Beranda blog Halaman 84

Hadis Agama adalah Ketulusan

0
Agama adalah ketulusan
Agama adalah ketulusan

Hadispedia.id – Hadis ketujuh dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah, imam Nawawi menjelaskan tentang hadis agama adalah ketulusan.

عَنْ اَبِيْ رُقَيَّةَ تَمِيْمِ بْنِ أَوْسٍ الدَّارِيْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ»، قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: «لِلهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ» رَوَاه مُسْلِمٌ.

Dari Abu Ruqayyah; Tamim bin Aus Ad-Dari r.a., sesungguhnya Nabi saw. bersabda, “Agama itu ketulusan.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau bersabda, “Untuk Allah, Kitab-Nya, Utusan-Nya, para pemimpin dan kaum muslimin.” (H.R. Muslim)

Nasihat secara bahasa berarti ketulusan. Sebagaimana arti kata taubat nasuha berarti taubat yang tulus atau murni. Nasihat juga bisa berarti menghendaki kebaikan kepada orang yang diberi nasihat.

Menurut Dr. Ahmad Ubaidi Hasbillah di dalam kitab Al-Fawaid Al-Mustafawiyah nasihat pada hadis tersebut bermakna ketulusan pada sesuatu (al-ikhlas fi al-syai’). Maka, agama adalah sebuah ketulusan. Demikianlah sabda Rasulullah saw. yang jawami’ul kalim (singkat, padat, dan jelas).

Meskipun nasihat tersebut bisa juga diartikan dengan menghendaki kebaikan kepada orang yang diberi nasihat. Artinya adalah Allah swt., kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin, dan umat Islam itu memiliki kata-kata yang dapat memberikan nasihat kepada kita. Kata-kata yang mengandung nasihat itu menghendaki kita agar lebih baik dan mengindari keburukan. Namun, menurut Dr. Ahmad Ubaidi Hasbillah makna nasihat pada hadis tersebut lebih cocok dengan arti ketulusan.

Ketulusan kepada Allah swt. dapat diimplementasikan dengan bentuk iman kepada-Nya, tidak menyekutukan-Nya, tidak melanggar larangannya, melakukan hal yang diperintahkannya, dan lain sebagainya.

Baca juga: Hadis tentang Menolak Kemungkaran dan Bid’ah

Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi menjelaskan bahwa maksud kitab pada hadis tersebut adalah Al-Qur’an. Ketulusan kepada Al-Qur’an dapat diimplementasikan dengan membaca dan menghafalnya, membacanya dengan tartil dan suara yang bagus sehingga dapat masuk dan diresapi, mentadabburi kandungannya, mengajarkannya, dan memahami serta mengamalkan isinya.

Sementara itu, ketulusan kepada Rasul-Nya diimplementasikan dengan membenarkan risalahnya, membenarkan semua yang disampaikannya, mencontoh akhlaknya, dan mentaati semua perintahnya.

Ketulusan agama itu juga ditunjukkan dengan ketulusan pada para pemimpin. Yakni dengan cara menyukai kebaikan, kebenaran, dan keadilannya, bukan lantaran individunya. Ketulusan ini juga dilakukan dengan cara membantu mereka untuk senantiasa berada dalam koridor kebaikan, menaati mereka dalam kebenaran, dan mengingatkan mereka dengan cara yang baik.

Adapun ketulusan kepada umat muslim adalah dengan cara menuntun mereka kepada berbagai hal yang membawa kebaikan dunia dan akhiratnya. Bisa juga dengan cara saling mencintai dan menganggap satu dengan lainnya sebagai saudara.

Baca juga: Hadis Segala Perbuatan Ditentukan Niatnya

Jika ada orang yang melakukan amal shalih yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah, baik menurut umat muslim lainnya, tidak bertentangan dengan undang-undang, tetapi tidak didasari dengan niat yang tulus karena Allah, maka hal itu tidak sesuai dengan agama.

Begitu pula dengan jihad yang mengatas namakan agama, sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah. Namun, jika hal itu bertentangan dengan aturan undang-undang dan mendatangkan fitnah antara sesama muslim dan manusia secara umum, maka hal itu pun bukan bagian dari agama.

Demikianlah penjelasan hadis agama adalah ketulusan. Maka seorang mukmin sejati adalah yang tulus dalam beragama. Baik kepada Allah, kitab-Nya, utusan-Nya, para pemimpin, maupun sesama umat muslim lainnya.

Wa Allahu a’lam bis shawab.

Hadis tentang Perkara yang Halal, Haram, dan Syubhat

0
Halal, haram, dan syubhat
Halal, haram, dan syubhat

Hadispedia.id – Hadis keenam dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah, imam Nawawi menjelaskan hadis tentang perkara yang halal, haram, dan syubhat.

عَنْ اَبِيْ عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: «إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ، وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أَمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ، لَايَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اِسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ، كَالرَّاعِيْ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلَا وَإنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى، أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلَا وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.

