Beranda blog Halaman 78

Wanita Penghuni Neraka Terbanyak, Begini Penjelasan Hadisnya!

0
Wanita
Wanita

Hadispedia.id – Sering diperbincangkan wanita penghuni neraka paling banyak. Nabi Saw bersabda demikian, mayoritas penduduk neraka adalah kaum wanita. Hadis ini telah disebut 17 kali dalam kutub al-sittah dengan kategori shahih. Hadis ini terlihat seperti merendahkan kaum wanita.

Lalu apa berarti Nabi Saw merendahkan kaum wanita? Bahkan Nabi Saw yang mengangkat derajat wanita setara dengan laki-laki. Dalam hadis dijelaskan surga di bawah telapak kaki ibu, hadis lainpun Nabi mengatakan Ummi sebanyak tiga kali. Lantas mengapa wanita menjadi penghuni neraka terbanyak? Wanita yang seperti apa?

وَرَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ قَالُوا لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بِكُفْرِهِنَّ قِيلَ يَكْفُرْنَ بِاللَّهِ قَالَ يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَيَكْفُرْنَ الْإِحْسَانَ لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

Aku melihat neraka, maka aku tidak pernah melihat pemandangan seperti yang terjadi pada hari ini. Aku melihat kebanyakan penghuninya adalah wanita.” Mereka bertanya lagi, “Kenapa wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Karena kekufuran mereka.” Para sahabat bertanya lagi, “Apakah lantaran kekafiran mereka kepada Allah?” beliau menjawab: “Mereka mengkufuri perlakuan dan kebaikan suaminya. Sekiranya kamu berbuat baik kepada salah seorang dari mereka selama setahun penuh, lalu ia melihat sesuatu yang tidak baik darimu, ia pun akan berkata, ‘Aku tidak melihat kebaikan sedikit pun darimu.'” (HR. Bukhari)

Dari hadis tersebut dijelaskan oleh Rasulullah saw. bahwa karena kekufuran wanita terhadap suami dan kebaikan-kebaikannya yang menjadikan mereka masuk neraka. Terkait sikap kufur terhadap suami, Ibn Hajar dalam kitabnya, Fathul Bari mengutip dari penjelasan al-Qadli Abu Bakar Ibn al-‘Arabi bahwa terdapat kekufuran lain selain kufur kepada Allah swt. yaitu kufur terhadap suami.

Suami dari segi hak harus dipenuhi oleh seorang istri, berada pada level kedua di bawah Allah swt. Jika seorang istri mengabaikan hak seorang suami padahal suaminya sudah memenuhi hak istri, maka berarti istri tersebut mengabaikan hak Allah. Oleh karena itu Nabi saw. mengungkapkan dengan pernyataan “kufur”, meski kufurnya tidak keluar dari Islam.

Kekufuran ini dapat berupa istri yang mengabaikan kebaikan-kebaikan suaminya hanya dengan sikap suami yang tidak sesuai kehendak istri. Padahal yang harus dilakukan oleh seorang istri adalah bersyukur terhadap apa yang diberikan suaminya. Hadis di atas merupakan peringatan keras bagi kaum wanita yang menginginkan keridlaan dan surga-Nya. Tidak selayaknya wanita mengharapkan akhirat namun mengkufuri kebaikan dan nikmat yang diberikan suami.

Hadis mengenai banyaknya wanita menjadi penghuni neraka disabdakan Nabi saat beliau sedang shalat gerhana matahari bersama para sahabatnya. Sedangkan dalam syarah Fathul Bari dijelaskan bahwa hadis mengenai wanita penghuni neraka terbanyak saat melakukan Isra’ dan Mi’raj. Hadis tersebut disampaikan Nabi sekitar 14 abad yang lalu. Kemudian, bagaimana jika dikontekskan di zaman sekarang.

Hadis tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah ‘pesan’ bagi wanita untuk selalu menjaga dirinya dari perbuatan yang menggiringnya masuk ke neraka. Hadis tersebut merupakan sebatas peringatan dini saja untuk kaum wanita agar lebih berhati-hati. Seperti halnya Nabi saw. mengatakan bahwa penghuni surga adalah orang-orang miskin. Tidak berarti bahwa Nabi saw. mengatakan orang-orang kaya banyak ke neraka, melainkan sebatas peringatan kepada orang kaya agar mereka tidak terlena dengan kekayaannya.

Dengan kata lain, maksud hadis perempuan menjadi penghuni neraka terbanyak adalah karena kekufuran perempuan terhadap kebaikan suaminya. Jadi, perlu digaris bawahi bukan pada perempuannya, tetapi pada sifat ‘kufur’ terhadap kebaikan suaminya. Berlaku juga kebalikannya. Seorang lelaki yang mempunyai sifat yang menjadikannya penyebab masuk neraka, maka ia akan masuk neraka. Walau disebut lelakinya, bukan berarti merendahkan jenis kelaminnya. Karena hadis hanya menyatakan sifatnya. Inti dari hadis yang menjadi penyebab masuk neraka adalah sifat kufur bukan jenis kelamin perempuan.

Ini Bunyi Hadis Agama Islam itu Mudah

0
Agama Islam itu Mudah
Agama Islam itu Mudah

Hadispedia.id – Ada seorang teman bertanya kepadaku, “Benarkah agama Islam itu agama yang memudahkan?” Iya, benar. Agama Islam adalah agama yang memiliki kemudahan, di mana Allah telah menghilangkan kesulitan-kesulitannya.

Sebagai contoh seorang musafir diperbolehkan men-jama’ sholatnya bahkan meng-qashar-nya. Orang yang sakit tidak mampu menggunakan air, akan membahayakan dan memberatkan jika ia menggunakan air maka diperbolehkan bertayamum. Dalam sedekahpun Allah swt. tidak menentukan harus seberapa kamu bersedekah tapi semampunya. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam kitab Shahih Bukhari no. Indeks 39 juz 1 hal 16.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ

Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw. beliau bersabda, “Sesungguhnya agama itu ringan, maka orang yang menyusahkan dirinya dalam agama ia tidak dapat melaksanakannya dengan sempurna. Oleh karena itu, kerjakan sebagaimana mestinya atau mendekati semestinya, dan bergembiralah (karena memperoleh pahala) serta beribadahlah (mohon pertolongan Allah) pada waktu pagi, petang, dan sebagian malam.”

Dalam kitab Fathul Bari dijelaskan bahwa agama Islam adalah agama yang memudahkan. Seseorang yang menyusahkan dalam agama dan tidak memerhatikan aspek kemudahannya maka ia tidak akan mampu melaksanakannya dengan sempurna. Kerjakanlah dengan baik dan benar (tidak berlebihan dan tidak menguranginya). Jika tidak dapat mengerjakannya dengan sempurna maka kerjakanlah yang mendekati kesempurnaan.

