kepada kalian untuk mengerjakan sesuatu maka tunaikanlah semampu kalian. Dan jika aku melarang sesuatu maka tinggalkanlah.”

Riwayat imam Ibnu Majah dari sahabat Ibnu Abbas r.a. menyebutkan bahwa laki-laki yang bertanya kepada Nabi saw. tersebut bernama Aqra’ bin Habis. Imam Abu Dawud dalam kitab sunannya dan imam Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadraknya juga menyebutkan riwayat senada.

Fiqhul Hadis/Kandungan Hadis

  1. Menjauhi hal-hal yang dilarang agama.

Pada hadis tersebut, Rasulullah saw. memerintahkan kepada kita untuk menjauhi hal-hal yang dilarang. Beliau tidak mengatakan “mastatha’tum” atau semampu kalian. Hal ini menunjukkan bahwa menjauhi hal-hal yang dilarang itu perkara yang mudah.

Lebih mudah dari pada melaksanakan perintah. Karena menjauhi larangan itu tidak membutuhkan pada kemampuan yang besar. Bahkan tanpa perlu kekuatan badan. Tetapi yang diperlukan hanya kemauan dan keinginan yang kuat saja. Selain itu, menjauhi larangan itu tidak memerlukan amal perbuatan, karena kita hanya cukup diam saja, maka kita sudah otomatis meninggalkan larangan itu. Seperti larangan minum khamr. Kita cukup diam saja, tidak mengambil minuman itu, maka otomatis kita telah meninggalkannya.

2. Larangan dalam Al-Qur’an maupun hadis itu ada dua kategori, haram dan makruh.

Larangan yang bersifat haram adalah larangan yang dalilnya jelas dengan tegas memerintahkan untuk meninggalkannya. Bahkan ada hukuman bagi yang melakukannya dan pahala bagi yang meninggalkannya. Contohnya: zina, mencuri, membunuh, dan mengkonsumsi hal yang memabukkan.

Larangan yang bersifat makruh adalah larangan yang dalilnya tidak tegas pelarangannya. Bagi yang melakukannya tidak mendapat dosa, tetapi bagi yang meninggalkannya mendapat pahala. Contohnya makan makanan yang memiliki bau menyengat sehingga dapat mengganggu orang lain ketika shalat berjamaah.

3. Komitmen pada perintah agama

Rasulullah saw. pada hadis tersebut bersabda, “Tunaikanlah perintahku semampu kalian.” Hal ini menunjukkan bahwa kita pasti mampu melaksanakannya. Oleh karena melakukan itu membutuhkan tenaga atau usaha, maka beliau memberi sifat “semampu kalian”. Beliau tidak membebani kita jika tidak mampu melaksanakannya dengan sempurna. Seperti shalat. Kita tetap diwajibkan melaksanakannya dalam kondisi apapun. Jika tidak bisa berdiri, maka dengan duduk. Jika tidak mampu duduk, maka dengan berbaring dan seterusnya.

Baca juga: Hadis tetang Menolak Kemungkaran dan Bid’ah

4. Perintah agama itu terdiri dari dua kategori: wajib dan sunnah.

Perintah yang bersifat wajib adalah perintah yang memiliki dalil yang tegas untuk dilaksanakan. Konsekuensi bagi yang meninggalkannya adalah mendapat hukuman/siksa dan bagi yang melakukannya akan mendapat pahala. Seperti shalat lima waktu, zakat, dan puasa Ramadhan.

Perintah yang bersifat sunah adalah perintah yang memiliki dalil sunnah untuk dikerjakan. Bagi yang melakukannya mendapat pahala, dan bagi yang meninggalkannya tidak mendapat hukuman. Seperti shalat sunah rawatib, shalat sunah Dhuha, shadaqah, dan makan dengan tangan kanan.

5. Penyebab kehancuran umat terdahulu

Rasulullah saw. telah menjelaskan kepada kita bahwa penyebab kehancuran umat-umat terdahulu adalah akibat dua perkara. Dua hal itu adalah banyaknya pertanyaan yang tidak berguna dan tidak komitmen dengan syariat Allah.

Imam Nawawi di dalam kitab Syarah Shahih Muslim mengutip pendapat imam Al-Khattabi yang mengatakan bahwa orang yang memiliki pertanyaan yang diperlukan untuk ditanyakan maka diperbolehkan. Hal ini sebagaimana firman Allah swt. “Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (Q.S. An-Nahl: 43).

Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi menjelaskan bahwa pertanyaan itu memiliki beberapa hukum. 1. Fardu ain, seperti bertanya seputar agama yang wajib ia ketahui. 2. Fardhu kifayah, seperti pertanyaan untuk mendalami suatu permasalahan. Misalnya mendalami masalah fiqh dan hadis. 3. Mandub/sunnah, seperti menanyakan amalan sunnah. 4. Haram, seperti pertanyaan yang bertujuan untuk mengejek atau bersifat menentang mukjizat Rasul. 5. Makruh, seperti pertanyaan yang sebenarnya tidak dibutuhkan, bahkan dapat membuka aib si penanya. 6. Mubah/boleh, seperti pendapat imam Nawawi yang mengutip imam Al-Khattabi di atas.

Baca juga: Hadis tentang Rukun Islam yang Ada Lima

6. Memahami dan mengamalkan lebih utama dari pada bertanya

Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi menjelaskan bahwa seorang muslim hendaklah lebih mementingkan untuk mengkaji dan berusaha memahami semua yang datang dari Allah dan Rasul-Nya.

Jika yang didapati adalah perkara yang bersifat normatif, maka hendaknya ia meyakini kebenarannya. Namun, jika yang didapati adalah perkara yang aplikatif maka bersegeralah untuk mengaplikasikannya.

