Beranda blog Halaman 81

Hadis No. 3 Sunan At-Tirmidzi

0
Sunan At-Tirmidzi
Sunan At-Tirmidzi

قَالَ الاِمَامُ التِّرْمِذِيُّ فِيْ سُنَنِهِ فِيْ مَا جَاءَ أَنَّ مِفْتَاحَ الصَّلاَةِ الطُّهُورُ

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ وَهَنَّادٌ وَمَحْمُودُ بْنُ غَيْلاَنَ قَالُوا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ ح وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِىٍّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ عَنْ مُحَمَّدِ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ عَنْ عَلِىٍّ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا الْحَدِيثُ أَصَحُّ شَىْءٍ فِى هَذَا الْبَابِ وَأَحْسَنُ.

وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ هُوَ صَدُوقٌ وَقَدْ تَكَلَّمَ فِيهِ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ قِبَلِ حِفْظِهِ. قَالَ أَبُو عِيسَى وَسَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ إِسْمَاعِيلَ يَقُولُ كَانَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَإِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَالْحُمَيْدِىُّ يَحْتَجُّونَ بِحَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ. قَالَ مُحَمَّدٌ وَهُوَ مُقَارِبُ الْحَدِيثِ. قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِى الْبَابِ عَنْ جَابِرٍ وَأَبِى سَعِيدٍ.

Al-Imam At-Tirmidzi berkata di dalam kitab Sunan-nya pada bab kunci shalat adalah bersuci,

“Qutaibah, Hannad, dan Mahmud bin Ghailan telah menceritakan kepada kami, mereka berkata, Waki’ telah menceritakan kepada kami dari Sufyan. Ha’ (At-Tahwil).

Dan Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami (Imam At-Tirmidzi), ia berkata, Abdurrahman bin Mahdi telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Sufyan telah menceritakan kepada kami dari Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil dari Muhammad bin Al-Hanafiyyah dari Ali (k.w.) dari Nabi saw., beliau bersabda,

Kunci shalat adalah bersuci, keharamannya adalah takbir, dan kehalalannya adalah salam.” Abu Isa (Imam At-Tirmidzi) berkata, “Hadis ini adalah yang paling shahih dan paling baik dalam bab ini.”

Abdullah bin Muhammad bin Aqil adalah seorang yang jujur. Namun, sebagian ahli ilmu ada yang memperbincangkan tentang hafalannya. Abu Isa berkata, “Aku mendengar Muhammad bin Isma’il (imam Al-Bukhari) berkata, ‘Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Ibrahim dan Al-Humaidi, mereka berdalil dengan hadis Abdullah bin Muhammad bin Aqil.’ Muhammad berkata, “Masanya berdekatan.” Abu Isa berkata, “Pada bab ini, dari Jabir dan Abu Sa’id.”

Yuk Kenalan dengan Hadis Mushohhaf

0
Yuk Kenalan dengan Hadis Mushohhaf
Yuk Kenalan dengan Hadis Mushohhaf

Hadispedia.id – Merubah redaksi/kata pada hadis yang menyalahi rawi yang lebih tsiqat (terpercaya), baik secara kata atau substansi makna dalam kajian hadis dinamakan hadis mushohhaf. Asal usul kata ini mempunyai sejarah yang cukup panjang, yang intinya secara bahasa kata mushohhaf sendiri berasal dari isim maf’ul dari kata at-tashif, yang berarti kesalahan tulis yang ada pada kitab-kitab hadis.

Dalam kesalahan tulis menulis tentu saja bisa terdapat pada sanad dan matan, dengan klasifikasinya dalam beberapa aspek. Kita mulai dari letak terjadinya tashif pada sanad dan matan. Kiranya tashif pada sanad biasanya terjadi berupa berubahnya nama perawi, misalnya hadis Syu’bah yang disebut meriwayatkan dari “العوام بن مراجم” (Al-‘Awwam Al-Murajim) ditashhif oleh Ibnu Ma’in yang lebih tsiqah dengan berkata : “العوام بن مزاحم ” (Al-‘Awwam Al-Muzahim).

Pada matan juga terjadi hal yang sama, semisal riwayat Zaid bin Tsabit

احتجر في المسجد

“Nabi saw. membuat kamar di dalam masjid…” Kemudian ditashhif oleh Ibnu Lahi’ah:


احتجم في المسجد

“Nabi saw. melakukan bekam di dalam masjid…”

Kemudian jika tashif ditinjau dari segi sebab terjadinya dibagi menjadi dua.

Pertama, tashif bashar (penglihatan) yang sering ditemui dalam banyak hadis disebabkan buruknya kualitas tulisan bisa jadi khatnya buruk atau tidak adanya titik sehingga sulit untuk dibaca. Seperti hadis berikut.

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ


Kemudian, Abu Bakar Ash-Shuli mentashif sebagai berikut.

