Beranda blog Halaman 85

Sosok Abu Hurairah, Sahabat Nabi yang Penuh Perhatian dalam Periwayatan Hadis

0
Sosok Abu Hurairah ra, Sahabat Nabi SAW
Sosok Abu Hurairah ra, Sahabat Nabi SAW

Hadispedia.id- Abu Hurairah r.a. merupakan salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw. yang mungkin sering kita dengar namanya. Terlebih saat membaca atau mendengarkan hadis, seringkali nama Abu Hurairah disebut sebagai sahabat yang meriwayatkannya. Oleh karenanya kita perlu mengenal lebih jauh sosok Abu Hurairah dan peranannya dalam penyebaran hadis sehingga bisa kita pelajari hingga sekarang.

Mengenal Abu Hurairah r.a.

Nama Abu Hurairah merupakan julukan bagi seseorang yang bernama Abd Rahman bin Shakhr. Di sebutkan dalam kitab Tabaqat al-Kubra karya Ibnu Sa’ad bahwa nama asli Abu Hurairah  cukup beragam . Ia lahir di tahun 1598 M atau 9 tahun sebelum Hijriah. Ia berasal dari kabilah al-Dausi yang bermukim di Yaman. Ia memeluk agama Islam pada tahun 7 Hijriayah melalui Thufail bin ‘Amir ad-Dausi, salah satu pimpinan sukunya. 

Nama Abu Hurairah merupakan kunyah (julukan) karena ia menemukan seekor kucing yang kemudian ia masukkan ke dalam lengan bajunya. Perhatiannya terhadap kucing itulah yang menjadikan ia dijuluki Abu Hurairah. Penjelasan ini setidaknya bisa ditemukan dalam Tahdzib al-kamal karya Yusuf al-Mizzi.

Baca juga: Pembelajar Hadis Wajib Kuasai Tiga Ilmu Ini

Setelah ia masuk Islam, ia bergegas menemui Rasulullah saw. di Madinah berniat untuk belajar sepenuh hati. Ia tinggal bersama ahlu as-Shuffah di Masjid Nabawi sehingga tiap waktu selepas shalat, ia mendengarkan pelajaran yang berharga dari-Nya melalui Nabi Muhammad saw.

Karena ia termasuk ahlu as-Shuffah, Abu Hurairah r.a. dalam kesehariannya termasuk pribadi yang sederhana, bahkan dapat disebut fakir miskin. Namun meski demikian, ia terlihat sangat sabar dalam menghadapinya, bahkan hal itu menimbulkan sikap penyantun dan pemurah.

Peranannya dalam Penyebaran Hadis

Tekadnya yang kuat untuk belajar Islam membuat Abu Hurairah r.a. selalu menyertai Rasulullah saw. selama kurang lebih empat tahun. Waktu tesebut terbagi menjadi tiga tahun bersama Rasul dan satahun pergi untuk berdakwah ke Bahrain atas perintah Rasulullah saw.

Dalam Siyar al-a’lam al-NubalaImam adz-Dzahabi menyebutkan bahwa Abu Hurairah merupakan seorang imam, ahli fiqih, mujtahid dan salah satu pengahafal hadis. Ini senada dengan pendapat Mustafa al-A’zami dalam kitabnya yang berjudul Dirāsāt fī al-Hadīts al-Nabawī wa Tārīkh Tadwīnihi yang menyatakan demikian. 

Abu Hurairah r.a. pada awalnya nampak tidak memiliki buku-buku hadis karena ia pernah berkata bahwa tidak seorang pun yang lebih tahu tentang Hadis Nabi dari Abdullah Ibn ‘Amr, sebab ia menghafal dan menulisnya, sedang Abu Hurairah r.a. hanya menghafalnya saja. Ini diperkuat dengan ungkapan Abdullah bin ‘Amr yang mengatakan bahwa Abu Hurairah tidak menyimpan buku-buku hadis.

Baca juga: Apa Itu Ilmu Musthalah Hadis?

Namun, lebih lanjut al-‘Azami menyatakan bahwa pada masa belakangan, Abu Hurairah r.a. mempunyai kitab-kitab hadis. Ini diperkuat dengan berbagai riwayat yang membuktikan akan hal itu. Hal ini bisa disimpulkan bahwa di masa Awal Abu Hurairah r.a. cukup mengandalkan hafalannya dalam menghimpun hadis, tidak seperti Abdullah ibn ‘Amr yang tiap mendengarkan hadis selalu ia tulis. Namun Abu Hurairah r.a. baru menulis hadis pada masa belakangan kemudian disimpannya.

Orang-orang yang Menerima Hadis dari Abu Hurairah

Abu Hurairah r.a. merupakan sosok sahabat yang bisa dibilang paling banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw. Salah seorang yang pernah menulis kitab hadis dari Abu Hurairah r.a. adalah Basyir bin Nahik. Basyir mengatakan bahwa ia menulis sebuah kitab hadis dari Abu Hurairah r.a. Ketika hendak berpisah dari Abu Hurairah, ia bertanya, “Apakah saya boleh meriwayatkan isi kitab itu?”, maka Abu Hurairah r.a. membolehkannya.

Ada juga Abdul Aziz bin Hurmuz yang menulis surat kepada Tamim al-Jasyani dengan mencantumkan hadis-hadis yang diterima dari Abu Hurairah. Muhammad bin Sirrin juga memiliki kitab yang berisi hadis-hadis riwayat Abu Hurairah. Kitab tersebut diawali dengan kalimat “inilah hadis-hadis yang saya terima dari Abu Hurairah”.

Selain itu, masih banyak yang meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah ra, baik dari kalangan sahabat maupun golongan tabi’in. Di antaranya yang disebutkan oleh adz-Zahabi adalah Ibrahim bin Ismail, Aswad bin Hilal, Anas bin Hakim, Anas bin Malik, Tsabit bin ‘Iyyash, Jabir bin Abdullah dan masih banyak lagi yang meriwayatkan darinya. Wallahu A’lam.

Mengenal Sosok Usman bin Affan: Perawi Hadis yang Penuh kehati-hatian

0
Mengenal Sosok Usman bin Affan: Perawi Hadis
Mengenal Sosok Usman bin Affan: Perawi Hadis

Saat kita mempelajari sejarah Islam khususnya dalam bahasan para sahabat, maka kita pasti mengenal sosok Usman bin Affan, salah seorang sahabat terdekat Nabi saw dan menjadi khalifah ketiga sepeninggal sahabat Umar ra. Peranannya dalam pembukuan al-Quran menjadi sangat berguna hingga masa sekarang. Namun bukan hanya fokus terhadap al-Quran, Ia juga menaruh perhatian lebih terhadap hadis.