Dari Abi Abdillah; An-Nu’man bin Basyir r.a., ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda,

Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas. Antara keduanya ada perkara samar yang tidak diketahui orang banyak. Orang yang menghindari perkara samar, berarti memelihara agama dan harga dirinya. Sedangkan orang yang jatuh dalam perkara samar, berarti jatuh dalam perkara haram. Seperti penggembala yang menggembala dekat daerah terlarang, tentu sangat riskan, suatu saat hewan gembalaannya pasti akan memasuki daerah terlarang itu. Ketahuilah, setiap raja memiliki daerah terlarang. Ingatlah bahwa daerah larangan Allah adalah apa yang diharamkan-Nya. Ketahuilah, di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, seluruh tubuh pun baik, dan jika ia rusak, seluruh tubuh pun rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Hadis tersebut tidak hanya diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari dan Muslim. Melainkan juga diriwayatkan oleh imam Abu Daud, imam At-Tirmidzi, imam An-Nasa’i, dan imam Ibnu Majah di dalam kitab Sunan mereka.

Hadis ini memiliki urgensi yang sangat penting dalam ajaran Islam. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh imam Ibn Daqiq dalam kitab syarahnya. Ada yang mengatakan hadis ini merupakan sepertiga dari ajaran Islam. Sedangkan menurut imam Abu Daud, hadis ini adalah salah satu dari empat hadis yang menjadi poros dari ajaran Islam. Bahkan ulama sepakat bahwa hadis ini memiliki posisi penting dan faidah yang sangat banyak. Karena mencakup penjelasan tentang perkara yang halal, haram, dan syubhat.

Hadis tersebut menegaskan kepada kita akan pentingnya belajar agar mengetahui perkara yang jelas halalnya dan haramnya. Setelah kita mengetahui kejelasan kehalalannya, maka kita diperbolehkan untuk melakukannya. Sebaliknya, jika kita mengetahui kejelasan keharamannya, maka kita harus meninggalkannya.

Namun, ketika perkara itu masih samar alias syubhat, yakni belum jelas kehalalan dan keharamannya, maka hendaknya kita tidak mendekatinya dan menghindarinya sebagai bentuk kehati-hatian.  

Diriwayatkan bahwa suatu ketika Abu Bakar makan makanan yang syubhat tanpa beliau sadari. Ketika mengetahui bahwa beliau telah makan barang syubhat, maka ia memasukkan jari tangan ke mulutnya hingga muntah. Hal ini sebagai bentuk sikap wara’ atau kehati-hatian beliau terhadap perkara syubhat.

Baca juga: Hadis tentang Rukun Islam yang Ada Lima

Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim pun meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ketika aku masuk rumah, saya mendapati kurma di atas tikarku. Aku ambil untuk makan. Akan tetapi aku membatalkannya karena khawatir kurma itu berasal dari shadaqah.”

Setiap raja memiliki tanah larangan yang tidak boleh didekati. Begitu pula Allah swt. raja seluruh alam ini memiliki larangan-larangan yang haram untuk dilakukan oleh hamba-Nya. Demikianlah Rasulullah saw. di dalam hadis tersebut memberi perumpamaan yang mudah pada hadis tersebut.

Pada tanah larangan milik raja itu terdapat pagar pembatas agar tidak dimasuki orang lain untuk menggembala kambingnya di tanah tersebut. Orang yang takut hukuman raja, pasti tidak akan mendekati pagar itu. Namun, orang yang tidak takut hukuman, maka ia akan mendekati pagar itu hingga melewati batas dan masuk ke tanah larangan. Ia pun pasti akan mendapatkan hukuman.

Sebagaimana para raja, Allah swt. pun memiliki larangan-larangan yang tidak boleh dimasuki oleh para hamba-Nya. Pagarnya adalah perkara-perkara syubhat yang juga tidak boleh didekati. Artinya pagar atau perkara syubhat pun haram untuk kita lakukan karena dapat menggiring kita untuk melakukan perkara haram. Orang yang mau meninggalkan perkara syubhat, maka ia telah menjaga agama dan kehormatan dirinya.

Baca juga: Hadis tentang Menolak Kemungkaran dan Bid’ah

Rasulullah saw. mengakhiri hadis ini dengan penjelasan tentang hati. Di mana baik buruknya seseorang itu tergantung hatinya. Karena ialah yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang baik atau yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya mengasah hati agar menjadi baik sehingga ia tidak mendorong pemiliknya untuk mendekati barang syubhat terlebih hal yang diharamkan.

Ibnu Mulqin berpendapat bahwa kebaikan hati bisa dibentuk melalui lima perkara; membaca dan mentadabburi Al-Qur’an, mengosongkan perut, shalat malam, bermunajat di penghujung malam, dan bergaul dengan orang-orang shalih.

Sementara itu, Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi menambahkan satu hal, yaitu makanan yang halal. Bahkan menurut beliau hal ini adalah intinya. Beliau mengutip sebuah ungkapan, “Makanan adalah bibit dari segala perbuatan. Jika yang masuk halal, maka yang keluar juga halal. Jika yang masuk haram, maka yang keluar juga haram. Jika yang masuk syubhat, maka yang keluar juga syubhat.”