Hadis ini jika dilihat dari segi sanad mempunyai status shahih karena tidak ada syad dan illat dari para perawinya. Abu Hurairah seorang sahabat, Sa’id bin Abi Sa’id seorang yang tsiqah, Ma’ni bin Muhammad seorang yang maqbul, Umar bin Ali seorang yang tsiqah.

Sedangkan jika dilihat dari segi matan, hadis ini tidak bertentangan dengan akal dan diperkuat dalam Surat al-Hajj (22): 78

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى ٱلدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ مِّلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَٰهِيمَ

“Dia sekali-kali tidak menjadikan untukmu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orangtuamu Ibrahim.”

Hadis ini juga disebutkan dalam kitab Sunan Al-Kubra dan Sunan An-Nasa’i dengan rawi pertama Abu Hurairah. Maka dapat disimpulkan bahwa status hadis ini adalah shahih.

Allah tidak memberikan kesulitan untuk hambanya dalam beragama. Memberikan rukhsah (keringanan atau dispensasi) jika tidak mampu mengerjakannya sebagaimana mestinya. Seperti yang dijelaskan Imam Bukhari dalam hadis ini melakukan perbuatan (amalan-amalan) tidak berlebihan, akan tetapi sebaiknya melakukan secara bertahap dan perlahan sehingga dapat melaksanakannya secara terus menerus.

Biografi Imam An-Nasa’i, Penyusun Kitab Sunan An-Nasa’i

0
Imam An-Nasa'i
Imam An-Nasa'i

Hadispedia.id – Kitab Shahih Al-Bukhari maupun Shahih Muslim merupakan kitab hadis yang tak diragukan lagi ketelitiannya. Namun, tak hanya kedua kitab tersebut, pada al-kutub al-Sittah atau kompilasi enam kitab hadis kanonik, ada kitab lainnya dari kedua kitab tersebut yang memiliki ketelitian yang tinggi. Kita mengenalnya dengan nama Kitab Sunan An-Nasa’i yang memiliki hadis dhaif paling sedikit. Hal tersebut dikarenakan ketelitian penulisnya dalam mengaudit hadis.

Beliau adalah Imam An-Nasa’i memiliki nama lengkap Abu Abdirrahman, Ahmad bin Syuaib bin Ali bin Bahar bin Sinan bin Dinar Abu Abdurrahman al-Khurasani An-Nasa’i Al-Qadhi Al-Hafizh. Salah satu ulama hadis pada masa dinasti Abbasiyah yang lahir di desa Nasa’i, Khurasan pada tahun 215 H.

Khurasan memang menjadi tempat lahirnya, tetapi selanjutnya Imam An-Nasa’i memilih Makkah sebagai tempat untuk menyebar luaskan ilmu yang telah didapat selama pengembaraannya. Setelah lama menghabiskan waktu di Makkah, beliau berpindah ke Syiria, sebuah wilayah yang mayoritas penduduknya mendukung kaum Muawiyah secara fanatik.

Baca juga: Imam Al-Bukhari, Belajar Lebih dari Seribu Guru Hingga Lahirkan Karya Fenomenal

Integritas yang tinggi melekat kuat dalam kepribadian Imam An-Nasa’i. Beliau merupakan sosok ulama yang teliti baik dalam sikap maupun perbuatan, juga seorang yang teguh pendirian. Beliau menyampaikan apa saja yang menjadi pendapatnya dengan tegas dan lugas. Bahkan, akibat salah satu pendapatnya tentang Muawiyah, beliau harus menerima penindasan dari pengikut fanatik Muawiyah.

Berawal dari salah satu karyanya yang berjudul Al-Khasais Ali bin Abi Thalib berkisah tentang keutamaan dan kelebihan Ali bin Abi Thalib. Imam An-Nasa’i menerima tuduhan sebagai bagian dari Syi’ah. Tidak hanya karena karyanya tersebut, tuduhan itu diberikan kepada penyusun kitab Sunan An-Nasa’I ini karena pendapatnya yang dianggap menghina Muawiyah.

Kala itu, penduduk Syiria bertanya pendapat Imam An-Nasa’i tentang keutamaan Muawiyah. Kemudian Imam An-Nasa’i menjawab, “Aku tidak mengetahui adanya hadis yang menyebutkan keutamaan Muawiyah”. Namun, apabila ditelusuri latar belakang penulisan kitab Al-Khasais Ali bin Abi Thalib itu merupakan bentuk sikap netralnya Imam An-Nasa’i untuk menghadapi stigma yang terbentuk di penduduk Syiria terhadap Ali. Tujuannya, agar tidak ada lagi yang membenci Ali bin Abi Thalib.

Penindasan tersebut mengantarkan Imam An-Nasa’i pada peristirahatan terakhir. Imam An-Nasa’i wafat pada tahun 303 H tepatnya pada hari Senin di Bulan Safar. Adanya perbedaan pendapat di antara para ulama tentang di mana beliau meninggal dan dimakamkan. Al-Daruِquthni berpendapat bahwa Imam An-Nasa’i meninggal di Makkah dan dimakamkan di antara Shafa dan Marwah. Berbeda dengan Adz-Dzahabi yang menolak pendapat tersebut. Menurutnya, Imam An-Nasa’i meninggal di Ramlah, suatu daerah yang berada di Palestina kemudian dimakamkan di Baitul Maqdis. Pendapat ini didukung oleh Ibn Yunus, Abu Ja’far al-Thahawi (salah satu murid Imam an-Nasa’i) dan Abu Bakar ِِِِِAn-Naqatah.

Perjalanan Intelektual

Ketelitian serta kecerdasan Imam ِAn-Nasa’i khususnya dalam ilmu hadis terbentuk sejak dini. Beliau menghabiskan masa kecilnya dengan menghafal Al-Qur’an, memperdalam Bahasa Arab, menghafal hadis, serta proses belajar lainnya yang cukup panjang. Seperti ulama hadis lainnya, Imam An-Nasa’i juga mendatangi berbagai negara untuk memperluas keilmuannya.

Dalam perjalanannya memperluas ilmu, Imam An-Nasa’i bertemu dengan banyak ulama yang kemudian menjadi gurunya. Di antara guru ilmu hadisnya yaitu, Ishaq bin Rahawaih, Hisyam bin ‘Ammar, Muhamad bin Nadhr bin Masawir, al-Harits bin Miskin, Ishaq bin Syahin, al-Bazzar, Imam Abu Daud, Imam at-Tirmidzi, dan masih banyak guru-guru lainnya.

