Beranda blog Halaman 79

Hadis tentang Pentingnya Istiqamah

0
Hadis tentang Pentingnya Istiqamah
Hadis tentang Pentingnya Istiqamah

Hadispedia.id – Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah pada hadis kedua puluh satu menjelaskan hadis tentang istiqamah.

عَنْ أبِيْ عَمْرٍو وَقِيْلَ: أَبِيْ عَمْرَةَ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ قُلْ لِيْ فِيْ الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا غَيْرَكَ. قَالَ «قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ » [رواه مسلم]

Dari Abu Amr (dikatakan juga Abu Amrah); Sufyan bin Abdillah r.a., ia berkata, ‘Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, katakan kepadaku tentang Islam yang tidak akan aku tanyakan kepada selain engkau.”

Beliau bersabda, “Katakanlah, ‘Amantu billah (Aku beriman kepada Allah), kemudian istiqamahlah.” (H.R. Muslim)

Rasulullah saw. memang manusia yang sangat cerdas. Hal ini dapat kita lihat pada hadis tersebut. Saat beliau ditanya oleh sahabat Sufyan bin Abdillah tentang satu kata tentang Islam. Beliau pun menjawab dengan jawaban yang singkat dan padat, yakni Islam adalah istiqamah atas keimanan kita kepada Allah swt.

Pada dasarnya Islam hanya berisi dua hal, yakni tauhid/aqidah dan ketaatan/amal. Tauhid termanifestasikan dalam bentuk keimanan kepada Allah swt., sedangkan ketaatan dalam wujud istiqamah. Yaitu istiqamah dalam merealisasikan keimanan itu pada semua perintah dan larangan-Nya. Keduanya harus saling beriringan, tidak boleh hanya beriman tanpa beramal atau beramal tanpa didasari keimanan. Iman tanpa amal bohong, sedangkan amal tanpa iman sia-sia.

Pada hadis-hadis sebelumnya yang telah disebutkan imam An-Nawawi di dalam kitab Al-Arbain, beliau telah menjelaskan hadis-hadis seputar islam, iman, ihsan, dan pentingnya melakukan perintah Allah swt. Maka, pada hadis kedua puluh satu ini adalah goalsnya. Yakni kita harus istiqamah dengan semua itu.

Pentingnya istiqamah ini pun difirmankan Allah swt. dalam Q.S. Hud: 112 “Maka istiqamahlah, sebagaimana diperintahkan kepadamu.” Bahkan ketika turun ayat ini, Rasulullah saw. terlihat sangat serius dan berat. Saking beratnya ayat tentang istiqamah ini, diceritakan bahwa Rasulullah saw. cepat beruban.

Baca juga: Hadis Budaya Malu Adalah Warisan Para Nabi

Meskipun istiqamah berat dilakukan, namun tetap harus dicoba terus menerus, meskipun sedikit demi sedikit. Bahkan amal yang sedikit namun istiqamah inilah yang disukai Allah swt. dan Rasulullah saw. Seperti halnya shalat Tahajjud dua rakaat setiap malam lebih baik dari pada sepuluh rakaat tetapi setahun sekali.

“Menjadi orang baik itu mudah, tetapi menjadi orang yang terus menerus baik itu sulit.” Demikianlah salah satu pesan guru kami; KH. Ali Mustafa Ya’qub yang menggambarkan betapa sulitnya komitmen dan istiqamah terhadap sesuatu. Maka, tidak heran jika ada adagium yang sangat populer tentang keistimewaan istiqamah, yaitu “Al-Istiqamatu khairun min alfi karaamaat” istiqamah itu lebih baik dari pada seribu karamah yang terdapat pada wali-wali Allah swt.

Karena itu, Allah swt. di dalam Q.S. Fushshilat: 30 memberikan hadiah kepada para pelaku istiqamah dengan menurunkan malaikat kepadanya. Mereka mengusir segala ketakutan dan keresahannya. Memberikan kabar gembira dengan surga dan menegaskan bahwa mereka (para malaikat) senantiasa mendampingi mereka baik di dunia maupun di akhirat.

Demikianlah sedikit penjelasan dari hadis tentang istiqamah. Semoga kita senantiasa diteguhkan iman kita dan istiqamah dalam merealisasikan keimanan kita. Aamiin. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Dua Syarat yang Harus Dipenuhi Seorang Perawi Hadis

0
Perawi Hadis
Perawi Hadis

Hadispedia.id – Hadis Rasulullah saw. sampai kepada kita melalui proses transmisi yang dilakukan para perawi. Sehingga, kredibilitas perawi menjadi faktor utama untuk menentukan derajat suatu hadis. Karenanya, para ulama hadis maupun fikih menetapkan dua syarat pokok diterimanya perawi yaitu ‘adil dan dhabit.

Seorang perawi dapat disebut ‘adil apabila ia seorang muslim yang balig, berakal, tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan kefasikan dan memiliki muru’ah atau sopan santun. Adapun Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Nuzhah An-Nazhar mendefinisikan ‘adil sebagai berikut:

مَنْ لهُ مَلَكَةٌ تَحْمِلُهُ على مُلازمةِ التَّقوى والمُروءةِ

“Kemampuan untuk selalu konsisten dalam ketakwaan dan berkepribadian baik.”Takwa yang dimaksud pada definisi ‘adil tersebut adalah menjauhkan diri dari segala pebuatan buruk seperti fasik, bid’ah, dan syirik.

Sementara itu, keadilan seorang perawi dapat ditetapkan dengan dua hal; yang pertama adalah apabila dua ulama ta’dil menetapkan keadilan nya atau dengan kepopuleran perawi di kalangan ahli ilmu.

Sedangkan perawi yang disebut dhabit adalah apabila riwayat yang ia sampaikan tidak menyelisihi perawi tsiqah, hafalannya baik serta memahami apa yang ia riwayatkan dan tidak terdapat kekeliruan yang parah, tidak pikun atau mudah lupa dan juga tidak banyak persangkaannya.

Dhabt terbagi menjadi dua macam; yang pertama adalah dhabt shadr yaitu:

أَنْ يُثْبِت ما سَمِعَهُ بحيثُ يتمكَّنُ مِن اسْتِحْضَارِه مَتَى شَاءَ

Perawi yakin apa yang ia dengar (ingat) dan mampu menyebutkannya kapanpun ia diminta. Dengan kata lain, perawi tersebut hafal dan paham serta mampu untuk menyampaikan kembali apa yang ia terima dengan baik.

Macam yang kedua adalah dhabt kitab yaitu:

وَهُوَ صِيَانَتُهُ لَدَيْهِ مُنْذُ سَمِعَ فيهِ وصحَّحَهُ إِلى أَنْ يُؤَدِّيَ منهُ

Kehati-hatian perawi dalam menjaga tulisannya sejak awal ia menerima periwayatan secara langsung dan memperbaiki kondisi bukunya hingga tidak terjadi hal yang dapat mengubah catatannya. Singkatnya, catatan yang dimiliki oleh perawi lengkap, tepat, dan benar.