Imam Nawawi pun memiliki tips agar hati menjadi baik, yaitu dengan membersihkan hati dari segala penyakit hati. Seperti benci, dendam, dengki, pelit, sombong, pamer, tamak, sum’ah, curang, dan lain sebagainya.

Demikianlah penjelasan hadis tentang perkara yang halal, haram, dan syubhat. Semoga kita diberikan hati yang bersih dan baik sehingga kita dapat mudah melakukan hal-hal yang diperintahkan dan meninggalkan hal-hal yang dilarang serta hal-hal yang masih samar atau syubhat. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis

0
melurushan-pemahaman-kaum-jihadis-cover

Penulis : Abdul Karim Munthe, DKK.

Tebal Halaman : 188 Halaman

Ukuran : 14,8 × 21 cm

Penerbit : eBI Publishing-alif.id

Harga : Rp 50,000.-

Ideologi Jihadi dan Khilafah beserta simbolnya makin gencar dipropagandakan oleh kaum jihadis puritan dengan cara memelintir hadis-hadis. Apa sajakah masalah atau pemelintiran hadis-hadis yang sering dikutip oleh ISIS dan sejenisnya itu? Buku ini memaparkan jawabannya. Lukman Hakim Saifuddin – Menteri Agama Republik Indonesia Banyak yang mendadak mau berjihad hanya karena membaca terjemahan sejumlah hadis. Buku ini ditulis dengan renyah dan ringan, namun isinya penuh dengan penjelasan ulama yang diakui otoritasnya dalam keilmuan Islam. Agar, tidak ada lagi yang salah paham soal jihad akibat paham yang salah. Prof. H. Nadirsyah Hosen, Ph. D. – Rais Syuriah PCI Nahdatul Ulama Australia-Selandia Baru/Dosen Law School Monash University

Link pembelian: https://shopee.co.id/Meluruskan-Pemahaman-Hadis-Kaum-Jihadis-i.216727620.7215230663

Menyingkap Khazanah Ilmi Hadis

0

Penulis : Dr. H. Saifuddin Herlambang, MA. & Saepul Anwar, MA.

Tebal Halaman : xiv + 164 hlm.

Ukuran : 14,8 × 21 cm

Penerbit : eBI Publishing Harga : Rp 50,000.-

Begitu pentingnya al-Quran dan Hadis, hingga umat Islam mengekspresikannya dengan berbagai bentuk sepanjang Quran. Kita seringkali mendengar orang mengatakan, “Mari kita kembali kepada Quran dan Hadis!”, “Mari kita kembali kepada Quran dan Sunnah!”, dan ungkapan-ungkapan lainnya. Shahih al-Bukhari, salah satu kompilasi riwayat-riwayat hadis yang dikumpulkan oleh Imam al-Bukhari, diekspresikan sangat vital oleh para ulama sehingga muncul ungkapan “Ashahhu al-kutub ba’da al-Qur’an shahih al-Bukhari” (kitab yang paling sahih setelah Quran adalah shahih Bukhari).

Link pembelian: https://shopee.co.id/Menyingkap-Khazanah-Ilmi-Hadis-i.216727620.7115230342

Ilmu Matan Hadis

0

Penulis: M. Khoirul Huda

Tebal: 220 hlm.

Ukuran: 14,8×21

Penerbit: El Bukhari Publishing

“Hadis tidak hanya penting sebagai sumber otoritas Islam kedua setelah Quran, tetapi juga mengandung pesan pesan yg harus difahami secara kontekstual. Kontekstualisasi pemaknaan hadis mengharuskan pemahaman luas mendalam tentang matan hadis. Matan hadis berpotensi berkonotasi temporal, lokal dan atau universal. Kapan sebuah hadis bermakna universal yang mengikat semanjang waktu dan tempat, kapan bersifat sementara dan tidak mengikat sepanjang masa, kapan bermakna lokal dan tidak Mengikat untuk seluruh daerah membutuhkan kajian mendalam dan ektensif tentang teks dan konteks hadis untuk dapat merekonstruksinya sampai kepada sebuah kesimpulan. Buku ini bisa menjadi salah satu rujukan untuk kepentingan tersebut.” (Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, M.A. Direktur Jenderal Direktorat Pendidikan Islam Kementerian Agama RI) “Ilmu matan hadis adalah ilmu yang utama dalam kajian hadis. Cabang-cabang ilmunya digagas oleh para Nasir al-Sunnah, seperti Al-Syafi’i (w. 204 H.). Buku ini sangat membantu pecinta sunnah untuk lebih memahami hadis-hadis Nabi SAW.” (Rifqi Muhammad Fatkhi, MA Ketua Prodi Ilmu Hadis UIN Jakarta)

Link pembelan: https://shopee.co.id/Ilmu-Matan-Hadis-i.216727620.7214001216

Imam Bukhari: Belajar Lebih dari Seribu Guru Hingga Lahirkan Karya Fenomenal

0
Imam Bukhari: Belajar Lebih dari Seribu Guru
Imam Bukhari: Belajar Lebih dari Seribu Guru

Hadispedia.id- Ketika mendengar hadis shahih sering kali disandingkan dengan sebuah nama yakni Imam Bukhari. Ya, hadis-hadis shahih banyak diriwayatkan oleh beliau dan disusun dalam sebuah kitab, salah satu karyanya yang fenomenal berjudul al-Jami’ al-Shahih. Kitab hadisnya ini kemudian menjadi rujukan bagi umat muslim setelah Al-Qur’an.