Biografi Usman bin Affan

Usman bin Affan merupakan salah seorang sahabat Rasulullah saw yang dikenal sebagai khalifah ke tiga setelah menggantikan sahabat Umar ra. Ia menjabat sebagai khalifah selama 12 tahun (644-656 M). Ia memiliki nama lengkap Usman bin Affan bin abu al-Ash bin Umaiyyah bin Abd Syams bin Abd Manaf. Ia lahir pada tahun keenam tahun gajah sehingga selisih lima tahun lebih muda dengan Nabi Muhammad. Secara garis keturunan, ia bertemu dengan nasab Rasulullah saw pada Abdu Manaf.

Usman bin Affan juga biasa dipangil Abu Abdllah dan memiliki julukan Dzunnurain (pemilik dua cahaya). Julukan ini disematkan kepadanya karena ia menikah dengan dua putri Rasulullah saw yang benama Raqayyah dan Ummu Kulthum.

Utsman terpilih menjadi khalifah ketiga berdasarkan suara mayoritas dari hasil Musyawarah tim yang anggotanya dipilih oleh sahabat Umar ra sebelum ia wafat. Akhirnya ia terpilih menjadi penerus perjauangan Umar ra dalam usia yang cukup tua yakni 70 tahun.

Namun pada masa pemerintannya, bangsa Arab mengalami perkembangan cukup pesat terlebih dalam bidang ekonomi. Hal ini sangat erat kaitannya dengan semakin luasnya wilayah yang dinaunginya. Pola masyarakat yang awalnya hidup cukup bersahaja menuju model masyarakat perkotaan.

Di masa kepemimpinannya, 12 tahun cukup lah lama. Terlebih pemerintahan Usman mulai terjadi pergolakan di tengah-tengah masa tersebut. Menjalankan pemerintahan di usia senja memanglah sulit sehingga Usman ra meminta beberapa bantuan dari keluargannya untuk menjalankan pemerintahan.Kebijakan yang diambil oleh khalifah Usman ra ini ternyata menimbulkan konflikdan perpecahan. Ditambah pengaruh keluarga yang mendominasi mengakibatkan sebagian sahabat mengalami kekecewaan.

Baca juga: Hadis Segala Perbuatan Ditentukan Niatnya

Keutamaan Sahabat Usman ra

Di kalangan suku Quraisy, ia merupakan salah seorang saudagar yang paling kaya. Di masa sebelum dan setelah datangnya Islam, ia termasuk orang kaya yang sangat pemurah dan giat dalam berderma. Bahkan Nabi Muhammad saw sangat mengagumi sifat dan sikap Usman yang pemurah, dermawan dan sederhana.

Imam as-Suyuthi menggambarkan dalam tarikh Khulafa bahwa perjuangan Usman ra dalam membela Islam bukan sekedar dengan hartanya melainkan juga segenap raga dan nyawanya. Ia sangat senang memberika hartanya demi kepentingan Islam hingga pernah mengirimkan setengah pasukan ke medan perang dengan hartanya, mebagikan 300 unta dan 50 kuda tunggangan.

Sahabat Usman termasuk ke dalam 10 orang yang dikabarkan akan masuk surga. Ia dalam menjalani kehidupan sangat lah takut akan siksa dan azab-Nya. Pada waktu perang uhud, ia berdiri bersama Rasulullah saw bersama Abu bakar dan Umar ra, secara tiba-tiba gunung tersebut bergetar

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ قَتَادَةَ، أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، حَدَّثَهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَعِدَ أُحُدًا، وَأَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ، وَعُثْمَانُ فَرَجَفَ بِهِمْ، فَقَالَ: اثْبُتْ أُحُدُ فَإِنَّمَا عَلَيْكَ نَبِيٌّ، وَصِدِّيقٌ، وَشَهِيدَانِ

“telah bercerita dari Muhammad bin Basyar, telaah bercerita dari yahya, dari Said, dari Qatadah bahwa Anas ibn Malik pernah bercerita kepada mereka bahwa Rasulullah saw saat mendaki gunung Uhud diikuti Abu bakar, Umar dan Usman, lalu gunung Uhud tersebut bergetar, maka beliau bersabda: “Tenaglah wahai Uhud, karena diatasmu sekarang ada Nabi, Asshiddiq (Abu Bakar) dan dua orang Syahid (Umar ra dan Usman ra)” (HR. Bukhari)

Dikisahkan pula dalam riwayat yang dihimpun dalam Shahih Muslim bahwa suatu ketika Rasul Saw sedang duduk bersantai di rumah Aisyah ra dalam keadaan kedua paha/betis beliau tersingkap (terbuka). Kemudian Abu Bakar dan Umar minta izin untuk masuk ke dalam ruangan. Maka Rasul mengijinkannya dan beliau masih dengan kondisi paha tersingkap.

Baca juga: Riwayat Hadis Tentang Doa Ketika Mengetahui Musibah Orang Lain

Namun saat kemudian Usman meminta izin untuk masuk, Rasul mengizinkannya dan langsung merapikan pakaiannya yang tersingkap tadi. Hal itu kemudian ditanyakan oleh aisyah hingga akhirnya Rasul saw menjawab,

أَلَا أَسْتَحِي مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِي مِنْهُ الْمَلَائِكَةُ

“tidaklah aku malu kepada orang yang malaikat saja malu kepadanya”

Perannya dalam Penyebaran Hadis

Pada masa khulafa al-Rasyidin, periwayatan hadis bisa dibilang sangat jarang. Terlebih pada masa itu sedang gencar-gencarnya dilakukan penulisan wahyu al-Quran disebabkan banyaknya para penghafal al-Quran yang gugur di medan perang.

Pada zaman ini Periwayatan hadis dikatakan sedikit karena karena penyebarannya begitu ketat dan penuh kehati-hatian. Sama halnya ketika di masa pemerintahan Khalifah Usman ra, ia juga sangat berhati-hati dan penuh ketelitian dalam menerima hadis. Ibnu Hajar menuliskan dalam Fathul Barry bahwa sahabat Usman ra pernah mengatakan dalam sebuah khutbah supaya para sahabat tidak banyak meriwayatkan hadis.

Baca juga: Posisi Hadis dalam Hukum Islam

Memang dalam beberapa literatur sejarah, era Usman bin Affan merupakan era pembukuan al-Quran secara tersturktur dan sistematis. Bahkan Usman ra cukup gencar untuk menyeragamkan mushaf-mushaf yang tersebar pada masa itu. Namun bukan berarti ia mengenyampingkan peranan hadis.