Seorang perawi yang dhabit dapat diketahui melalui kesesuaian periwayatannya dengan perawi tsiqah. Jika tingkat kesesuaian dengan perawi tsiqah tinggi maka perawi tersebut bisa dikatakan dhabit meski ada sedikit riwayat darinya yang berselisih. Namun apabila riwayat yang beselisih lebih banyak dibandingkan dengan riwayat yang sesuai maka kedhabitan bisa hilang. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Biografi Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sikapnya Terhadap Hadis Nabi

0
Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib

Hadispedia.id – Salah seorang sahabat yang sangat disegani dan menjadi Khulafa al-Rasyidin ke empat yakni Ali bin Abi Thalib. Ia sangat faham betul dengan hukum-hukum dalam ajaran Islam karena ia belajar langsung dengan Nabi Muhammad saw. Berbagai sumber hukum Islam ia kuasai tanpa terkecuali Hadis. Oleh karenanya akan sangat menarik untuk dicermati tentang perhatiannya terhadap hadis.

Perjalanan Hidup Ali bin Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib dilahirkan 30 tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad saw. atau sekitar 21 tahun sebelum hijriyah. Namun pendapat mengenai kelahiran Ali cukup beragam. Ada juga yang berpendapat bila Ali Lahir pada tahun ke 23 setelah kelahiran Nabi saw.

Mengenai namanya. Sang Ibu pernah memberinya nama dengan Haidhar/Haidharah yang bermakna singa, namun Abu Thalib lebih memilih nama Ali yang berarti tinggi, agung, dan luhur. Nama Ali sendiri lebih dikenal di kalangan masyarakat pada waktu itu. Sedangkan al-Mizzi dalam Tahdzib al-Kamal menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. sendiri memberi julukan kepada Ali sebagai Abu Turab (bapak Tanah)

Imam al-Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa’ menerangkan bahwa secara keturunan, ia merupakan anak terakhir dari Abu Thalib. Adapun beberapa saudaranya antara lain Ja’far, Uqail, dan Thalib. Abu Thalib sendiri adalah paman Nabi Muhammad saw. Sehingga secara silsilah garis keturunan, Ali merupakan sepupu Nabi Muhammad saw. dan pastinya berdarah Hasyimi (keturunan Bani Hasyim).

Baca juga: Menjelajah Keilmuan Hadis Sahabat Abu Bakar As-Shidiq

Saat terjadi kekeringan dan kesusahan di kalangan Quraisy, hal itu juga diterpa oleh keluarga Abu Thalib. Hingga Nabi Muhammad saw berinisiatif dengan meminta bantuan pamannya yakni Hamzah dan Abbas untuk membantu meringankan beban hidup saudaranya yakni Abu Thalib. Nabi Muhammad saw. beserta paman-pamannya akhirnya menanggung biaya hidup dan mengasuh anak-anaknya. Bantuan tersebut diterima oleh Abu Thalib hingga akhirnya Abbas mengasuh Thalib, Hamzah mengasuh Ja’far, dan Nabi Muhammad saw. mengambil Ali untuk diasuhnya, sehingga menyisakan Aqil untuk tetap menemani ayahnya.

Semenjak diasuh oleh Rasulullah saw., Ali tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya sehat secara jasmani, melainkan juga secara rohani. Ia sudah terdidik untuk menjunjung tinggi nilai-nilai luhur. Hingga pada umur 10 tahun, ia mulai melihat tanda-tanda keanehan pada Nabi Muhammad saw. Pada saat itu, ia menjadi pengantar kebutuhan Nabi selama ber-tahannus (semedi) di gua Hira’

Ali sendiri telah memeluk agama Islam sejak usia 10 tahun dan termasuk golongan assabiquna al-Awwalun (yang pertama masuk Islam) dari kalangan anak-anak, bahkan lebih dahulu ketimbang Abu Bakar. Dalam kitab al-Imam ‘Ali ibn Abi Thalib karya Muhammad Ridha disebutkan beragam pendapat perihal usia Ali saat masuk Islam. Ada yang mengatakan 10 tahun hingga antara 15-16 tahun.

Kemampuan Ali dalam Beristinbath

Berkat didikan serta kasih sayang yang diberikan Rasulullah saw. kepada Ali, membuatnya menjadi pribadi yang selalu berbuat baik. Masa remajanya juga dilalui dengan menemani Rasulullah saw. dalam menerima wahyu. Oleh karenanya, Ali cukup banyak mengetahui tentang turunnya ayat-ayat kepada Rasulullah saw.

Al-Suyuthi dalam al-Itqan menyebutkan riwayat dari Mu’ammar dari Wahab ibn Abdlilah ibn Abi al-Tufail berkata, “Aku melihat Ali berkhutbah dan berkata: “Tanyakanlah kepadaku, demi Allah tidaklah kalian bertanya kepadaku tentang suatu kecuali aku akan menjawabnya. Bertanyalah kepadaku tentang kitab Allah, niscaya tidak ada satu ayat pun kecuali aku tahu apakah ia turun pada siang hari atau malam hari, juga apakah ia turun di dataran rendah ataukah di atas gunung”.

Pada masa khulafa al-Rasyidin, Syariat Islam cukup mendapati berbagai perkara yang sebelumnya tidak pernah terjadi di masa Rasulullah saw. Beragam persoalan tersebut akhirnya menuntut akan kepastian hukumnya. Oleh karenanya para sahabat dituntut memainkan perannya sebagai penerus ajaran Islam untuk menemukan solusi atas berbagai persoalan.

Salah satu sahabat yang cukup berperan dalam hal itu ialah Ali bin Abi Thalib. Kepakarannya dalam berijtihad sudah diakui oleh Nabi dan para sahabat lainnya. Ia cukup banyak memberi corak tersendiri dalam khazanah perkembangan fiqih. Berdasarkan kapasitasnya itu lah, ia juga dijuluki sebagai hakimnya umat Islam.

Sikapnya terhadap Hadis

Dalam ber-istinbath, Ali bin Abi Thalib selalu merujuk pada sumber hukum dalam ajaran Islam yakni Al-Qur’an dan Sunnah. Selain kemampuannya dalam memahami isi Al-Qur’an, ia juga memiliki perhatian lebih terhadap hadis.

Adanya perbedaan kesempatan bagi para sahabat untuk mengikuti majelis Rasulullah saw. berakibat pula terhadap penyebaran hadis yang terjadi pada masa itu. Oleh karenanya, ada beberapa sahabat yang pengetahuan hadisnya sedang-sedang saja hingga ada pula yang sangat luas keilmuannya.

Sahabat Ali termasuk orang yang sangat beruntung karena sering bersama Rasulullah saw. sehingga banyak menerima hadis darinya. Pengetahuannya dalam bidang hadis membuatnya menjadi senantiasa berpegang teguh pada sunnah Nabi saw.

Namun demikian, seperti beberapa sahabat yang lain, ia termasuk orang yang sangat hati-hati dalam menerima riwayat dari sahabat lain. Tidak semua riwayat dari para sahabat bisa diterima begitu saja olehnya. Bahkan ia memiliki metode tersendiri dalam menyaring riwayat-riwayat. Ajjaj al-Khatib dalam Ushul al-Hadis menerangkan bahwa Ali dalam menilai suatu hadis yang benar-benar dari Rasulullah saw. haruslah “mengangkat sumpah” kepada mereka yang meriwayatkannya.