Biografi Imam Bukhari

Beliau memiliki nama lengkap Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Bukhari al-Ja’fi. Lebih dikenal dengan nama al-Bukhari, hal ini disandarkan pada tempat lahirnya yaitu Bukhara (kini dikenal dengan nama Uzbekistan), pada hari Jumat tepatnya tanggal 13 Syawal 194 H/ 810 M. Adapun Abu Abdillah merupakan nama kunyahnya.

Imam Bukhari merupakan putra dari seorang ulama hadis. Ayahnya terkenal dengan ketaqwaan dan sifat wara’nya. Selain itu, ayah Imam Bukhari berguru pada sejumlah ulama termasyhur, seperti Malik bin Anas, Hammad bin Zaid dan Ibn Mubarak. Namun, ayahnya wafat ketika beliau masih kecil dan meninggalkan harta yang berkecukupan. Kemudian harta tersebut digunakan oleh ibunya untuk biaya pendidikan Imam Bukhari. Sementara kakek buyutnya adalah Mughirah diislamkan oleh Yaman al-Ja’fi, seorang Gubernur Bukhara. Oleh karena itu beliau dikatakan al-Ja’fi.

Ketika kecil, Imam Bukhari sempat mengalami kebutaan akibat rasa sakit yang diderita pada matanya. Keadaan ini terus beliau hadapi hingga Allah memberikan kesembuhan pada penglihatannya atas usaha yang tekun dilakukan oleh ibunya.

Baca juga: Mengenal Sosok Usman bin Affan: Perawi Hadis yang Penuh kehati-hatian

Perjalanan Intelektual dan Seribu Guru

Perjalanan intelektual Imam Bukhari diawali sejak usia belia di daerahnya dan telah berhasil menghafalkan Al-Qur’an. Inilah salah satu faktor Imam Bukhari diilhami oleh Allah swt. kesenangan menghafal hadis-hadis Nabi sejak kecil. Beliau meraup ilmu dari ulama setempat, seperti Muhammad bin Salam al-Bikandi, Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Ja’far bin Yaman al-Ju’fi al-Musnidi serta ulama lainnya. 

Pada usia enam belas tahun, Imam Bukhari berhasil menghafal kitab karangan Imam Waki’ dan Ibnul Mubarak. Kemudian pada usia 17 tahun, beliau dipercaya oleh seorang gurunya Muhammad bin Salam al-Bikandi untuk mengoreksi karangan-karangannya. Menginjak usia 18 tahun, Imam Bukhari beserta ibu dan saudaranya melaksanakan ibadah haji, dan beliau memutuskan untuk menetap di sana melanjutkan belajar mendalami hadis Nabi.

Di usia remaja Imam Bukhari menetap di Madinah dan menyusun kitab Tarikh al-Kabir. Perjalanannya dalam mendalami hadis mempertemukannya dengan banyak ulama hadis di berbagai negara. Tidak cukup di Bukhara, Imam Bukhari berkelana ke berbagai negara, di antaranya Madinah, Khurasan, Irak, Mesir, Makkah, Asqala, dan Syam. Dari berbagai negara yang dikunjungi, beliau telah berguru kepada seribu ulama dan mengumpulkan sekitar 600.000 hadis.

Soal banyaknya guru yang beliau datangi, Imam Bukhari mengatakan sendiri, “Aku menulis (hadis) dari seribu lebih syaikh. Dari setiap syaikh itu, aku tulis sepuluh ribu riwayat bahkan lebih. Tidaklah hadis padaku kecuali aku sebutkan sanadnya (juga).”

Beberapa ulama besar yang menjadi guru beliau adalah Imam Ishaq bin Rahawaih, Imam Muhammad bin Yusuf al-Firyabi, Imam Abu Nu’aim Fadhl bin Dukain, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ali bin al-Madani, Imam Yahya bin Ma’in, Imam Makki bin Ibrahim al-Balkhi, Abdan bin Utsman, Imam Abu Ashim an-Nabil, dan Muhammad bin Isa ath-Thabba’.

Tekad dan kesungguhannya dalam mendalami hadis beliau lakukan hingga mengunjungi kota Baghdad delapan kali. Dalam setiap kedatangannya ke kota Baghdad, Imam Bukhari berjumpa dan berkumpul dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Beberapa faktor yang membuat Imam Bukhari memiliki banyaknya guru di antaranya karena ia belajar sejak usia belia dan mendatangi para ulama di berbagai negara.