Tidak hanya memiliki banyak guru, Imam An-Nasa’i pun memiliki banyak murid yang menjadi tempat lain dalam mewariskan ilmu. Beberapa di antaranya, Abu Al-Qasim Al-Thabrani seorang pengarang dari tiga kitab Mu’jam, Abu Nashr Al-Dalaby, Al-Hasan bin Al-Khadir Al-Suyuti, Muhammad bin Musa al-Ma’muni serta para murid-murid lainnya.

Setelah bertahun-tahun dalam proses mencari ilmu, Imam An-Nasa’i menyusun sebuah kitab yang diberi nama As-Sunan Al-Kubra. Setelah penyusunan kitab ini selesai, Imam An-Nasa’i menghadiahkan kepada wali kota Ramlah sebagai tanda kehormatan. Dituliskan dalam Jurnal al-Hadi karya Azwir dengan judul Imam An-Nasa’i bahwa usai diberikan kitab tersebut, Amir bertanya, “Apakah kitab ini berisi hadis shahih?”. Lalu Imam an-Nasa’i menjawab, “Ada yang shahih, hasan, dan ada pula yang hampir serupa dengannya.”

Baca juga: Abdullah ibn Mas’ud, Sahabat yang Faqih dan Pandai Membaca Al-Qur’an

Mendengar jawaban tersebut, Amir meminta Imam An-Nasa’i untuk kembali mengaudit hadis-hadis tersebut, menuliskan hanya hadis-hadis shahih. Atas permintaan Amir tersebut lahirlah kitab As-Sunan As-Sughra yang merupakan hasil Imam An-Nasa’i menyeleksi ketat hadis-hadis di kitab Al-Sunan Al-Kubra. Terdapat 5671 hadis dalam kitab As-Sunan As-Sughra dan disusun seperti kitab Sunan lainnya yaitu mengacu pada bab pembahasan fikih.

Karya-karya Imam An-Nasa’i

Di antara karya-karya Imam An-Nasa’i, sebagai berikut.

  • As-Sunan Al-Kubra
  • As-Sunan As-Sughra. Kitab ini merupakan bentuk sederhana dari kitab Sunan Al-Kubra
  • Al-Manasik
  • Al-Khasais. Kitab yang membahas tentang keutaman para sahabat.
  • Fadhail ash-Shahabah, dan masih banyak karya lainnya.

Hadis Amalan-amalan Ringan Sempurnakan Iman

0
Amalan-amalan Ringan Sempurnakan Iman
Amalan-amalan Ringan Sempurnakan Iman

Hadispedia.id – Pada hadis kedua puluh tiga berikut ini, imam Nawawi di dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah menyuguhkan hadis tentang amalan-amalan ringan yang dapat menyempurnakan iman.

عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْحَارِثِ بْنِ عَاصِمٍ الْأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “الطَّهُوْرُ شَطْرُ الْإِيْمَانِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَأُ الْمِيْزَانَ، وَسُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَآنِ -أَوْ: تَمْلَأُ- مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، وَالصَّلَاةُ نُوْرٌ، وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ، وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ، وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ، كُلُّ النَّاسِ يَغْدُوْ، فَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوْبِقُهَا”. رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Abu Malik; Al-Harits bin ‘Ashim Al-Asy’ari r.a., ia berkata,

Rasulullah saw. bersabda, “Bersuci itu bagian dari iman, ucapan Alhamdulillah dapat memperberat timbangan, ucapan Subhanallah dan Alhamdulillah dapat memenuhi antara langit dan bumi, shalat itu cahaya, shadaqah itu bukti, sabar itu pelita, dan Al-Qur’an adalah hujjah (argumen) yang membelamu atau menuntutmu. Semua orang berusaha. Ia pertaruhkan dirinya. Ada yang untung dan ada yang rugi.” (H.R. Muslim)

Dr. Ahmad Ubaidi Hasbillah dalam kitab Al-Fawaid Al-Musthafawiyah menjelaskan bahwa iman itu memiliki bagian-bagian dan cabang-cabang. Namun, setengah dari iman itu sendiri adalah bersuci, sementara sisanya adalah melakukan kebaikan-kebaikan. Hal ini sebagaimana dijelaskan pada hadis tersebut.

Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa bersuci merupakan hal yang pertama dilakukan untuk melakukan semua kebaikan. Bersuci itu sendiri adakalanya menyucikan badan, pikiran dan perbuatan, serta menyucikan hati.

Sucinya badan adalah dengan menyucikan badan dari hadas kecil maupun besar, serta dari segala bentuk najis. Inilah yang menjadi syarat sahnya melakukan ibadah kepada Allah swt. Oleh sebab itu, maka kita harus terus menjaga kesucian badan karena ia merupakan sebagian dari bentuk keimanan kita. Kesucian badan itu pun dapat membuat kita lebih semangat dan ringan dalam melakukan kebaikan dan menjauhi kemaksiatan.

Baca juga: Hadis Jalan Menuju Surga

Sedangkan maksud sucinya pikiran dan perbuatan adalah menyucikan otak kita dari hawa  nafsu dan menyucikan perbuatan kita dari segala amalan yang keluar dari yang diajarkan Nabi sw. Adapun sucinya hati adalah bersihnya niat dari segala hal yang dapat menjauhkan kita dari Ridha Allah swt.

Setelah setengah keimanan kita telah diisi dengan bersuci tersebut, maka marilah kita menyempurnakan sebagian keimanan itu dengan melakukan kebaikan-kebaikan yang telah Rasulullah saw. ajarkan pada hadis tersebut.

Dr. Ahmad Ubaidi Hasbillah mengatakan bahwa bacaan tahlil (kalimah la ilaha illallah) merupakan bagian dari cara menyucikan pikiran, amalan, dan hati. Oleh sebab itu, maka dengan membaca tahlil dapat memenuhi sebagian iman kita. Sementara cara memenuhi yang sisanya adalah dengan membaca tasbih dan tahmid. Sebagaimana Rasulullah saw. sabdakan dalam hadis tersebut, bahwa hal yang dapat memenuhi timbangan iman dan amal adalah kalimah-kalimah thayyibah, yakni tasbih dan tahmid.

Cara lainnya untuk menyempurnakan keimanan kita adalah dengan melaksanakan shalat. Rasulullah saw. sendiri mengatakan shalat adalah cahaya. Imam Nawawi di dalam kitab Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa shalat itu dapat mencegah seseorang dari kemaksiatan, hal yang buruk dan kemungkaran.

Shalat juga dapat menunjukkan kepada kebenaran. Oleh sebab itu shalat disebut dengan cahaya. Imam Nawawi juga menjelaskan bahwa dikatakan pula pahala shalat itulah cahaya bagi pemiliknya di hari Kiamat kelak. Maka, marilah kita jaga cahaya itu dengan selalu melaksanakan shalat. Niscaya kita akan selalu dituntun oleh Allah swt. baik di dunia maupun di akhirat. Jangan sampai cahaya itu redup bahkan mati dengan lalainya kita dalam mengerjakan shalat. Jika sudah mati, bagaimana bisa kita berjalan di tengah kegelapan?