“Mengangkat sumpah” bukanlah cara yang senantiasa dilakukan dan tidak menjadi syarat mutlak bagi Ali. Cara ini tidak berlaku bagi mereka yang tidak diragukan lagi kejujuran dan hafalannya seperti yang dilakukannya pada Abu Bakar. Cara ini tidak bermaksud mencurigai para sahabat, melainkan untuk menunjukkan kehati-hatiannya dalam memastikan kesahihan suatu hadis dari Rasulullah saw.

Baca juga: Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash, Sahabat yang Gemar Menulis Hadis

Ali bin Abi Thalib juga termasuk salah satu sahabat yang menganjurkan para murid-muridnya untuk menulis hadis. Mustafa al-A’zami menerangkan dalam ­Dirasah al-Hadis al-Nabawi wa Tarikh Tadwinihi bahwa Ali bin Abi Thalib juga mengimla’kan hadis-hadisnya. Riwayat ‘Alya bin Ahmar menjelaskan bahwa saat Ali berkhutbah, Ali bertanya pada para pendengar “Siapa yang mau membeli hadis dengan uang satu dirham?”. Lalu Harits al-A’war membeli kertas seharga satu dirham kemudian menghadap Ali dan menulis hadis yang banyak sekali.

Dari semua penjelasan yang sudah disebutkan, banyak sekali yang bisa diteladani dari Ali bin Abi Thalib. Kehati-hatiannya dalam menerima hadis menjadi bukti ia menghormati Nabi Muhammad saw. dan itu perlu dicontoh oleh umat Islam. Wallahu a’lam.

Hadis Budaya Malu Adalah Warisan Para Nabi

0
Hadis Budaya Malu Adalah Warisan Para Nabi
Hadis Budaya Malu Adalah Warisan Para Nabi

Hadispedia.id – Budaya malu adalah salah satu hal yang diwariskan para nabi terdahulu. Hal ini sebagaimana terdapat pada hadis kedua puluh dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyyah berikut ini.

عَنْ أبيْ مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو الْأَنْصَارِيْ البَدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الْأوَلَى: إذَا لم تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

Abu Mas’ud Uqban bin Amru Al-Anshari Al-Badri r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya sebagian yang masih diingat orang dari ajaran para nabi terdahulu adalah ‘Jika kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu.” (H.R. Al-Bukhari)

Dr. Mustafa Dieb dalam kitab Al-Wafi menerangkan bahwa ada terdapat tiga versi penjabaran dalam mengartikan hadis di atas.

Pertama, perintah dalam hadis ini menunjukkan ancaman. Seakan Rasulullah saw. bersabda, “Jika kalian tidak memiliki rasa malu, maka lalukanlah sekehendakmu, dan Allah swt. akan memberimu siksa yang pedih.” Perintah seperti ini juga terdapat dalam Q.S. Fushshilat ayat 40, “Berbuatlah sesuka hati kalian.”

Kedua, perintah dalam hadis ini menunjukkan pemberitahuan. Seolah hadis di atas memberitahukan bahwa jika seseorang tidak lagi memiliki rasa malu, ia akan melakukan apa saja. Karena yang bisa mencegah dari perbuatan keji adalah rasa malu. Tidak heran, jika rasa malu telah tiada, ia akan asyik dengan segala bentuk perbuatan keji dan mungkar.

Ketiga, perintah dalam hadis ini menunjukkan kebolehan. Artinya, jika kalian tidak malu untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak dilarang oleh syara’, maka lakukanlah. Karena pada prinsipnya, sesuatu yang tidak dilarang oleh syara’ maka boleh dilakukan.

Baca juga: Biografi Prof. Dr. Syuhudi Ismail, Perintis Kajian Ilmu Matan Hadis di Indonesia

Dr. Mustafa juga menyampaikan bahwa pengertian yang paling shahih dari tiga versi di atas adalah pengertian pertama. Namun, imam Nawawi lebih memilih pengertian ketiga dan imam Ibnu Qutaibah memilih pengertian kedua.

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani di dalam kitab Fathul Bari mengutip pendapat imam Nawawi bahwa hadis di atas merupakan salah satu poros agama Islam. Maksudnya, perintah yang bermakna wajib dan sunnah, orang akan malu meninggalkannya. Larangan yang bermakna haram dan makruh, orang akan malu melakukannya. Sedangkan terhadap perkara yang dibolehkan (mubah), maka rasa malu karena melakukannya atau meninggalkannya itu boleh/tidak masalah. Dengan demikian, maka hadis ini mencakup lima hukum yang ada.

Syekh Abdul Muhsin di dalam kitab Fathul Qawwil Matin menjelaskan bahwa rasa malu itu ada dua macam. Adakalanya pembawaan dan ada pula yang diusahakan. Rasa malu pembawaan adalah rasa malu yang sudah diberikan Allah sejak lahir dan menjadi karakternya. Rasa malu ini akan mendorong seseorang untuk meninggalkan keburukan dan melakukan akhlak yang mulia. Sedangkan rasa malu yang diusahakan adalah rasa malu yang didapat dari proses mengenal Allah, mengetahui keagungan-Nya, dan kedekatan-Nya dengan hamba-Nya. Kedua rasa malu tersebut harus terus ditumbuhkan agar senantiasa menjadi hamba yang selalu malu berbuat keburukan.

Rasa malu juga terbagi menjadi dua, yakni rasa malu yang berhubungan dengan hak Allah swt. dan rasa malu yang berhubungan dengan hak makhluk. Keduanya merupakan akhlak terpuji yang harus dilakukan setiap saat dan dalam urusan apapun.

Namun, ada rasa malu yang tercela. Jika seseorang malu untuk berbuat sesuatu yang sepatutnya tidak perlu malu, maka ini adalah akhlak yang tercela, karena ia merasa malu bukan pada tempatnya.

Baca juga: Begini Khasiat Mengucapkan Hamdalah Menurut Hadis

Dr. Ahmad Ubaidi Hasbillah di dalam kitab Al-Fawaid Al-Mustafawiyah menjelaskan bahwa di dalam istilah Bahasa Arab ada dua penggunaan kata untuk arti malu, yakni al-haya’ dan al-khajal. Jika al-haya’ adalah menjaga diri/malunya karena Allah, sedangkan al-khajal adalah penyakit diri. Seperti orang yang malu meminta haknya, malu menjadi pembimbing masyarakat, dan malu duduk bersama dengan para ulama dan orang shalih, maka ia bukan haya’ (malu), tetapi khajal (pemalu) dan ini termasuk penyakit diri yang harus diwaspadai.

Budaya malu yang merupakan warisan dari para nabi tersebut harus terus kita lestarikan dan ajarkan. Terutama bagi para orang tua dan pendidik berkewajiban menanamkan rasa malu secara sungguh-sungguh kepada anak-anak dan murid-murid. Semoga kita senantiasa dapat menjalankan budaya malu dalam kehidupan sehari-hari. Malu untuk berbuat maksiat., malu untuk berbuat buruk kepada makhluk Allah, dan lain sebagainya. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash, Sahabat yang Gemar Menulis Hadis

0
Abdullah bin 'Amr bin Al-Ash
Abdullah bin 'Amr bin Al-Ash

Hadispedia. Id – Ia memiliki nama lengkap Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash bin Wa’il bin Hasyim bin Sua’id bin Sa’id bin Sahm bin ‘Amr bin Hushoish bin Ka’ab bin Luai bin Ghalib al-Quraisy. Sedang nama ibunya adalah Raithah binti al-Hajaj bin Munabih al-Sahmiyyah. Ia biasa dipanggil Abu Muhammad atau juga Abu ‘Abdrahman, dan ini merupakan nama pemberian dari Rasulullah saw.