Baca juga: Mengenal Seorang Panglima Hadis Syekh Nuruddin ‘Itr

Masyhur dengan Kekuatan Hafalan

Perjalanannya dalam mendalami hadis ke berbagai negara, nama Imam Bukhari terkenal di kalangan para ulama. Dalam menghafal hadis, beliau tidak hanya menghafal matannya, akan tetapi lengkap dengan sanad bahkan biografi dari pada perawi yang menukil hadis. Banyak pula  yang mengisahkan bahwa dengan kecerdasan dan daya ingat kuatnya membuat Imam Bukhari mampu menghafal suatu buku hanya dengan sekali membacanya. Kecerdasan dan kekuatan hafalannya yang tak dapat lagi diragukan, membuat banyak ulama ingin menguji kemampuannya. 

Dikisahkan suatu hari ketika Imam Bukhari berada di kota Baghdad semua orang berkumpul untuk menyaksikan kemampuan beliau dalam menghafal. Para ulama telah mempersiapkan hadis-hadis yang akan diajukan kepada Imam Bukhari tetapi dengan sanad dan matan yang sengaja diubah. Setiap orang memegang hadis untuk diajukan kepada beliau. Satu persatu pertanyaan dijawab oleh Imam Bukhari. Hingga setiap mendapati hadis yang telah diubah sanad dan matannya beliau menjawab dengan, “Aku tidak mengenalnya”.

Awalnya, semua orang meremehkan kemampuan beliau. Namun, setelah semua pertanyaan selesai, Imam Bukhari menjelaskan satu persatu hadis dan mengoreksi setiap hadis yang matan dan sanadnya telah diubah. “Hadismu yang pertama seharusnya demikian, yang kedua demikian, yang ketiga demikian.” Beliau satukan antara sanad dan matan yang sesuai. Hingga para ulama dan semua orang yang hadir berdecak kagum akan kemampuannya.

Tak hanya di Baghdad, ketika Imam Bukhari di Samarkand, beliau mengalami hal yang serupa. Sekitar empat ratus ulama hadis di sana menguji beliau dengan hadis-hadis yang sanad dan nama perawi telah dicampuradukkan. Menempatkan sanad penduduk Syam ke dalam Penduduk Irak dan menempatkan matan pada bukan sanadnya. Lalu para ulama membacakan hadis dan sanadnya. Dengan cekatan, beliau mengoreksi satu demi satu dan menempatkan hadis serta matannya degan sesuai.

Dengan kejadian tersebut tidak ada keraguan akan kekuatan hafalan dan kecerdasaannya Imam Bukhari. Tentang ini, Abu Ja’far pernah menanyakan kepada beliau, “Apakah engkau hafal seluruh riwayat yang engkau masukkan dalam kitabmu?” Imam Bukhari menjawab, “Tidak ada yang kabur dari hafalanku seluruhnya.”

Untuk mendapatkan ingatan yang kuat, Imam Bukhari berkata, “Aku tidak mengetahui sesuatu yang lebih bermanfaat (menguatkan) hafalan daripada keinginan kuat seseorang dan sering menelaah tulisan. Karena kecerdasaannnya, beliau mendapatkan beberapa gelar di antaranya; Syaikhul Islam, Imam para huffazh, dan Amirul mukminin dalam bidang hadis.

Baca juga: Apa itu Hadis Mutawatir?

Wafatnya Imam Bukhari

Pada masa akhir hidupnya, Imam Bukhari banyak mengalami kekerasan dan dipaksa oleh pemerintah untuk meninggalkan negaranya. Kemudian pada tahun 256 H, tepatnya tanggal 30 Ramadhan malam ‘Idul Fitri pada usia 62 tahun di daerah Khirtand, yaitu suatu daerah tidak jauh dari Samarkand. Wallahu a’lam.

Mengenal Seorang Panglima Hadis Syekh Nuruddin ‘Itr

0
Syekh Nuruddin ‘Itr
Syekh Nuruddin ‘Itr

Hadispedia.id- Syekh Nuruddin ‘Itr, begitulah akrab dikenal. Kedalaman ilmunya, ketenangannya dan kewibawaanya menjadikan beliau masyhur hingga penjuru negeri. Bukan hanya di Syira, hampir seluruh umat Rasulullah di belahan bumi lainya merasakan dalam nan luasnya ilmu yang dimiliki. Beliau layak saya sebut sebagai panglima hadis. Bagaimana tidak,  parau dan lemah karna usia yang semakin redup tak sedikitpun melahap kobar semangatnya untuk meneruskan perjuangan mendampingi umat.

Memang, tidak ada yang abadi didunia ini, tepat pada Rabu 23 September 2020 kemarin, merupakan batas perjananan hidup beliau di bumi ini, pada usianya yang ke-83 tahun al-‘allamah benar-benar memecahkan tangis duka bagi seluruh umat. kini Islam telah kehilangan salah satu panglima keilmuannya.

Mari kita mengenang kembali perjalanan beliau semasa hidup, Ulama’ hadis bernama lengkap Nuruddin Muhammad Hasan ‘Itr dengan ribuan pemikiran yang menemani dunia keilmuan Islam hingga abad ini dilahirkan di Kota kuno Aleppo, Suriah pada tahun 1937 M/ 1256 H. Marga al-Hasani dengan akidah Asy’ariyah dan bermazhab Hanafi rupanya membentuk didikan serta tradisi keagamaan yang saleh dengan keilmuan yang kuat.