Setelah setengah keimanan kita telah dipenuhi dengan kesucian, lalu setengahnya lagi kita penuhi dengan kalimat-kalimat thayyibah dan shalat, maka kesempurnaan iman itu perlu bukti. Adapun bukti kesempurnaan iman itu adalah dengan sedekah.

Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi menjelaskan bahwa manusia itu (umumnya) senang dengan harta. Bahkan cenderung bakhil. Jika ia rela mengeluarkan harta untuk Allah swt., maka hal itu menunjukkan kebenaran imannya.

Terkait dengan sabar adalah penerang, Dr. Ahmad Ubaidi Hasbillah menjelaskan bahwa hal ini menunjukkan cahaya itu terkadang tidak dapat menyala. Seperti halnya cahaya di rumah kita, ia butuh listrik untuk dapat menyala. Begitu juga dengan shalat adalah cahaya pun butuh sesuatu agar ia dapat menyala. Sesuatu itu adalah sabar. Seseorang yang tidak sabar dalam menjalankan ketaatan berupa shalat, maka ia telah mematikan cahayanya. Sehingga, shalat itu butuh kesabaran dan sabar dalam menjalankan ketaatan itu lebih berat daripada sabar ketika mendapatkan musibah.

Lalu, apa maksud Al-Qur’an adalah hujjah yang dapat membela atau justru dapat menuntutmu?. Imam Nawawi telah menerangkannya di dalam Syarah Shahih Muslim. Al-Qur’an dapat menjadi pembela dan memberi manfaat kepada kita jika kita mau membacanya dan mengamalkan isinya. Namun, jika kita tidak mau membaca dan mengamalkannya, niscaya ia akan menuntut kita.

Baca juga: Inilah Adab-adab yang Harus Dimiliki Oleh Muhaddits

Terakhir, pesan dalam hadis di atas adalah setiap orang itu berusaha, ada yang beruntung dan ada pula yang rugi. Imam Nawawi menjelaskan bahwa maksud orang yang menjual dirinya lalu ia beruntung adalah ia menjual dirinya kepada Allah swt. dengan menjalankan ketaatan. Sehingga ia beruntung dan dapat terbebas dari siksa api neraka. Namun, ada pula yang menjual dirinya kepada setan dan hawa nafsu. Sehingga ia terus mengikuti perintah mereka. Maka hal inilah yang dapat merugikan dan menghancurkannya.

Demikianlah penjelasan hadis kedua puluh tiga dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah. Semoga kita senantiasa diberikan taufiq oleh Allah swt. untuk dapat menjalankan pesan dari Rasulullah saw. dalam hadis tersebut. Yakni selalu menyucikan hati, membaca kalimat thayyibah, shalat, sedekah, sabar, membaca dan mengamalkan isi Al-Qur’an, serta menaati perintah Allah swt. Amalan-amalan tersebutlah yang dapat menyempurnakan iman kita. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Inilah Adab-adab yang Harus Dimiliki oleh Muhaddits

0
Adab Muhaddits
Adab Muhaddits

Hadispedia.id – Seorang muhaddits yang menyebarkan hadis kepada khalayak luas hendaknya menunjukkan sikap dan perilaku yang terpuji agar dirinya dapat menjadi panutan yang baik bagi masyarakat. Karenanya, ada beberapa hal utama yang menjadi adab muhaddis berdasarkan pendapat Dr. Mahmud Thahhan dalam kitab Taisir Musthalah al-Hadis.

Pertama, seorang muhaddits harus meluruskan niatnya serta ikhlas dalam mempelajari dan mengajarkan hadis sehingga tidak ada dalam hatinya tujuan untuk meraih popularitas atau perkara duniawi sebagaimana sabda Rasulullah saw:

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ تَعَالَى لَا يَتَعَلَّمُهُ إلَّا لِيُصِيْبَ بِهِ عَرْضًا مِنَ الدُّنيَا، لَمْ يَجِدْ عُرْفَ الجَنَّةِ يَوْمَ القِيَامَةِ

“Barangsiapa yang menuntut ilmu yang dianjurkan Allah swt. dan ia tidak mempelajarinya melainkan untuk meraih keduniawian. Maka pada hari Kiamat ia tidak akan memperoleh harumnya wangi surga.” (H.R. Imam Abu Daud, Imam Ibnu Majah, dan Imam Ahmad dari sahabat Abu Hurairah r.a.)

Baca juga: Apa itu Hadis Mutawatir?

Kedua, muhaddits hendaknya memberikan perhatian yang besar terhadap penyebarluasan hadis dan ia hendaknya menyampaikan apa yang berasal dari Rasulullah saw. dengan harapan mendapat pahala dari Allah swt.

Ketiga, hendaknya ia tidak menyampaikan hadis jika di hadapannya terdapat orang yang lebih utama darinya baik dari segi usia ataupun keilmuan.

Keempat, menunjukkan kepada orang yang bertanya mengenai sesuatu dalam hadis sementara ia tahu bahwa hal tersebut ada pada orang lain.

Kelima, yang harus diperhatikan adalah jika ada seseorang yang tidak tulus niatnya dalam menyampaikan hadis, maka seorang muhaddits hendaknya tidak menghalangi kegiatan orang tersebut hanya karena ia berharap akan meluruskan niatnya.

Terakhir adalah hendaknya membentuk perkumpulan untuk mengkaji hadis jika ia memiliki kualifikasi yang mumpuni dan hal ini merupakan tingkatan tertinggi dalam periwayatan.

Selain enam perkara di atas, ada adab-adab khusus yang berlaku bagi muhaddits yaitu senantiasa meminta kemudahan dalam hal menghafal dan memahami hadis kepada Allah swt., memerhatikan hadis secara komprehensif, dan mendengar hadis dari guru-guru yang paling utama di negerinya.

Seorang muhaddits harus menghormati serta memuliakan gurunya. Ia pun hendaknya dengan senang hati menyampaikan ilmu yang ia dapatkan kepada kawan-kawannya namun tidak menutup dirinya untuk menerima ilmu dari orang yang lebih muda atau yang kedudukannya lebih rendah darinya. Ia juga tidak boleh berpuas diri atas ilmu yang telah ia dapatkan. Dengan kata lain, seorang muhaddits harus selalu haus akan ilmu.

Dalam hal mendengar, menghafal, dan memahami hadis, dianjurkan untuk mendahulukan kitab Shahihain dan dilanjutkan dengan kitab-kitab Sunan, Musnad, dan Jawami’ berturut-turut.