Ia masuk Islam terlebih dahulu dibandingkan ayahnya (‘Amr bin al-Ash). Ia merupakan sahabat yang secara perawakan berbadan tinggi, gemuk dan berwajah kemerah-merahan. Ia juga merupakan sahabat yang tangguh tidak hanya dalam masalah berperang, melainkan juga dalam urusan ibadah. Ia merupakan sosok yang alim dan rajin beribadah.

Mahmud al-Thahhan dalam Taysir Musthalah al-Hadis menyebtkan bahwa Abdullah bin ‘Amr merupakan salah satu dari empat orang sahabat yang bernama Abdullah. Tiga di antaranya adalah Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Zubair. Keistimewaan mereka yaitu mereka termasuk golongan muda dan yang paling akhir meninggalnya. Dikatakan apabila mereka berempat telah menyepakati suatu perkara maka fatwa tersebut diistilahkan dengan “Qaul Ubadalah”.

Tentang kematiannya. Para ulama berbeda pendapat mengenai tahun wafatnya Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash. Pendapat pertama dari imam Ahmad yang mengatakan bahwa ibn ‘Amr wafat pada bulan Dzulhijjah tahun 63 H, sedang yang kedua mengatakan bahwa ia wafat pada tahun 65 H. Adapun yang ketiga mengatakan bahwa ia telah wafat pada tahun 68 H.

Sahabat yang Ahli Beribadah

Kegemarannya dalam ibadah memang tidak bisa dipungkiri lagi, bahkan ia berusaha melakukan ibadah secara totalitas. Hal ini dibuktikan dengan kegiatan rutin yang ia lakukan, yakni mendirikan shalat malam dan berpausa di siang hari.

Dalam Tabaqat al-Kubra, Ibnu Sa’ad mengutip sebuah riwayat bahwa suatu ketika Rasulullah saw. menanyai kepada Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash, “Apakah kamu senantiasa mendirikan shalat malam dan puasa di siang hari?“. Maka ibn ‘Amr mengiyakan. Namun, Rasulullah saw. memperingatkannya bahwa tindakan tersebut bisa berdampak buruk bagi tubuh dan kesehatannya. Rasulullah saw. melanjutkan penjelasannya bahwa berpuasa selama sebulan penuh biasa disebut dengan puasa Dahr dan ibnu ‘Amr masih berkata bahwa ia mampu melakukannya. Maka Rasulullah saw. lebih menganjurkan untuk berpuasa Dawud yakni sehari berpausa dan sehari tidak.

Baca juga: Dr. Mahmud At-Tahhan, Penyusun Kitab Taisir Musthalah Al-Hadis

Selain ibadah yang tekun. Ia juga dikenal dengan sosok yang cerdas dan menguasai bahasa selain bahasa Arab. Salah satu riwayat Qatadah menunjukkan kemampuan dari Abdullah bin ‘Amr yakni,

حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ شَرِيكِ بْنِ خَلِيفَةَ قَالَ: رَأَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو يَقْرَأُ بِالسُّرْيَانِيَّةِ

“Diceritakan dari Qatadah dari al-Hasan dari Suraik ibn Khalifah, “Aku melihat Abdullah ibn Amru bin al-Ash membaca dengan menggunaakan bahasa suryani”.

Pada masa itu, Al-Qur’an masih turun kepada Nabi Muhammad saw. berangsur-angsur hingga saat Abdullah bin ‘Amr berhasil mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an secara keseluruhan, maka ia berniat mengkhatamkan secara keseluruhan sehari semalam. Namun, Rasulullah saw. menyarankannya untuk mengkhatamkan dalam sebulan, karena semangatnya ia tetap dengan niatan awalnya.

Kegemarannya Menulis Hadis

Sewaktu Abdullah bin ‘Amr hijrah ke Madinah, ia melihat banyak para sahabat yang menulis hadis Nabi saw. Dan karena di masa mudanya ia memiliki kegemaran menulis, maka ia juga ingin mengikuti para sahabat yang lain untuk menulis Hadis.

Ibn Sa’ad mengutip riwayat yang menunjukkan bahwa Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash memang tekun dalam menulis hadis, bahkan ia secara langsung meminta izin kepada Rasulullah saw.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: اسْتَأْذَنْتُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي كِتَابَةِ مَا سَمِعْتُهُ مِنْهُ. قَالَ فَأَذِنَ لِي فَكَتَبْتُهُ. فَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ يُسَمِّي صَحِيفَتَهُ تِلْكَ الصَّادِقَةَ

Abudullah ibn ‘Amr bin al-Ash berkata, “Aku minta izin kepada Nabi Muhammad saw untuk menulis apa yang aku dengar dari beliau. Maka, beliau mengizinkannya untuk menulis hal tersebut.” Sahifah dari Abdullah ibn Amr dinamai as-Shadiqah.

Sahifah ini cukup dikenal di kalangan sahabat juga tabi’in. Hingga Suatu ketika Mujahid mendatangi ibn Amr bin al-‘Ash dan melihat sahifah milik Abdullah ibn Amr dan menanyakannya akan hal itu, maka Abdullah ibn Amru mengatakan bahwa ini adalah as-Shadiqah yang di dalamnya termuat apa yang dia dengar dari Rasulullah saw.

Baca juga: Imam Abu Daud, Ulama Hadis Masa Dinasti Abasiyah

Ketika Mujahid hendak mengambil sahifah tersebut, Abdullah bin ‘Amr tidak memperkenankannya. Mujahid pun keheranan dan menanyakan kepada Abdullah bahwa ia tidak pernah melarang perbuatan Mujahid sebelumnya. Namun ibnu ‘Amr mengatakan lebih lanjut bahwa apabila buku ini (Sahifah as-Sadiqah), kitabullah dan sebidang kebun yang luas di Thaif tetap ia miliki, maka sudah tidak memerlukan yang lain bahkan dengan seluruh isi dunia ini. Riwayat ini setidaknya bisa dilihat dalam Siyar A’lam al-Nubala karangan ad-Dzahabi.

Imam ad-Dzahabi juga menukil riwayat Abu Hurairah r.a. yang memuji kemampuan menulisnya

أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ: لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَكْثَرَ حَدِيْثاً مِنِّي، إِلاَّ مَا كَانَ مِنْ عَبْدِ اللهِ بنِ عَمْرٍو، فَإِنَّهُ يَكْتُبُ وَلاَ أَكْتُبُ

 “Abu Hurairah berkata, “Tidak ada salah seorang sahabat Rasulullah saw yang lebih banyak meriwayatkan hadis dibanding diriku kecuali Abdullah bin ‘Amr, ia menulis hadis sedangkan aku tidak melakukannya”.