Sementara itu, Dr. Ahmad Ubaidi Hasbillah di dalam kitab Al-Fawaid Al-Mustafawiyah mengatakan bahwa semua perintah dan larangan agama itu memiliki kemaslahatan. Selain itu, ia juga memiliki faedah dan hikmah yang besar. Bahkan meskipun kita tidak mempertanyakannya, niscaya kita akan mendapatinya ketika mengamalkannya. Wa Allahu A’lam bis shawab.

Menjelajah Keilmuan Hadis Sahabat Abu Bakar as-Sidhiq

0
Abu Bakar as-Sidhiq
Abu Bakar as-Sidhiq

Abu Bakar as-Sidhiq adalah salah satu sahabat yang sangat dicintai oleh baginda Nabi Muhammad saw. sekaligus ayah dari salah satu istri Rasulullah yang paling beliau sayangi yakni Aisyah r.a. Abu bakar as-Sidhiq merupakan sahabat Rasulullah yang sangat setia, sebab, ia memiliki peran penting dalam kehidupan Rasulullah secara pribadi maupun sebagai sahabat dalam mensyiarkan agama islam. Maka mustahil kiranya mempelajari hadis tanpa mengenal sosok Abu bakar as-Sidhiq serta perjuangan beliau dalam membantu dan meneruskan dakwah Rasulullah.

Dalam kitab Tahdzib al-Kamal karya Yusuf al-Mazzi , Abu bakar as-Sidhiq memiliki nama lengkap Abd’Allah bin Utsman Abu Qakhafah Aamr bin Amru bin Ka’ab. Nama panggilannya sebelum masuk islam ialah Abdul Ka’bah, setelah masuk islam Rasulullah mengganti namanya menjadi Abdullah dan memberinya gelar sebagai as-Sidhiq yang berarti orang pertama (lelaki) yang membenarkan, sebab beliaulah yang mempercayai kenabian Rasulullah tanpa sedikit pun keraguan. Yang kemudian ia lebih sering dipanggil dengan Abu bakar as-Sidhiq. Abu bakar as-Sidhiq wafat pada tahun 13 H, namun riwayat lain dalam kitab Khulashah Nurul Yaqin karya ‘Umar ‘Abdul Jabar beliau lahir kurang lebih dua tahun setelah Nabi Muhammad dilahirkan dan wafat pada tahun 12 H.

Dalam kitab yang sama pula, Abu bakar as-Sidhiq digambarkan sebagai sosok yang memiliki paras rupawan, pergaulan yang baik, serta memiliki pribadi dan hati yang lemah lembut. Beliau merupakan salah satu orang quraisy yang memiliki kejayaan yang cukup lama, yakni sejak masa jahiliyah hingga memeluk Islam.

Baca juga: Mengenal Sosok Usman bin Affan: Perawi Hadis yang Penuh kehati-hatian

Kesuksesannya dalam dunia perdagangan ia raih karena sifatnya yang amanah, selain itu Abu bakar as-Sidhiq juga merupakan sosok yang sangat disenangi oleh kaum Quraisy karena sifat kasih dan sayangnya tehadap orang-orang lemah maupun orang-orang fakir. Selain itu, sejak memeluk islam Abu bakar membeli banyak budak dari tuan-tuannya untuk kemudian ia merdekakan. Hal tersebut tidak lain ia lakukan semata demi mengharap ridha Allah swt. kemudian pada tahun ke-9 Hijriyah, ia melakukan ibadah haji bersama kaum muslimin.

Mengenal kedekatan antara Abu Bakar as-Sidiq dengan Rasulullah Muhammad SAW.

Abu bakar as-Sidiq adalah salah satu orang yang sangat dekat dengan Rasulullah bahkan sebelum Rasul mengetahui tanda kenabian yang dimilikinya. Dan ketika Rasulullah menerima wahyu pertamanya, Abu bakarlah lelaki dewasa pertama yang membenarkan dan mengimani kenabian Rasulullah. Dalam kitab Khulashah Nurul Yaqin karya ‘Umar ‘Abdul Jabar, terdapat sabda Rasulullah yakni

“ مَا دَ عُوْتُ اَحَدًا اِلَئ الإسْلَامِ الّاكَانَتْ لَهُ كَبْوَاةٌ غَيْرَا اَبِيْ بَكْرٍ”.

Semasa Rasulullah melakukan hijrah menuju Madinah, Abu Bakar as-Sidiq lah yang menemani perjalanan beliau. Pun ketika mereka berdua dikejar oleh kaum musyrikin, sehingga membuat Abu Bakar as-Sidiq sangat ketakutan namun hal tersebut tidak sedikitpun menggugurkan semangatnya untuk tetap menemani Rasulullah hijrah menuju Madinah.

Peristiwa tersebut yang kemudian diabadikan dalam surat At-taubah ayat 40. Kesetiaan Abu bakar juga dibuktikan dalam keikut sertaannya dalam membantu jihad Rasulullah melawan kaum kafir. Diantara perang yang pernah diikuti Abu bakar bersama Rasulullah ialah perang badar, perang uhud, perang bani an-Nadhir, perang khandaq, perang bani al-Mustaliq, perang bani quraizah, perjanjian hudaibiah, perang khaibar dan seterusnya.

Baca juga: Adab Melangsungkan Akad Pernikahan Menurut Hadis

Ketika Rasulullah jatuh sakit, beliau memerintah Abu bakar untuk menjadi imam sholat kaum muslim, hal tersebut kemudian menjadi isyarat terpilihnya Abu bakar sebagai pengganti kepemimpinan Rasulullah sekaligus penerus dakwah mensyiarkan agama islam.