Adapun jika seorang muhaddits akan menghadiri majelis ilmu, maka dianjurkan baginya untuk bersuci dan merapikan penampilannya. Saat di majelis, hendaknya ia duduk dengan tenang serta penuh perhatian sebagai bentuk hormat terhadap Rasulullah saw.

Baca juga: Sayyidah Aisyah dan Kepakarannya dalam Bidang Hadis

Ketika menyampaikan pelajaran, seorang muhaddits harus memerhatikan seluruh yang hadir, tidak memusatkan perhatiannya hanya pada satu orang hingga melalaikan yang lainnya. Majelis pun hendaknya diawali dan diakhiri dengan pujian kepada Allah swt., shalawat ke atas Nabi Muhammad saw., serta doa sesuai dengan kondisi.

Materi yang disampaikan pun hendaknya bukan perkara-perkara dari hadis yang sulit diterima oleh akal hadirin atau yang tidak sanggup dipahami. Untuk menutup kajian, sebaiknya disampaikan kisah-kisah unik untuk menyenangkan hati dan menghilangkan perilaku yang buruk. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Abdullah ibn Mas’ud, Sahabat yang Faqih dan Pandai Membaca Al-Qur’an

0
Abdullah ibn Mas'ud
Abdullah ibn Mas'ud

Hadispedia.id – Selain para Khulafa’ al-Rasyidin, masih banyak para sahabat yang juga memiliki kemampuan dan kapasitas yang mempuni. Hal ini karena mereka secara langsung belajar kepada baginda Nabi Muhammad saw. Salah satu di antaranya adalah Abdullah ibn Mas’ud yang pada masanya ia dikenal dengan berbagai fatwanya.

Biografi Abdullah ibn Mas’ud

Ia memiliki nama lengkap Abdullah ibn Ghafil Syamakh ibn al-Harits ibn Tamim ibn Sa’ad ibn Huzail ibn Mas’ud. Ia juga akrab dipanggil dengan Abu Abdurrahman yang berkaitan dengan nama ayahnya. Selain itu, ia juga sering dipanggil Ibn Ummu ‘Abd (Ummu Abdillah binti Abu Daud). Abdullah ibn Mas’ud atau Ibn Mas’ud merupakan salah seorang di antara sahabat yang paling awal memeluk agama Islam.

Ibn Sa’ad dalam al-Tabaqat al-Kubra menjelaskan kedekatan Ibn Mas’ud dengan Nabi Muhammad saw. dengan menukil riwayat dari Waki’ ibn Jarrah yang mengatakan bahwa “Abdullah bin Mas’ud ialah orang yang menutupi Nabi saw saat mandi, membangunkan Nabi saat tertidur, dan menemani perjalanan Nabi di atas bumi ini.”. ini menunjukkan akan kedekatannya dengan Nabi Muhammad saw.

Pada masa Khalifah Umar ibn Khattab, Ibn Mas’ud diangkat menjadi hakim di Kuffah mendampingi Amr ibn Yasir yang bertugas sebagai Gubernur. Ibn Mas’ud menjabat sebagai mufti hingga jabatan gubernur digantikan oleh Sa’ad ibn Abi Waqas. Adapun pada masa-masa tugasnya, ia banyak menjumpai perkara yang sebelumnya ia tidak temui atau bahkan dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw. Padahal, jika dilihat dari perjalanan hidupnya, ia termasuk sahabat yang dekat dengan Nabi saw. bahkan mendampinginya ke mana saja.

Beberapa kitab menyebutkan tentang wafatnya Abdullah bin Mas’ud dan salah satunya dalam Tarikh al-Baghdad karya Abu Khatib al-Baghdadi. Disebutkan bahwa ia wafat pada usia 60 tahun. Ia hidup sampai pada masa pemerintahan Utsman ibn ‘Affan. Pada tahun 32 H, dari Kuffah ia kembali ke Madinah dan wafat pada tahun yang sama. Ia dimakamkan di Baqi.

Kemampuannya dalam Berfatwa

Kedalaman ilmu serta wawasan yang luas akan ajaran Islam menjadikan Ibn Mas’ud sebagai seorang yang ahli Fiqh. Ia mampu mengemukakan hukum-hukum Islam yang masih relevan dengan keadaan zaman. Ia dikenal cerdas dan alim di kalangan para sahabat. Ini juga berkat kedekatannya dengan Nabi Muhammad saw.

Selain seorang yang Faqih, ia juga mahir dalam melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Ia sangat fasih bahkan Nabi saw. pernah bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَقْرَأَ الْقُرْآنَ غَضًّا كَمَا أُنْزِلَ، فَلْيَقْرَأْهُ عَلَى قِرَاءَةِ ابْنِ أُمِّ عَبْدٍ

“Barangsiapa yang ingin membaca Al-Qur’an dengan baik seperti saat diturunkan, maka bacalah seperti bacaan ibn Ummu Abd (Abdullah bin Mas’ud) (H.R. Ibn Majah)

Pernah suatu ketika Ibn Mas’ud membacakan ayat-ayat Al-Qur’an ketika kaum Quraisy sedang duduk di sekitar Ka’bah. Dengan lantang, ia membacakan surat al-Rahman hingga membuat kaum Quraisy terkesima untuk sesaat. Namun mereka menyadari bahwa yang dibaca adalah ayat-ayat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian Kaum Quraisy memukuli Ibn Mas’ud sedang ia masih membaca surat tersebut hingga selesai. Karena perbuatannya itu, para sahabat mencoba memperingatkannya sebab itu bisa membahayakan keselamatan dirinya.

Baca juga: Abdullah Ibn Abbas dan Kecakapannya di Bidang Hadis

Ibn Mas’ud diangkat sebagai mufti (hakim) di Kuffah pada masa kekhalifahan Umar ibn Khattab r.a. Ia mendampingi Amar ibn Yasir juga Sa’ad ibn Abi Waqas yang keduanya pernah menjabat sebagai gubernur Kuffah. Ia diangkat bersamaan dengan pengangkatan Anas ibn Malik dan Abu Musa al-Asy’ari di Basrah, Muawiyyah ibn Abi Sufyan di Syam, Syarah ibn Hasanah di Ardan, dan Amr ibn Ash di Mesir.

Dalam berfatwa, ia selalu merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah. Ia memberikan keputusan dan fatwa berdasar apa yang telah ia pelajari dan ingat dari sabda-sabda Rasulullah saw. Ia juga tak jarang mengambil pendapat sendiri apabila suatu permasalahan tidak bisa diputuskan melalui Al-Qur’an maupun Sunnah.

“Apabila dihadapkan kepadanya suatu perkara, maka hendaklah menetapkan hukumnya dengan kitabullah (Al-Qur’an), bila tidak dijumpai dalam kitab maka tetapkan hukum dengan apa yang telah diputuskan oleh Nabi (Sunnah), jika masih belum menemukan, maka putuskan dengan apa yang telah diputuskan oleh orang-orang shalih sebelumnya, dan apabila masih belum menemukan, maka hukumilah perkara tersebut dengan berijtihad.”