Kehati-hatiannya dalam menerima hadis serta peringatan kepada para sahabat yang lain agar tidak sembarangan dalam meriwayatkan hadis menjadi bukti kepeduliannya dalam hadis. Jika dilihat dalam kitab sahihain saja(sahih al-Bukhari dan sahih al-Muslim), maka banyak ditemukan hadis-hadis yang diriwayatkan dari shabat Usman bin Affan. Wallahu Alam.

Bagaimana Peran Ibu dalam Pembentukan Karakter Anak dalam Hadis?

0
Peran Ibu dalam Pembentukan Karakter Anak dalam Hadis
Peran Ibu dalam Pembentukan Karakter Anak dalam Hadis

Hadispedia.id- Pembentukan karakter seorang anak telah dijelaskan dalam Musnad al-Shihab al-Quda’iy. Kitab ini dikarang oleh Muhammad ibn Salamah bin Ja’far ibn Ali al-Qadiy Abu Abdullah al-Quda’iy atau terkenal dengan nama al-Quda’iy. Merupakan kumpulan dari beberapa hadis yang membahas tentang hikmah, wasiat-wasiat, tata krama, perumpamaan dan nasihat-nasihat. Salah satunya yaitu nasihat dalam pembentukan karakter anak.

Karakter seorang anak diturunkan dari orang tua. Sebagaimana pola didik yang diterapkan, akan sangat mempengaruhi karakter anak. Karakter dalam hal ini dipahami sebagai awal pembentukan kepribadian yang lebih baik. Dengan kata lain, pembentukan karakter dipengaruhi oleh pola asuh yang diterapkan dalam keluarga. Keluarga merupakan suatu unit terkecil dalam struktur masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak.

Ibu mempunyai peran penting dalam pembentukan karakter anak. Karena ibu lebih banyak menghabiskan waktu bersama anaknya. Seorang ibu yang baik akan mendidik anaknya menjadi kepribadian yang baik. Sebaliknya seorang ibu yang kurang baik akan berakibat kurang baik pula pada kepribadian seorang anak.

Baca juga: Riwayat Hadis Tentang Penyebab Hati yang Gelisah, Begini Penjelasannya!

Seperti yang terdapat dalam hadis khadra’ al-diman dalam Musnad al-Shihab al-Quda’iy No. Indeks 957: 

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِيَّاكُمْ وَخَضْرَاءَ الدِّمَنِ ، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا خَضْرَاءُ الدِّمَنِ؟ قَالَ: الْمَرْأَةُ الْحَسْنَاءُ فِي الْمَنْبَتِ السُّوءِ

Dari Abi Sa’id al-Khudriy, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, “Berhati-hatilah kamu sekalian pada khadra’ al-diman.” Maka dikatakan, “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud khadra’ al-diman?” Beliau menjawab, “Yaitu wanita yang tampak dhahirnya cantik tapi ia tumbuh dalam lingkungan keluarga yang buruk.”

Dimana perempuan senantiasa harus diwaspadai sebagai awal mula kehidupan bagi anak-anak yang akan dilahirkannya kelak. Karena perempuan cantik yang tumbuh di lingkungan buruk akan melahirkan habit yang buruk juga. Dalam hal ini ibu yang tumbuh pada lingkungan buruk akan membentuk karakter anaknya berkepribadian kurang baik.

Hadis ini jika ditinjau dari persambungan sanadnya bisa dikatakan munqathi’ atau terputus. Karena terdapat perawi kelima yaitu al-Waqidiy, seorang rawi yang matruk sehingga gugur dalam periwayatannya. Dan terdapat perawi yang tidak muttasil atau terputus periwayatannya yaitu al-Shihab al-Quda’iy dari Muhammad ibn Ahmad al-Asbahaniy dari Abu Sa’id al-Hasan ibn Ali.

Baca juga: Hadis Segala Perbuatan Ditentukan Niatnya

Selanjutnya, perawi keempat dalam hadis ini yaitu Yahya ibn Sa’id ibn Dinar, perawi kesembilan yaitu Abu ‘Ibad adz-Dzunnun dan perawi kesepuluh Abu Sa’id al-Hasan ibn Ali tergolong perawi yang majhul ain. Karena tidak ada yang men-ta’dil juga men-jarh mereka. Sehingga hadis yang diriwayatkan disebut hadis majhul. Hukum hadis majhul pada prinsipnya adalah dhaif, tidak dapat dijadikan hujjah.

Hadis yang tidak dapat dijadikan hujjah secara hukum tidak dapat diterima (mardud). Namun dhaif secara sanad belum tentu dhaif secara matan. Dalam teks matan hadis ini jika dibandingkan dengan hadis lain yang mempunyai tema sama, tidak terdapat perbedaan secara signifikan pada pelafalan hadisnya.

Tidak bertentangan dengan akal. Tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Tidak terdapat syadz dan memenuhi kriteria kesahihan matan. Sehingga matan hadis ini dapat diterima dan dapat dijadikan hujjah untuk fadla’il a’mal. Ibnu Hajar al-Asqalaniy termasuk salah satu ulama ahli hadis yang membolehkan berhujjah dengan hadis dhaif untuk fadla’il a’mal (keutamaan amal). Bukan untuk menetapkan syariat seperti halal haram dan bukan untuk menetapkan aqidah-aqidah.

Di samping itu, hadis ini diperkuat oleh Al-Qur’an dalam Surat al-Tin ayat 4. Disebutkan dalam Tafsir al-Misbah Quraish Shihab bahwa orang tua mempunyai peran penting dalam pembentukan anak-anaknya. Termasuk dalam pembentukan keadaan fisik maupun psikisnya. Zaghlul an-Najjar dalam bukunya “Pembuktian Sains dalam Sunnah” juga menyebutkan keturunan dan didikan dari orang tua merupakan dua faktor yang dominan dalam pembentukan kepribadian anak.

Baca juga: Hadis Tahapan Penciptaan Manusia dan Amalan Terakhirnya

Pernyataan tersebut dipertegas kembali dalam hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan al-Dailami

اُنْظُرْ فِي أَيِ نِصَابٍ تَضَعُ وَلَدَكَ فَاِنَّ الْعِرْقَ دَسَّاسٌ

“Perhatikan tempat menumpahkan benihmu (sperma), karena sesungguhnya karakter dan watak orang tua menurun kepada anak”.

Maka peran orang tua terutama ibu dalam mendidik anaknya sangat penting untuk pembentukan karakter seorang anak. Meskipun hadis khadra’ al-diman ini dalam jalur sanadnya dhaif tidak berarti bahwa hadis ini tidak perlu diterapkan dalam bermasyarakat. Bahkan hadis ini bisa menjadi pengetahuan buat acuan guna hati-hati dalam memilih seorang pasangan. Cantik secara dhahir bukan hal utama namun keluarga atau keturunan lebih penting. Dari keluargalah karakter dan kepribadian itu terbentuk.