Peradaban keilmuan Islam di bawah pimpinan Abu bakar as-sidiq

Semasa Rasulullah masih hidup, beliaulah yang menjadi guru sekaligus sumber pengetahuan tentang islam yang utama bagi kaum muslimin. Setiap persoalan yang dihadapi baik dalam hal ibadah, muamalah maupun persoalan hukum negara, kaum muslimin dapat menanyakan langsung solusi dari permasalahan-permasalahan tersebut kepada Rasulullah.

Namun, setelah wafatnya beliau, persoalan yang dihadapi oleh kaum muslim pun semakin beragam. Islam yang saat itu sudah mulai tersebar ke beberapa kota, satu persatu orang yang telah memeluk agama islam semasa Rasulullah masih hidup kini menjadi murtad. Banyak orang-orang yang dahulu memerangi Rasulullah kini mengaku dirinya sebagai nabi diantaranya ialah Musailamah al-Kadzab, Tulaikhah al-Asad, dan Aswad dari bangsa ‘Ansi. Selain itu banyak kaum muslim yang engan untuk membayar zakat, seperi para pengikut Malik bin Nuwairah dari suku Tamim.

Dalam menjalankan amanah kekhalifahannya yang hanya berjalan dua tahun, kepemimpinan yang dijalankan oleh Abu bakar as-Sidiq pun tidak jauh berbeda dengan masa kepemimpinan Rasulullah, yakni  bersifat sentral, kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif ditangan khalifah. Dalam masa kepemimpinananya yang singkat Abu bakar mengerahkan segala upaya untuk menyelesaikan persoalan-persoalan sebagaimana yang telah disebutkan diatas.

Baca juga: Riwayat Hadis Tentang Penyebab Hati yang Gelisah, Begini Penjelasannya!

Sedang dalam bidang keilmuan, Abu bakar  sebagai salah satu sahabat terdekat Rasulullah tentu juga memiliki peran yang sangat penting. Bahkan dalam beberapa riwayat, Rasulullah pun mengakui keluasan ilmu dan pemahamannya tentang ajaran islam. Beberapa riwayat Rasulullah tentangnya ialah:

«إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي إِلَيْكُمْ فَقُلْتُمْ كَذَبْتَ، وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ صَدَقَ، وَوَاسَانِي بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَهَلْ أَنْتُمْ تَارِكُوا لِي صَاحِبِي»

“Sesungguhnya Allah mengutusku kepada kalian, kemudian kalian berkata, “engkau (Muhammad) telah berdusta.” (akan tetapi) Abu Bakar berkata, “engkau (Muhammad) memang benar.” HR. Bukhari-3661

«إِنْ لَمْ تَجِدِينِي فَأْتِي أَبَا بَكْرٍ»

“Jika engkau tidak mendapatiku maka temulah Abu Bakar” HR. Bukhari-3659

Hal tersebut menunjukkan bahwa Nabi pun memberikan penghormatan terhadap keilmuan Abu Bakar. Selain itu, keberhasilannya dalam memerangi nabi-nabi palsu, meluruskan kembali kaum muslim yang enggan membayar zakat dengan mendirikan lembaga peradilan dan lembaga keuangan negara menunjukkan bahwa Abu Bakar as-Sidiq merupakan sosok khalifah Islam yang sangat menjunjung tinggi ajaran islam maupun kemaslahatan umat islam. Dan atas saran dari Umar bin Khatab pada pemerintahan Abu Bakar inilah catatan-catatan ayat al-Qur’an yang telah disimpan oleh para sahabat ataupun juru tulis Rasulullah mulai dikumpulkan.

Adapun dibidang hadis, dalam kitab Tahdzib al-Thdzib karya Ibnu Hajar al-Asqalani dijelaskan sebagaimana umat muslim lainnya yang menjadi sumber pengetahuannya (Abu Bakar) tentang islam ialah Nabi Agung Muhammad saw. dan diantara para sahabat yang menerima  hadis darinya ialah Umar bin khatab,Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, Ausad al-Bajali, al-Baraa’ bin ‘Aazb, Jaabir bin ‘Abd Allah, Jabiir bin al-Khawarits al-Maqzuumi, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah, dan nak-anaknya Abdurrahman dan Aisyah ummul mukminin. Wallahu a’lam[]

Hadis tentang Terjaganya Darah dan Harta Umat Muslim

0
Hadis tentang Terjaganya Harta dan Darah Umat Muslim
Hadis tentang Terjaganya Harta dan Darah Umat Muslim

Hadispedia.id – Imam Nawawi pada hadis kedelapan dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah menjelaskan hadis tentang terjaganya darah dan harta umat Muslim.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لَا إِلَهَ إلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَيُقِيْمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالَى» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.

Dari Ibnu Umar r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku diperintah memerangi manusia hingga mereka bersaksi tiada ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Apabila mereka melakukan itu, maka mereka telah melindungi darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan alasan yang dibenarkan Islam. Sedangkan perhitungan mereka adalah wewenang Allah swt.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Hadis di atas sangat sensitif sekali jika tidak dipahami dengan benar. Bahkan dapat menimbulkan pemahaman yang radikal. Hal ini disebabkan karena bila hadis itu dipahami secara tekstual, maka seolah-olah kita harus membunuh semua orang yang tidak mau masuk Islam.

KH. Ali Mustafa Ya’qub di dalam buku Kerukunan Umat dalam Prespektif Al-Qur’an dan Hadis mengatakan bahwa ada dua kategori di dalam Al-Qur’an dan hadis. Kategori pertama adalah ayat-ayat dan hadis-hadis yang berkaitan dengan perang dan kategori kedua adalah yang berkaitan dengan situasi damai.

Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis yang berkaitan dengan perang harus diperlakukan dalam situasi perang dan jangan diperlakukan di situasi damai. Dan hadis di atas harus diartikan secara khusus. Sebab khalifah Abu Bakar As-Shiddiq memerangi umat Islam yang tidak mau membayar zakat, padahal mereka adalah orang Islam.