Ungkapan Abu Hurairah r.a. bukanlah sekedar pujian melainkan memang benar adanya. Disebutkan bahwa dalam Musnad Ahmad terdapat 700 hadis yang diriwayatkan darinya. Adapun dalam Shahih al-Bukhari terdapat 8 hadis dan Muslim 20 hadis. Sedangkan yang ittifaq (ada dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim) sebanyak 7 hadis.

Beberapa ulama yang pernah belajar kepadanya adalah Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah bin ‘Ubaidillah, Syuaib bin Muhammad bin Abdullah ibn ‘Amr (cucunya), dan Abu Amamah As’ad bin Sahal al-Kindi. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Sayyidah Aisyah dan Kepakarannya dalam Bidang Hadis

0
Sayyidah Aisyah
Sayyidah Aisyah

Hadispedia.id – Bagi umat Islam, sudah semestinya sangat mengenal sang Ummul Mu’minin istri Rasulullah saw. ini, yakni Sayyidah Aisyah ra. Ia merupakan sosok yang memiliki posisi sangat penting bagi perjalanan dakwah Rasulullah saw. hingga sepeninggal Rasul, ia masih berperan dalam melanjutkan misi dakwah suaminya.

Biografi Sayyidah Aisyah r.a.

Aisyah merupakan seorang putri dari sahabat Nabi saw. yakni Abu Bakr as-Shiddiq. Sedangkan ibunya ialah Ummu Ruman. Mereka berdua termasuk keluarga terkemuka di kalangan kaum Quraisy. Ayah dan ibu Aisyah masih dalam satu nasab keluarga dan bertemu pada Kinanah, yang juga merupakan kakek buyut Rasulullah saw. Sehingga mereka masih dalam satu nasab yang sama.

Mengenai sejarah kelahirannya, hampir belum ditemukan catatan pasti tentang kelahiran Aisyah. Namun demikian, para ulama mencoba memastikan tahun kelahirannya dengan melihat berbagai riwayat tentang pernikahan Rasulullah saw. dengan Aisyah. Dan versi yang cukup diyakini bahwa Aisyah lahir pada bulan Syawwal tahun kesembilan hijriyah atau bertepatan dengan bulan juli tahun 614 M. Setidaknya itu yang dipaparkan oleh Sulaiman an-Nadawi dalam kitabnya Sirah as-Sayyidah ‘Aisyah Ummul Mu’minin r.a.

Sejak masa kecil Aisyah, Rasulullah saw. sudah memperhatikannya, terlebih karena kejeniusannya. Dalam Sunan Abi Daud tercantum suatu riwayat yang bercerita tentang masa kanak-kanak Aisyah. Suatu ketika, Aisyah sedang bermain boneka hingga Rasulullah saw. bertanya kepadanya, “Apa ini wahai Aisyah?”. “Kuda” jawab Aisyah. Maka Rasulullah saw. menanyainya lagi, “Apakah kuda memiliki dua sayap?”. Akhirnya Aisyah memberikan jawaban, “Bukankah kuda Nabi Sulaiman memiliki sayap?”. Mendengar jawaban spontan dan akurat tersebut membuat Rasulullah saw. tertawa. Jawaban tersebut memberikan gambaran akan kecerdasan serta luasnya wawasan Aisyah.

Keutamaan Sayyidah Aisyah r.a.

Sayyidah Aisyah merupakan salah seorang istri Rasulullah saw. Mengenai usia pernikahannya, para ulama memiliki beragam pendapat. Semisal dalam Shahih Bukhari dan Muslim dikatakan bahwa pernikahan itu dilangsungkan saat Aisyah menginjak umur 6 tahun dan baru hidup serumah dengan Rasulullah saw. saat usia 9 tahun. Sedangkan imam at-Thabari menyatakan bahwa Aisyah menikah saat berusia 10 tahun dan baru berkumpul dengan Rasulullah saw. saat berusia 13 tahun.

Selama pernikannya dengan Rasulullah saw., ia tidak dikaruniai seorang anak, sehingga ia mengadopsi keponakannya yakni Abdullah bin Zubair, putra dari saudarinya yang bernama Asma’ binti Abu Bakr. Ia juga mengangkat Qasim bin Abdurrahman yang juga masih keponakannya.

Mengenai kecerdasannya memang sudah tidak diragukan lagi. Ia bisa disetarakan dengan para sahabat dekat Rasulullah saw. dan yang memiliki kecerdasan tingkat tinggi pula. Adapun usia Aisyah yang relatif muda saat dinikahi Rasulullah saw. menjadikan ia memiliki kemudahan dalam memahami berbagai hal terutama menyangkut persoalan keagamaan. Masa mudanya benar-benar dimaksimalkan untuk belajar langsung kepada Rasulullah saw.

Selain itu, karena Aisyah tinggal bersama Rasulullah saw. yang kamarnya berdekatan dengan masjid Nabawi, membuat Aisyah sering mendengarkan dan menyimak dari kamarnya tentang penjelasan-penjelasan Rasulullah saw. kepada para sahabatnya yang lain. Perlu diketahui pula bahwa masjid Nabawi selain dipergunakan sebagai tempat ibadah, juga dijadikan sebagai majelis/halaqah pusat pengajaran Islam.

Kepakarannya dalam Bidang Hadis

Disebabkan karena hidupnya senantiasa bersama Rasulullah saw., maka Aisyah juga sangat sering mendapatkan pengajaran ilmu agama darinya tanpa terkecuali hadis-hadis yang ia lihat dan dengar dari suaminya. Ini pula yang menjadikannya sebagai salah satu dari golongan sahabat dengan intelektual yang tinggi.

Aisyah juga mempunyai perbedaan dibandingkan para sahabat yang lain. Jika sahabat lain banyak meriwayatkan hadis dari sesama sahabat, justru sebagian besar hadis yang diriwayatkan Aisyah merupakan langsung dari Rasulullah saw. Di sisi lain, kebanyakan hadis riwayat Asiyah merupakan hadis fi’li yakni hadis yang menggambarkan perbuatan-perbuatan Nabi. Hadis-hadis seperti ini bisa dikatakan hanya diriwayatkan oleh orang-orang yang senantiasa bersama Rasulullah saw. dan beruntungnya Aisyah yang senantiasa bersama Rasulullah saw.

Abdul Hamid Mahmud Tahmaz dalam kitab al-Sayyidah ‘Aisyah: Umm al-Mu’minin wa ‘Alimah Nisa al-Islam mengatakan bahwa Aisyah r.a. memiliki hadis-hadis yang diriwayatkan secara infirad (secara tunggal) atau dalam istilahnya dikenal dnegan al-Infirad bi Riwayat al-Hadits. Maksudnya bahwa Aisyah banyak meriwayatkan hadis-hadis yang tidak diriwayatkan oleh para sahabat yang lain.

Hal yang cukup menarik dari manhaj (metode) Sayyidah Aisyah dalam menyeleksi hadis adalah cukup ketatnya dalam riwayat bi al-ma’na, yakni hadis-hadis yang diriwayatkan dengan redaksi yang berbeda namun memiliki makna yang sama. Ini terlihat saat ‘Urwah mengisahkan kepada Aisyah bahwa Ibn ‘Amr bin Ash pernah meriwayatkan hadis tentang ilmu yang akan hilang beriringan dengan wafatnya para ulama.