Hadis tentang Penyebab Hati yang Gelisah

0
Penyebab Gelisah menurut Hadis
Penyebab Gelisah menurut Hadis

Hadispedia.id– Kegelisahan muncul karena kurangnya perhatian, dan juga ada faktor kondisi yang kurag pas di hati. Seperti yang sudah biasanya, bahwa gelisah ini bisa terjadi karena kesehatan yang tidak stabil. Namun, bagaimana Islam memandang gelisah yang berlarut-larut yang menjadikan langkah kita kurang yakin. Lebih jelasnya, apa penyebab hati yang gelisah menurut Islam?

Sesuai dengan makna dasarnya, qalb (hati) adalah sesuatu yang bolak-balik. Dia tidak berpendirian tetap, dan selalu berubah-ubah. Pagi dalam keadaan taat, sore kembali berbuat maksiat. Kemarin sudah bertaubat, hari ini kembali berdosa.  Hal ini sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya,

 عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، يَقُولُ: أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: «إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ، كَقَلْبٍ وَاحِدٍ، يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ» ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَ: اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ

 Amr bin Ash mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya kalbu Bani Adam berada di antara dua jemari dari jari jemari ar-Rahman. Dia membolak-balikkannya sebagaimana Dia kehendaki.” Kemudian Rasulullah saw. berdoa, (Allahumma mushorrifal quluub shorrif quluubanaa ‘ala tho’atik.) Ya Allah, Dzat Yang Memalingkan Hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepada-Mu!”(H.R. Muslim)

Pada hadis di atas dijelaskan bahwa hati bisa berbolak balik, dan ketika Rasulullah saw. merasakan demikian, maka beliau berdoa sesuai yang ada pada hadis tersebut.

Dan, akhirnya bukanlah hal yang aneh, jika kemudian hati menjadi gelisah. Tanda kegelisahan hati adalah hidup yang terasa hambar. Segala sesuatu dijalani dengan hampa. Makan tidak enak, tidur pun tidak nyenyak. Oleh karena itu, saatnya kita kenali, mengapa hati selalu gelisah.

Baca juga: Kitab-kitab Populer dalam Ilmu Hadis

Status Hadis Tentang Tanda Hati Selalu Gelisah

Pada kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal disebutkan riwayat sebagaimana berikut.

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا الْإِيمَانُ؟ قَالَ: «إِذَا سَرَّتْكَ حَسَنَتُكَ، وَسَاءَتْكَ سَيِّئَتُكَ فَأَنْتَ مُؤْمِنٌ» . قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَمَا الْإِثْمُ؟ قَالَ: «إِذَا حَاكَ فِي نَفْسِكَ شَيْءٌ فَدَعْهُ

Dari Abu Umamah bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah saw., Apa iman itu? Beliau bersabda, “Bila kebaikanmu menggembirakanmu dan kejelekanmu meresahkanmu berarti engkau mukmin.” Orang itu bertanya, “Wahai Rasulullah! Apa itu dosa? Beliau bersabda, “Bila sesuatu menggelisahkan hatimu, tinggalkanlah.”

Hadis di atas riwayat dari Abu Umamah al-Bahli. Status hadis dinyatakan shahih. Kemudian di takhrij pada kitab Musnad Ahmad oleh Imam Ahmad, dan juga pada kitab Mustadrak karangan al-Hakim an-Naisaburi, serta kitab Mu’jam al-Kabir karangan imam Ath-Thabrani.

Pada hadis tersebut dijelaskan, bahwa tanda dosa adalah bila sesuatu yang kita lakukan, itu menggelisahkan hati. Maka, Rasulullah saw. memerintahkan untuk meninggalan pekerjaan yang dapat menyebakan hati gelisah.

Baca juga: Cara Memilih Calon Suami atau Istri Berdasarkan Hadis Nabi

Seringkali ini terjadi pada masyarakat awam, yang mencurakan bahwa ada kegelisahan yang dia alami ketika sedang mengerjakan sesuatu, namun jika Anda atau siapapun merasa belum mengerti apa yang Anda lakukan ini salah atau benar. Maka, anda bisa berpatokan pada hati, karena yang namanya hati meski dapat dibolak-balikkan, namun tidak bisa berbohong dengan apa yang kita rasakan. Jika hati merasa gelisah, diapun tidak bisa berkata sedang gembira riang.

Dzikir Mengatasi Rasa Gelisah Karena Dosa

Selain dengan cara pada hadis di atas, yakni mengucapkan doa sesuai yang diucapkan oleh Rasulullah saw., yaitu

 اللهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ

Ya Allah, Dzat Yang Memalingkan Hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepada-Mu!

Dzikir yang dapat dibaca ketika hatimu gelisah adalah sebagaimana dalam riwayat berikut ini

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ

Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa mengucapkan ‘Subhanallah wabihamdihi (Mahasuci Allah dan segala pujian hanya untuk-Nya) sehari seratus kali, maka kesalahan-kesalahannya akan terampuni walaupun sebanyak buih di lautan.”

Pada kitab Shahih al-Jami’, dijelaskan, suatu kaum yang duduk untuk berdzikir kepada Allah swt., kemudian ia berdiri, niscaya akan dikatakan kepadanya, berdirilah, sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa-dosa kalian. Kesalahan dan kalalaian digantikan dengan kebaikan. Semoga kita salah satu yang bisa istiqamah dalam berdzikir. Wallahu a’lam.

Hadis tentang Doa Ketika Mengetahui Musibah Orang Lain

0
Hadis Tentang Doa Ketika Mengetahui Musibah Orang Lain
Hadis Tentang Doa Ketika Mengetahui Musibah Orang Lain

Hadispedia.id – Manusia tidak terlepas yang namanya musibah, Rasulullah saw. seorang kekasih mulia Allah swt. saja, juga tidak terhindar dari musibah. Apalah jika menjadi manusia biasa, seyogyanya harus semakin memantapkan hatinya bahwa banyak dosa yang ada pada dirinya. Selain itu, Rasulullah saw. juga mengajarkan pada umatnya, bahwa perlunya doa ketika mengetahui musibah orang lain. Selain mendoakan orang lain, juga agar kita terhindar dari mara bahaya dan musibah. Sebagaimana hadis pada kitab Jami’ al-Kabir karangan Imam at-Tirmidzi,

،عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ رَأَى مُبْتَلًى، فَقَالَ: الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي عَافَانِي مِمَّا ابْتَلاَكَ بِهِ، وَفَضَّلَنِي عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيلاً، لَمْ يُصِبْهُ ذَلِكَ البَلاَءُ

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa melihat orang yang tertimpa musibah kemudian mengucapkan; Al HAMDULILLAAHILLAADZII ‘AAFAANII MIMMAABTALAAKA BIHI WA FADHDHALANII ‘ALAA KATSIIRIN MIMMAN KHALAQA TAFDHIILAN (segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari musibah yang diberikan kepadamu, dan melebihkanku atas kebanyakan orang yang Dia ciptakan) maka ia tidak tertimpa musibah tersebut.” Abu Isa berkata, “Hadis ini adalah hadis hasan gharib dari jalur ini.”