Nabi Muhammad saw. sendiri tidak memerangi semua manusia yang tidak mau masuk Islam. Misalnya beliau tidak membunuh mertuanya yang beragama Yahudi; Huyai bin Akhtab, atau mertua beliau yang musyrik; Abu Sufyan. Orang-orang Nasrani Najran pun tidak pernah diperangi oleh Nabi saw.

Sementara itu, KH. Ali Mustafa Ya’qub di dalam buku Islam Antara Perang dan Damai menyebutkan bahwa Islam membagi orang-orang non muslim ke dalam tiga kategori.

Pertama, Kafir Harbi, yaitu non muslim yang memerangi kaum muslimin. Dalam kondisi seperti ini, kaum muslimin diperintahkan untuk menghadapi peperangan yang dilakukan non muslim. Allah swt. berfirman di dalam Q.S. Al-Baqarah: 190

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Kedua, Kafir Musta’man, yaitu non muslim yang menetap dan tinggal di negara Islam untuk beberapa waktu. Dia bukan warga negara muslim tersebut. Dia hanya tinggal untuk urusan bisnis, kepentingan diplomatik, belajar, atau yang lain.

Islam mewajibkan setiap muslim untuk memberikan keamanan kepada non muslim kategori ini, baik harta maupun jiwanya. Sebab, dia datang ke negara muslim tidak untuk berperang melawan orang muslim, tetapi untuk menjalin hubungan baik antara mereka.

Allah swt. berfirman di dalam Q.S. Al-Mumtahanah: 8

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

Ketiga, Kafir Dzimmi, yaitu non muslim yang tinggal dan menetap bersama dengan orang-orang muslim sebagai penduduk di negara muslim. Istilah lainnya, non muslim ini juga disebut dengan mu’ahad.

Umumnya, non muslim ini merupakan minoritas dari suatu negara, di mana muslim menjadi mayoritas penduduknya. Maka, orang-orang muslim dilarang membunuh orang non muslim kategori ini. Jika ada orang muslim yang membunuhnya, maka orang muslim tersebut tidak akan dapat masuk ke dalam surga.

Nabi Muhammad saw. bersabda, “Siapa yang membunuh seorang dzimmi (non muslim yang berada dalam perjanjian keamanan), maka ia tidak akan dapat mencium aroma surga.” (H.R. Al-Bukhari, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah). Jadi, hanya ada satu kategori non muslim yang boleh kita perangi, yaitu non muslim yang memerangi orang muslim.

Sementara itu, Dr. Ahmad Ubaidi Hasbillah di dalam kitab Al-Fawaid Al-Mustafawiyah menjelaskan bahwa hadis ini disabdakan Nabi saw. lebih dari tiga kali. Pertama, ketika perang Bani Tsaqif pada tahun 8 H. Kedua, perang Tabuk 9 H. Ketiga, pada perang Wadil Qura, dan pada kondisi-kondisi lainnya.

Salah satu sebab wurud hadis ini dijelaskan dalam riwayat imam Ahmad, Al-Baihaqi, dan Ibnu Majah dengan redaksi yang berbeda. Di mana saat itu, para sahabat Nabi saw. membunuh seorang laki-laki kafir yang sudah mengucapkan syahadat. “Bukankah ia telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah?” Tanya Nabi saw. Salah satu dari para sahabat menjawab, “Benar, tetapi ia mengucapkannya untuk berlindung (agar tidak dibunuh).” Lalu beliau mengucapkan hadis sebagaimana di atas.

Oleh sebab itu, maka hadis tersebut sebagai bentuk pencegahan dan pengingkaran atas perbuatan sebagian sahabat nabi yang membunuh orang yang telah membaca syahadat. Mereka berprasangka buruk dengan syahadat yang diucapkan orang tersebut sebagai tameng agar tidak dibunuh. Padahal hanya Allah swt. yang tahu isi hati orang. Dengan demikian, maka Nabi saw. saja ketika dalam kondisi perang memerintahkan untuk menjaga darah dan harta orang yang telah bersyadahat, apalagi ketika dalam kondisi damai.

Adapun maksud dari kalimat “illa bihaqqil islam” kecuali hak yang dibenarkan Islam adalah sebagaimana dijelaskan oleh riwayat imam Al-Bukhari dan Muslim. Nabi saw. bersabda, “Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, kecuali diakibatkan oleh salah satu dari tiga hal, orang tua yang berzina (telah menikah), membunuh, dan murtad.” Jadi, jiwa orang muslim tidak dapat terpelihara alias boleh dibunuh jika mereka melakukan tiga hal tersebut.

Demikianlah penjelasan hadis tentang terjaganya darah dan harta umat Muslim. Hadis tersebut sarat sekali dengan pesan-pesan toleransi antar sesama umat muslim dan non muslim jika dipahami dengan benar. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Hadis Agama adalah Ketulusan

0
Agama adalah ketulusan
Agama adalah ketulusan

Hadispedia.id – Hadis ketujuh dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah, imam Nawawi menjelaskan tentang hadis agama adalah ketulusan.

عَنْ اَبِيْ رُقَيَّةَ تَمِيْمِ بْنِ أَوْسٍ الدَّارِيْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ»، قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: «لِلهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ» رَوَاه مُسْلِمٌ.

Dari Abu Ruqayyah; Tamim bin Aus Ad-Dari r.a., sesungguhnya Nabi saw. bersabda, “Agama itu ketulusan.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau bersabda, “Untuk Allah, Kitab-Nya, Utusan-Nya, para pemimpin dan kaum muslimin.” (H.R. Muslim)

Nasihat secara bahasa berarti ketulusan. Sebagaimana arti kata taubat nasuha berarti taubat yang tulus atau murni. Nasihat juga bisa berarti menghendaki kebaikan kepada orang yang diberi nasihat.