Saat Aisyah mendengar matan hadis yang dibacakan ‘Urwah, ia menolak hadis tersebut karena redaksinya tidak sesuai dengan yang ia hafal. Lantas ketika Ibn ‘Amr datang ke Madinah, maka Aisyah meminta ‘Urwah untuk bertanya lagi kepada Ibn ‘Amr sehingga Ibn ‘Amr menyampaikan hadis kepadanya dengan redaksi yang sama persis.

Akhirnya Aisyah berkata, “Kukira Ibn ‘Amr benar karena ia tidak menambah maupun mengurangi redaksi hadis tersebut”. Riwayat ini bisa ditemukan dalam Shahih Muslim pada bab “Rafa’a al-‘Ilma wa dzahara al-Jahlu”. Begitulah Aisyah dalam menjaga keotentikan dari suatu hadis dengan menjaga prinsip riwayah bi al-Lafd hingga para sahabat juga sering mendatanginya hanya untuk mengecek hafalan mereka terkait hadis-hadis Rasulullah.

Dalam Siyar A’lam al-Nubala, Imam ad-Dzahabi mengatakan bahwa jumlah hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah mencapai 2.210 hadis. Adapun yang ittifaq ala sahihaian (disepakati oleh Bukhari dan Muslim) sebanyak 174 hadis. Sedangkan yang hanya diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari saja sebanyak 54 hadis dan yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja sebanyak 69 hadis. Dalam kitab Taisir Musthalah al-Hadis karya Dr. Mahmud At-Tahhan disebutkan bahwa Aisyah menduduki urutan keempat sebagai sahabat Nabi yang paling banyak meriwayatkan hadis, setelah Abu Hurairah r.a., Ibnu Umar r.a., dan Anas bin Malik r.a.

Selain daya hafalnya yang tinggi, kemampuannya dalam memahami kandungan hadis juga bisa dibilang sangat baik. Hal ini bisa terlihat dari berbagai fatwa yang ia keluarkan dengan berdasar pada istinbath dan penalarannya. Biasanya dalam ranah hukum fiqh tidak akan lepas dari pemaknaan hadis dan itu sangat dikuasai oleh Aisyah. Hingga pada masa Umar bin Khattab r.a., Aisyah termasuk dalam kelompok sahabat yang diberi izin untuk memberikan fatwa. Wallahu A’lam

Syekh Nawawi Al-Bantani, Ulama Nusantara yang Mendunia

0
Syekh Nawawi Al-Bantani
Syekh Nawawi Al-Bantani

Hadispedia.id – Sudah tidak asing lagi kita mendengar laqob Syekh Nawawi al-Bantani. Dikatakan tak afdhol rasanya, jika tak mengenal lebih dalam ulama istemewa ini. Beliau memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad Nawawi ibn Umar at-Tanari al-Jawi al-Bantani.

Beliau lahir di desa Tanara, Serang, Banten pada tahun 1230 H/1815 M dan wafat pada 25 Syawal tahun 1314 H/1897 M, tepat dalam usia ke-84 tahun, Allahumma yarham. Pemakaman Ma’la, Makkah, di sinilah tempat beliau di makamkan, berdekatan dengan makam Ibn Hajar dan Asma bin Abu Bakr ash-Shiddiq. Luar biasa lagi, Allah swt. mengambilnya saat beliau sedang menulis sebuah tulisan yang menguraikan tentang Manhaj at-Thalibin. Subhanallah.

Ditinjau dari garis keturunan, beliau tumbuh dalam lingkup keluarga yang saleh serta religius, beliau masih memiliki keturunan dari keluarga raja dan bangsawan kesultanan Banten. Ayahnya KH. Umar bin Arabi, merupakan seorang ulama. Kecerdasan yang diwarisi orang tua dan nenek moyangnya membuat bingkai keulamaan Syekh Nawawi al-Bantani sudah nampak sejak kecil.

Kala masih berusia 5 tahun, beliau dibimbing langsung oleh ayahnya, beranjak usia ke-8 tahun beliau menuntut ilmu ke pondok pesantren bersama kedua saudaranya, Tamim dan Ahmad Syihabuddin. Di sana mereka berguru kepada Haji Sahal, seorang guru terkenal di Banten kala itu. Kemudian mereka melanjutkan belajarnya kepada Raden Haji Yusuf, ulama terkenal di Purwakarta dan melanjutkan belajarnya di Pesantren daerah Cikampek Jawa Barat.

Pada usia masih dini, 13 tahun, Syekh Nawawi al-Bantani beserta dua saudaranya kembali ke Banten. Pada usia ke 15 tahun, beliau memutuskan untuk pergi ke Makkah disebabkan peperangan di tanah Jawa yang membuat keadaan tidak kondusif, di sana beliau melaksanakan ibadah haji dan bermukim selama 3 tahun untuk menimba ilmu.

Sepulang dari Makkah, beliau sempat menimba ilmu pada seorang ulama di Karawang. Kemudian meneruskan perjuangan almarhum ayahnya untuk mengelola pesantren di rumahnya. Kecerdasan dan pengaruh luas yang dimiliki akhirnya tercium oleh pemerintah Hindia Belanda. Penawaran politik seringkali dilayangkan kepada Syekh Nawawi, namun beliau selalu menolak bekerjasama dengan pemerintah kolonial, keresahan ini membuat beliau mengambil keputusan untuk kembali ke kota Makkah.

Di Makkah, Syekh Nawawi banyak menimba ilmu dari berbagai ulama, baik ulama Nusantara yang menetap di sana atau ulama luar negeri, Syekh Yusuf Sambulaweni dari Mesir misalnya, dan masih banyak lagi. Sedangkan guru beliau di Makkah yaitu Syekh Sayyid Ahmad an-Narawi, Syekh Sayyid Ahmad Dimyati, Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Muhammad Khatib al-Hanbali, Syekh Abdul Ghani Bima, dan Syekh Yusuf Sambulaweni.

Sekitar tahun 1860-1870 M., Syekh Nawawi menjadi pengajar di Masjidil Haram, pada saat itu di sanalah satu-satunya perguruan tinggi di Makkah, beliau dikenal sebagai pengajar yang menjelaskan pelajaran dengan jelas dan mendalam. Pada tahun 1870 beliau memilih untuk fokus menulis kitab sambil mengajar di rumahnya. Puluhan kitab telah ditulisnya, bidang karya yang ditulis adalah kitab tafsir, fikih, ilmu tauhid, ushuluddin, tasawuf, sirah nabawiyah, akhlak, bahasa Arab, dan hadis.

Kitab Tanqih al-Qaul al-Hatsis

Tanqih al-Qaul al-Hatsis yang tersohor hingga penjuru dunia ini merupakan magnum opus Syekh Nawawi di bidang hadis. Kitab ini merupakan syarah dari kitab Lubab al-Hadis karya dari Syekh Jalaluddin bin al-‘Allamah Abu Bakar as-Suyuthi. Tak jarang kitab ini menjadi rujukan para akademisi hingga penghujung negeri, bahkan kerap dikaji di pesantren-pesantren Nusantara.