Pada hadis di atas jelas, bahwa Rasulullah saw. mengutus umatnya untuk mendoakan kepada orang lain yang terkena musibah. Dengan doa yang sudah tertera di atas.

Baca juga: Pembelajar Hadis Wajib Kuasai Tiga Ilmu Ini

Status Hadis Tentang Doa Ketika Mengetahui Musibah Orang Lain

Pada hadis di atas tertera pada kitab Jami’ al-Kabir bahwa hadis tersebut memiliki status Hasan Gharib. Namun ditinjau dari sisi matan, hadis itu memiliki penguat karena adanya riwayat bi al-ma`na yang mendukung makna hadis tersebut.

Kemudian jika menurut Imam Tirmidzi mendefinisikannya sebagai hadis yang perawinya tidak ada yang dicurigai atau tidak ada yang tertuduh pembohong, tidak bertentangan dengan hadis lain, dan diriwayatkan lebih dari satu sanad. Imam at-Tirmidzi juga menulis kitab kumpulan hadis hasan atau kitab yang menjelaskan hadis hasan. Kitab tersebut yaitu kitab  Jami’ al-Tirmidzi yang lebih sering disebut dengan nama Sunan al-Tirmidzi.

Baca juga: Kitab-kitab Populer dalam Ilmu Hadis

Etika Ketika Mendoakan Musibah Orang Lain

Pada kitab Al-Adzkar karangan Imam Nawawi, menyebutkan, sebagaimana para ulama menganjurkan ketika mendoakan musibah orang lain dengan nada yang pelan. Maksudnya hanya dirinya saja yang mendengar dan tidak boleh orang yang sedang terkena musibah mendengar. Tujuannya agar tidak menyakiti atau menyinggung perasaan orang yang lagi terkena bencana tersebut.

Karena biasanya orang yang terkena musibah, pikirannya belum terkontrol dan belum bisa menetralkan pikirannya. Biasanya mereka senang jika ada dukungan orang lain di sekitarnya. Maka, ucapkan doa baik kita di dalam hati saja. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Adab Melangsungkan Akad Pernikahan Menurut Hadis

0
Adab Melangsungkan Akad Pernikahan Menurut Hadis
Adab Melangsungkan Akad Pernikahan Menurut Hadis

Hadipedia.id- Ketika sepasang mempelai akan melangsungkan akad pernikahan, sebaiknya mereka memberikan berita pernikahannya kepada seluruh keluarga, kerabat, tetangga dan teman-temannya. Budaya ini memang diatur dalam Islam. Islam menyunnahkan kita agar mengumumkan berita pernikahan kita kepada khalayak ramai dengan tujuan menghindari fitnah. Hal demikian juga merupakan adab melangsungkan akad pernikahan.

Nabi saw. bersabda, “Pemisah antara yang halal dan haram adalah kemasyhuran. Pernikahan dihalalkan oleh agama dan merayakannya dipuji dan diberkati. Berbeda dengan zina, suatu perkara yang dilarang. Jika orang lain mendengar berita hubungan seseorang yang berdasar pada zina, hal tersebut menjadi aib. Apalagi jika disiarkan secara terang-terangan, maka secara otomatis orang lain mencaci dan mencibir perbuatan tersebut.” (Tuhfatul Ahwadhi)

Ketika akan melangsungkan akad pernikahan, sebaiknya dipilih waktu yang terbaik agar akad yang dilaksanakan bertambah keberkahannya. Dalam hadis Nabi saw., yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah r.a. bahwa Nabi melangsungkan pernikahan di bulan Syawal dan memulai hubungan bersama istrinya juga di bulan Syawal. Sebagaimana hadis berikut:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : تَزَوَّجَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ شَوَّالَ وَبَنَى بِيْ فِيْ شَوَّالَ فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّيْ؟ قَالَ: وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَسْتَحِبُّ أنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِيْ شَوَّالَ

Dari Aisyah r.a. ia berkata, “Rasulullah saw. menikahiku dan mulai hubungan denganku pada bulan Syawal. Maka tidak ada di antara istri-istri Rasulullah saw. yang lebih mendapatkan keberuntungan dari padaku.” Perawi berkata, “Oleh sebab itu, Aisyah sangat senang menikahkan para wanita di bulan Syawal.” (H.R. Muslim)

Selain itu, menikah pada bulan Syawal juga menjadi pembeda bagi kaum jahiliyah yang menganggap bahwa menikah pada bulan Syawal terlarang dan dihindari. (Syarah Nawawi ala Muslim)

Baca juga: Cara Memilih Calon Suami atau Istri Berdasarkan Hadis Nabi

Mengadakan Walimatul ‘Urs

Sebagian ulama menyatakan bahwa mengadakan walimah hukumnya wajib, hal ini didasarkan pada hadis:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِهِ أَثَرُ صُفْرَةٍ فَسَأَلَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً مِنَ الأَنْصَارِ قَالَ كَمْ سُقْتَ إِلَيْهَا قَالَ زِنَةَ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاة

Dari Anas bin Malik, sesungguhnya ‘Abdurrahman bin ‘Auf menginformasikan kepada Rasulullah saw. bahwa ia menikah dengan seorang perempuan Anshar. Beliau bertanya; “Berapa mas kawin yang kau berikan untuknya?” Ia menjawab, “Perhiasan dari emas. Rasulullah saw. bersabda, “Laksanakan walimah walau hanya menyembelih satu kambing.”  (HR. Bukhari)

Kata berwalimahlah walau hanya dengan satu kambing, mengindikasikan bahwa perkara itu wajib dilakukan semampunya. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa walimah tidak wajib, karena tidak ditemukan hadis pendukung yang menyatakan bahwa walimah wajib dilaksanakan. Imam Thabrani menyatakan “Al-walimatu haq” dan dianjurkan untuk dilaksanakan. Walimah merupakan sunnah yang utama, tidak wajib dilakukan sebagaimana pendapat ulama sebelumnya. Terlepas dari kontroversi tentang hukum walimah, sebaiknya seseorang yang telah melangsungkan akad pernikahan mengadakan walimah, hal ini bertujuan untuk mendapatkan doa dan dukungan moral dari keluarga dan orang-orang dekat.  