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ شيئا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Pada kedua hadis tersebut, kita bisa mengamati adanya tashif dari kata “ستا” menjadi “شيئا”

Kedua, tashif sama’(pendengaran), yakni seorang rawi tidak memiliki pendengaran yang bagus atau bisa jadi karena jauhnya jarak ketika mendengar hadis sehingga terjadilah tashif. Seperti hadis yang diriwayatkan dari “عاصم الأحول” (‘Ashim Al-Ahwal) kemudian ditashif dengan berkata : “واصل الأحدب” (Waashil Al-Ahdab).

Aspek terakhir tashif jika ditinjau dari segi lafadz dan makna. Pada tashif lafadz juga sering terjadi dalam periwayatan hadis seperti contoh sebelumnya. Sedangkan tashif makna berarti seorang mushohhif (pelaku tashif) tetap menyebut lafal aslinya akan tetapi menafsirkan hadis tersebut tidak pada konteksnya. Contohnya perkataan Abu Musa Al-‘Anazi, “Kami adalah orang-orang yang mempunyai kemuliaan, kami dari ‘Anazah, Rasulullah shalat menghadap kami.”

Sejatinya riwayat ini merujuk pada hadis.

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الى عَنَزَةٌ

Nabi saw. shalat ke arah ‘Anazah”

Mereka menganggap ‘anazah di sini adalah suku mereka. Padahal konteks pemahaman ‘Anazah yang tepat di sini adalah tombak kecil yang ditancapkan di depan orang yang shalat untuk sutrah (pembatas).

Namun yang menjadi permasalahn adalah, mengapa tashif pada hadis ini sering terjadi?

Dr. Mahmud Thahan dalam kitabnya Taysir Musthalah al-Hadis menjelaskan bahwa banyak terjadi tashif dalam hadis disebabkan banyak orang yang belajar langsung atau otodidak dari shuhuf (lembaran-lembaran) tanpa bimbingan dari guru. Di sinilah bahayanya belajar tanpa guru, tidak ada yang membenarkan ketika terjadi kesalahan dalam membaca hadis. Maka tepatlah jika ulama berkata:

مَنْ تَعَلَّمَ اْلعِلْمَ وَلَيْسَ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ شَيْطَانٌ

Barang siapa yang belajar ilmu namun tidak berguru, maka gurunya adalah setan.

Sampai tahap ini seyogyanya siapa saja yang belajar hadis harus mempunyai guru ditambah harus berhati-hati dalam memakai hadis untuk berhujjah demi menjaga keontentikan hadis.

Syaikh Manna al-Qattan menjelaskan status hukum hadis mushohhaf dalam dua hal, yaitu jika tashifnya banyak dan dapat merusak kualitas dhabtnya (kekuatan hafalannya), maka hadisnya tertolak. Namun, jika tashifnya sedikit maka masih bisa diterima, tentu dengan catatan tidak merubah substansi makna dalam suatu hadis. Begitulah tambahan Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam kitabnya al-Ba’is al-Hatsis Syarh Ikhtishar Ulum al-Hadits. Wallahu a’lam bis shawab.

Hadis Wasiat Nabi Agar Jangan Marah

0
Hadis Wasiat Nabi Agar Jangan Marah
Hadis Wasiat Nabi Agar Jangan Marah

Hadispedia.id – Pada hadis keenam belas berikut ini, imam Nawawi kembali menghadirkan etika yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Yakni menahan emosi dan tidak mudah marah.

عَنْ أبيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْصِنِيْ: قَالَ: « لَا تَغْضَبْ» فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ: «لَا تَغْضَبْ» رواه البخاري

Dari Abu Hurairah r.a. ada seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi saw., “Berilah aku nasihat.” Beliau menjawab, “Jangan marah.” Laki-laki itu mengulangi (lagi meminta nasihat kepada beliau) berkali-kali. Beliau tetap menjawab, “Jangan marah.” (H.R. Al-Bukhari)

Lagi-lagi Nabi saw. memberikan pesan yang jawami’ul kalam. Singkat, padat, jelas, dan mengandung makna yang dalam serta luas. Beliau berpesan kepada sahabatnya secara khusus dan kepada kita umatnya secara umum untuk menahan emosi dalam kondisi apapun. Bahkan saking pentingnya pesan ini, sampai beliau ulangi berkali-kali.

Marah atau emosi merupakan suatu ekspresi tidak terima atas kondisi yang sedang ia hadapi. Oleh sebab itu, maka kebalikan dari ghadhab/marah adalah ridha/rela terhadap segala sesuatu yang ia hadapi, baik maupun buruk. Sementara ridha merupakan salah satu sifat dari penduduk surga.

Allah swt. berfirman di dalam Q.S. At-Taubah ayat 100, “…Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.

Sejalan dengan ayat tersebut, Nabi saw. juga pernah bersabda, “Jangan marah, niscaya bagimu surga.” (HR. At-Thabarani) Beliau menghubungkan antara surga dengan menahan marah. Hal ini menunjukkan bahwa bagi orang yang menginginkan surga, maka hendaknya ia menghiasi dirinya di dunia dengan sifat penduduk surga. Yakni ridha dan tidak marah.