Menurut Dr. Ahmad Ubaidi Hasbillah di dalam kitab Al-Fawaid Al-Mustafawiyah nasihat pada hadis tersebut bermakna ketulusan pada sesuatu (al-ikhlas fi al-syai’). Maka, agama adalah sebuah ketulusan. Demikianlah sabda Rasulullah saw. yang jawami’ul kalim (singkat, padat, dan jelas).

Meskipun nasihat tersebut bisa juga diartikan dengan menghendaki kebaikan kepada orang yang diberi nasihat. Artinya adalah Allah swt., kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin, dan umat Islam itu memiliki kata-kata yang dapat memberikan nasihat kepada kita. Kata-kata yang mengandung nasihat itu menghendaki kita agar lebih baik dan mengindari keburukan. Namun, menurut Dr. Ahmad Ubaidi Hasbillah makna nasihat pada hadis tersebut lebih cocok dengan arti ketulusan.

Ketulusan kepada Allah swt. dapat diimplementasikan dengan bentuk iman kepada-Nya, tidak menyekutukan-Nya, tidak melanggar larangannya, melakukan hal yang diperintahkannya, dan lain sebagainya.

Baca juga: Hadis tentang Menolak Kemungkaran dan Bid’ah

Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi menjelaskan bahwa maksud kitab pada hadis tersebut adalah Al-Qur’an. Ketulusan kepada Al-Qur’an dapat diimplementasikan dengan membaca dan menghafalnya, membacanya dengan tartil dan suara yang bagus sehingga dapat masuk dan diresapi, mentadabburi kandungannya, mengajarkannya, dan memahami serta mengamalkan isinya.

Sementara itu, ketulusan kepada Rasul-Nya diimplementasikan dengan membenarkan risalahnya, membenarkan semua yang disampaikannya, mencontoh akhlaknya, dan mentaati semua perintahnya.

Ketulusan agama itu juga ditunjukkan dengan ketulusan pada para pemimpin. Yakni dengan cara menyukai kebaikan, kebenaran, dan keadilannya, bukan lantaran individunya. Ketulusan ini juga dilakukan dengan cara membantu mereka untuk senantiasa berada dalam koridor kebaikan, menaati mereka dalam kebenaran, dan mengingatkan mereka dengan cara yang baik.

Adapun ketulusan kepada umat muslim adalah dengan cara menuntun mereka kepada berbagai hal yang membawa kebaikan dunia dan akhiratnya. Bisa juga dengan cara saling mencintai dan menganggap satu dengan lainnya sebagai saudara.

Baca juga: Hadis Segala Perbuatan Ditentukan Niatnya

Jika ada orang yang melakukan amal shalih yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah, baik menurut umat muslim lainnya, tidak bertentangan dengan undang-undang, tetapi tidak didasari dengan niat yang tulus karena Allah, maka hal itu tidak sesuai dengan agama.

Begitu pula dengan jihad yang mengatas namakan agama, sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah. Namun, jika hal itu bertentangan dengan aturan undang-undang dan mendatangkan fitnah antara sesama muslim dan manusia secara umum, maka hal itu pun bukan bagian dari agama.

Demikianlah penjelasan hadis agama adalah ketulusan. Maka seorang mukmin sejati adalah yang tulus dalam beragama. Baik kepada Allah, kitab-Nya, utusan-Nya, para pemimpin, maupun sesama umat muslim lainnya.

Wa Allahu a’lam bis shawab.

Hadis tentang Perkara yang Halal, Haram, dan Syubhat

0
Halal, haram, dan syubhat
Halal, haram, dan syubhat

Hadispedia.id – Hadis keenam dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah, imam Nawawi menjelaskan hadis tentang perkara yang halal, haram, dan syubhat.

عَنْ اَبِيْ عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: «إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ، وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أَمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ، لَايَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اِسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ، كَالرَّاعِيْ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلَا وَإنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى، أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلَا وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.

Dari Abi Abdillah; An-Nu’man bin Basyir r.a., ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda,

Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas. Antara keduanya ada perkara samar yang tidak diketahui orang banyak. Orang yang menghindari perkara samar, berarti memelihara agama dan harga dirinya. Sedangkan orang yang jatuh dalam perkara samar, berarti jatuh dalam perkara haram. Seperti penggembala yang menggembala dekat daerah terlarang, tentu sangat riskan, suatu saat hewan gembalaannya pasti akan memasuki daerah terlarang itu. Ketahuilah, setiap raja memiliki daerah terlarang. Ingatlah bahwa daerah larangan Allah adalah apa yang diharamkan-Nya. Ketahuilah, di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, seluruh tubuh pun baik, dan jika ia rusak, seluruh tubuh pun rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Hadis tersebut tidak hanya diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari dan Muslim. Melainkan juga diriwayatkan oleh imam Abu Daud, imam At-Tirmidzi, imam An-Nasa’i, dan imam Ibnu Majah di dalam kitab Sunan mereka.

Hadis ini memiliki urgensi yang sangat penting dalam ajaran Islam. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh imam Ibn Daqiq dalam kitab syarahnya. Ada yang mengatakan hadis ini merupakan sepertiga dari ajaran Islam. Sedangkan menurut imam Abu Daud, hadis ini adalah salah satu dari empat hadis yang menjadi poros dari ajaran Islam. Bahkan ulama sepakat bahwa hadis ini memiliki posisi penting dan faidah yang sangat banyak. Karena mencakup penjelasan tentang perkara yang halal, haram, dan syubhat.