Baca juga: Pembelajar Hadis Wajib Kuasai Tiga Ilmu Ini

Jangan melaksanakan walimah melebihi satu hari, karena dapat mengakibatkan sum’ah dan riya’. Walimah cukup dilaksanakan dalam satu hari saja. Hal ini berdasarkan pada hadis yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar bahwa Nabi bersabda, “Ketika kalian diundang dalam walimah maka wajib memenuhinya, dan walimah itu tidak mencapai tiga hari.” (H.R. Abu Daud)

 

Cara Memilih Calon Suami atau Istri Berdasarkan Hadis Nabi

0
Hadis Nabi Memilih Istri dan Suami
Hadis Nabi Memilih Istri dan Suami

Hadispedia.id- Sebelum menentukan calon suami maupun calon istri, Islam memberikan kriteria khusus bagaimana seharusnya seorang suami atau istri dipilih. Karena seringkali kita dihadapkan dengan berbagai persoalan yang sedemikian rupa. Misalnya kita dihadapkan dengan beberapa calon suami atau istri yang masing-masing memiliki kelebihan.

Satu di antaranya memiliki kelebihan harta, satu yang lainnya memiliki kelebihan rupa dan bisa juga memiliki kelebihan pada kematengan agamanya. Dari sinilah Islam memandu agar kita tidak memilih calon suami/istri yang kurang tepat untuk rumah tangga kita nantinya. Berikut adalah cara memilih calon suami atau istri berdasarkan hadis Nabi saw. riwayat imam Abu Dawud: 

 عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw., beliau bersabda, “Calon suami atau istri dinikahi karena empat hal yaitu sebab hartanya, sebab strata sosialnya, sebab kecantikannya, dan sebab kedalaman agamanya. Pilihlah calon istri atau suami yang kuat agamanya, kamu pasti beruntung. (H.R. Abu Daud)

Hadis di atas kalimat awalnya berbentuk khabar, Nabi saw. menceritakan kebiasaan yang terjadi di masyarakat. Bahwa wanita  biasanya dinikahi karena empat hal yaitu yang pertama karena ia memiliki kekayaan harta, kedua karena ia memiliki strata sosial yang tinggi di masyarakatnya, ketiga karena kecantikannya dan yang keempat karena agamanya. Nabi saw. kemudian menekankan dalam bentuk perintah, agar kita memilih calon suami atau istri yang memiliki agama yang kuat.

Jika rumah tangga tanpa didasari dengan agama yang kuat maka akan hilang barokah dan kebaikannya. Karena keduanya tidak memiliki tujuan yang pasti, tidak dapat saling menenangkan. Dapat dibayangkan, sepasang suami istri yang berjalan di tengah gelapnya malam penuh tantangan tanpa penerang cahaya, bagaimana jadinya.

Itulah mengapa Nabi saw., teladan kita memerintahkan agar memilih calon pasangan berdasarkan agamanya. Karena kesakinahan dan keberkahan hanya bisa didapatkan dengan menghadirkan agama dalam kehidupan rumah tangga. Menghadirkan Allah swt. dalam seluruh kehidupan rumah tangga. (Syarah Sunan Abi Daud, Abdul Mahasin al-‘Ibbaad)

Setelah menentukan calon pasangan kita, Nabi saw. memerintahkan agar kita juga melakukan nadhar, yaitu melihat pasangan kita, mencari tahu tentangnya dari sahabat maupun orang terdekat, memahami perilaku dan cara berpikirnya. Semata-mata agar kita menetukan sendiri pilihan kita, apakah bisa hidup bersama kita dengan saling melengkapi. Apakah mungkin bisa menjalin kerjasama bersamanya seumur hidup kita. Hal-hal semacam ini perlu diperhatikan, agar setelah menikah tidak menimbulkan kemudharatan dan kekecewaan yang merugikan satu atau kedua belah pihak.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ قَالَ : فَخَطَبْتُ جَارِيَةً فَكُنْتُ أَتَخَبَّأُ لَهَا حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا مَا دَعَانِي إِلَى نِكَاحِهَا وَتَزَوُّجِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا

Dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah saw. bersabda, “Apabila kalian melamar seseorang maka pandanglah (pahamilah) semampu kalian terhadap apa yang mendorong kalian untuk menikahinya. Jabir berkata, “Kemudian aku melamar seorang perempuan dan aku melihatnya dan hal itu mendorongku untuk menikahinya, maka saya menikahinya.” (H.R. Abu Daud).

Hadis ini memandu kita agar kita bisa menentukan pasangan kita sendiri, tanpa paksaan dari siapapun. Pasangan, kita tentukan berdasarkan pengetahuan kita terhadapnya. Agama menghendaki kemaslahatan sehingga jalan-jalan yang berimpilkasi pada kemudharatan harus dihentikan. Wallahu a’lam.

 

Apa Itu Ilmu Musthalah Hadis?

0
Apa Itu Ilmu Musthalah Hadis.?
Apa Itu Ilmu Musthalah Hadis.?

Hadispedia.id – Sebelum memulai kajian apapun, seorang pelajar dianjurkan untuk mengetahui al-mabadi al-‘asyarah atau sepuluh istilah dasar dari bidang ilmu yang akan dipelajari. Tujuannya adalah supaya ia mengerti dengan objek yang dipelajari, apa tujuan, manfaat, materi, serta siapa pencetusnya. Demikian juga ia dapat mengetahui arah pembelajaran sehingga dapat menghayati serta mengikutinya dengan sepenuh hati. Syekh Muhammad ibn Ali al-Shubban (1206 H) menyimpulkan kesepuluh istilah tersebut dalam bait syair berikut :

إن مبادئ كل فن عشرة : الحد والموضوع ثم الثمرة، ونسبة وفضله والواضع : والاسم والاستمداد حكم الشارع، مسائل والبعض بالبعض اكتفى : ومن درى الجميع حاز الشرفا.

Sesungguhnya istilah dasar setiap cabang keilmuan itu ada 10, yaitu pengertian, objek bahasan, manfaat, posisi, keutamaan, pencetus, nama, tempat pengambilan, hukum mempelajari, dan permasalahan-permasalahannya. Masing-masingnya saling melengkapi. Barangsiapa yang menguasai semuanya, niscaya dia akan memperoleh kemulian”.

Di antara istilah-istilah dasar tersebut adalah :

Pertama, ilmu ini dinamai Ilmu Musthalah Hadis. Selain itu, sebagian ahli ada juga yang menamakannya dengan Ilmu Riwayah wa Akhbar atau Ushul Hadis.