Baca juga: Hadis No. 2 Sunan At-Tirmidzi tentang Keutamaan Bersuci

Marah memang fitrah dan manusiawi yang kerap dialami oleh setiap orang. Oleh sebab itu, maka Nabi saw. memerintahkan kita untuk menahan diri dari hal itu. Kita harus memikirkan banyaknya dampak negatif yang akan kita alami baik kembali kepada diri sendiri maupun orang lain.

Salah satu dampak negatif bagi diri sendiri adalah tekanan darah naik, badan menjadi gemetar, nafas terengah-engah, dan bisa menimbulkan tindakan dan ucapan yang tidak baik. Sementara dampak negatif bagi orang lain adalah dapat menimbulkan rasa dendam, perpecahan, permusuhan, dan rasa benci satu dengan lainnya. Bahkan dapat memutus tali silaturahim. Padahal semua itu sangat dilarang di dalam agama Islam.

Dr. Mustafa Dieb dalam kitab Al-Wafi telah memberikan beberapa tips agar kita dapat mencegah atau meredam kemarahan. Di antaranya adalah sebagaimana berikut.

Pertama, melatih jiwa dengan berbagai akhlak terpuji. Seperti; melatih berikap sabar, lemah lembut, tidak tergesa-gesa dalam segala hal, dan lain sebagainya.

Kedua, mengingat-ingat dampak dari marah, keutamaan meredam amarah, dan keutamaan memaafkan orang yang berbuat salah. Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang menahan marah dan ia sebenarnya mampu untuk meluapkannya. Maka, pada hari Kiamat kelak, ia akan dipanggil Allah di hadapan semua makhluk-Nya, lalu ia disuruh memilih bidadari yang ia inginkan.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Ketiga, ta’awwudz (mengucapkan a’udzubillahi minasy syaithanir rajim). Allah swt. berfirman, “Dan jika engkau ditimpa godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-A’raf: 200)

Keempat, mengubah posisi. Imam Ahmad dan Abu Daud meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian marah dan dia berdiri, maka duduklah. Karena kemarahan akan hilang. Jika belum juga hilang maka berbaringlah.”

Kelima, menghentikan bicara. Rasulullah saw. bersabda, “Jika salah seorang di antara kamu marah, maka diamlah.” (H.R. Ahmad, Tirmidzi, dan Abu Dawud) Kemarahan dipastikan akan semakin bertambah jika ia tetap berbicara. Bahkan dapat menimbulkan perkataan yang tidak baik.

Baca juga: Hadis No. 3 Shahih Al-Bukhari tentang Permulaan Turunnya Wahyu kepada Nabi saw.

Keenam, berwudlu. Kemarahan adalah api yang membara dalam diri manusia, maka air yang dapat memadamkannya. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya amarah itu dari setan, dan setan diciptakan dari api. Jika seorang di antara kalian marah, maka berwudlulah.” (H.R. Ahmad dan Abu Dawud)

Sementara itu, Dr. Ahmad Ubaidi Hasbillah di dalam kitab Al-Fawaid Al-Mustafawiyyah menjelaskan cara paling mudah untuk meredam amarah. Yakni dengan tersenyum. Beliau merumuskan dengan dua, dua, satu (2, 2, 1).

Maksudnya adalah ketika amarah mulai melanda kita maka gerakkanlah ujung bibir ke arah sebelah kanan 2 cm dan ke arah sebelah kiri 2 cm. Lakukan hal tersebut minimal satu detik saja. Maka, satu detik itu akan merubah dunia, merubah keadaan, dan merubah segala sesuatu yang awalnya panas menjadi adem.

Demikianlah pesan singkat Nabi saw. yang memiliki dampak yang luar biasa dalam kehidupan kita. Yakni, jangan marah, jangan marah, dan jangan marah. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Hadis No. 2 Sunan At-Tirmidzi

0
Sunan At-Tirmidzi
Sunan At-Tirmidzi

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مُوسَى الأَنْصَارِىُّ حَدَّثَنَا مَعْنُ بْنُ عِيسَى الْقَزَّازُ حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ ح وَحَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ عَنْ مَالِكٍ عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِى صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا تَوَضَّأَ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ أَوِ الْمُؤْمِنُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ خَرَجَتْ مِنْ وَجْهِهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ نَظَرَ إِلَيْهَا بِعَيْنَيْهِ مَعَ الْمَاءِ أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ أَوْ نَحْوِ هَذَا وَإِذَا غَسَلَ يَدَيْهِ خَرَجَتْ مِنْ يَدَيْهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ بَطَشَتْهَا يَدَاهُ مَعَ الْمَاءِ أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ حَتَّى يَخْرُجَ نَقِيًّا مِنَ الذُّنُوبِ ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَهُوَ حَدِيثُ مَالِكٍ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ. وَأَبُو صَالِحٍ وَالِدُ سُهَيْلٍ هُوَ أَبُو صَالِحٍ السَّمَّانُ وَاسْمُهُ ذَكْوَانُ. وَأَبُو هُرَيْرَةَ اخْتُلِفَ فِى اسْمِهِ فَقَالُوا عَبْدُ شَمْسٍ وَقَالُوا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو وَهَكَذَا قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ وَهُوَ الأَصَحُّ. قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِى الْبَابِ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ وَثَوْبَانَ وَالصُّنَابِحِىِّ وَعَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ وَسَلْمَانَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو. وَالصُّنَابِحِىُّ الَّذِى رَوَى عَنْ أَبِى بَكْرٍ الصِّدِّيقِ لَيْسَ لَهُ سَمَاعٌ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَاسْمُهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عُسَيْلَةَ وَيُكْنَى أَبَا عَبْدِ اللَّهِ رَحَلَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقُبِضَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ فِى الطَّرِيقِ وَقَدْ رَوَى عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَحَادِيثَ. وَالصُّنَابِحُ بْنُ الأَعْسَرِ الأَحْمَسِىُّ صَاحِبُ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يُقَالُ لَهُ الصُّنَابِحِىُّ أَيْضًا وَإِنَّمَا حَدِيثُهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ إِنِّى مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ فَلاَ تَقْتَتِلُنَّ بَعْدِى