Perhatiannya dalam Hadis

Dalam perkara hadis, ia juga sangat menaruh perhatian yang lebih. Hal ini karena segala keputusan dan fatwa yang ia keluarkan selain berdasar pada Al-Qur’an, juga tetap merujuk pada hadis-hadis Nabi saw.

Adapun pada proses periwayatan hadis, ia banyak meriwayatkan hadis dari Umar dan Sa’ad ibn Mu’adz, dan riwayat hadis darinya banyak pula diriwayatkan oleh Anas ibn Malik, Jabir bin Abdillah, Abu Musa al-Asy’ari, Alqamah, Masruq, Syuraih al-Qadhi, dan lain-lain.

Baca juga: Biografi Ali bin Abi Thalib dan Sikapnya Terhadap Hadis Nabi

Mengenai Jumlah hadis yang diriwayatkan dari Ibn Mas’ud sangat beragam. Ada yang mengatakan bahwa riwayat darinya dalam kitab Shahih Bukhari berjumlah 848 hadis. Namun ad-Dzahabi dalam Siyar al-A’lam al-Nubala menyebutkan cukup terperinci. Bahwa yang muttafaq alaihi (diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim) sebanyak 46 hadis. Adapun yang tidak ittifaq yakni hanya tercantum pada Shahih al-Bukhari sebanyak 21 hadis sedangkan dalam Sahih Muslim sebanyak 35 hadis. Adapun jika yang diulang terhitung maka jumlahnya menjadi 840 hadis.

Sanad yang paling shahih dari rangkaian periwayatannya ialah yang diriwayatkan oleh Sufyan al-Tsauri dari Mansyur bin al-Mu’tamir, dari Ibrahim, dari Alqamah. Sedangkan sanad yang paling dha’if melalui periwayatan Syuraik dari Abi Fazarah dari Abu Said

Beberapa murid yang menjadi penerus perjuangan Ibn Mas’ud di antaranya Ibrahim al-Nakha’i, ‘Alqamah ibn Qais an-Nakha’i, Syuraih ibn Haris al-Kindi, dan Hasan al-Basri. Mereka inilah yang kemudian disebut dalam generasi Tabi’in. Mereka juga menjadi pengembang pola dan sistem penyelesaian masalah hukum yang sudah diajarkan oleh Ibn Mas’ud. Wallahu A’alam

Hadis Jalan Menuju Surga

0
Hadis Jalan Menuju Surga
Hadis Jalan Menuju Surga

Hadispedia.id – Pada hadis kedua puluh satu, Imam Nawawi telah menjelaskan hadis tentang pentingnya istiqamah. Tentunya istiqamah sangatlah berat dan berlaku untuk semua hal. Namun, pada hadis kedua puluh dua ini, imam Nawawi seolah mengatakan bahwa keistiqamahan tersebut minimal dengan melakukan hal-hal yang diwajibkan dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan. Bahkan hal ini dapat menjadi jalan menuju surga.

عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: “أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَرَأَيْتَ إذَا صَلَّيْتُ الْمَكْتُوْبَاتِ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ، وَأَحْلَلْتُ الْحَلَالَ، وَحَرَّمْتُ الْحَرَامَ، وَلَمْ أَزِدْ عَلَى ذَلِكَ شَيْئًا؛ أَأَدْخُلُ الْجَنَّةَ؟ قَالَ: نَعَمْ”. رَوَاهُ مُسْلِمٌ

وَمَعْنَى حَرَّمْتُ الْحَرَامَ: اجْتَنَبْتُهُ. وَمَعْنَى أَحْلَلْتُ الْحَلَالَ: فَعَلْتُهُ مُعْتَقِدًا حِلَّهُ

Dari Abu Abdillah; Jabir bin Abdillah Al-Anshari r.a. “Ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah saw.

Apa pendapatmu, jika aku shalat lima waktu, berpuasa Ramadhan, menghalalkan yang halal, dan mengharamkan yang haram. Aku tidak menambahi selain amalan itu. Apakah aku (bisa) masuk surga?’ (H.R. Muslim)

Beliau menjawab, ‘Ya’

Imam Nawawi berkata, “Aku mengharamkan yang haram artinya adalah aku menjauhinya, dan aku menghalalkan yang halal artinya adalah aku melakukannya dengan meyakini kehalalannya.”

Sosok lelaki yang bertanya pada hadis tersebut menurut para pensyarah hadis, seperti imam Ibnu Daqiq di dalam kitab Syarah Al-Arbain dan Dr. Mustafa Dieb di dalam kitab Al-Wafi bernama An-Nu’man bin Qauqal Al-Khaza’i.

Pertanyaan An-Nu’man menunjukkan betapa ia sangat merindukan surga dan ingin memastikan apa yang telah ia lakukan dapat mengantarkannya ke sana atau tidak. Pertanyaan seperti ini kerap kali ditanyakan oleh para sahabat lainnya. Mereka menanyakan kepada Rasulullah saw. amalan apa saja yang dapat memasukkannya ke dalam surga.

Baca juga: Hadis tentang Pentingnya Istiqamah

Dr. Ahmad Ubaidi Hasbillah dalam kitab Fawaid Al-Musthafawiyyah menjelaskan bahwa hadis ini menunjukkan jalan menuju surga adalah istiqamah. Jalan menuju surga bukanlah ekstrim atau terlalu menggampangkan dalam urusan agama.

Beliau juga meluruskan pemahaman tentang hadis ini yang biasanya dipahami bahwa jalan menuju surga hanyalah dengan shalat, puasa, menghalalkan yang halal, dan mengharamkan yang haram saja. Lebih dari itu, maksud hadis ini adalah agar kita dapat istiqamah secara sempurna dalam menjalankan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan agama.

Lalu, mengapa An-Nu’man tidak menyebutkan zakat dan haji secara spesifik pada hadis tersebut? Bukankah hal itu termasuk kewajiban yang juga harus dijalankan seperti shalat dan puasa?

Dr. Mustafa Dieb menjelaskan bahwa dimungkinkan sekali ketika itu masih belum diwajibkan zakat dan haji. Bisa juga disebabkan ia tidak mampu melaksanakan ibadah tersebut sehingga tidak diwajibkan untuknya. Sehingga ia hanya menjalankan kewajiban-kewajiban yang ia mampu laksanakan dengan mengharap ridha Allah swt. Bisa juga zakat dan haji itu sudah masuk dalam ungkapan “menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram.”