Kedua, pengertian. Mahmud Thahhan dalam karyanya, Taisir Musthalah al-Hadis mendefinisikannya sebagai berikut :

علم بأصول وقواعد يعرف بها أحوال السند والمتن من حيث القبول والرد.

Yaitu ilmu yang mengkaji tentang kaedah-kaedah terkait sanad (silsilah) dan matan (redaksi) sebuah hadis untuk menentukan apakah dia valid atau tidak”.

Ketiga, objek kajiannya adalah sanad dan matan sebuah ungkapan yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw.

Keempat, manfaatnya adalah untuk membedakan mana hadis yang berderajat shahih, hasan dan dhoif.

Kelima, hukum mempelajarinya adalah fardhu kifayah. Namun jika tidak satupun yang menguasainya, maka hukumnya menjadi fardhu ‘ain.

Keenam, pencetus pertama kali adalah al-Qadhi Abu Muhammad al-Hasan ibn Abdurrahman ibn Khallad al-Ramahurmuzi (360 H) lewat karyanya al-Muhaddits al-Fashil Bayn al-Rawi wa al-Wa’i.

Ketujuh, sumber pengambilannya adalah dari al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi yang shahih yang menjelaskan pentingnya mengonfirmasi sebuah informasi yang muncul dari siapapun.

Kedelapan, keutamaannya adalah ilmu ini mendekatkan seseorang kepada objek yang dikaji yaitu Nabi Muhammad Saw dan membuat pengkajinya menjadi mulia serta dekat dengan Allah Swt.

Kesembilan, ilmu ini mempunyai fungsi sebagai pembantu dalam memahami al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman secara umum.

Kesepuluh, sub kajiannya antara lain pengertian hadis, pembagiannya berdasarkan kualitas dan kuantitas sanadnya, metode penyampaian hadis, kaedah-kaedah jarah dan ta’dil dan lain sebagainya.

Demikianlah sepuluh istilah dasar dari Ilmu Musthalah Hadis. Semoga dengan mengetahuinya dapat menambah semangat dan spirit para pembaca dalam mempelajari hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. Allahu A’lam

Hadis tentang Rukun Islam yang Ada Lima

0
Hadis tentang Rukun Islam yang Ada Lima
Hadis tentang Rukun Islam yang Ada Lima

Hadispedia.id – Imam Nawawi di dalam kitab Al-Arbain menjelaskan hadis tentang rukun Islam yang ada lima pada pembahasan ketiga sebagaimana berikut.

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنْ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ:« بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.

Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Umar bin Al-Khattab r.a., ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda,

Islam dibangun di atas lima (pilar): (1) Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, (2) Melaksanakan shalat, (3) Menunaikan zakat, (4) Haji ke Baitullah, (5) Puasa Ramadhan.’ (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Hadis ini juga diriwayatkan oleh imam At-Tirmidzi dan imam An-Nasai di dalam kitab Sunannya dan imam Ahmad bin Hanbal di dalam kitab Musnadnya.

Imam Nawawi di dalam kitab Syarah Shahih Muslim menjelaskan tentang penyebab kata haji didahulukan dari pada puasa pada riwayat tersebut. Pada dasarnya, Ibnu Umar r.a. memiliki empat redaksi periwayatan tentang hadis ini. Riwayat pertama dan keempat mendahulukan puasa, sedangkan riwayat kedua dan ketiga mendahulukan haji. Ia meriwayatkan dua versi tersebut dalam dua waktu yang berbeda.

Namun, pada kesempatan lain, Ibnu Umar r.a. pernah menegur Yazid bin Bisyr yang meriwayatkan hadis tersebut dengan mendahulukan haji daripada puasa. Kemungkinan, Ibnu Umar r.a. lupa bahwa ia pun meriwayatkan versi seperti itu.

Sementara itu, Syekh Abu Amru bin Shalah berpendapat bahwa konsistensinya Ibnu Umar r.a. untuk mendahulukan puasa dari pada haji dan melarang untuk membaliknya menjadikan dasar bahwa kata wawu pada hadis tersebut itu menunjukkan urutan tertib. Inilah yang dijadikan patokan mayoritas ulama Syafiiyah dan ulama Nahwu. Ada pula yang menganggap wawu tersebut bukan menunjukkan urutan tertib.

Jumhur ulama mengatakan bahwa sebenarnya wawu itu menunjukkan tertib karena kewajiban puasa Ramadhan itu pada tahun 2 H. Sedangkan kewajiban haji pada tahun 6 H. dikatakan pula 9 H. Sehingga kata puasa harus didahulukan daripada haji.

Adapun periwayatan mendahulukan haji itu dianggap diriwayatkan secara makna/bil makna (periwayatan dengan lafadz yang berbeda dengan inti/makna yang sama). Atau ketika meriwayatkannya tidak mendengar larangan Ibnu Umar r.a. tentang hal itu. Syekh Abu Amru bin Shalah juga menegaskan agar tidak mendhaifkan antara satu dengan lainnya, karena keduanya itu riwayat yang shahih di dalam dua kitab shahih pula.

Sementara itu, imam Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul Bari menyebutkan bahwa penyebutan shalat, zakat, dan haji beriringan pada hadis tersebut memiliki rahasia. Yakni shalat itu amal yang bersifat badan, zakat amal yang bersifat harta, dan haji adalah amal yang menggunakan badan dan harta sekaligus.

Sedangkan puasa dijadikan rukun kelima pada hadis tersebut disebabkan karena puasa itu amal jiwa, bukan perbuatan badan. Oleh sebab itu puasa diakhirkan. Namun, jika ingin menyengaja mengurutkan sesuai tertib maka harus mendahulukan puasa daripada haji karena Ibnu Umar pun mengingkari orang yang meriwayatkan hadis dengan mendahulukan haji daripada puasa. Meskipun Ibnu Umar r.a. memiliki riwayat seperti itu pada riwayat lainnya.

Penjelasan Hadis

Sebuah bangunan tiada berarti jika tidak kuat dan kokoh. Oleh sebab itu, maka bangunan itu pasti butuh pondasi, tiang, tembok, atap, pintu, dan fentilasi udara agar nyaman dan layak untuk dijadikan hunian.

Sementara itu, bangunan yang kita tempati di dunia ini adalah Islam. Hal ini sebagaimana disampaikan di dalam hadis tersebut bahwa Rasulullah saw. mengibaratkan Islam sebagai bangunan yang terdiri dari lima pilar.

Dr. Ahmad Ubaidi Hasbillah di dalam kitab Al-Fawaid Al-Mustafawiyah menggambarkan bangunan Islam dengan sangat jelas. Dua kalimat syahadat itu ibarat pondasi bangunan Islam. Shalat lima waktu adalah tiangnya. Puasa adalah temboknya. Zakat menjadi atapnya. Haji dan umrah sebagai pintu dan jendelanya.