Al-Imam At-Tirmidzi berkata di dalam kitab Sunan-nya pada bab keutamaan bersuci,

Ishaq bin Musa Al-Anshari telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Ma’n bin ‘Isa Al-Qazzaz telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Malik bin Anas telah menceritakan kepada kami. Ha’ (At-tahwil)

Dan Qutaibah telah menceritakan kepada kami (Al-Imam At-Tirmidzi), dari Malik dari Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, Rasulullah saw. bersabda,

“Jika seorang muslim atau mukmin berwudhu’, lalu ia membasuh wajahnya, maka dosa-dosa yang pernah dilihat oleh kedua matanya akan keluar dari wajahnya bersama air atau bersama tetesan air yang terakhir atau semisalnya. Jika ia membasuh kedua tangannya, maka dosa-dosa akan keluar dari tangannya bersama air atau tetesan air yang terakhir hingga ia keluar dengan bersih tanpa dosa sedikitpun.”

Abu ‘Isa (Al-Imam At-Tirmidzi) berkata, “Ini adalah hadis hasan shahih, yaitu riwayat Malik dari Suhail dari ayahnya dari Abu Hurairah. Abu Shalih adalah ayahnya Suhail, yaitu Abu Shalih As-Samman, namanya Dzakwan.

Abu Hurairah sendiri masih diperselisihkan namanya. Mereka ada yang mengatakan Abdus Syams. Ada pula yang mengatakan Abdullah bin Amru dan seperti inilah, Muhammad bin Ismail berkata, “Inilah yang paling benar.”

Abu Isa berkata, “Dalam bab ini juga ada riwayat dari Utsman bin ‘Affan, Tsauban, Ash-Shunabihi, Umar bin Abasah, Salman, Abdullah bin ‘Amru, dan Ash-Shunabihi yang meriwayatkan dari Abu Bakr As-Shiddiq, namun ia tidak mendengar langsung dari Rasulullah saw.

Namanya adalah Abdurrahman bin ‘Usailah. Nama kunyahnya adalah Abu Abdillah. Ia melakukan perjalanan untuk menemui Nabi saw., namun saat di perjalanan, Nabi saw. sudah wafat. Ia telah meriwayatkan beberapa hadis dari Nabi saw.

Ash-Shunabih bin Al-A’sar Al-Ahmasi adalah seorang sahabat Nabi saw. Ia disebut juga Ash-Shunabihi. Hadis yang ia riwayatkan adalah, ia berkata, “Aku mendengar Nabi saw. bersabda, ‘Sesungguhnya aku akan memperbanyak umat di antara kalian, maka jangan sekali-kali kalian saling membunuh setelahku.'”

Muslim yang Baik Adalah Menjaga Lisan dan Tangannya, Berikut Hadisnya!

0
Muslim yang Baik Adalah Menjaga Lisan
Muslim yang Baik Adalah Menjaga Lisan

Hadispedia.id – Lisan dan tangan adalah dua hal yang sangat berpengaruh di zaman yang serba teknologi ini. Teknologi memudahkan semua orang berbuat semaunya dengan lisan  dan jari tangan mereka. Tanpa disadari bahwa perkataan tersebut telah menyakiti atau melukai perasaan orang lain. Maka, Islam menganjurkan untuk menjaga lisan dan tangannya.

Sosial media contohnya orang-orang dengan entengnya berkomentar tanpa memikirkan akibat dari perbuatannya. Apakah ia berkomentar yang baik atau justru buruk. Alhasil banyak yang depresi dengan komentar nitizen, bahkan tidak sedikit yang bunuh diri lantaran akibat perbuatan lisan dan tangan nitizen yang merugikan. Hal ini telah disebutkan dalam  kitab Shahih Bukhari no 11 juz 1 hal 11 bahwa seorang yang selamat dari perbuatan lisan dan tangan adalah seorang muslim yang baik.

   عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الإِسْلاَمِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ، وَيَدِهِ

Dari Abi Musa ra berkata, “Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, bagaimanakah Islam yang paling afdhal itu?” Beliau menjawab, “Seorang muslim yang menyelamatkan orang muslim lainnya dari bencana akibat perbuatan lidah dan tangannya.” (H.R. Bukhari)

Dalam kitab Syarh Shahih Bukhari telah diterangkan bahwa kata الإِسْلَام merupakan bentuk tunggal (singular), sedang kata yang berada setelah kata أَيُّ harus berbentuk jamak (plural). Ada bagian kata yang dihapus dalam hadis ini, kalimat yang sebenarnya adalah أًيُّ ذَوِيْ الإِسْلَامِ

Hal ini diperkuat dengan riwayat muslim yang  menggunakan redaksi أًيُّ الْمُسْلِمِيْنَ اَفْضَلُ (orang-orang Islam bagaimanakah yang paling afdhal). Jika kedua redaksi hadis tersebut diformulasikan, maka keutamaan seorang muslim dapat dicapai dengan melakukan salah satu sifat atau hal yang disebutkan dalam hadis tersebut. Yaitu menyelamatkan saudara muslim lainnya dari akibat perbuatan lidah dan tangan.

Baca juga: Samakah Istilah Hadis, Sunnah, Khabar, dan Atsar?

Rasulullah saw. dalam hadis tersebut mengingatkan kita bahwa seorang muslim yang baik adalah yang mampu menjaga perbuatan lisan dan tangannya. Penting untuk menjaga lisan. Sebab lisan diibaratkan pisau yang apabila salah menggunakannya akan melukai banyak orang. Mulutmu harimaumu.

Perintah untuk Menjaga Perbuatan Lisan

Dalam Al-Qur’an pun sudah disebutkan dalam Surat An-Nur: 24,

يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

“Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.”

Azab tersebut akan ditimpakan kepada mereka di hari Kiamat kelak, yaitu pada hari ketika lidah mereka bersaksi tentang perkataan batil yang mereka ucapkan, serta tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.

Di dalam hadis juga disebutkan,

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلَاثًا فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ

Dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai bagimu tiga perkara dan membenci tiga perkara; Dia menyukai kalian supaya beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, kalian berpegang teguh dengan agama-Nya dan tidak berpecah belah. Dan Allah membenci kalian dari mengatakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya, banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta.” (H.R. Muslim dan Ahmad)

Diriwayatkan juga sebuah hadis dalam kitab Shahih Muslim no. 5304,

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهَا يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

Dari Abu Hurairah Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya hamba mengucapkan kalimat tanpa diteliti yang karenanya ia terlempar ke neraka sejauh antara timur dan barat.”

Baca juga: Pembelajar Hadis Wajib Kuasai Tiga Ilmu Ini

Allah memberi manusia telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu supaya mereka lebih banyak mendengar dari pada berbicara. Seringkali orang-orang menyesali perkataan yang diucapkan di kemudian hari. Dan perkataan yang terlanjur diucapkan sulit untuk ditarik kembali. Lebih baik menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan. Wallahu a’lam.

Begini Khasiat Mengucapkan Hamdalah Menurut Hadis

0
Begini Khasiat Mengucapkan Hamdalah Menurut Hadis
Begini Khasiat Mengucapkan Hamdalah Menurut Hadis

Hadispedia.id – Islam menganjurkan untuk mengucapkan lafal alhamdulillah saat selesai melakukan sesuatu, baik itu ketika sedang mengalami nasib mujur, atau sedang tertimpa musibah sekalipun. Akan tetapi masih jarang masyarakat mengetahui apa makna dari lafadz alhamdulillah. Lalu, apa khasiat ketika kita sering melafalkannya pada setiap aktivitas kita? serta bagaimana hamdalah menurut hadis?

Secara bahasa, alhamdulillah memiliki arti segala puji bagi Allah swt. Dalam lafal alhamdulillah ini, kata al-hamd berarti pujian yang mengandung makna memuji. Dan al-hamd, diambil dari kata hamida-yahmadu-hamdan.

Sebelum membahas terkait khasiat melafalkan alhamdulillah. Tulisan ini akan menyinggung tentang kepada siapa yang pantas untuk mendapatkan pujian. Dan apakah Islam juga memberikan pengkategorian mana yang pantas untuk dipuji?

Jika diambil jawabannya dari sudut bahasa, apakah Islam memberi pengkategorikan siapa yang berhak dipuji? Jawabanya iya. Karena makna al-hamd berarti memuji sesuatu atau seseorang yang telah melakukan sifat-sifat baik berdasarkan usaha-usaha yang dilakukan. Sehingga orang tersebut layak untuk dipuji.

Baca juga: Mengenal Hadis Mudroj

Tidak hanya al-hamd yang memiliki makna memuji, namun ada juga al-madh sama-sama memiliki arti memuji, akan tetapi pengkategoriannya berbeda-beda.

Pengkategoriannya dibagi menjadi dua, yang pertama adalah ikhtiyari (berdasarkan pekerjaan baik yang dilakukan), kemudian yang kedua ghairu ikhtiyari (bukan berdasarkan usaha dan ikhtiar).