Hadis di atas juga menunjukkan tentang pentingnya kualitas dalam beribadah dari pada kuantitas. Lebih baik sedikit meskipun hanya yang wajib-wajib saja tetapi istiqamah, ikhlas, dan sabar dalam menjalankannya dari pada ingin menjalankan banyak ibadah tetapi hanya sekedarnya saja dan tidak istiqamah.

Selain itu, kita juga dapat belajar dari hadis tersebut cara berdakwah Nabi saw. yang mempermudah umatnya bukan mempersulit. Beliau tidak membebankan umatnya dengan amalan-amalan yang mempersulitnya. Mereka cukup disuruh istiqamah dengan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan agama. Sehingga, jawaban Nabi saw. bahwa amalan yang dilakukan oleh An-Nu’man tersebut dapat memasukkannya ke dalam surga sangat membuatnya lega.

Sayangnya, masih ada saja sebagian oknum yang masih mengkafir-kafirkan saudaranya sesama muslim. Padahal mereka sama-sama menjalankan shalat, puasa, dan ibadah lainnya. Bahkan tidak jarang ada yang saling mencap masuk neraka hanya karena berbeda pandangan saja. Na’udzubillah.

Demikianlah sedikit penjelasan hadis kedua puluh dua dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyyah ini. Semoga kita diberikan kekuatan dan kemudahan oleh Allah dalam menjalankan ibadah-ibadah baik mahdhah maupun ghairu mahdhah dengan istiqamah. Sehingga kita dapat meraih ridha dan surga-Nya. Aamiin. Wa Allahu a’lam bis shawab. 

Hadis No. 2 Sunan Abi Daud

0
Sunan Abu Daud
Sunan Abu Daud

قَالَ الْاِمَامُ أَبُو دَاوُدَ سُلَيْمَانُ بْنُ الأَشْعَثِ فِيْ سُنَنِهِ فِيْ بَابِ التَّخَلِّي عِنْدَ قَضَاءِ الْحَاجَةِ

حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ أَخْبَرَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَرَادَ الْبَرَازَ انْطَلَقَ حَتَّى لَا يَرَاهُ أَحَدٌ

Al-Imam Abu Daud; Sulaiman bin Al-Asy’ats berkata di dalam kitab Sunan-nya pada bab menyepi saat buang hajat,

Musaddad bin Musarhad telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Ismail bin Abdul Malik telah mengabarkan kepada kami, dari Abu Az-Zubair dari Jabir bin Abdillah r.a., bahwasannya Nabi saw. ketika hendak buang hajat, beliau pergi hingga tidak ada seorang pun yang melihatnya.

Abdullah ibn Abbas dan Kecakapannya di Bidang Hadis

0
Abdullah bin Abbas
Abdullah bin Abbas

Hadispedia.id – Ia lahir tiga tahun sebelum hijrah dengan nama lengkap Abdullah ibn Abbas ibn Abdul Muthallib ibn Abd manaf al-Quraishy al-Hasyimiy. Sedangkan ibunya bernama Ummu al-Fadl Lababah bint al-Harits. Oleh karenanya secara garis keturunan, ia masih sepupu dengan Rasulullah saw.

Semasa hidup Rasulullah, Abdullah ibn Abbas selalu ingin dekat dengan Rasulullah saw. Ia mengabdikan dirinya untuk Rasulullah juga pastinya ingin menambah ilmu dan pengetahuan yang dimiliki Rasul.

Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah menyebutkan bahwa Sepeninggal Rasulullah saw., Abdullah ibn Abbas masih berusia 13 tahun. Hal ini membuatnya merasa kehilangan panutan (uswah) yang ia cintai. Akan tetapi kepergian Rasulullah saw. tidak membuat ia larut dalam kesedihan yang begitu lama. Ia menyadari bahwa masih ada para sahabat yang akan meneruskan perjuangan dan mewarisi nilai-nilai islam yang diajarkan Nabi Muhammad saw.

Di usianya yang relatif muda, ia tidak pernah lelah menimba ilmu terutama kepada para sahabat yang senior karena mereka tentu lebih lama hidup dan belajar bersama Rasul dibandingkan Abdullah ibn Abbas. Ia melanjutkan pengembaraan ilmunya dengan mempelajari ilmu fiqh, tafsir, hadis, dan bidang ilmu lainnya. Berkat ketekunannya itu, ia tumbuh menjadi pribadi yang sangat cerdas serta berwawasan luas. Hal ini selain karena ia murid Nabi saw., ia juga belajar dengan kibar al-Sahabah

Baca juga: Biografi Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sikapnya Terhadap Hadis Nabi

Keutamaan Abdullah ibn Abbas r.a.

Sejak usia belia, kecerdasan dan ketertarikannya dengan ilmu membuat Rasulullah saw. mendoakanya. Rasulullah saw. mendoakan Ibnu Abbas dengan doa,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: ضَمَّنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى صَدْرِهِ، وَقَالَ: اللَّهُمَّ عَلِّمْهُ الحِكْمَةَ وَفِي رِوَايَةٍ أُخْرَى: عَلِّمْهُ الكِتَابَ

“Ibnu Abbas berkata, Rasulullah saw. mendekapku ke dadanya seraya berkata, “Ya Allah, Ajarilah ia ilmu hikmah”, dan di riwayat lain, “Ajarilah ia ilmu kitab (al-Quran)” (H.R. Al-Bukhari)

Pengabdian yang ia lakukan kepada Rasulullah saw. begitu besar. Suatu saat ketika Rasulullah saw. menemukan tempat wudlu yang sudah berisi air, beliau kemudian bertanya, “Siapa yang melakukan ini?. Para shabat lain menjawab bahwa Ibnu Abbas yang telah mengisi airnya. Lantas Rasulullah saw. berdoa:

اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

“Ya Allah Faqihkahlah dia (Pahamkanlah ia) dalam ilmu agama”. (HR. Muslim).

Tidak hanya pujian dari Rasulullah saw, Ibnu Abbas yang masih terbilang muda juga dipuji para sahabat, termasuk yang senior. Bahkan sahabat Umar r.a. pernah mengajaknya berdiskusi dengan para sahabat lain untuk menjelaskan surat an-Nashr. Saat Umar r.a. bertanya tentang ayat itu kepada para sahabat, sebagian besar menjawab bahwa umat Islam diperintahkan untuk memuji dan memohon ampun kepada Allah ketika diberi pertolongan dan kemenangan. Namun ketika Ibnu Abbas ditanyai Umar akan hal itu, Ibnu Abbas memberi jawaban lain yakni bahwa ayat tersebut menjadi pertanda wafatnya Rasulullah saw. Lantas Umar r.a. berkata, “Saya tidak mengetahui tentang ayat itu kecuali apa yang engkau katakan”.