Hadis tersebut menegaskan kepada kita akan pentingnya belajar agar mengetahui perkara yang jelas halalnya dan haramnya. Setelah kita mengetahui kejelasan kehalalannya, maka kita diperbolehkan untuk melakukannya. Sebaliknya, jika kita mengetahui kejelasan keharamannya, maka kita harus meninggalkannya.

Namun, ketika perkara itu masih samar alias syubhat, yakni belum jelas kehalalan dan keharamannya, maka hendaknya kita tidak mendekatinya dan menghindarinya sebagai bentuk kehati-hatian.  

Diriwayatkan bahwa suatu ketika Abu Bakar makan makanan yang syubhat tanpa beliau sadari. Ketika mengetahui bahwa beliau telah makan barang syubhat, maka ia memasukkan jari tangan ke mulutnya hingga muntah. Hal ini sebagai bentuk sikap wara’ atau kehati-hatian beliau terhadap perkara syubhat.

Baca juga: Hadis tentang Rukun Islam yang Ada Lima

Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim pun meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ketika aku masuk rumah, saya mendapati kurma di atas tikarku. Aku ambil untuk makan. Akan tetapi aku membatalkannya karena khawatir kurma itu berasal dari shadaqah.”

Setiap raja memiliki tanah larangan yang tidak boleh didekati. Begitu pula Allah swt. raja seluruh alam ini memiliki larangan-larangan yang haram untuk dilakukan oleh hamba-Nya. Demikianlah Rasulullah saw. di dalam hadis tersebut memberi perumpamaan yang mudah pada hadis tersebut.

Pada tanah larangan milik raja itu terdapat pagar pembatas agar tidak dimasuki orang lain untuk menggembala kambingnya di tanah tersebut. Orang yang takut hukuman raja, pasti tidak akan mendekati pagar itu. Namun, orang yang tidak takut hukuman, maka ia akan mendekati pagar itu hingga melewati batas dan masuk ke tanah larangan. Ia pun pasti akan mendapatkan hukuman.

Sebagaimana para raja, Allah swt. pun memiliki larangan-larangan yang tidak boleh dimasuki oleh para hamba-Nya. Pagarnya adalah perkara-perkara syubhat yang juga tidak boleh didekati. Artinya pagar atau perkara syubhat pun haram untuk kita lakukan karena dapat menggiring kita untuk melakukan perkara haram. Orang yang mau meninggalkan perkara syubhat, maka ia telah menjaga agama dan kehormatan dirinya.

Baca juga: Hadis tentang Menolak Kemungkaran dan Bid’ah

Rasulullah saw. mengakhiri hadis ini dengan penjelasan tentang hati. Di mana baik buruknya seseorang itu tergantung hatinya. Karena ialah yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang baik atau yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya mengasah hati agar menjadi baik sehingga ia tidak mendorong pemiliknya untuk mendekati barang syubhat terlebih hal yang diharamkan.

Ibnu Mulqin berpendapat bahwa kebaikan hati bisa dibentuk melalui lima perkara; membaca dan mentadabburi Al-Qur’an, mengosongkan perut, shalat malam, bermunajat di penghujung malam, dan bergaul dengan orang-orang shalih.

Sementara itu, Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi menambahkan satu hal, yaitu makanan yang halal. Bahkan menurut beliau hal ini adalah intinya. Beliau mengutip sebuah ungkapan, “Makanan adalah bibit dari segala perbuatan. Jika yang masuk halal, maka yang keluar juga halal. Jika yang masuk haram, maka yang keluar juga haram. Jika yang masuk syubhat, maka yang keluar juga syubhat.”

Imam Nawawi pun memiliki tips agar hati menjadi baik, yaitu dengan membersihkan hati dari segala penyakit hati. Seperti benci, dendam, dengki, pelit, sombong, pamer, tamak, sum’ah, curang, dan lain sebagainya.

Demikianlah penjelasan hadis tentang perkara yang halal, haram, dan syubhat. Semoga kita diberikan hati yang bersih dan baik sehingga kita dapat mudah melakukan hal-hal yang diperintahkan dan meninggalkan hal-hal yang dilarang serta hal-hal yang masih samar atau syubhat. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis

0
melurushan-pemahaman-kaum-jihadis-cover

Penulis : Abdul Karim Munthe, DKK.

Tebal Halaman : 188 Halaman

Ukuran : 14,8 × 21 cm

Penerbit : eBI Publishing-alif.id

Harga : Rp 50,000.-

Ideologi Jihadi dan Khilafah beserta simbolnya makin gencar dipropagandakan oleh kaum jihadis puritan dengan cara memelintir hadis-hadis. Apa sajakah masalah atau pemelintiran hadis-hadis yang sering dikutip oleh ISIS dan sejenisnya itu? Buku ini memaparkan jawabannya. Lukman Hakim Saifuddin – Menteri Agama Republik Indonesia Banyak yang mendadak mau berjihad hanya karena membaca terjemahan sejumlah hadis. Buku ini ditulis dengan renyah dan ringan, namun isinya penuh dengan penjelasan ulama yang diakui otoritasnya dalam keilmuan Islam. Agar, tidak ada lagi yang salah paham soal jihad akibat paham yang salah. Prof. H. Nadirsyah Hosen, Ph. D. – Rais Syuriah PCI Nahdatul Ulama Australia-Selandia Baru/Dosen Law School Monash University

Link pembelian: https://shopee.co.id/Meluruskan-Pemahaman-Hadis-Kaum-Jihadis-i.216727620.7215230663

Menyingkap Khazanah Ilmi Hadis

0

Penulis : Dr. H. Saifuddin Herlambang, MA. & Saepul Anwar, MA.

Tebal Halaman : xiv + 164 hlm.