Kemudian untuk al-hamd berarti memuji sesuatu atau seseorang yang melakukan sifat-sifat baik ini masuk pada kategori ikhtiyari karena berdasarkan usaha-usaha yang dilakukan oleh orang yang dipuji sehingga dia layak dipuji. Sedangkan lafad al-madh masuk kategori ghair ikhtiyari karena bukan berdasarkan kepada usaha dan ikhtiar sendiri.

Baca juga: Adab Melangsungkan Akad Pernikahan Menurut Hadis

Contohnya kategori al-madh, memuji gunung hijau yang indah menyejukkan mata, ini contoh pujian kategori ghair ikhtiyari. Karena, gunung yang hijau dan indah bukan karena kehendaknya, atau bukan karena ikhtiarnya sendiri. Namun, sudah atas kehendak Allah swt.

Penting Mengucapkan Alhamdulillah Pada Setiap Aktivitas

Setelah kita memahami makna dari lafadz alhamdulillah. Lantas, apa khasiat dalam mengucapkan lafadz alhamdulillah?. Pertanyaan tersebut akan terjawab pada hadis dalam kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْضَى عَنْ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الْأُكْلَةَ أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا

Dari Anas bin Malik ia berkata; Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla benar-benar ridha dengan seorang hamba yang jika ia makan atau minum, kemudian memuji Allah ‘Azza wa Jalla atas nikmat tersebut.”

Pada hadis di atas, dijelaskan bahwa seringya mengucapkan lafadz hamdalah pada aktivitas kita, maka Allah swt. akan meridhainya. Baik itu aktivitas setelah makan, minum, akhirilah atau awali dengan ucapan hamdalah. Segala kenikmatan apapun yang kita peroleh, Rasulullah saw. menganjurkan untuk selalu mengucapkan hamdalah.

Baca juga: Mengenal Seorang Panglima Hadis Syekh Nuruddin ‘Itr

Selain itu, ucapan hamdalah mempunyai manfaat yaitu dapat membuat hati seseorang menjadi tenang. Ucapan hamdalah dapat menciptakan perasaan yang tenang dan melegakan bagi orang yang sering mengucapkannya.

Karena dengan mengucapkan kalimat hamdalah, hati kita akan qana’ah (menerima dengan lapang dada) atas apa yang diberikan Allah swt. kepada kita. Pikiran kita akan selalu positif dengan setiap ketentuan dan takdir yang telah Allah swt. tetapkan. Karena pikiran yang positif akan memudahkan kita dalam memperlancarkan kita dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Wallahu a’lam.

Hadis No. 1 Sunan At-Tirmidzi

0
Sunan At-Tirmidzi
Sunan At-Tirmidzi

قَالَ الاِمَامُ التِّرْمِذِيُّ فِيْ سُنَنِهِ

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ ح وَحَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ سِمَاكٍ عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
قَالَ هَنَّادٌ فِي حَدِيثِهِ إِلَّا بِطُهُورٍ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا الْحَدِيثُ أَصَحُّ شَيْءٍ فِي هَذَا الْبَابِ وَأَحْسَنُ وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ عَنْ أَبِيهِ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَأَنَسٍ وَأَبُو الْمَلِيحِ بْنُ أُسَامَةَ اسْمُهُ عَامِرٌ وَيُقَالُ زَيْدُ بْنُ أُسَامَةَ بْنِ عُمَيْرٍ الْهُذَلِيُّ

Imam At-Tirmidzi di dalam kitab Sunan-nya berkata,

Qutaibah telah menceritakan kepada kami, dia berkata, Abu ‘Awanah telah menceritakan kepada kami dari Simak bin Harb, ha’ (at-tahwil). Dan Waki’ telah menceritakan kepada kami (Imam At-Tirmidzi) dari Israil dari Simak dari Mush’ab bin Sa’d dari Ibnu ‘Umar dari Nabi saw., beliau bersabda,

“Shalat yang dilakukan tanpa bersuci itu tidak akan diterima, dan sedekah yang berasal dari harta curian/korupsi itu (juga) tidak akan diterima.”

Hannad menyebutkan dalam hadisnya (dengan redaksi) illa bi thuhur (kecuali dengan bersuci). Abu Isa (Imam At-Tirmidzi) berkata, “Hadis ini yang paling shahih dan paling baik di dalam bab ini.”

Dalam bab ini terdapat hadis riwayat dari Abu Al-Malih dari bapaknya, Abu Hurairah, dan Anas. Nama asli Abu Al-Malih bin Usamah adalah ‘Amir, disebut juga dengan Zaid bin Usamah bin ‘Umair Al-Hudzali.

Penjelasan tentang Hadis Mudhthorib

0
Penjelasan hadis mudhthorib
Penjelasan hadis mudhthorib

Hadispedia.id – Bagi para pengkaji hadis pasti akan menemukan posisi riwayat yang sama-sama kuat kualitas hadisnya, sehingga salah satu di antaranya tidak mungkin untuk dipakai berhujjah. Kasus ini secara umum dinamakan hadis mudhthorib (المضطرب). Sayyid Alawi Al-Maliki menambahkan dalam kasus ini tidak dimungkinkan untuk menjama’ (menggabungkan riwayat), menaskh (menghapus salah satu riwayat), atau mentarjih (mengunggulkan salah satu riwayat).