Kecakapannya di Bidang Hadis

Dalam mencari ilmu, ia termasuk sahabat yang sangat disibukkan dengan hal itu. Dalam al-Mu’jam al-Kabir, imam al-Thabrani menukil riwayat dari Ibnu Abbas sebagai berikut:

“Apabila saya mendengar ada orang yang memiliki hadis, maka saya mendatangi rumahnya. Bila orang itu sedang tidur pada siang hari, maka akan ditunggu di depan rumahnya. Saat orang yang ditunggu keluar maka berkata, “Wahai sepupu Nabi Muhammad saw., kenapa kamu datang ke sini, kenapa tidak kirim surat saja ke sini agar aku yang datang ke tempatmu.” Maka aku menjawab, “Tidak, saya berhak datang kepadamu untuk menanyakan hadis”.

Dalam Siyar A’lam al-Nubala, Imam ad-Dzahabi juga menerangkan bahwa Ibnu Abbas belum pernah merasa puas dengan hadis yang ia dapatkan dari satu sumber saja hingga ia menemui dan menanyakan hadis tersebut pada tiga puluh sahabat yang lain.

Ad-Dzahabi juga menambahkan bahwa Ibnu Abbas termasuk sahabat yang sangat mendorong para muridnya untuk menulis hadis. Seperti yang diriwayatkan Waki’ bahwa Ibnu Abbas berkata, “Catatlah hadis itu dengan tulisan di buku”.  Terkadang ia juga yang menuliskan hadis untuk murid-muridnya. Ia juga membacakan kitab-kitabnya kepada para muridnya.

Baca juga: Sayyidah Aisyah dan Kepakarannya dalam Bidang Hadis

Dalam Rijal Haul al-Rasul, Khalid Muhammad menukil riwayat Ubaidillah bin Utbah yang mengatakan, “Tak pernah aku lihat seseorang yang mengerti tentang hadis Rasul dari pada Ibnu Abbas”. Pujian terhadap Ibnu Abbas juga datang dari Sa’ad ibn Abi Waqqas dengan perkataan, “Aku tidak pernah melihat orang yang banyak ilmu kecuali Ibnu Abbas”.

Pada masa akhir hayat Ibnu Abbas, Ibn Hajar menjelaskan dalam al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah bahwa Ibn Abbas mengalami kebutaan dan meninggal di tahun 68 H. Saat hendak dikebumikan, tiba-tiba ada seekor burung yang masuk ke liang lahat dan tidak mau keluar hingga terdengar suara bacaan surat Al-Fajr ayat 27-28.

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridla dan diridlai-Nya”

Mahmud at-Thahan dalam Taisir Musthalah al-Hadis menyebutkan bahwa Ibnu Abbas meriwayatkan sebanyak 1660 hadis. Adapun segala kisah dan perjalanan hidupnya, banyak hal yang bisa diteladani, terlebih bagi umat Islam. Dari sikap ketawadlu’annya hingga kecerdasannya dalam berbagai ilmu menjadikan ia sebagai salah seorang sahabat yang cukup disegani. Tak heran jika ia diberi julukan sang “tinta” umat Islam sebagai orang yang sangat perhatian dalam keilmuan dan pengetahuan. Wallahu a’lam.

Mengenal Sanad Ali dalam Istilah Ilmu Hadis

0
Mengenal Sanad Ali dalam Istilah Ilmu Hadis
Mengenal Sanad Ali dalam Istilah Ilmu Hadis

Hadispedia.id – Sebagai dasar hukum primer setelah Al-Qur’an, hadis menempati posisi yang penting bagi umat Islam. Namun, karena pengkodifikasian hadis baru dilakukan ratusan tahun setelah wafatnya Rasulullah saw., maka kesalahan dalam penulisan sangat mungkin terjadi terlebih setelah ditemukannya hadis-hadis palsu.

Oleh karena itu, untuk menentukan keautentikan sebuah hadis diperlukan penelitian mendalam terhadap sanad dan matannya. Dalam kaitannya dengan sanad hadis, terdapat jalur transmisi yang menghubungkan Rasulullah saw. dengan sahabat serta sahabat dengan para perawi setelahnya.

Hal ini pula yang memungkinkan peneliti untuk melacak kebenaran sebuah hadis apakah bersumber dari Rasulullah saw. atau tidak. Semakin dekatnya sanad tersebut dengan Rasulullah saw berkaitan dengan keautentikan sebuah hadis karena semakin panjang rantainya memungkinkan adanya kesalahan atau cacat yang lebih banyak.

Sanad yang jumlah perawinya lebih sedikit untuk sampai kepada baginda Rasul disebut dengan sanad ali sedangkan jika terdapat sanad yang jumpal perawinya lebih banyak untuk sampai kepada Rasulullah saw maka disebut sanad nazil.

Imam Ibnu Shalah dalam Muqaddimah mengklasifikasikan sanad ali ke dalam lima jenis. Pertama, sanad yang jumlah perawinya lebih dikit untuk sampai ke Rasulullah saw. dan jenis ini merupakan yang paling tinggi tingkatannya. Kedua, sanad yang jumlah perawinya sedikit untuk sampai pada para Imam hadis meskipun jumlah perawi untuk sampai ke Rasulullah saw. banyak.

Jenis ketiga adalah sanad yang dekat dengan riwayat shahihain atau kitab-kitab rujukan lainnya. Adapun pada jenis ini terdapat empat macam bentuk yaitu al-muwafaqah, al-ibdal, al-musawah, dan al-mushafahah.

Al-muwafaqah adalah sampainya sanad pada guru salah satu penyusun kitab hadis selain melalui jalurnya dengan jumlah bilangan perawi lebih sedikit dibandingkan dengan jalur yang diriwayatkannya. Al-ibdal adalah sampainya sanad pada guru dari gurunya salah seorang penyusun kitab hadis selain melalui jalurnya dengan jumlah bilangan perawi yang lebih sedikit dibandingkan dengan jalur periwayatan penyusun kitab.

Adapun al-musawah merupakan sanad yang jumlah perawinya sama antara seseorang yang meriwayatkan hingga akhir sanad dengan sanad penyusun kitab hadis. Sedangkan al-mushafahah adalah sanad yang jumlah perawinya sama dengan sanad murid penyusun kitab hadis.

Jenis keempat dari sanad ali adalah yang disebabkan karena perawinya meninggal lebih dahulu meskipun sanad yang lain memiliki jumlah perawi yang sama banyaknya. Jenis terakhir adalah yang disebabkan karena seorang perawi mendengar hadis lebih dahulu.

Mayoritas ulama sepakat bahwa sanad ali lebih utama dibandingkan dengan yang nazil karena menjauhkan dari banyak kesalahan. Adapun sanad nazil dapat dipertimbangkan asalkan perawi dalam sanad tersebut lebih tsiqah jika dibandingkan dengan yang ali.