Ukuran : 14,8 × 21 cm

Penerbit : eBI Publishing Harga : Rp 50,000.-

Begitu pentingnya al-Quran dan Hadis, hingga umat Islam mengekspresikannya dengan berbagai bentuk sepanjang Quran. Kita seringkali mendengar orang mengatakan, “Mari kita kembali kepada Quran dan Hadis!”, “Mari kita kembali kepada Quran dan Sunnah!”, dan ungkapan-ungkapan lainnya. Shahih al-Bukhari, salah satu kompilasi riwayat-riwayat hadis yang dikumpulkan oleh Imam al-Bukhari, diekspresikan sangat vital oleh para ulama sehingga muncul ungkapan “Ashahhu al-kutub ba’da al-Qur’an shahih al-Bukhari” (kitab yang paling sahih setelah Quran adalah shahih Bukhari).

Link pembelian: https://shopee.co.id/Menyingkap-Khazanah-Ilmi-Hadis-i.216727620.7115230342

Ilmu Matan Hadis

0

Penulis: M. Khoirul Huda

Tebal: 220 hlm.

Ukuran: 14,8×21

Penerbit: El Bukhari Publishing

“Hadis tidak hanya penting sebagai sumber otoritas Islam kedua setelah Quran, tetapi juga mengandung pesan pesan yg harus difahami secara kontekstual. Kontekstualisasi pemaknaan hadis mengharuskan pemahaman luas mendalam tentang matan hadis. Matan hadis berpotensi berkonotasi temporal, lokal dan atau universal. Kapan sebuah hadis bermakna universal yang mengikat semanjang waktu dan tempat, kapan bersifat sementara dan tidak mengikat sepanjang masa, kapan bermakna lokal dan tidak Mengikat untuk seluruh daerah membutuhkan kajian mendalam dan ektensif tentang teks dan konteks hadis untuk dapat merekonstruksinya sampai kepada sebuah kesimpulan. Buku ini bisa menjadi salah satu rujukan untuk kepentingan tersebut.” (Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, M.A. Direktur Jenderal Direktorat Pendidikan Islam Kementerian Agama RI) “Ilmu matan hadis adalah ilmu yang utama dalam kajian hadis. Cabang-cabang ilmunya digagas oleh para Nasir al-Sunnah, seperti Al-Syafi’i (w. 204 H.). Buku ini sangat membantu pecinta sunnah untuk lebih memahami hadis-hadis Nabi SAW.” (Rifqi Muhammad Fatkhi, MA Ketua Prodi Ilmu Hadis UIN Jakarta)

Link pembelan: https://shopee.co.id/Ilmu-Matan-Hadis-i.216727620.7214001216

Imam Bukhari: Belajar Lebih dari Seribu Guru Hingga Lahirkan Karya Fenomenal

0
Imam Bukhari: Belajar Lebih dari Seribu Guru
Imam Bukhari: Belajar Lebih dari Seribu Guru

Hadispedia.id- Ketika mendengar hadis shahih sering kali disandingkan dengan sebuah nama yakni Imam Bukhari. Ya, hadis-hadis shahih banyak diriwayatkan oleh beliau dan disusun dalam sebuah kitab, salah satu karyanya yang fenomenal berjudul al-Jami’ al-Shahih. Kitab hadisnya ini kemudian menjadi rujukan bagi umat muslim setelah Al-Qur’an.

Biografi Imam Bukhari

Beliau memiliki nama lengkap Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Bukhari al-Ja’fi. Lebih dikenal dengan nama al-Bukhari, hal ini disandarkan pada tempat lahirnya yaitu Bukhara (kini dikenal dengan nama Uzbekistan), pada hari Jumat tepatnya tanggal 13 Syawal 194 H/ 810 M. Adapun Abu Abdillah merupakan nama kunyahnya.

Imam Bukhari merupakan putra dari seorang ulama hadis. Ayahnya terkenal dengan ketaqwaan dan sifat wara’nya. Selain itu, ayah Imam Bukhari berguru pada sejumlah ulama termasyhur, seperti Malik bin Anas, Hammad bin Zaid dan Ibn Mubarak. Namun, ayahnya wafat ketika beliau masih kecil dan meninggalkan harta yang berkecukupan. Kemudian harta tersebut digunakan oleh ibunya untuk biaya pendidikan Imam Bukhari. Sementara kakek buyutnya adalah Mughirah diislamkan oleh Yaman al-Ja’fi, seorang Gubernur Bukhara. Oleh karena itu beliau dikatakan al-Ja’fi.

Ketika kecil, Imam Bukhari sempat mengalami kebutaan akibat rasa sakit yang diderita pada matanya. Keadaan ini terus beliau hadapi hingga Allah memberikan kesembuhan pada penglihatannya atas usaha yang tekun dilakukan oleh ibunya.

Baca juga: Mengenal Sosok Usman bin Affan: Perawi Hadis yang Penuh kehati-hatian

Perjalanan Intelektual dan Seribu Guru

Perjalanan intelektual Imam Bukhari diawali sejak usia belia di daerahnya dan telah berhasil menghafalkan Al-Qur’an. Inilah salah satu faktor Imam Bukhari diilhami oleh Allah swt. kesenangan menghafal hadis-hadis Nabi sejak kecil. Beliau meraup ilmu dari ulama setempat, seperti Muhammad bin Salam al-Bikandi, Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Ja’far bin Yaman al-Ju’fi al-Musnidi serta ulama lainnya. 

Pada usia enam belas tahun, Imam Bukhari berhasil menghafal kitab karangan Imam Waki’ dan Ibnul Mubarak. Kemudian pada usia 17 tahun, beliau dipercaya oleh seorang gurunya Muhammad bin Salam al-Bikandi untuk mengoreksi karangan-karangannya. Menginjak usia 18 tahun, Imam Bukhari beserta ibu dan saudaranya melaksanakan ibadah haji, dan beliau memutuskan untuk menetap di sana melanjutkan belajar mendalami hadis Nabi.