Secara bahasa, hadis mudhthorib berasal dari bentuk isim fa’il dari kata idhthoroba yang berarti semrawut dan tidak beraturan. Dari kedua penjelasan ini sudah pasti sulit sekali atau bahkan tidak mungkin memakai hadis tersebut karena adanya riwayat yang bertentangan namun mempunyai kualitas hadis yang sama. Dan yang perlu digaris bawahi adalah, jika kedua hadis tersebut bisa dijama’, naskh, dan tarjih makan status mudhthoribnya hilang.

Jika ditelusuri hadis mudhthorib seringkali ditemui pada sanad dan sedikit sekali kasusnya pada matan. Kita awali dengan contoh hadis mudhthorib pada sanad yaitu hadis Abu Bakar r.a:

يا رسول الله أراك شبت. قال : ((شَيَّبَتْنِيْ هُوْدٌ وَأَخْوَاتُهَا))

“Ya Rasulullah, saya lihat Anda telah beruban. Beliau menjawab, “Surat Hud dan saudarasaudaranya telah membuat saya beruban” (H.R. Tirmidzi)

Dr. Mahmud Thahhan dan Sayyid Alawi al-Maliki dalam hal ini mengutip penjelasan Imam Daruquthni bahwasannya hadis ini mudhtharib, karena hanya diriwayatkan melalui Abu Ishaq. Pada riwayat ini terjadi perselisihan yang mencapai 10 macam sisi perbedaan dalam periwayat lain.

Sebagian rawi meriwayatkannya secara mursal (terputus pada rawi sahabat), maushul (bersambung), ada yang meriwayatkan dari Musnad Abu Bakr, dari Musnad Sa’ad dan ada yang dari Musnad Aisyah. Dan seluruh perawi dalam hadis ini adalah tsiqat (terpercaya), sehingga tidak mungkin untuk mengkompromikan riwayat ini.

Adapun contoh Mudhthorib pada matan adalah hadis yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dari Syarik dari Abu Hamzah dari Sya’bi dari Fathimah binti Qais, beliau berkata :

سُئِلَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم عَنِ الزَّكَاةِ فَقَالَ إِنَّ فِى الْمَالِ لَحَقًّا سِوَى الزَّكَاة

“Nabi saw. ditanya tentang zakat, maka beliau menjawab, “Sesungguhnya pada suatu harta ada hak selain untuk zakat.”


Sementara pada riwayat Ibnu Majah melalui jalur periwayatan yang sama Rasulullah saw. bersabda,

لَيْسَ فِى الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ

“Tidak ada hak pada suatu harta, selain untuk zakat”

Dari hadis ini kita bisa melihat keduanya saling bertentangan isi subtansinya, padahal kedua hadis ini bersumber dari jalur riwayat yang sama dengan kualitas perawi yang sama. Sehingga dari keduanya tidak mungkin untuk dikompromikan.

Para ulama bersepakat bahwasannya hadis mudhtharib termasuk dalam hadis yang dhaif. Dengan adanya realita kontradiksi pada hadis yang tidak bisa dikompromikan menunjukkan adanya tidak dhabitnya para rawi. Wallahu a’lam bis shawab.

Hadis Tiga Etika Orang Beriman

0
Tiga Etika Orang Beriman
Tiga Etika Orang Beriman

Hadispedia.id – Pada hadis kelima belas dalam kitab Al-Arbain, imam Nawawi membahas hadis tiga etika orang beriman, yakni berkata yang baik, menghormati tetangga, dan menghormati tamu. 

عَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ» رواه البخاري ومسلم.

Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Pada hadis tersebut, Rasulullah saw. menyandingkan kata Allah dengan hari akhir. Bukan dengan rukun iman yang lainnya. Hal ini mengisyaratkan pada yang awal dan yang akhir. Artinya orang beriman itu percaya kepada Allah (sebagai Dzat yang Awal) yang telah menciptakannya dan mengawasi semua tindak tanduknya.

Orang tersebut juga percaya bahwa semua yang ia lakukan dan ucapkan pasti akan mendapatkan balasannya di hari akhir/kiamat. Maka, orang yang tingkat iman/kepercayaannya telah sempurna itu pasti akan melakukan tiga etika yang disebutkan Rasulullah saw. pada hadis tersebut.

Pertama, berkata yang baik atau diam. Ketika seseorang telah menginternalisasi keimanan dalam dirinya, maka ia akan berhati-hati dalam berbicara. Ia akan berpikir dahulu terhadap apa yang akan ia ucapkan. Jika mendatangkan kebaikan, barulah ia ucapkan. Sebaliknya, jika justru mendatangkan keburukan, ia menahan dan tidak mengucapkannya.

Allah swt. berfirman, “Tiada suatu ucapan yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Q.S. Qaf: 18). Ayat tersebut juga menegaskan bahwa setiap perkataan akan dihisab. Hanya ada dua kemungkinan, pahala atau siksa.