Baca juga: Unsur-Unsur Dasar Sebuah Hadis

Sejak kecil, sang ayah Al-Hajj Muhammad Itr yang termasuk salah satu murid dari Asy-Syekh Al-alllamah Muhammad Najib Sirajuddin, gemar mengajak putranya untuk menghadiri  majelis-majelis pengajian para Ulama. Tentu, latar belakang keluarga yang demikian kini menjadikan beliau seorang sufi yang produktif menulis, gemar mengamalkan ilmu, dengan kepakaran disiplin ilmu hadis yang tidak diragukan lagi.

Sesuai harapan ayahnya yang mendamba seorang putra bertekad kokoh untuk berkhidmat kepada agama, di masa mudanya Syekh Nuruddin memilih menghabiskan waktunya untuk meraup ilmu dari banyak ulama’. Kecerdasan dan ketekunan yang dimiliki menjadikan  beliau lulus dengan predikat cumlaude di jenjang pendidikan menengah di Madrasah Tsanawiyah Syar’iyah al-Khasrawiyah. Kelebihan yang dimiliki menggiring beliau untuk menjejakkan studinya ke kota padang pasir, Universitas Al-Azhar Mesir yang konon menjadi tempat kiprah intelektualnya.

Gelar license pada tahun 1958 berhasil diraih selama empat tahun, gelar doktoral dari jurusan tafsir dan hadis dengan predikat cumlaude mumtaz ma’a syaraf, berhasil diraih pada tahun 1964 dan melanjutkan disertasi dengan kategori muatan isi dan metodologi yang baik sehingga tidak jarang menjadi rujukan para pengkaji metodologi ulama hadis.

Baca juga: Apa itu Hadis Mutawatir?

Guru-guru Syekh Nuruddin ‘Itr

Kecerdasan dan kesalehan pribadinya membuat kalangan masyayikh ulama-ulama besar Azhar terpukau kala itu, di antara guru-guru beliau adalah:

Syekh Abdul Wahab Al-Buhairi, Syekh Mustafa Mujahid, Syekh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid dan Syekh Abdullah Sirajuddin Al-Husaini yang sekaligus merupakan paman beliau. Di antara guru-guru beliau Syekh Abdullah Sirajuddinlah yang berpengaruh dalam membentuk kecerdasan ilmunya.

Syahdan, usai menimba ilmu di Azhar beliau menjadi dosen hadis dan tafsir di dua Fakultas sekaligus, Fakultas Syariah Universitas Damaskus dan Fakultas Sastra di Universitas Aleppo. Selain menjadi pengajar di Madinah dan Damaskus, beliau juga mengajar di sejumlah Universitas Arab dan Islam tapi  dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Tidak hanya itu, beliau juga menjadi dosen pembimbing tesis dan disertasi, karena beliau sangat teliti dan detail dalam memberikan penilaian. Di sisi lain, Syekh Nuruddin ‘Itr juga mengisi pengajian majelis di beberapa masjid.

Baca juga: Mengenal Sosok Usman bin Affan: Perawi Hadis yang Penuh kehati-hatian

Karya-karya Syekh Nuruddin ‘Itr

Syekh Nuruddin ‘Itr sudah banyak menulis karyanya lebih dari 50 kitab. Di antara kitab-kitab beliau yang paling masyhur adalah Manhaj An-Naqd fi ‘Ulum Al-Hadits, dalam ilmu Musthalah Hadis kitab ini dikenal sebagai fase sejarah baru setelah fase Syekh Islam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani.

Ada satu kitab karangan beliau yang dianggap sebagai hadiah istimewa bagi metodologi Hadis Tahlili yaitu kitab beliau yang berjudul I’Ilam Al-Anam Syarh Bulugh Al-Maram. Karya beliau identik dengan kategorisasi bab per bab serta berisikan informasi yang padat dan jelas. Kebanyakan karangan beliau dijadikan sebagai buku pegangan mata kuliah di kalangan Universitas seperti Universitas Damaskus dan Universitas Al-Azhar.

Karya-karyanya abadi meski beliau kini telah pergi. Di antara karangan beliau adalah: Syarah ‘Ilal At-Tirmidzi, Al-Imam at-Tirmidzi wa Al-Muwazanah bayna Jami’ahu wa Sholihin, I’lam Anam (Kitab penjelasan hadis-hadis dalam kitab Bulughul Maram), Al-Mughni fi Ad-Dlu’afa li Al-Imam Adz-Dzahabi, dan Manhaj An-Naqd fi ulum Al-Hadis. Wallahu a’lam.

Apa itu Hadis Mutawatir?

0
Hadis Mutawatir
Hadis Mutawatir

Hadispedia.id – Berdasarkan kuantitas (jumlah) rawi-nya, hadis dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad. Khusus pada tulisan ini, penulis hanya akan menjelaskan pengertian dari Hadis Mutawatir. Apa itu Hadis Mutawatir? Mahmud Thahhan dalam karyanya Taisir Musthalah al-Hadis mendefinisikannya sebagai berikut,

ما رواه عدد كثير تُحِيل العادة تواطؤهم على الكذب

Hadis Mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang dengan standar tidak mungkinnya mereka bersepakat dalam kebohongan”.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa sebuah hadis disebut Mutawatir ketika ia melengkapi syarat berikut.