Di usia remaja Imam Bukhari menetap di Madinah dan menyusun kitab Tarikh al-Kabir. Perjalanannya dalam mendalami hadis mempertemukannya dengan banyak ulama hadis di berbagai negara. Tidak cukup di Bukhara, Imam Bukhari berkelana ke berbagai negara, di antaranya Madinah, Khurasan, Irak, Mesir, Makkah, Asqala, dan Syam. Dari berbagai negara yang dikunjungi, beliau telah berguru kepada seribu ulama dan mengumpulkan sekitar 600.000 hadis.

Soal banyaknya guru yang beliau datangi, Imam Bukhari mengatakan sendiri, “Aku menulis (hadis) dari seribu lebih syaikh. Dari setiap syaikh itu, aku tulis sepuluh ribu riwayat bahkan lebih. Tidaklah hadis padaku kecuali aku sebutkan sanadnya (juga).”

Beberapa ulama besar yang menjadi guru beliau adalah Imam Ishaq bin Rahawaih, Imam Muhammad bin Yusuf al-Firyabi, Imam Abu Nu’aim Fadhl bin Dukain, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ali bin al-Madani, Imam Yahya bin Ma’in, Imam Makki bin Ibrahim al-Balkhi, Abdan bin Utsman, Imam Abu Ashim an-Nabil, dan Muhammad bin Isa ath-Thabba’.

Tekad dan kesungguhannya dalam mendalami hadis beliau lakukan hingga mengunjungi kota Baghdad delapan kali. Dalam setiap kedatangannya ke kota Baghdad, Imam Bukhari berjumpa dan berkumpul dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Beberapa faktor yang membuat Imam Bukhari memiliki banyaknya guru di antaranya karena ia belajar sejak usia belia dan mendatangi para ulama di berbagai negara.

Baca juga: Mengenal Seorang Panglima Hadis Syekh Nuruddin ‘Itr

Masyhur dengan Kekuatan Hafalan

Perjalanannya dalam mendalami hadis ke berbagai negara, nama Imam Bukhari terkenal di kalangan para ulama. Dalam menghafal hadis, beliau tidak hanya menghafal matannya, akan tetapi lengkap dengan sanad bahkan biografi dari pada perawi yang menukil hadis. Banyak pula  yang mengisahkan bahwa dengan kecerdasan dan daya ingat kuatnya membuat Imam Bukhari mampu menghafal suatu buku hanya dengan sekali membacanya. Kecerdasan dan kekuatan hafalannya yang tak dapat lagi diragukan, membuat banyak ulama ingin menguji kemampuannya. 

Dikisahkan suatu hari ketika Imam Bukhari berada di kota Baghdad semua orang berkumpul untuk menyaksikan kemampuan beliau dalam menghafal. Para ulama telah mempersiapkan hadis-hadis yang akan diajukan kepada Imam Bukhari tetapi dengan sanad dan matan yang sengaja diubah. Setiap orang memegang hadis untuk diajukan kepada beliau. Satu persatu pertanyaan dijawab oleh Imam Bukhari. Hingga setiap mendapati hadis yang telah diubah sanad dan matannya beliau menjawab dengan, “Aku tidak mengenalnya”.

Awalnya, semua orang meremehkan kemampuan beliau. Namun, setelah semua pertanyaan selesai, Imam Bukhari menjelaskan satu persatu hadis dan mengoreksi setiap hadis yang matan dan sanadnya telah diubah. “Hadismu yang pertama seharusnya demikian, yang kedua demikian, yang ketiga demikian.” Beliau satukan antara sanad dan matan yang sesuai. Hingga para ulama dan semua orang yang hadir berdecak kagum akan kemampuannya.

Tak hanya di Baghdad, ketika Imam Bukhari di Samarkand, beliau mengalami hal yang serupa. Sekitar empat ratus ulama hadis di sana menguji beliau dengan hadis-hadis yang sanad dan nama perawi telah dicampuradukkan. Menempatkan sanad penduduk Syam ke dalam Penduduk Irak dan menempatkan matan pada bukan sanadnya. Lalu para ulama membacakan hadis dan sanadnya. Dengan cekatan, beliau mengoreksi satu demi satu dan menempatkan hadis serta matannya degan sesuai.

Dengan kejadian tersebut tidak ada keraguan akan kekuatan hafalan dan kecerdasaannya Imam Bukhari. Tentang ini, Abu Ja’far pernah menanyakan kepada beliau, “Apakah engkau hafal seluruh riwayat yang engkau masukkan dalam kitabmu?” Imam Bukhari menjawab, “Tidak ada yang kabur dari hafalanku seluruhnya.”

Untuk mendapatkan ingatan yang kuat, Imam Bukhari berkata, “Aku tidak mengetahui sesuatu yang lebih bermanfaat (menguatkan) hafalan daripada keinginan kuat seseorang dan sering menelaah tulisan. Karena kecerdasaannnya, beliau mendapatkan beberapa gelar di antaranya; Syaikhul Islam, Imam para huffazh, dan Amirul mukminin dalam bidang hadis.

Baca juga: Apa itu Hadis Mutawatir?

Wafatnya Imam Bukhari

Pada masa akhir hidupnya, Imam Bukhari banyak mengalami kekerasan dan dipaksa oleh pemerintah untuk meninggalkan negaranya. Kemudian pada tahun 256 H, tepatnya tanggal 30 Ramadhan malam ‘Idul Fitri pada usia 62 tahun di daerah Khirtand, yaitu suatu daerah tidak jauh dari Samarkand. Wallahu a’lam.