Berbicara itu wajib dilakukan ketika diperlukan, terutama untuk menjelaskan kebenaran dan amar makruf nahi mungkar. Hal ini disebabkan karena orang yang mendiamkan kebenaran pada dasarnya adalah setan yang bisu. Hanya saja, tetap harus dilakukan dengan adab atau cara yang baik. Jangan sampai menimbulkan kemungkaran/kemadharatan yang baru.

Baca juga: Hadis Terjaganya Jiwa Seorang Muslim

Pesan pertama Rasulullah saw. tersebut sangat penting sekali di era serba sosial media dan digital saat ini. Betapa tidak, banyak sekali orang yang dengan mudahnya melontarkan perkataan buruk dan menulis komentar yang tidak baik di akun sosial media milik orang lain. Ia tidak mengindahkan sama sekali perasaan milik akun sosial media itu. Mungkin ada yang niatnya baik untuk memberi saran dan kritik. Tetap saja, tentunya harus dengan cara yang baik. Jika tidak mampu, maka cukup tidak perlu berkomentar.

Kedua, berbuat baik kepada tetangga. Allah swt. di dalam Q.S. An-Nisa’: 36 pun memerintahkan kepada hamba-Nya untuk berbuat baik kepada tetangga. Saking pentingnya hal ini, sampai di dalam hadis riwayat imam Al-Bukhari dari Sayyidah Aisyah r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Jibril terus mewasiatiku perihal tetangga. Hingga saya menyangka bahwa tetangga akan menjadi ahli waris.”

Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi menjelaskan di antara cara berbuat baik kepada tetangga. 1. Membantu kebutuhannya. Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Umar r.a. berkata, “Jangan sampai seorang mukmin kenyang sedang tetangganya kelaparan.”

2. Memberikan sesuatu yang bermanfaat. Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jangan sampai kamu melarang tetanggamu memasang kayu pada dindingmu.”

3. Memberi hadiah. Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah merendahkan hadiah kepada tetangga meskipun hanya tulang yang sedikit sekali dagingnya.”

Berbuat baik dan menghormati tetangga tersebut bisa dilakukan minimal dengan berkata serta berkomunikasi yang baik dengan mereka. Sebagaimana pesan pertama dalam hadis ini.

Baca juga: Hadis tentang Meninggalkan Keragu-raguan

Ketiga, menghormati tamu. Salah satu tanda kesempurnaan iman seseorang adalah ia mau menghormati tamu yang datang ke rumah atau instansinya. Menghormati bisa dalam bentuk bersikap ramah, berbicara dengan baik, dan bersegera menyajikan jamuan dengan makanan yang ada.

Dr. Mustafa Dieb menjelaskan bahwa hendaknya orang yang bertamu tidak memberatkan dan tidak mengganggu orang yang dikunjungi. Seperti menginap lebih dari tiga hari atau menginap selama sehari dan ia tahu bahwa orang yang dikunjungi itu tidak memiliki sesuatu untuk menjamunya.

Bahkan disebutkan dalam hadis riwayat imam Muslim dari Abu Syuraih r.a., Rasulullah saw. menyebut orang tersebut berdosa. Sehingga orang yang bertamu pun harus mengetahui etika dalam bertamu.

Manusia senantiasa hidup berdampingan satu dengan lainnya. Oleh sebab itu, maka hadis ini sangat penting sekali direnungkan, diresapi, dan dijadikan pedoman sehari-hari bagi umat muslim. Sehingga, jika setiap muslim mau mengamalkan hadis ini, maka niscaya terciptalah masyarakat yang saling berkomunikasi dengan baik, saling menghormati, dan saling menyayangi. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Hadis No. 5 Shahih Al-Bukhari

0
Shahih Al-Bukhari
Shahih Al-Bukhari

حَدَّثَنَا عَبْدَانُ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا يُوْنُسُ عَنِ الزُّهْرِيِّ ح وَحَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا يُونُسُ وَمَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ نَحْوَهُ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُوْنُ فِي رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيْحِ الْمُرْسَلَةِ

Imam Al-Bukhari berkata di dalam kitab Shahih-nya,

Abdan telah menceritakan kepada kami, dia berkata, Abdullah telah mengabarkan kepada kami, dia berkata, Yunus telah mengabarkan kepada kami, dari Az-Zuhri. Ha’ (at-tahwil).

Dan Bisyr bin Muhammad telah menceritakan kepada kami, dia berkata, Abdullah telah mengabarkan kepada kami, dia berkata, Yunus dan Ma’mar telah mengabarkan kepada kami, dari Az-Zuhri seperti lainnya, dia berkata, Ubaidullah bin Abdullah telah mengabarkan kepada kami dari Ibnu Abbas, dia berkata,

“Rasulullah saw. orang yang paling dermawan, terutama pada bulan Ramadhan ketika malaikat Jibril a.s. menemuinya. Dia menemui Rasulullah saw. setiap malam di bulan Ramadhan, lalu dia mengajarkan Al-Qur’an kepada beliau. Sungguh, Rasulullah saw. adalah orang yang paling dermawan melebihi angin yang berhembus.”