Nama kitab ini beliau cantumkan dengan penuh makna dan pesan. Sebagaimana susunannya nama Tanqihul al-Qaul al-Hatsis terdiri dari dari tiga lafadz yaitu tanqih, al-Qaul, dan al-Hatsis. Lafadz tanqih merupakan kalimat isim yang memiliki arti mengeritik atau memberi ulasan sedangkan al-qaul memiliki arti perkataan dan al-hatsis yang mempunyai arti anjuran atau dorongan.

Sederhananya, makna Tanqih al-Qaul al-Hatsis adalah anjuran untuk memperbaiki ucapan atau sesuatu yang mendorong seseorang memperbaiki ucapannya. Tidak jauh dari maknanya, di dalam kitab ini mejelaskan tentang 40 pasal terkait keutamaan-keutaman. Selamat mengkaji lebih dalam. Wallahu a’lam bis shawab

Biografi Prof. Dr. Syuhudi Ismail, Perintis Kajian Ilmu Matan Hadis di Indonesia

0
Syuhudi Ismail
Syuhudi Ismail

Hadispedia.id – Mari mengenal Muhammad Syuhudi Ismail, seorang ulama Indonesia yang memiliki pengaruh besar terhadap ilmu hadis. Beliau lahir di kota Lumajang, Desa Rowo Kangkung, Jawa Timur pada tanggal 23 April tahun 1943. Jejak pendidikan Syuhudi berawal di perguruan tinggi di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di sana, Syuhudi berhasil meraih gelar sarjananya pada tahun 1965.

Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Fakultas Syariah IAIN Alaudin Makassar dan memperoleh gelar sarjana lagi pada tahun 1973. Ia merasa tidak puas dengan gelar sarjana yang sudah ia tempuh dua kali. Ia pun memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Studi Purna Sarjana (SPS) untuk tahun akademi 1978-1979. Program magister yang ditempuh bertempat di kampus IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan ia selesaikan pada tahun 1985. Sedangkan pada tahun 1987 ia menyelesaikan program doktornya di bidang ilmu hadis di institusi yang sama.

Kebanyakan para ahli hadis saat menalaah hadis Nabi lebih cenderung mengendalikan dirinya dengan sikap menerima agar bisa melakukan telaah ulang dan pengembangan pemikiran sesuai dengan hadis tersebut. Berbeda dengan Syuhudi Ismail, ia mempunyai keberanian melakukaan telaah hadis Nabi secara kritis dan objektif. Keberaniannya ia terapkan dalam disertasinya, sehingga berhasil dibukukan dengan judul Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dengan Pendidikan Ilmu Sejarah.

Syuhudi menjadi pengajar di berbagai perguruan tinggi sampai memperoleh gelar Profesor atau Guru Besar dalam bidang Hadis dari IAIN Alaudin Makassar pada tahun 1993. Selain itu, pada tahun 1962-1972 ia menjadi pegawai di Pengadilan Agama Tinggi di Makassar. Syuhudi wafat pada tahun 1995 dan meninggalkan berbagai macam karyanya dalam bidang hadis.

Salah satu karyanya berupa buku berjudul Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’anil Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal. Buku ini merupakan isi dari pidatonya di saat pengukuhan guru besar. Ia memaparkan tentang ajaran-ajaran Nabi Muhammad saw. yang sudah termuat di dalam hadis. Ia juga menjelaskan pemahaman hadis, mulai dari matan atau teks hadis yang dapat dipahami dengan cara tekstual dan kontekstual serta sajian contoh-contoh hadis yang telah dikaji.

Pemikiran Syuhudi tentang Matan Hadis

Pemikiran Syuhudi yang tertuang dalam memahami hadis telah melahirkan berbagai macam gagasan. Tak menjadi suatu hal yang baru baginya, setiap gagasannya tak lepas mengkaji sudut pandang historitas (Asbab al-Wurud), kontekstualisasi, dan lain sebagainya. Tentu menjadi angin segar bagi para pengkaji hadis, bagaimana tidak, Syuhudi berhasil merumuskan secara konseptual cara memahami hadis yang sebelumnya belum pernah terpikirkan oleh ulama klasik. Syuhudi telah menciptakan alternatif dalam memahami hadis di era kontemporer ini. Demikian, bentuk penyajian pemahaman hadis Syuhudi terkemas dalam sebuah karyanya yang dikenal dengan nama Ilmu Ma’ani al-Hadis.

Menjadi kebanggan Indenesia karena pemahamannya terhadap aspek historis sedikit berbeda dengan pakar hadis klasik. Orientasi Syuhudi dalam mengkaji aspek historis lebih menekankan pada perbedaan hadis yang dapat aplikasikan secara temporal, lokal, dan universal. Sehingga pemahamannya pada hadis lebih luas dan mencapai puncak relevan ketika dipahami pengakaji hadis, khususnya di Indonesia.

Meski dilingkupi dengan objek material yang sama, yakni Asbab Wurud al-Hadis, yang tidak hanya mengkhususkan pada hadis yang umum tapi bisa lebih spesifik dan rinci. Namun, Syuhudi mampu mengemas dalam pemahaman yang lugas dan memudahkan para pecinta hadis. Selamat mengkaji pemikirannya. Wallahu a’lam bis shawab.

Shalahuddin Al-Idlabi, Bapak Kritik Matan Hadis

0
Shalahuddin Al-Idlabi
Shalahuddin Al-Idlabi

Hadispedia.id – Shalahuddin al-Idlabi adalah salah satu pakar hadis yang patut kita kenal. Ulama yang mempunyai nama lengkap Shalahuddin ibn Ahmad al-Idlabi ini dilahirkan di kota Madinah pada tahun 1367 H/ 1948 M. Meski menganut mazhab syafi’iyah, beliau dikenal sebagai ulama yang tidak menonjolkan kefanatikan terhadap mazhabnya, sehingga haluan yang telah dianut, tidak mempengaruhi pemikiran Shalahuddin dalam karya hadisnya.

Tiada menyangka, perjalanan menimba ilmu yang panjang telah ditempuhnya hingga mengantarkan Shalahuddin meraih gelar doktor di bidang Ulum al-Islamiyah wa al-Hadis di Dar al-Hadis pada tahun 1401 H/ 1980 M. Ketekunan dan kecerdasan yang dimiliki menjadikan beliau lulus dengan predikat Hasan Jiddan.

Dibalik predikat membanggakan yang diberhasil diraihnya, terdapat para guru murobbi yang cukup berpengaruh dalam perjalanan Shalahuddin. Di antaranya adalah al Allamah Syaikh Abd al-Fatah, yang masyhur sebagai ulama yang membandingkan metode ulama mutaqaddimin dan ulama mutaakhirin.  

Baca juga: Mengenal Seorang Panglima Hadis, Nuruddin ‘Itr   

Usai menamatkan kuliahnya, beliau aktif mengamalkan ilmu dengan menjadi dosen di beberapa tempat. Di antaranya adalah Fakultas Dirasah al-Islamiyah wa al-Arabiyah Dubai, Universitas Imam Muhammad Su’ud al-Islamiyah Riyadh, dan Fakultas al-Lughah al-Arabiyah Marakisy.