Pertama, rawi-nya banyak. Artinya hadis ini diriwayatkan oleh banyak informan pada masing-masing tingkatan sanadnya, baik pada tingkatan sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, dan seterusnya. Para ahli hadis berbeda pendapat dalam menentukan standar banyak di sini, namun mayoritas mereka membatasinya menjadi sepuluh rawi permasing-masing tingkatan. Dalam kata lain sebuah hadis akan berstatus Mutawatir jika rawi pada tingkatan sahabatnya berjumlah sepuluh orang, Begitu juga pada tingkatan tabi’in, tabi’ tabi’in, dan seterusnya.

Kedua, ketidakmungkinan para rawi tersebut berbohong dalam menyampaikan informasinya. Ketidakmungkinan tersebut bisa dilihat dari asal, golongan dan mazhab mereka yang berbeda-beda. Mustahil secara akal mereka membuat konspirasi terkait sebuah kebohongan, padahal mereka mempunyai latar belakang yang beraneka ragam. Sehingga dengan demikian, sebuah berita yang disampaikan oleh banyak orang tapi berasal dari kelompok yang sama dan memungkinkan mereka untuk berbohong bukan tergolong sebagai Hadis Mutawatir.

Ketiga, konten hadisnya harus berisi informasi yang dapat diperoleh dengan menggunakan panca indra, karena hadis yang bersifat filosofis atau pemahaman akal tidak dapat dikategorikan sebagai Hadis Mutawatir, karena bisa saja hal itu merupakan tafsiran atau pemahaman pribadi dari para rawinya.

Demikianlah penjelasan dari apa itu Hadis Mutawatir. Hadis Mutawatir akan menghasilkan berita yang bersifat kuat (dharuri/ilmu al-yaqin) kebenarannya, karena disampaikan oleh banyak orang. Hal ini rasional karena tidak mungkin sebuah berita bohong (sebut hoax) disampaikan secara bersama-sama oleh orang-orang yang berasal dari daerah yang berbeda-beda. Hal ini tentu disesuaikan dengan konteks zaman dahulu yang belum memiliki teknologi dan media sosial yang canggih seperti sekarang. Allahu a’lam.

Unsur-Unsur Dasar Sebuah Hadis

0
unsur-unsur dasar sebuah hadis
unsur-unsur dasar sebuah hadis

Hadispedia.id – Unsur-unsur dasar sebuah hadis. Secara umum, sebuah riwayat dapat dikatakan sebagai hadis manakala ia melengkapi setidaknya lima unsur penting berikut, yaitu rawi, sanad, mukharrij, shiyaghul ada’ dan matan hadis. Rawi adalah informan yang menyampaikan hadis dari Nabi Muhammad Saw yang terdiri dari sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, dan seterusnya. Sanad adalah silsilah atau kumpulan rawi dari sahabat hingga kepada orang terakhir yang meriwayatkannya. Dan mukharrij adalah rawi terakhir yang menuliskan riwayat yang ia dapat dalam sebuah catatan/karya pribadinya.

Sementara itu shiyaghul ada’ adalah redaksi yang dipakai oleh seorang rawi dalam meriwayatkan sebuah hadis. Sedangkan matan adalah redaksi dari riwayat yang disampaikan oleh masing-masing rawi. Kelima unsur tersebut pada tahapan selanjutnya mempunyai kajian-kajian khusus yang nantinya akan mempengaruhi kualitas dari riwayat itu sendiri. Untuk memudahkan pembaca, istilah-istilah tersebut bisa dilihat pada contoh hadis riwayat Imam al-Bukhari berikut ini :

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ.

Imam al-Bukhari berkata : Telah bercerita kepada kami Musaddad, ia berkata : Telah bercerita kepada kami Yahya, dari Syu’bah, dari Qatadah, dari Anas ra, dari Nabi Muhammad Saw. Dan dari Husayn al-Mu’allim, ia berkata : Telah bercerita kepada kami Qatadah, dari Anas, dari Nabi Muhammad Saw, beliau bersabda : Tidak sempurna iman salah seorang kalian sehingga ia mencintai saudaranya sama seperti dia mencintai dirinya sendiri”.

Baca juga: Posisi Hadis dalam Hukum Islam

Nama-nama seperti Musaddad, Yahya, Syu’bah, Qatadah, Husayn al-Mu’allim, dan Anas disebut dengan rawi atau informan hadis.

Kumpulan silsilah atau rangkaian nama-nama rawi dari Musaddad hingga kepada Anas ibn Malik disebut dengan sanad. Sanad inilah nantinya yang akan menentukan kualitas dari hadis ini apakah shahih, hasan, atau dhoif.

Sedangkan Imam al-Bukhari dalam hadis ini berstatus sebagai mukharrij atau rawi terakhir yang membukukan hadis ini dalam kitab beliau sendiri yaitu Kitab Shahih al-Bukhari. Nama-nama lain yang juga berstatus sebagai mukharrij dalam dunia hadis adalah Imam Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, al-Nasa’i, Ibn Majah dan imam-imam ahli hadis lainnya.