Apa jadinya jika kita tinggal di sebuah bangunan yang tidak memiliki pondasi? Pastinya bangunan itu akan mudah roboh karena terjangan angin dan mudah terbawa arus banjir. Oleh sebab itu, pondasi pertama banguan Islam adalah dua kalimat syahadat.

Apa jadinya jika kita tinggal di sebuah bangunan yang tidak memiliki tiang? Maka, bangunan itu tidak dapat berdiri dan tidak bisa dipasang atap. Oleh sebab itu, shalat menjadi tiangnya agama. Siapa yang mendirikan shalat, maka ia telah mendirikan agamanya. Namun, jika ia tidak mendirikan shalat, maka ia sama saja dengan tidak mendirikan agamanya.

Setelah bangunan itu memiliki pondasi dan tiang, maka bangunan itu juga membutuhkan tembok agar terhindar dari hal-hal yang membahayakan. Begitu pula dengan bangunan Islam, puasa menjadi temboknya. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi saw. bahwa puasa adalah perisai.

Bangunan itu pun membutuhkan atap agar terhindar dari hujan dan sengatan matahari. Maka, atap untuk bangunan Islam adalah zakat. Di mana zakat itu dapat menolak bencana dan menyucikan harta.

Bangunan juga membutuhkan pintu dan jendela. Maka, buatlah pintu dan jendela dengan melaksanakan haji dan umrah karena hal itu dapat menjernihkan hawa nafsu dan meleburkan kesalahan. Setelah bangunan itu kokoh, maka hendaknya diperbagus dan dihiasi dengan ibadah-ibadah sunah, shalat sunah, shadaqah, infaq, puasa sunah, dan amal-amal shalih lainnya.

Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi menjelaskan bahwa ibadah dalam Islam bukanlah sekedar bentuk kegiatan fisik. Lebih dari itu, ibadah mempunyai tujuan yang mulia. Shalat misalnya, tidak akan berguna jika orang yang melakukan shalat tidak meninggalkan perbuatan keji dan mungkar.

Puasa, tidak akan bermanfaat ketika orang yang melakukan puasa tidak meninggalkan perbuatan dusta. Haji atau zakat tidak akan diterima jika dilakukan hanya karena ingin dipuji orang lain.

Meskipun demikian, bukan berarti ketika tujuan dan buah tersebut belum tercapai, ibadah boleh ditinggalkan. Dalam kondisi seperti ini seseorang tetap berkewajiban untuk menunaikannya seikhlas mungkin dan senantiasa berusaha mewujudkan tujuan dari setiap ibadah yang dilakukan. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Pembelajar Hadis Wajib Kuasai Tiga Ilmu Ini

0
Pembelajar Hadis
Pembelajar Hadis

Hadispedia.id – Sebagaimana halnya al-Qur’an, hadis juga mempunyai rumpun keilmuan yang beragam. Seseorang tidak dibenarkan untuk berdalil dengan menggunakan hadis Nabi sebelum dia menguasai secara mendalam ragam keilmuan hadis tersebut. Hal ini adalah rasional karena juga diterapkan dalam segala rumpun keilmuan yang ada. Misalnya saja seseorang tidak dibenarkan mengambil tindakan medis terhadap orang yang sakit kecuali kalau dia mempunyai sertifikat dokter dan menguasai ilmunya. Begitu juga seseorang tidak diizinkan untuk mengajar kecuali jika dia menguasai bidang yang ia ajar dan lain sebagainya.

Almarhum Kyai Ali Mustafa Yaqub, salah seorang pakar hadis Nusantara, menjelaskan dalam salah sebuah bukunya :

وتنحصر دراسات الحديث النبوي في العصر الحاضر على ثلاثة أمور : الأول ما يتعلق بمصطلح الحديث بما في ذلك الدفاع عن الحديث ضد منكري الحديث والمستشرقين. والثاني ما يتعلق بطرق تخريج الحديث ونقد المتون والأسانيد. والثالث ما يتعلق بفهم الحديث النبوي.

Kajian hadis pada masa sekarang terbagi menjadi tiga bahasan. Pertama, berkaitan dengan dengan Ilmu Mustalah Hadis, termasuk untuk mempertahankan hadis dari serangan orang-orang yang menolak hadis dan para orientalis. Kedua, berkaitan dengan metode takhrij serta kritik matan dan sanad hadis. Ketiga, bahasan yang berkaitan dengan metode pemahaman hadis”.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa seseorang baru bisa dikatakan sebagai ahli hadis dalam konteks sekarang ketika dia menguasai tiga ilmu berikut :

Pertama, Ilmu Mustalah Hadis. Yaitu ilmu yang berisi tentang istilah-istilah dasar dalam Ilmu Hadis, seperti apa yang dimaksud dengan sanad dan matan. Apa itu hadis sahih, hasan dan dhoif. Apa saja kriteria sebuah hadis disebut sahih, hasan dan dhoif. Apa yang dimaksud dengan istilah mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi. Apa yang dimaksud dengan hadis ahad dan variannya dan lain sebagainya. Ilmu ini berfungsi untuk mempertahankan eksistensi hadis sebagai sumber kedua hukum Islam dari cengkeraman orang-orang yang tidak menyukainya.

Kedua, Ilmu Takhrij dan Dirasah Sanad. Yaitu ilmu yang berisi tatacara mengidentifikasi sebuah teks apakah benar dia berstatus sebagai hadis Nabi atau bukan. Selain itu, ilmu ini juga berfungsi untuk membuktikan tingkat kevalidan sebuah ungkapan apakah dia hadis sahih, hasan, atau dhoif dengan menganalisis segala sesuatu yang terdapat di dalam sanad-nya. Dengan menguasai ilmu ini, seseorang dapat mengatakan bahwa hadis ini bernilai sahih karena sanad-nya bersambung hingga kepada Nabi Muhammad Saw dan semua perawi (pembawa beritanya) berstatus jujur dan adil, serta hasil penelitian lainnya.

Ketiga, Ilmu Thuruq Fahm al-Hadis. Yaitu ilmu yang berisi tentang tatacara serta kaedah-kaedah khusus dalam memahami teks hadis seperti kaedah tidak semua hadis sahih langsung diamalkan, tidak semua hadis dhoif langsung ditolak, kaedah membedakan antara hadis yang mengandung syariat dan hadis yang hanya sebatas budaya lokal Arab semata dan lain sebagainya. Ilmu ini sangat penting dalam ranah pengaplikasian hadis, sehingga bagi orang yang menguasainya diharapkan dapat memahami konteks sebuah hadis dengan baik dan benar. Allahu A’lam