Ketekunan dan pengalaman di bidang hadis telah mengantarkan Shalahuddin untuk lebih banyak berkonsentrasi pada hadis yang kaitannya dengan matan, sehingga beliau dikenal sebagai ulama pemberi kontribusi akbar dalam hal kritik matan hadis. Tak ayal, beliau menjadi tersohor dengan sebutan bapak kritik matan, karyanya pun yang tak asing lagi kita dengar dan tetap dikaji hingga pelosok negeri.

Mengenal Magnum Opus: Manhaj Naqd al-Matan Inda Ulama al-Hadis an-Nabawi

Kitab monumental karya Shalahuddin, bertajuk Manhaj Naqd al-Matan Inda Ulama al-Hadis an-Nabawi, berhasil mengulas tuntas kritik matan secara detail dibanding kitab sebelumnya. Bisa dikatakan bahwa karya ini menjadi angin segar bagi pemikiran kritik matan. Mengapa tidak, kitab ini menjadi pembaharu metode kritik matan yang tergolong relatif dan lengkap. Tidak salah jika dalam perkembangan ulama hadis, Shalahuddin al-Idlabi dikatakan ulama yang menempuh jalan modern (khalaf).

Tentu, dalam gagasan pemikirannya yang kritis terdapat suatu alasan yang menjadi motivasi Shalahuddin dalam menulis kitab ini. Adapun alasan mendasar beliau adalah beredarnya motif-motif pemalusan hadis sepeninggal Rasulullah saw. Bagi Shalahuddin, hal semacam itu telah meduduki bentuk kedustaan yang lebih berat.

Dalam kitabnya, Shalahuddin menyebutkan beberapa aspek utama yang dapat menjadi acuan dalam mempraktekkan kritik matan. Pertama, matan tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an. Kedua, tidak pula bertentangan dengan hadis dan historitas Nabi atau sirah nabawiyyah yang telah diterima secara luas validitasnya atau kesahihannya. Ketiga, matan tersebut tidak bertentangan dengan rasio, indra, dan sejarah. Keempat, tidak keluar jauh dari konteks sebagaimana sabda Rasulullah saw.

Keberhasilan Shalahuddin menuangkan pemikirannya tentang kritik matan dalam Manhaj Naqd al-Matan Inda Ulama al-Hadis an-Nabawi, nampaknya membuat banyak karya-karya hadis terlahir dengan topik yang tidak jauh berbeda di masa setelahnya. Jamak dikenal seperti kitab yang berjudul Maqayis Naqd Mutun as-Sunnah karya Dr. Musfir Azmullah ad-Damini dan kitab Juhud al-Muhaddisin fi Naqd Matn al-Hadis an-Nabawi as-Syarif karya Dr. Muhammad Thahir al-Jawabi. Wallahu a’lam bis sowab.  

Dr. Mahmud Thahhan, Penyusun Kitab Taisir Musthalah Al-Hadis

0
Dr. Mahmud Tahhan
Dr. Mahmud Tahhan

Hadispedia.id – Dr. Mahmud Thahhan, memiliki nama lengkap Abu Hafsh Mahmud bin Ahmad bin Muhammad at-Thahhan. Beliau dilahirkan di kota Halab, Suria pada tanggal 12 Juni 1935, karib dikenal sebagai seorang yang hamilul quran dan memiliki kecintan terhadap ilmu. Benar, namanya sudah tidak asing, jamak diketahui beliaulah salah satu Ulama Hadis terkemuka dari Suriah, yang hingga kini, karyanya banyak menjadi rujukan para akademika Islam hingga pelosok negeri.

Al-Quran dan Hadis, ditempuhnya sebagai jalan taqarrub kepada Allah swt, usai menyelesaikan perjuangan menghafal kitab suci Al-Qur’an dan lulus dari sekolah dasar sampai menengah, Dr. Mahmud Thahhan, tidak mengakhiri perjalanannya untuk meraup ilmu, beliau melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Damaskus dengan mengambil jurusan Syariah.

Usai lulus, beliau mengembara ilmu ke kota yang mempunyai julukan tanah haram dan berhasil meraih gelar megister di Universitas Madinah dalam bidang hadis. Setelah  Madinah, Mesir merupakan destinasi peraihan gelar doktornya. Di Universitas Al-Azhar, beliau menggalakkan fokus pemikirannya kepada hadis, sehingga berhasil meraih gelar Doktor dengan mengusung disertasi bertajuk “al-Hafidz al-Khatib al-Baghdadi wa Atsaruhu fi Ulumil Hadis”.

Baca juga: Imam Bukhari: Belajar Lebih dari Seribu Guru Hingga Lahirkan Karya Fenomenal

Sekarang mari kita lanjut dengan menjelajah perjalanan Dr. Mahmud Thahhan usai menempuh pendidikan di pelbagai negeri itu. Melalui ilmu yang hidup dalam lelakonnya, beliau memilih mengabdikan diri menjadi dosen di beberapa universitas. Di antaranya Universitas Ibnu Saud Riyadh, di sini beliau mengajar di jurusan Syariah.

Tahun 1982, beliau pindah tempat mengajar dan menjadi guru Besar di Universitas Kuwait hingga masa pensiun di tahun 2005. Meski pensiun, bukan suatu alasan untuk tidak mengamalkan ilmunya. Dr. Mahmud Thahhan masih tetap menjadi dosen aktif di jurusan Tafsir Hadis.

Sewaktu mengampu mata kuliah ilmu hadis, beliau merangkai sebuah diktat ilmu Hadis yang berjudul ‘Taisir Musthalah al-Hadis’. Karya ini kemudian menjadi kitab tersohor dengan sebutan arif, bukan hanya akademisi, bahkan hingga saat ini, sering dikaji oleh kalangan para santri dengan metode diskusi kitab/musyawarah dan bandongan halaqoh.

Di dalam sejarah perkembangan ilmu Hadis, Dr. Mahmud Thahhan merupakan salah satu ahli hadis yang dapat mencetuskan pemikiran baru tentang ilmu hadis melalui karya-karyanya. Dalam hal ini, beliau tidak memiliki maksud lain selain untuk menjaga kelestarian hadis dari beragam distorsi.

Baca juga: Mengenal Seorang Panglima Hadis Syekh Nuruddin ‘Itr

Dengan alasan ini, beliau menetapkan sebuah kaidah yang dapat dijadikan alat untuk mengetahui kesahihan hadis dan memahami petunjuk yang terkandung di dalamnya. Salah satu contoh pemikirannya dapat dilihat ketika mendefinisikan hadis dhaif, menurutnya, hadis dhaif merupakan hadis yang tidak terkumpul syarat yang wajib ada dalam hadis hasan, disebabkan tidak ditemukannya satu syarat yang diharuskan dalam syarat hadis hasan.

Selain kitab Taisir Musthalah al-Hadis, Usul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid merupakan salah satu karangan kitabnya yang sering dikonsumsi dan digandrungi pecinta ilmu hadis. Kitab ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, salah satunya yang diterjemahkan oleh Guru Besar Universitas Sunan Ampel Surabaya (UINSA) bermana Dr. M. Ridwan Nasir dan rekannya Dr. Khamim dalam bentuk buku yang berjudul Metode Takhrij Al-Hadith dan Penelitian Sanad hadis. Selamat mengkaji. Wallahu a’lam bis shawab