Adapun yang masuk kategori shiyaghul ada’ dalam hadis di atas adalah lafadz-lafadz seperti haddatsana, ‘an, qala, dan lain-lain. Redaksi-redaksi ini nantinya akan mempengaruhi kualitas sebuah sanad, khususnya dalam hal apakah sanad tersebut bersambung sampai kepada Nabi atau terputus.

Baca juga: Pembelajar Hadis Wajib Kuasai Tiga Ilmu Ini!

Sementara itu yang disebut sebagai matan hadis pada hadis di atas adalah redaksi “Tidak sempurna iman salah seorang kalian sehingga ia mencintai saudaranya sama seperti dia mencintai dirinya sendiri”. Redaksi inilah yang nantinya akan diamalkan sebagai hadis Nabi, tentunya setelah menganalisa kualitas sanad-nya apakah berstatus shahih, hasan atau dhoif. Demikianlah unsur-unsur dasar sebuah hadis. Allahu A’lam

Samakah Istilah Hadis, Sunnah, Khabar, dan Atsar?

0
Hadis Sunnah Khabar dan Atsar
Hadis Sunnah Khabar dan Atsar

Hadispedia.id – Samakah istilah hadis, sunnah, khabar, dan atsar? Sebelum mengurai perbedaannya, ada baiknya penulis menjelaskan pengertian umum dari hadis. Ibn Hajar al-‘Atsqalani (852 H) dalam mukadimah Kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari menyebutkan bahwa hadis adalah :

المراد بالحديث في عرف الشرع ما يضاف إلى النبي صلى الله عليه وسلم.

Yang dimaksud dengan hadis menurut istilah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw”.

Sementara itu Mahmud Thahhan menambahkan pengertian tersebut dengan segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat. Berdasarkan pengertian ini hadis pada tataran selanjutnya dibagi menjadi hadis qauli (hadis yang berisi perkataan Nabi), hadis fi’li (hadis yang berisi perbuatan Nabi), hadis taqriri (hadis yang berisi ketetapan Nabi), dan hadis sifat (hadis yang berisi keterangan sifat-sifat Nabi).

Baca juga: Posisi Hadis dalam Hukum Islam

Sementara itu istilah sunnah, khabar dan atsar menurut mayoritas para ahli adalah sinonim dari hadis. Hanya saja sebagian yang lain ada yang membedakannya seperti yang pernah disajikan oleh Imam Jalaluddin al-Suyuthi (911 H) dalam mukadimah kitab Tadrib al-Rawinya. Di antara perbedaan itu adalah :

Pertama, sunnah adalah istilah untuk tradisi yang hidup dan dicontohkan secara turun-temurun dari Nabi, sahabat, tabi’in dan seterusnya. Biasanya sunnah dilakukan secara berulang dan tetap berdasarkan riwayat yang shahih. Sementara itu istilah hadis lebih umum karena mencakup segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi, sekalipun itu tidak menjadi tradisi atau dilakukan hanya sekali atau dua kali saja oleh Nabi Muhammad Saw. Dapat dibahasakan bahwa setiap sunnah adalah hadis dan tidak setiap hadis menjadi sunnah.

Kedua, khabar menurut sebagian ahli hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari selain Nabi, khususnya sahabat dan tabi’in. Ahli Fikih Khurasan menyebutkan secara khusus bahwa khabar adalah istilah lain untuk Hadis Marfu’. Sedangkan Mahmud Thahan mengutip sebuah pendapat dari segolongan ahli hadis bahwa khabar adalah sebuah riwayat yang berasal dari Nabi Muhammad Saw dan juga selain Nabi, seperti sahabat-sahabat beliau serta para tabi’in yang menyampaikan sesuatu terkait ajaran agama.

Baca juga: Kitab-kitab Populer dalam Ilmu Hadis

Ketiga, atsar menurut sebagian ahli hadis adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada sahabat dan tabi’in, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Ahli Fikih Khurasan mengkhususkan atsar sebagai istilah lain untuk Hadis Mauquf. Sedangkan sekelompok ahli hadis menganggapnya sama dengan Hadis Marfu’ dan Mauquf. Sedangkan Jamaluddin al-Qasimi dalam karyanya Qawaid al-Tahdits mengutip pendapat yang menyebutkan bahwa atsar secara umum adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada sahabat atau Nabi secara mutlak.

Samakah istilah hadis, sunnah, khabar, dan atsar?. Berdasarkan penjelasan di atas, tampaknya tidak ada kata sepakat dalam perbedaan keempat istilah tersebut. Masing-masingnya dipahami secara berbeda tergantung siapa yang mendefinisikannya. Namun yang pasti semuanya merujuk kepada semua riwayat terkait ajaran agama Islam yang dinisbatkan kepada otoritas keagamaan, yaitu Nabi Muhammad Saw, sahabat dan para tabi’in yang hidup setelah mereka. Allahu A’lam